Negara Bebas Pajak: Mampukah Diwujudkan dalam Sistem Demokrasi Pancasila?




Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa seluruh pajak yang wajib dibayarkan oleh masyarakat merupakan upaya untuk menjaga negara agar mampu bertahan di tengah berbagai tekanan termasuk pandemi COVID-19. 
(Topswara.com, 24 November 2020)

Ia beralasan bahwa membayar pajak itu untuk menjaga Indonesia dan uang hasil pajak akan kembali lagi ke masyarakat. Pungutan pajak ini bukan karena negara ingin menyusahkan rakyat tetapi uang itu dikumpulkan agar Indonesia bisa jalan lagi.

Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini, semestinya pemerintah membuat kebijakan yang memihak rakyat. Akibat pandemi, banyak rakyat kehilangan pekerjaan dan penghasilannya berkurang sehingga menjadikan rakyat menderita. Tragisnya, pemerintah justru menambah penderitaan rakyat dengan tetap menarik pajak meskipun keadaan belum normal kembali.

Indonesia yang telah merdeka selama 75 tahun seharusnya merdeka pula dalam menentukan aturan dan kebijakan. Aturan pajak yang merupakan warisan penjajah seharusnya dicampakkan karena terbukti membebani dan menyengsarakan rakyat. 

Namun bukanlah dihapus, justru penarikan pajak dijadikan penopang terbesar dalam APBN Indonesia. Pembiayaan terbesar negara ini berasal dari pajak. Sehingga negara ini sangat bergantung pada pajak untuk pembangunan dan penggajian pegawainya.

Sebagai penopang APBN, penarikan pajak tidak dapat terhindarkan meskipun terbukti membebani rakyat. Lantas, bagaimana mewujudkan negara yang bebas pajak? Mampukah negara yang menerapkan demokrasi Pancasila ini mewujudkannya?

Ketika negara yang menerapkan sistem demokrasi Pancasila tidak bisa melepaskan diri untuk menarik pajak dari rakyatnya, negara Islam menawarkan solusi untuk negara bebas pajak. Banyak dalil yang melarang negara memungut pajak pada rakyatnya. Kendatipun demikian, negara Islam diperbolehkan menarik pajak, namun hanya saat negara dalam keadaan darurat dan hanya bagi orang-orang yang kaya. Itupun hanya bersifat sementara.


Menguak Sejarah Pajak di Indonesia sebagai Warisan Penjajah

Sejarah pajak di Indonesia cukup panjang. Pajak di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan, kemudian berkembang pada saat Hindia Belanda menjajah. 

Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam perjalanan suatu bangsa, tidak terkecuali bangsa Indonesia. Hampir semua negara menerapkan aturan tentang pengenaan pajak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pajak adalah pungutan wajib yang biasanya berupa uang. Uang tersebut dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah.

Dalam sejarah, pajak di Indonesia sudah diberlakukan pada masa kerajaan, masa kolonial, hingga zaman modern.

1. Masa kerajaan

Pajak sudah ada sejak lama, termasuk di Indonesia. Pajak di Indonesia sudah diperlakukan sejak zaman kerajaan. Hanya saja untuk sistem pungutan pada zaman kerajaan dan sekarang berbeda.

Dikutip dari situ resmi www.Pajak.go.id, pada zaman kerajaan hingga penjajahan pungutan yang diperlakukan bersifat memaksa.

Zaman kerajaan pungutannya adalah upeti kepada raja sebagai persembahan yang dianggap sebagai wakil tuhan. Ada timbal balik dengan rakyat yang membayar upeti tersebut. Di mana rakyat mendapat jaminan dan ketertiban dari raja. Bahkan pada zaman itu beberapa kerajaan juga melakukan sistem pembebasan pajak, terutama pada tanah perdikan.

