HaRiSy Gate: Eksploitasi Hukum untuk Politik dan Urgensi Penegakan Hukum Progresif




Relasi Hukum dan Politik: Mengapa Hukum Menjadi Represif? 

Hukum dan politik (kekuasaan) itu ibarat 2 sisi dari satu keping mata uang, bahkan banyak yang meyakini bahwa dalam sistem sekuler demokrasi, hukum adalah produk politik. Relasi hukum dan politik digambarkan secara apik oleh Philips Nonet dan Philip Selznick yang kemudian membagi tipologi hukum menjadi 3 macam, represif, otonom dan responsif. 

Dalam sistem politik yang otoriter tipe hukum-nya represif. Hukum di bawah kendali kekuasaan politik. Dapat pula dikatakan bahwa pada tipe kekuasaan otoriter, maka hukum diciptakan untuk melayani kekuasaan politik. Pemerintah cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi tindakannya, tidak peduli salah atau benar. Yang penting status quo-nya bertahan. Dalam hal ini aroma penegakan hukum lebih dibingkai oleh frame politik dibandingkan dengan frame hukumnya itu sendiri. Misalnya dalam hal penanganan terorisme, radikalisme, pembang-kangan sipil, hate speech penguasa dll pasti jarum pendulumnya akan condong ke politik dibandingkan ke hukum, maka yang muncul bisa: pembiaran kekerasan oleh kelompok pendukung rezim, persekusi, extrajudicial killing, pengenaan tuduhan pasal berlapis-lapis hingga terkesan "mencari-cari kesalahan", abuse of power, and brutality enforcement. 

Setelah kita memahami relasi hukum dan politik dalam pemerintahan otoritarianisme, selanjutnya kita perlu memahami penegakan hukum berkeadilan. Mungkinkah? Keadilan itu berada di laci yang berbeda dengan laci hukum. Keadilan berada di laci moral yang oleh Ulpianus dirinci menjadi kesatuan dari 3 prinsip, yaitu:

(1) Honeste vivere (to be honest in your life)
(2) Alterum non laedere (to hurt no one)
(3) Suum cuique tribuere (to give the right to others) 

Hukum dan keadilan itu tidak dalam satu laci. Bahkan secara konseptual, menurut Gustav Radbruch dengan triadisme-nya keduanya punya potensi saling tarik menarik sehingga timbul hubungan ketegangan (spanungsverhealtnis). Radbruch menegaskan bahwa "where statutory law is incompatible with justice requirement, statutaory law must be disregarded by a judge". Namun, dalam pemerintahan otoriter, hukum negara (kepastian hukum) justru diutamakan dengan mengabaikan keadilan. Hukum justru dipakai untuk melegitimasi segala tindakan pemerintah meski keliru sekalipun. 

Pelanggaran Hukum Kasus HRS: Inikah Potret Penegakan Hukum HRS nir Keadilan? 

Dalam kasus penahanan HRS apakah penegakan hukumnya berorientasi pada pencarian keadilan dan kebenaran (searching justice and the truth)? Menurut hemat penulis, jawabannya tidak! Mengapa? Karena dari sisi normatif pun ditemukan beberapa pelanggaran hukum, apalagi persoalan keadilannya.
Pelanggaran hukum dalam penangkapan HRS dimulai sejak banyak pejabat negara meneriakkan: negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum. Salah satu akibat penerapan slogan itu misalnya dalam praktik buruk  pekerjaan polisi, misalnya: 

1. Standar Tidak Jelas: Suka Suka Kami (SSK). 

Di sisi lain, hukum di masa kini terkesan tak memiliki standar yang jelas. Penegakan Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan Tersangka bahkan baru sekedar terduga. Beberapa fakta berikut menunjukkan gaya penegakan hukum yang terkesan SSK. 

(1) Dalam kasus HRS ini ada kejanggalan pasal UU yg dituduhkan. Semula dituduh dengan UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 93 (ancaman 1 th atau denda 100 juta rupiah), belakangan justru yang menjadi core nya adalah Pasal 160 KUHP terkait dengan penghasutan yang diancam dengan pidana penjara 6 tahun. Ada semacam penyelundupan pasal. Ini yang kemudian menjadi alasan polisi dapat menahan HRS khususnya dari segi objektif. Dugaaan adanya SSK yang berakibat adanya penyelundupan Pasal misalnya terungkap bahwa pada saat Lidik, tidak ada Pasal 160 KUHP, yang ada Pasal 93 Jo Pasal 9 Ayat (1) UU KK dan Pasal 216 KUHP. Dasar Lidik Lap. Informasi 15 November 2020. Locus di Petamburan. Sedangkan pada Sidik, didasarkan LP tgl 25 Nov 2020 dan Sprindik tgl. 25 Nov 2020. SPDP tgl. 25 Nov 2020 pasal yang disangkakan, Pasal 160 KUHP, Pasal 93 UU KK dan 216 KUHP. Locus Petamburan dan Tebet Utara. 

