Ancaman Disintegrasi Papua: Mengapa Negara Tak Berdaya Menghadapi Kelompok Separatis dan Korporat Dunia?


Ancaman disintegrasi di Papua masih menjadi masalah utama bagi bangsa ini. Dilansir dari detiknews, Kamis (03/12/2020), Organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mendeklarasikan pembentukan pemerintahan sementara Papua Barat Merdeka dengan presiden Benny Wenda. Pengumuman Benny Wenda sebagai presiden dilakukan di akun Twitter miliknya pada Selasa (1/12/2020). Pengumuman sepihak ini dilakukan bersamaan dengan tanggal yang diklaim sebagai hari kemerdekaan Papua Barat oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam cuitannya di akun twitternya, Benny Wenda menulis, “Today, we announce the formation of our Provisional Government of #WestPapua. From today, December 1, 2020, we begin implementing our own constitution and reclaiming our sovereign land.”

Benny Wenda adalah seorang warga Papua yang mendapatkan suaka dari Inggris pada tahun 2003 setelah melarikan diri dari penjara. Sebelumnya ia ditahan atas tuduhan penyerangan Markas Polsek Abepura pada 7 Desember 2000. Ia mengklaim dirinya saat kecil hidup dipenuhi dengan kekerasaan dari para tentara, pun juga mengaku sering mendapatkan perlakuan rasis. ULMWP dibentuk bersama rekan-rekannya pada 8 Desember 2014.

Deklarasi ini dianggap tak berarti oleh Menko Polhukam Mahud Md, dilansir dari Topswara, Sabtu (5/12/2020), menurutnya pimpinan ULMWP Benny Wenda ini hanya sedang membangun negara ilusi. Mahfud mengimbau masyarakat tidak khawatir, apalagi karena deklarasi pemerintahan sementara Papua Barat dilakukan Benny Wenda melalui Twitter. Itu juga yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah menyebut Benny Wenda sedang membangun negara ilusi.

Jika melihat lebih dalam, disintegrasi ini muncul dipicu atas kegagalan negara memberikan keadilan, kesejahteraan dan mewujudkan keutuhan wilayah. Papua dengan kekayaan alamnya yang melimpah, namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan untuk masyarakat sekitar. Lalu, apakah disintegrasi dapat memberikan jaminan kesejahteraan yang diimpikan masyarakat Papua?

Dan mengapa malah dunia internasional yang lebih nyaring menyuarakan kemerdekaan Papua? Berbagai negara berkepentingan banyak memberi dukungan berlepasnya Papua dari Indonesia. Tentunya ini bukan sinyal dukungan tanpa imbalan, itu terlalu naif. Ini sangat berbahaya, bila masalah disintegrasi Papua yang digaungkan kelompok separatis tak kunjung ditumpas habis hingga akarnya. Korporat dunia dengan kepentingannya untuk menguasai Papua, dengan bersembunyi di belakang mereka akan terus memainkan perannya. Watak dasar para korporat yang akan selalu haus menguasai kekayaan negara-negara kaya, mereka tidak akan berhenti karena didukung oleh sistem kapitalistik saat ini.


Hilangnya Kesejahteraan, Keadilan dan Kedaulatan Menjadi Pemicu Utama Munculnya Disintegrasi di Papua 

Papua masuk menjadi wilayah Indonesia pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat (Pepera). Saat itu masih bernama Irian Barat yang berada dalam kekuasaan kerajaan Belanda. Tentunya dapat dilihat, keinginan rakyat Papua saat itu untuk bergabung ke negara kesatuan Republik Indonesia adalah ada rasa ingin memperoleh kesejahteraan yang mereka idamkan, daripada ketika berada dalam penjajahan Belanda.

Namun, meskipun setelah referendum Papua diakui lembaga internasional dan Papua resmi masuk wilayah Indonesia, pada kenyataannya Papua belum sepenuhnya dalam genggaman Indonesia. Persoalan disintegrasi masih terus bergulir dari tahun ke tahun, tanpa pernah tuntas terselesaikan dan terus menjadi masalah utama yang mengancam Papua. Melihat dari berbagai sumber, yang menjadi pemicu terus bertahannya disintegrasi Papua ini diantaranya:

Pertama, masalah pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat Papua dengan baik, tidak adanya pendidikan dan kesehatan yang layak adalah salah satu pemicu utamanya. Meskipun, dikutip dari okezone.com, Selasa (1/12/2020), Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengklaim bahwa Jokowi telah melakukan pendekatan kesejahteraan. Ia membuktikan dengan adanya pembangunan infrastruktur-infrastruktur.