Dikutip dalam buku Pajak dan Pendanaan Peradaban Indonesia (2020), pada zaman kerajaan upeti merupakan instrumen bagi penguasa (raja-raja yang merasa lebih kuat) untuk menunjukan, menegaskan dan mempertahankan kekuasaan atas raja-raja yang lebih lemah. Upeti yang dibayarkan secara bertingkat mengikuti hierarki pemerintah. Pejabat-pejabat lokal yang memungut dari warga membayar upeti ke penguasa lokal, penguasa lokal ke raja yang menaungi wilayahnya. Kerajaan-kerajaan kecil membayar upeti ke kerajaan lebih kuat yang telah berhasil menaklukan kerajaan lainnya. 

Upeti dibayarkan lebih untuk kepentingan penguasa dan agar membayar secara aman. Kerajaan patrol tidak memiliki kewajiban untuk memperhatikan kesejahteraan bawahannya. Jangankan nasib rakyat kerajaan taklukan, kesejahteraan rakyat di kerajaan inti sendiri belum tentu menjadi agenda.

Tidak jauh berbeda dengan pajak pada era modern ini. Pajak yang sebenarnya di desain untuk membiayai kepentingan dan kesejahteraan bersama. Namun kenyataannya, kesejahteraan hanya dinikmati segolongan orang misalnya pegawai pajak yang kaya raya, walau hanya bergaji kecil. Sementara lembaga pajak pun dinobatkan sebagai salah satu lembaga paling korup di negara muslim ini. 

2. Masa kolonial

Ketika masuk era kolonial oleh Belanda dan bangsa Eropa pajak mulai dikenakan. Pajak yang diterapkan itu, seperti pajak rumah, pajak usaha, sewa tanah maupun pajak kepada pedagang. Itu diperlakukan pada 1839. Adanya sistem itu membuat masyarakat merasa berat dan terbebani. Apalagi tidak ada kejelasan dan banyak penyelewengan oleh pemerintah kolonial waktu itu.

Pada masa kolonial, saat itulah mengenal sistem perpajakan modern. Pada 1885, pemerintah Kolonial Belanda membedakan besar tarif pajak berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak. Seperti pemerintah memberlakukan kenaikan pajak tinggal untuk warga Asia menjadi 4 persen.

3. Masa kemerdekaan

Pada masa kemerdekaan, pajak dimasukan ke dalam UUD 1945 Pasal 23 pada sidang BPUPKI. Pasal itu berbunyi segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Meski sudah dituangkan dalam UU, tapi pemerintah belum dapat mengeluarkan UU khusus yang mengatur tentang pajak. Ini disebabkan terjadi Agresi Militer Belanda dan membuat pemerintahan Indonesia memindahkan ibukota ke Yogyakarta. 

Mengingat roda pemerintahan dan pembiayaan pengeluaran negara harus tetap dijalankan, pemerintah pun mengadopsi beberapa aturan tentang pajak peninggalan pemerintahan kolonial seperti Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 dan membentuk beberapa suborganisasi untuk melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.

Dalam ekonomi modern pajak merupakan sumber pendapatan pemerintah yang paling penting. Pajak berbeda dengan sumber pendapatan lain, karena merupakan pungutan wajib dan tidak tidak terbatas. Biasanya uang dari hasil pajak tersebut akan dikembalikan lagi ke masyarakat dalam bentuk lain. Bisa lewat layanan publik, pembangunan infrastruktur, maupun untuk kesejahteraan masyarakat.

Meskipun negara ini yang sudah merdeka selama 75 tahun, namun hingga kini masih membebani rakyat dengan pajak. Alasan utama dari penarikan pajak adalah karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. 

Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian, jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. 

Pajak menjadi prioritas utama sebagai sumber pemasukan negara. Padahal sejatinya, masih banyak sumber pemasukan lain yang bisa dijadikan alternatif sumber pendapatan negara selain pajak.


Alternatif Pendapatan APBN dalam Mewujudkan Negara Bebas Pajak

Sumber pendapatan negara merupakan dana yang diterima negara untuk melakukan pembiayaan pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara adalah semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar negeri.

Jenis sumber pendapatan negara terbagi menjadi tiga macam. Dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, sumber pendapatan negara tidak hanya dari pajak, melainkan juga dari non pajak dan hibah.