(2) Penahanan dilakukan sebelum pemeriksaan pada aspek substansi delik 

Imam Besar HRS  datang memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Namun seperti telah diduga sebelumnya, HRS langsung ditahan, padahal, menurut Sekretaris Umum FPI Munarman, pertanyaan hari itu belum masuk ke substansi. Dengan dalil tuduhan delik apa seseorang ditahan? Selain SSK hal ini juga bertentangan dengan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. 

(3) Prediksi penangguhan penahanan dengan jaminan.
Ada fakta bahwa telah ada beberapa tokoh (Aboe Bakar Al Habsy dan Fadli Zon--keduanya anggota DPRRI) dan juga Amien Rais yang bersedia menjamin penangguhan penahanan HRS. Indikasi adanya perlakuan yang suka-suka terhadap hak tersangka meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin,  jika nanti upaya penangguhan penahanan ditolak oleh penyidik. Jika semua pihak, termasuk polisi bertindak sesuka hati, maka hal itu sama saja menghilangkan fungsi negara. Sebab, negara hadir untuk memberi batasan-batasan agar setiap hak warga negara terpenuhi. 

(4) Belakangan juga muncul protes Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kepada Polisi untuk tidak berlaku SSK dalam memeriksa pejabat yang terlibat pelanggaran prokes tanggal 10 Desember 2020 di Bandara Soeta dan berikutnya. Ia meminta polisi juga memeriksa penyebab kerumunan di Bandara yaitu pernyataan Menkopolhukam yang mengizinkan para pendukung HRS untuk menjemput kepulangannya di Bandara hingga Petamburan. Menkopolhukam seharusnya juga dimintai pertanggungjawabannya. Ridwan Kamil juga memprotes mengapa Gubernur Banten tidak diperiksa memgingat Bandara berada di wilayah Tangerang Banten. Jika proses hukum tidak dikenakan kepada Menkopolhukam dan Gubernur Banten, apakah itu bukan SSK namanya? 

2. Diskresi Cenderung Diskriminatif.

APH mempunyai hak untuk to do or not to do, ada diskresi dalam kerangka menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yang adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak maka yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya: 

(1) Penegakan hukum tebang pilih (kasus kerumunan (HRS (DKI: AGAMA) vs Gibran (SOLO: PILKADA)).
(2) Kriminalisasi Ulama  vs pembiaran para buzzer pendukung rezim (Abu Janda dkk).
(3) Abuse of power Pencabutan baliho Foto HRS FPI oleh TNI, Tidak sesuai dengan Tupoksi TNI, dugaan abuse of power polisi menguntit rombongan HRS hingga membunuh 6 laskar FPI. 

3. Pemerintah tidak mematuhi putusan MK. 

Setidaknya ada 2 putusan MK yang ditabrak oleh Pemerintah, c.q. kepolisian dalam penetapan tersangka dan penahanan HRS, yaitu: 

(1) Ketika MK sudah mengubah jenis delik Pasal 160 KUHP dari delik formil ke delik materiil, mengapa dalam menangani kasus IB Harisy Pemerintah, c.q. Kepolisian tidak mematuhi Putusan MK No. 7/PUU-VII/2009 tersebut? Jadi Pemerintah sendiri sdh berbuat sewenang-wenang dalam penegakan hukum, istilahnya SSK. Mengapa Pasal 160 KUHP dijadikan core tuduhan? Karena terkesan hasrat mengandangkan HRS begitu kuat! 

Penahanan IB HRS dengan tuduhan melakukan tindakan pidana terkait penghasutan yang merupakan delik materiil patut diduga bahwa pemerintah c.q. kepolisian bertindak tidak patuh terhadap putusan MK No. 7/PUU-VII/2009. Dan sayangnya hingga saat ini, tidak ada sanksi yuridis yang dapat diberikan ketika lembaga adresat putusan MK membangkang amar putusan tersebut. 

(2). Penetapan Tersangka tanpa pemeriksaan terhadap HRS. Polisi tidak mematuhi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Putusan MK itu menegaskan bahwa Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya. 

Ketiga hal tersebut saja sudah mampu membuat tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini  yang sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Dengan demikian, sebenarnya industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri. 

Kasus HRS: Adakah Eksploitasi Hukum Untuk Politik? 