Seharusnya pemerintah menyadari betul, bahwa pemenuhan kesejahteraan tidak bertumpu pada pembangunan berbagai macam infrastruktur-infrastruktur. Rakyat lebih butuh terpenuhinya kebutuhan dasar mereka, sandang pangan dan papan, mereka ingin hidup layak, terpenuhi pendidikan dan kesehatan mereka.

Kedua, ada aspek ketidakadilan. Adanya tragedi berdarah yang menghilangkan banyak nyawa yang belum tuntas dan masih menghantui warga Papua. Dan ini juga menjadi salah satu penyebab inginnya masyarakat Papua memisahkan diri dari Indonesia. Konflik berdarah di Papua terus terjadi dari tahun ke tahun, tragedi terbesar yang pada akhirnya ditetapkan sebagai bencana nasional adalah konflik di Nduga yang menewaskan 182 orang. Bahkan, warga Nduga yang mengungsi ada yang menolak bantuan pemerintah.

Ketiga, negara tidak berdaulat, hilangnya wibawa pemerintah di kancah internasional. Hal ini akibat adanya rongrongan korporat dunia. Disadari atau pun tidak, kekayaan alam Papua yang berlimpah telah menarik banyak negara-negara asing berebut Papua. Sistem kapitalistik menghalalkan suatu negara secara halus menguasai negara lain berbalut kerjasama, melalui jalan investasi.

Saat ini, dapat dilihat ada Amerika dengan freeportnya yang telah menguasai tambang emas Papua lebih dari satu dekade. Ada Korea Selatan melalui perusahaan besar PT Korindo Group, menguasai hutan Papua yang kemudian dijadikan perkebunan sawit. Bahkan telah terjadi tragedi kebakaran hutan yang sangat besar, namun sepi pemberitaan. Dilansir dari bbc.com, Kamis (12/11/2020), sebuah investigasi visual yang dirilis pada Kamis (12/11) menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan diduga "secara sengaja" menggunakan api untuk membuka lahan Papua demi memperluas lahan sawit. Bahkan, dalam pelepasan hutan adat ini, warga lokal hanya mendapat ganti rugi seratus ribu rupiah per hektarenya.

Memang nyata, ada kepentingan para korporasi besar dunia di Papua. Terbukti, ULMWP yaitu lembaga yang melakukan deklarasi, secara legal telah diakui oleh 40 negara. Lembaga ini banyak mendapat dukungan penuh berbagai negara besar dengan kepentingannya masing-masing. Rongrongan negara-negara asing dengan berbagai kepentingannya, menjadi pendukung dibalik disintegrasi Papua. Sedangkan negara tak berdaya dihadapan kancah dunia, untuk berdiri kokoh melindungi wilayahnya. 

Bahkan, upaya pemerintah mengajukan ke lembaga internasional untuk menjadikan kelompok-kelompok separatis di Papua sebagai organisasi teroris belum menemukan hasil. Lembaga dunia belum menetapkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah menghilangkan banyak nyawa menjadi kelompok separatis teroris dan dijadikan musuh bersama dunia. Itulah mengapa pemerintah hanya bisa menyebut mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Ini sebuah kewajaran karena adanya kepentingan para korporat dunia bermain-main melalui tangan mereka, hingga isu-isu disintegrasi tidak pernah bisa padam di tanah Papua. Isu rasisme juga menjadi isu yang paling sering dimainkan untuk menyulut tuntutan disintegrasi. Dan pemerintah tidak pernah mampu menyelesaikan persoalan ini. 


Disintegrasi Bukan Solusi Terwujudnya Keadilan dan Kesejahteraan bagi Masyarakat Papua

Harapan masyarakat Papua untuk dapat memperoleh kesejahteraan dan keadilan ketika berlepas diri dari negara Indonesia mungkinkah dapat terwujud nyata? Perlu kiranya saudara kita ini menoleh atau berkaca pada Timor Timur. Begitu juga pemerintah Indonesia, harus berupaya maksimal agar Papua tidak terlepas dari kesatuan negara Indonesia, sebagaimana yang pernah terjadi atas Timor Timur. Jadi sudah seharusnya disintegrasi Papua ini menjadi perhatian utama dan pertama untuk benar-benar diselesaikan.