1. Penerimaan pajak

Pajak sebagai sumber pendapatan utama dari sebuah negara. Sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak terbagi dalam tujuh sektor, yaitu pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, pajak perdagangan internasional serta bea masuk dan cukai.

Besaran tarif pajak sudah ditentukan oleh undang-undang perpajakan yang berlaku. Biasanya pajak dikenakan saat seseorang sudah memiliki penghasilan dengan besaran tertentu.

2. Pendapatan negara non-pajak

Sumber pendapatan negara non pajak terdiri dari keuntungan Badang Usaha Milik Negara (BUMN), pengelolaan sumber daya alam, pinjaman, barang sitaan, percetakan uang atau sumbangan.

Berikut beberapa contohnya:

a. Sumber penerimaan dari barang-barang yang dikuasai atau milik pemerintah. Barang milik negara yang disewakan kepada pihak swasta, kemudian biaya sewanya masuk dalam kas negara. 

b. Perusahaan yang melakukan monopoli dan oligopoli ekonomi. Salah satu sumber pendapatan negara non pajak adalah keuntungan BUMN. Perusahaan bisa bersifat monopoli berskala besar dan sebagian keuntungannya bisa disisihkan untuk pembiayaan negara.

c. Harta telantar adalah harta peninggalan yang dianggap tidak ada seorangpun yang mengajukan klaim atas barang itu. Dalam hal ini negara berhak mengumumkan terlebih dahulu, jika tidak ada ahli waris maka harta tersebut menjadi milik negara.Denda yang dijatuhkan untuk kepentingan umum. 

d. Denda ini berupa sitaan atau pembayaran yang telah disepakati. Untuk barang biasanya dilakukan lelang, kemudian hasilnya dimasukkan dalam kas negara.

e. Retribusi dan iuran. Retribusi sendiri merupakan dana yang dipungut berkaitan dengan jasa negara.

3. Hibah

Hibah merupakan pemberian yang diberikan kepada pemerintah tetapi bukan bersifat pinjaman. Hibah bersifat sukarela dan diberikan tanpa ada kontrak khusus. Dana bantuan yang didapat biasanya diperuntukkan bagi pembiayaan pembangunan.

Selain itu, penerimaan yang berasal dari luar negeri juga masuk dalam pinjaman program atau pinjaman proyek dengan jangka waktu tertentu. Lembaga internasional yang pernah memberi bantuan pada Indonesia adalah Bank Dunia (World Bank), Asean Development Bank (ADB), dan International Monetary Fund (IMF).

Dikutip dari web resmi Kementrian Keuangan, postur anggaran APBN 2020 masih menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Penerimaan negara dari pajak ditargetkan 1865,7 T. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak sebesar 367 T dan penerimaan hibah ditarget 0,5 T. 

Melihat postur anggaran APBN 2020 yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan, sangat tidak mungkin mewujudkan negara bebas pajak dalam sistem demokrasi Pancasila. Oleh sebab itu, perlu dicari alternatif pendapatan lain selain pajak jika ingin mewujudkan negara bebas pajak.

Salah satu cara yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan cara mengoptimalkan pendapatan dari sektor non pajak yaitu mengelola dan memanfaatkan SDA yang ada di negeri. Mengutip Kemdikbud RI, potensi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia adalah hutan, lautan, minyak bumi, gas alam dan batu bara.

1. Hutan

Hutan di wilayah Indonesia adalah hutan terluas ketiga di dunia. Luas hutan Indonesia sekitar 99 juta hektar yang membentang dari Indonesia bagian barat sampai bagian timur. Akan tetapi, luasan hutan di Indonesia semakin mengalami penurunan selama ini. Laju kerusakan hutan Indonesia sekitar 610.375,92 hektar per tahun dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia.

Padalah potensi hutan Indonesia sangat besar, mencakup kayu dan semua makhluk yang mendiami hutan. Keanekaragaman hayati yang berada di hutan bermanfaat dan berperan penting dalam keseimbangan lingkungan hidup.

2. Lautan

Indonesia merupakan negara maritim. Sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari lautan. Lautan di wilayah Indonesia kaya berbagai jenis ikan. Sumber daya alam laut berupa biota laut, tambang minyak lepas pantai dan pasir besi.

