Kapitalisme Merenggut Kewarasan Ibu, Bagaimana Solusinya?



Pandemi Covid-19 sudah berjalan setahun. Per-19 Desember 2020 untuk pertama kalinya Indonesia menembus angka 100 ribu jumlah kasus aktif Virus Corona (cnnindonesia.com 19/12). Bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, Indonesia sudah jelas dalam kondisi tak terkendali. Fasilitas kesehatan yang semakin terbatas, tenaga kesehatan yang makin kelimpungan, dan masyarakat pun sudah jenuh dengan keadaan.

Namun selain masalah kesehatan yang menjadi poros utama dalam pandemi. Kita dikejutkan dengan berita seorang ibu yang tega membunuh 3 anaknya. Bahkan umur anak korban terbilang masih sangat kecil yaitu 2 tahun, 4 tahun, dan 5 tahun. Meski sang ibu sudah mencoba bunuh diri dan masih sempat dirawat, akhirnya ikut meregang nyawa. Setelah diusut sang ibu gelap mata karena himpitan ekonomi. Aksi ibu ini dilakukan saat sang suami pergi bersama anak sulung dan orang tuanya ke TPS untuk melakukan hak pilih Pilkada pada 09 Desember 2020 (viva.co.id 13/12).

Sebelum kasus ini juga, September lalu kita juga dikejutkan dengan berita Ibu menganiaya hingga tewas pada anak usia 8 tahun karena putrinya sulit memahami pelajaran saat belajar daring pada 26 Agustus 2020. Karena takut, sang orang tua mengubur anaknya cukup jauh dari rumahnya dan membuat laporan kehilangan anak. Namun akhirnya terungkap oleh warga setempat.

Masalah diatas bukan pertama maupun jadi yang terakhir jika sistem kehidupan ini masih berlangsung. Stres karena himpitan ekonomi dan stres mendampingi anak untuk PJJ tak hanya dirasakan oleh satu atau dua orang tua, namun hampir semua mengeluhkannya.

Anak telah menjadi korban dari peristiwa ini. Hal ini telah menambah sejumlah kerusakan yang terjadi karena kemiskinan dan lepasnya tanggung jawab negara sebagai pemenuh kebutuhan rakyat. Ekonomi dan Pendidikan adalah kewajiban yang seharusnya ditangani oleh penguasa. Namun disaat rakyat berharap perubahan lewat pemilu maupun pilkada, seperti sang ayah tadi, justru ia yang paling mengelus dada karena keluarga sendiri yang harus meregang nyawa. Perubahan pemimpin terus bergulir namun perubahan yang diharapkan tak kunjung memberi hasil. Apa yang salah dari kehidupan ini?

Seringkali sulit ekonomi jadi faktor dari tindak kejahatan. Namun nampaknya masalah ekonomi bukan masalah kultural karena faktor malas, tapi karena hal ini telah tersistem. Sulitnya mendapatkan pekerjaan bagi laki-laki sebagai penanggung jawab keluarga, yang seharusnya negara lah yang memberikan lapangan pekerjaan. Di sistem demokrasi-kapitalisme ini, penguasa berlepas tangan dan rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai kemampuannya. Penguasa hanya menjadi pelayan bagi korporat yang telah ‘membiayai’ dirinya menang dari pemilihan-pemilihan. Jadi benar-benar sangat mandiri. Maka wajar jika kita temui kesenjangan sosial, kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup, atau menjadi korban dari kejamnya kehidupan.

Idealnya dalam pemerintahan islam yaitu Khilafah, penguasa harus memberi kesejahteraan bagi rakyatnya. Kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain adalah kewajiban yang harus terpenuhi. Dalam islam, laki-laki adalah orang yang menanggung nafkah istri, anak-anaknya, dan siapa saja yang menjadi tanggungannya. Maka secara tak langsung, negara harus mempermudah setiap laki-laki untuk memperolah lapangan perkerjaan seluas-luasnya. Bagaimana mewujudkannya?, Khilafah sebagai negara yang berdaulat, tanpa intervensi asing mengelola SDA secara mandiri, sehingga dapat memberikan lapangan perkerjaan untuk menjadi tenaga ahli maupun terampil. Dan secara langsung negara memberi jaminan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan melalui baitul mal dengan pengaturan yang secara keseluruhan harus untuk melayani rakyat. Bukan hanya dinikmati para penguasa dan rakyat hanya menerima remah-remahnya.

Gambaran pemerintahan dalam islam bukanlah ilusi untuk menjadi impian semata. Ini adalah gambaran yang telah ada dalam syariatnya Allah swt untuk kaum muslim terapkan. Dan pernah pula diterapkan pada masa lalu selama 13 abad, dari hijrahnya Rasul saw ke madinah hingga runtuhnya tahun 1924 di turki. Maka sebagai muslim, harusnya bersatu dan tidak tercerai berai dengan terus memperjuangkan solusi islam, agar tak ada ibu lain yang menjadi korban dari kejamnya dan kerasnya hidup di sistem yang rusak ini. Wallahu’alam. []


Oleh: Niki Dwiyanti Astuti

Posting Komentar

0 Komentar