Berkaca dari kasus Timor Timur, dampak pertama dan utama jika Papua benar-benar merdeka adalah mereka akan terjatuh pada negara-negara besar dunia yang siap menangkap dan mencengkeram mereka. Kekayaan alam Papua yang berlimpah masih menjadi tujuan utama para korporat dunia untuk mereka kuasai.

Mereka para korporat dunia, memainkan peran melalui media-media yang tiada henti terus memberitakan isu-isu disintegrasi Papua dalam setiap momen tertentu. Bahkan, isu-isu rasisme yang menimpa masyarakat Papua menjadi isu terbesar yang dapat mereka godok untuk memicu agar terus berkembang narasi pemisahan diri di masyarakat Papua.

Pada Agustus lalu, dilansir dari cnnindonesia, ratusan mahasiswa asal Papua dari Malang dan Surabaya, Jawa Timur, Selasa (18/8) mengelar aksi memperingati peristiwa rasialisme yang menimpa mereka setahun yang lalu. Para mahasiswa membentangkan poster bertuliskan 'Memperingati 1 tahun Hari Lera, Kejadian Rasis' dan 'Hentikan diskriminasi rasialisme terhadap rakyat Papua'.

Masih tentang rasialisme Papua, media bbc.com, Jumat (12/6/2020) melalui momen demonstrasi antirasisme, menyusul kematian George Floyd di Amerika Serikat, bbc secara khusus memberitakan suara mahasiswa-mahasiswa Papua yang belajar di luar negeri yang juga pernah menghadapi cercaan dan tindakan rasis, baik di Indonesia atau pun di tempat mereka menempuh studi.

Bahkan, rasisme yang menimpa mahasiswa asal Papua di surabaya diangkat di sidang PBB pada Juni lalu. Dilansir dari voaindonesia (7/6/2020), Amnesty International Indonesia akan mengangkat berbagai pelanggaran HAM dan rasisme. Selama ini hukum di Indonesia dianggap terlalu tebng pilih dan terlalu tajam kepada masyarakat Papua.

Isu-isu rasialisme ini akan terus dimainkan dan menjadi bahan bakar yang mudah disulut, ketika pemerintah Indonesia belum juga mampu menyelesaikan persoalan utama yang ada di Papua. Pemerintah sudah seharusnya menyeleaaikan akar permasalahannya agar teriakan-teriakan disintegrasi Papua tidak terus menjadi godokan-godokan para korporat dunia melalui media-media yang mereka suarakan disetiap tahunnya melalu momen peringatan-peringatan yang dilakukan kelompok-kelompok separatis teroris yang terus menggaungkan deklarasi kemerdekaan mereka.

Sedangkan, dampak disintegrasi Papua ini bagi pemerintah Indonesia, akan menjadi momen terpecahnya kembali bagian dari wilayah kesatuan Republik Indonesia. Menjadi bukti lemahnya pemerintah mempertahankan kesatuan wilayah negaranya. Jadi, sudah semestinya pemerintah jarus lebih tegas lagi menghadapi ancaman besar disintegrasi ini.

Jadi, pihak yang akan benar-benar diuntungkan dari persoalan disintegrasi Papua adalah para korporat dunia itu sendiri. Negara-negara asing yang mengincar wilayah Papua akan siap dan sigap menangkap dan lebih dalam lagi mencengkeram Papua.


Islam Mampu Memberi Keadilan, Kesejahteraan dan Berkedaulatan Menjaga Keutuhan Wilayah Negara

Lalu bagaimanakah menyelesaikan persoalan Papua ini? Hal pertama yang harus dilakukan dalam menyelesaikan persoalan Papua ini adalah menyentuh akar persoalannya. Solusi Islam adalah pilihan satu-satunya yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan yang menimpa Papua. Solusi ini tidak bisa diberikan oleh sistem kapitalistik yang sedang bercokol saat ini.

Berikut bagaimana Islam menyelesaikan persoalan yang menjadi tuntutan masyarakat Papua, hingga dapat dijamin masalah disintegrasi yang terus bergulir tanpa henti ini dapat terselesaikan:

Pertama, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Papua, sandang pangan papan, termasuk juga kesehatan dan pendidikan.

Ketika adanya tambang emas terbesar berada di Papua tapi masyarakat tidak merasakan sejahtera. Kemudian muncul suara-suara internasional yang menyuarakan kemerdekaan (freedom), maka sangat besar kemungkinan akan tersulut. Dengan sedikit persoalan tersulut, contohnya rasialisme, maka mereka secara reflek akan menggaungkan keinginan kemerdekaan Papua.