Potensi ikan laut Indonesia mencapai 6 juta ton per tahun. Potensi laut Indonesia berada di urutan keempat pada 2009 di dunia.

3. Minyak bumi

Minyak bumi (petroleum) adalah cairan kental, cokelat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar yang terdapat pada lapisan teratas dari beberapa area di kerak bumi. Minyak bumi masih sering digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagian menggunakan minyak bumi untuk menghasilkan listrik.

Potensi minyak bumi di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Maka dari itu, Indonesia melakukan impor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

4. Gas alam

Potensi gas alam di Indonesia sangat banyak. Diperkirakan cadangan gas alam Indonesia sekitar 2,8 triliun meter kubik. Cadangan gas alam Indonesia sekitar 1,5 persen dari cadangan gas alam dunia.

Dengan sumber daya alam berupa gas alam sebesar itu, menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor gas alam terbesar di dunia. Negara tujuan ekspor gas alam Indonesia adalah Jepang, Korea, Taiwan, China dan Amerika Serikat.

5. Batu bara

Batu bara adalah bahan bakar fosil yang terbentuk dari tumbuhan yang mati yang tertimbun selama jutaan tahun. Lapisan itu terputus dari udara langsung dan mendapat tekanan terus menerus dari lapisan di atasnya.

Negara Indonesia adalah penghasil batu bara terbesar kelima di dunia. Indonesia menjadi negara pengekspor batu bara terbesar di dunia karena masih minimnya pemanfaatan batu bara di dalam negeri.

Negara tujuan ekspor batu bara Indonesia adalah Hongkong, Taiwan, China, Korea Selatan, Jepang, India, Italia dan negara Eropa lainnya. Batu bara juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam sektor pembangkit listrik.

Sebagai negara kepulauan dengan SDA berlimpah, Indonesia sering kali diperkirakan bakal menjadi salah satu negara maju di masa mendatang. Indonesia merupakan negara pemilik minyak, batu bara, gas alam, emas, nikel, tembaga dan berbagai komoditas lain yang diminati pasar internasional. 

Jika seluruh kekayaan alam dicairkan dalam bentuk uang, Indonesia diperkirakan memiliki aset hingga mencapai ratusan ribu triliun rupiah.

Menurut pengamat energi Kurtubi, perkiraan nilai cadangan terbukti dari minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi. Bahan tambang di perut bumi nilainya saat ini sekitar Rp 200 ribu triliun.
Itu baru bahan tambang belum termasuk hasil SDA lain seperti hasil hutan dan hasil laut, tentu akan lebih besar lagi.

Sayangnya, potensi tersebut tidak bisa langsung diwujudkan saat ini karena pengelolaan SDA diserahkan pada swasta dan asing. Pemerintah seharusnya menjaga kedaulatan SDA Indonesia dengan mengubah Undang-Undang yang berkaitan dengan kepemilikan kekayaan negara. Undang-Undangnya harus diubah dulu dan harus dinyatakan SDA itu milik negara.

Namun, karena ada kepentingan kongkallikong pengusaha dan penguasa sehingga semua itu nyaris takkan terjadi. Penguasa lebih mengutamakan keuntungan pribadi dari fee atas pengelolaan SDA oleh swasta dan asing daripada mengelola sendiri dan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. 

Jadi, berharap negara bebas pajak pada sistem demokrasi Pancasila adalah harapan yang sia-sia. Harapan yang tak mungkin terwujud menjadi kenyataan. Selama sistem demokrasi Pancasila yang berideologi kapitalisme menguasai negara ini, harapan untuk mewujudkan negara bebas pajak hanya sekedar cita-cita. Oleh sebab itu, diperlukan sistem alternatif yang mampu mewujudkan negara bebas pajak.


Sistem Islam Mewujudkan Negara Bebas Pajak

Untuk mewujudkan negara bebas pajak diperlukan sebuah sistem yang mengharuskan negara mencari sumber penghasilan bukan dari pajak. 