Adanya statemen bahwa telah terjadi eksploitasi hukum untuk kepentingan politik saya pikir tidak berlebihan. Apalagi kalau dihubungkan dengan slogan: Negara Tidak Boleh Kalah dan Aparat dilindungi hukum, rakyat tidak boleh sewenang-wenang. Ini slogan yang terbalik jika penerapannya keliru. Bukankah sering juga pejabat mengutip kata-kata Cicero bahwa "salus populi suprema lex esto"? 

Dalam sistem pemerintahan yang otoritarianime, hukum akan dieksploitasi untuk kepentingan politik. Akibatnya penegakan hukum hanya berorientasi  pada upaya penyelamatan kekuasaan rezim dan semakin jauh dari keadilan. Dalam kasus HRS pun rezim terkesan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan sebagaimana kritik Macheavelli dalam Il Prince. 

Eksploitasi hukum untuk kepentingan politik juga dapat diendus dari adanya kemungkinan bahwa "nafsu pengandangan" HRS ini sebagai aksi balas dendam kekalahan politik dan hukum pada waktu pilkada DKI. Dari sisi politik kekalahan Ahok di pilkada DKI merupakan pukulan telak bagi para "oligark" yang berakibat timbulnya kerugian imvestasi mereka di Jakarta, misalnya reklamasi pantai untuk pembangunan apartemen dll karena kebijakan Gubernur Anies  tidak mendukung program tersebut. Tidak berhenti di situ, akibat tindak pidana penistaan agama oleh Ahok, Ahok juga harus mendekam di penjara dalam waktu sekitar 2 tahun. Kedua kekalahan tersebut banyak dipengaruhi oleh kiprah HRS dan sebagian umat Islam lainnya. Jadi, pengandangan HRS ini patut diduga karena adanya dendam politik dengan meminjam hukum sebagai alatnya menggebuk HRS, bukan? 

Ketika semangat "mengandangkan" HRS menuntun proses penegakan hukum yang represif dengan segala kejumawaan rezim, maka saya prediksikan upaya Praperadilan akan ditolak, dan pemeriksaan atas HRS di Pengadilan akan dilaksanakan dan diputus bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara. Itu prediksi saya. Semoga keliru! 

Mencari Jalan Keluar: Hukum Progresif

Dalam kasus HRS boleh jadi kebijakan tidak menegakkan hukum diterapkan dengan alasan, pertama, hukum tidak ramah dengan kehidupan sosial atau bahkan atmosfer sosial. Kedua, hukum tidak jelas, tidak pasti (tidak jelas (lex certa), tidak rinci dan ketat (lex stricta). Ketiga, ada kekosongan hukum dan keempat, ada kegentingan yang memaksa (force majeur), 

Saya menilai perlu melakukan penegakan hukum secara progresif agar keadilan dan sosial welfare itu dapat diwujudkan. Cara berhukum progresif lebih mengutamakan keadilan substantif sehingga lebih condong pada mission oriented  dibandingkan dengan procedure oriented. Cara berhukum yang demikian harus disertai dengan karakter khusus dalam penegakan hukum, yaitu rule breaking. 

Ada 3 karakter rule breaking yaitu  pertama,  penggunaan spiritual  quotion (berupa  kreativitas) untuk tidak terbelenggu (not rule bounded) pada aturan ketika peraturan hukum itu ditegakkan justru timbul ketidakadilan. Kedua, penafsiran hukumnyang lebih dalam, bukan hanya gramatikal yang sangat dangkal. Dan ketiga, penegakan hukum tidak hanya menggunakan logika saja tetapi juga rasa kepedulian dan keterlibatan kepada kelompok rentan (vulnerable people). Bahkan dalam pidato pengukuhan guru besar 4 Agustus 2010 saya berani  ajukan sebuah model kebijakan yang disebut policy of non enforcement of law kebijakan tidak menegakkan hukum demi pemuliaan keadilan substantif. Penegakan hukum secara progresif mengisyaratkan agar kasus HRS di-PETI ES-kan saja atau dalam bahasa hukum kasus dihentikan demi hukum (SP3) dan dengan demikian HRS dibebaskan dari tahanan.

Terkait dengan kasus lain yang tidak dapat dipisahkan dengan kasus HRS pribadi, maka pembunuhan atas 6 anggota laskar FPI harus diusut tuntas. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mutlak dibentuk untuk memastikan bahwa penanganan kasus ini transparan, akuntabel, jujur, adil dan berdasarkan kebenaran. Ketika sudah ditemukan fakta yang meyakinkan maka perkara bisa segera diselesaikan melalui Pengadilan ad hoc HAM sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM (dalam negeri) atau jika memungkinkan dan memenuhi persyaratan dapat dibawa ke Pengadilan HAM Internasional. Tabik..!!!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
Semarang, Jumat: 18 Desember 2020

Posting Komentar

0 Komentar