Sampai saat ini, pajak merupakan sumber pendapatan terbesar pemerintah. Kontribusi penerimaan pajak terhadap total pendapatan negara mencapai lebih dari 80%. Artinya, rakyat merupakan sumber pendapatan terbesar pemerintah. Sementara sumber daya alam di negeri ini, pengelolaannya berada pada pihak swasta asing.

Dalam sistem ekonomi islam SDA seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum sebagai sumber utama pendanaan negara. 

Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), menyebutkan sumber-sumber pemasukan Negara yang dikumpulkan oleh Baitul Mal, yaitu:

1. Pengelolaan atas Harta Kepemilikan Umum, seperti air, api (energi), padang rumput, barang tambang dalam jumlah sangat besar (minyak bumi, emas, perak, dst), jalan, sungai, laut, hutan, dan sejenisnya.

2. Pengelolaan atas Harta Milik Negara, seperti gedung-gedung pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah, dan sejenisnya.

3. Pendapatan dari non muslim, seperti Kharaj, Fa’i, Jizyah, dan sejenisnya.

4. Pendapatan dari muslim, seperti Zakat, Wakaf, Infak, dan sejenisnya.

5. Pendapatan temporal, misalnya dari denda.

Pos pendapatan nomor 1 dan 2 merupakan sumber pemasukan utama Negara. Pendapatan dari pengelolaan Harta Kepemilikan Umum tetap menjadi sumber pemasukan utama pemerintah. Harta Kepemilikan Umum yang dikelola pemerintah akan menjamin bahwa masyarakat umum, sebagai pemilik hak atas harta tersebut, dapat merasakan langsung manfaat dari harta tersebut.

Pada kepemilikan umum ini negara hanya sebagai pengelola. Dalam hal ini, syariah Islam mengharamkan pemberian hak khusus kepada seseorang, swasta dan asing. Jika kepemilikan umum ini dieskplorasi dan dieksploitasi, maka pemerintah wajib menyediakan dana dan sarana sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mengurusi kepentingan rakyat. Kalau semua potensi SDA milik umum dikelola negara, maka pemerintah tidak perlu lagi membebani rakyatnya dengan pajak. 

Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus untuk mendakwahkan Islam, telah dikenal berbagai jenis pajak. Diantara bentuk-bentuknya yaitu:

1. Dharibah

Dharibah memiliki arti memukul, mewajibkan, atau membebankan. Dharibah adalah sebutan bagi pajak secara umum, atau setiap pungutan harta yang dibebankan kepada warga negara.

2. Al-Maks

Al-maksu bermakna an-naqshu yaitu pengurangan, pengambilan atau perampasan. Al Maksu biasanya digunakan untuk menyebut pungutan yang mengurangi keuntungan pedagang di pasar.

3. Usyur

Usyur secara bahasa berarti sepersepuluh. Biasanya dipungut sejumlah 10% dari pedagang lintas wilayah yang melewati perbatasan atau memasuki pasar di luar wilayahnya.

4. Kharaj

Kharaj bermakna keluar. Biasanya dipungut berdasarkan kepemilikan tanah, di masa lalu dikenakan pada tanah pertanian dan dikeluarkan dari hasil panen.

5. Jizyah

Jizyah berasal dari kata jaza yang berarti balasan atau membalas jasa. Jizyah dipungut per orang sebagai balasan dari jaminan perlindungan yang diberikan negara.

Pada masa pemerintahan Islam, jizyah dikenakan setahun sekali bagi orang kafir yang merdeka, baligh, berakal, sehat, dan mampu, sebagai balasan dari perlindungan jiwa, harta, ibadah, dan bebas dari zakat serta kewajiban militer.

Allah SWT melarang umat Islam agar tidak memakan harta sesama dengan cara yang bathil, 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ وَتُدْلُوْا بِهَاۤ اِلَى الْحُـکَّامِ لِتَأْکُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَا لِ النَّا سِ بِا لْاِ ثْمِ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْۤا اَمْوَا لَـكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَا طِلِ اِلَّاۤ اَنْ تَكُوْنَ تِجَا رَةً عَنْ تَرَا ضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْۤا اَنْـفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ بِكُمْ رَحِيْمًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 29)

Demikian juga Rasulullah SAW ketika mendakwahkan Islam, beliau melarang pajak karena pungutan tersebut telah memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

إِنَّ صَاحِبَ المُكْسِ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya pemungut upeti/pajak akan masuk neraka.”(HR Ahmad 4/109)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda,

  لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ, 

“Tidak akan masuk surga pemungut Al Maks (orang yang mengambil pajak)”, (HR. Abu Daud II/147 No.2937)

Pajak menjadi terlarang karena merupakan bentuk pengambilan harta secara batil. Kendati demikian, ada kondisi yang membolehkan negara menarik pajak kepada rakyatnya yaitu ketika ada kebutuhan penting (misalnya keamanan) yang tidak mampu dipenuhi dari kas negara (Baitul Maal), sehingga pajak dikenakan secara sementara (sampai kebutuhan tersebut terpenuhi), dan hanya dipungut dari orang-orang kaya saja.

Nabi SAW bersabda,

إِنَّ فِي الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ

“Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain harta zakat.” (HR At-Tirmidzi 596)

Bukan hanya melarang pajak, bahkan kisah tentang penghapusan pajak pernah terjadi saat Amr bin Ash memimpin penaklukan Mesir. Kehadiran kaum Muslimin disambut baik oleh masyarakat Mesir. Apalagi mereka telah mendengar keadilan kaum Muslimin yang terkenal di seluruh dunia. Amr bin Ash berangkat dari Palestina, masuk ke Mesir melalui Rafah, menuju Arisy terus ke Farma, berikutnya Kairo dan Iskandariyah.

Amr bin Ash masuk Mesir dari arah barat. Dia tidak menemui pasukan Romawi kecuali setelah sampai di wilayah Farma. Adapun sebelum wilayah itu, masyarakat Mesir menyambutnya dengan ucapan selamat datang dan kegembiraan.

Sebenarnya ini ancaman bagi negeri manapun. Masyarakat yang sudah muak dengan pajak yang semakin menyulitkan dan para penguasa yang berpesta, mereka akan segera menumpahkan kesetiaannya bagi kekuatan yang membebaskan mereka dari perpajakan. Untuk itulah setelah Amr bin Ash berhasil membuka Mesir, dia resmi mengumumkan ditutupnya pajak. Dan begitulah diberlakukan di seluruh dunia kekhilafahan saat itu.

Penghapusan pajak juga terjadi pada masa pemerintahan Nuruddin Az Zenky. Nuruddin Az Zenky adalah seorang penguasa muslim yang hebat. Dia menegakkan aturan Islam di masyarakat, menjaga keutuhan negara dari berbagai serangan, baik dari sekte-sekte sesat maupun pasukan salib. Dialah yang berhasil menyatukan kembali Syam yang terkoyak karena perpecahan dan akhirnya lemah di hadapan musuh Islam. Negara menjadi tempat yang nyaman untuk beraktifitas ekonomi. Keamanan, kemakmuran, berawal dari keadilan dan jihad Nuruddin Mahmud Az Zenky. 

DR. Ali Ash Shalaby menulis buku tentang Pemerintahan Zenky yaitu

عصر الدولة الزنكية
 ونجاح المشروع الإسلامي بقيادة نور الدين محمود الشهيد في مقاومة التغلغل الباطني والغزو الصليبي

(Pemerintahan Zenky
Keberhasilan Gerakan Islam dipimpin Nuruddin Mahmud Asy Syahid menghadapi Kebatinan dan Perang Salib)

Salah satu konsep Nuruddin Az Zenky membangun keadilan, kebesaran dan kemakmuran negara adalah dengan dihilangkan semua bentuk pajak dan pungutan. Seluruh wilayahnya yakni Syam, Jazirah Arab, Mesir dan lainnya tadinya harus mengeluarkan pajak dengan besaran hingga mencapai 45%. Pengumuman resmi kenegaraan disampaikannya di seluruh wilayah, di masjid-masjid. Inilah yang dibacakan oleh Nuruddin di Mosul tahun 566 H di hadapan masyarakat:

وقد قنعنا من الأموال باليسير من الحلال، فسحقا للسحت، ومحقاً للحرام الحقيق بالمقت، وبعداً لما يبعد من رضا الرب، وقد استخرنا الله وتقربنا إليه بإسقاط كل مكس وضريبة في كل ولاية لنا بعيدة أو قريبة ومحو كل سنة سيئة شنيعة، ونفي كل مظلمة فظيعة وإحياء كل سنة حسنة .. إيثاراً للثواب الآجل على الحطام العاجل

“Kami rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu, sungguh celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Alah dan mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan dan pajak di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan semua jalan buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap sunnah (jalan) yang baik…lebih memilih balasan di kemudian hari di bandingkan kehancuran yang segera.”

Tak hanya membacakan resmi keputusan baru negara di setiap wilayahnya. Tetapi Nuruddin juga memohon kepada para khatib-khatib di masjid-masjid untuk menyampaikan permohonan maaf negara atas pungutan dan pajak yang selama ini diambil.

Pemerintahan Nuruddin Zenky selanjutnya memberikan ancaman hingga hukuman mati bagi siapapun pejabat yang masih melakukan pungutan atau pajak. Pasti kemudian muncul pertanyaan dari mana negara membiayai semua kegiatannya?

Islam mempunyai jawaban yang sangat lengkap. Sumber pemasukan negara yang ditetapkan Islam halal dan berkah. Kehalalan dan keberkahanlah yang membuat negara justru menjadi lebih banyak pemasukannya.

DR. Ali Ash Shalaby menjelaskan,

“Hasil yang lazim setelah itu, masyarakat menjadi lebih giat untuk bekerja. Para pebisnis mau mengeluarkan harta-harta mereka untuk terus berbisnis. Pungutan yang sesuai dengan syariat justru berlipat-lipat lebih banyak dibandingkan pungutan haram.”

Kemudian dia menukil kalimat Ibnu Khaldun:

“Perlakuan tidak baik terhadap harta masyarakat, akan melenyapkan harapan mereka dalam mengembangkan harta mereka. Karena mereka sadar, ujungnya uang mereka akan hilang dari tangan. Jika ini terjadi, maka mereka akan cenderung menahan diri untuk berkarya. Tergantung seberapa besar kedzaliman terhadap mereka, sebesar itulah mereka menahan diri dari pengembangan harta. Maka rugilah pasar-pasar, gedung-gedung dan rusaklah keadaan dan kedzaliman terhadap harta masyarakat, kehormatan, darah dan rahasia mereka menyebabkan keguncangan dan kerusakan sekaligus. Negara pun runtuh dengan cepat.”

Hasil baik dari penghapusan pajak yang sering tidak diduga di zaman egois seperti ini adalah peran orang-orang kaya terhadap masyarakat miskin. Terbentuklah masyarakat yang saling menanggung dan menjamin seperti yang terjadi di pemerintahan Nuruddin Zenky. Hal ini mereka lakukan karena meneladani pemimpin negara sekaligus mengharap balasan dari Allah. Sehingga bermunculanlah swadaya untuk membangun sekolah-sekolah, masjid-masjid, rumah-rumah yatim dan sebagainya.

Jadi, solusi itu memang hanya ada di Islam. Negeri tanpa pajak bukanlah wacana. Negeri tanpa pajak adalah solusi pembangunan yang benar-benar membangun.

Oleh: Achmad Mu'it
Analis Politik Islam dan Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Referensi

1. https://www.topswara.com/2020/12/sri-mulyani-tekankan-bayar-pajak-untuk.html?m=1

2. https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/22/080000369/sejarah-pajak-indonesia-dimulai-zaman-kerajaan?page=all#page2

3. https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/090000769/sumber-pendapatan-negara-dan-pengeluaran-negara?page=all

4. https://www.kompas.com/skola/read/2020/05/28/110000269/potensi-sumber-daya-alam-indonesia?page=all#page2

5. https://mediaumat.news/negeri-tanpa-pajak-hanya-islam-yang-bisa/amp/


Posting Komentar

0 Komentar