Maka, inilah bukti ketika kekayaan alam yang berlimpah tidak diatur sesuai dengan aturan Allah. Berbagai tambang atau pun padang rumput (hutan) adalah kepemilikan umum, yang bahkan negara tidak berhak memilikinya, apalagi saat ini diserahkan untuk dikuasai korporat asing.

Sudah seharusnya keberlimpahan kekayaan Papua ini dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat Papua khususnya. Dan ini hanya bisa dilakukan ketika negara diatur dengan politik Islam. Ketika masyarakat terpenuhi kebutuhan dasarnya, tidak akan ada celah bagi negara asing untuk menyulut mereka agar berlepas dari kesatuan negara Indonesia.

Kedua, memberlakukan hukum yang adil dan menuntaskan segala konflik yang terjadi di Papua.

Persoalan keadilan ini bukan hamya PR besar di tanah Papua, namun juga di seluruh Indonesia. Keadilan seakan sudah menjadi hal langka dalam sistem demokrasi-kapitalisme saat ini. Solusi ini hanya ada dalam Islam, karena hanya Islam yang mampu memberikan hukum yang adil bagi umat manusia, hukum yang dibuat langsung oleh Sang Pencipta manusia. Hukum dalam Islam tidak berpihak kepada penguasa, yang tajam kepada lawan namun tumpul kepada kawan. Hukum dalam Islam bersumber dari Al-Quran dan Hadist yang haris diterapkan pada siapa pun yang melanggar tanpa pandang bulu.

Ketiga, negara harus memiliki wibawa di hadapan dunia.

Ini berarti negara harus berdaulat, harus mandiri dari segala macam bentuk intervensi asing. Dan ini juga hanya bisa dilakukan ketika menerapkan politik Islam. Dalam sistem kapitalistik saat ini, ancaman negara asing berbalut manis melalui kerjasama dalam bentuk investasi-investasi yang digelontorkan kepada pemerintah Indonesia. Melalui kerjasama investasi ini, mereka memberikan berbagai macam prasyarat yang harus dipenuhi.

Dalam politik Islam ini tidak akan terjadi, negara hanya akan bekerjasama dengan negara-negara yang murni mengajak bekerjasama. Dan tidak akan berlaku sama dengan negara-negara yang akan mengancam kedaulatan negaranya.

Sedangkan dalam mengatasi isu rasialisme, ini bukan hal baru dalam Islam. Terbukti selama lebih dari 13 abad, Islam mampu menyatukan 2/3 dunia, yang tentunya di dalamnya terdapat ribuan ras atau suku. Ini lebih kecil dibandingkan ratusan suku yang ada di Indonesia, tentu ini hal yang mudah bagi pemerintah dalam sistem Islam. Negara-negara asing tidak akan mampu memainkan isu rasialisme untuk merongrong masyarakat Papua.

Bahkan, sejarah mencatat wilayah Papua pernah masuk dalam kesatuan kesultanan-kesultanan yang tersebar di seluruh Nusantara, Kesultanan Fakfak menjadi bukti bahwa Papua pernah dapat disatukan dalam satu ikatan akidah. Islam dapat mengayomi seluruh warganegaranya, baik muslim atau pun non muslim, meskipun berbeda ras suku mau pun bahasa sekalipun. Ini tidak dapat disangkal, sejarah telah membuktikannya. Islam mampu menjaga keutuhan seluruh wilayahnya. Kita hanya perlu berani untuk mengambil perubahan besar, berani mengambil solusi hakiki yang benar-benar dapat menyelesaikan persoalan hingga menyentuh akarnya. 

Penutup

Disintegrasi Papua masih terus manjadi masalah utama yang tidak kunjung bisa diselesaikan pemerinta. Pemicu utama permasalahan ini, pertama, belum terpenuhinya kesejahteraan masyarakat Papua. Kedua, adanya ketidakadilan yang masih menghantui masyarakat Papua yang tidak kunjung selesai. Ketiga, hilangnya wibawa pemerintah di kancah internasional akibat kedaulatan yang tergadai atas nama investasi. Melalui investasi, para korporat dunia memainkan perannya demi terus mencengkeram kekayaan alam bumi Papua.

Banyaknya negara-negara dunia yang berkepentingan atas keberlimpahannya kekayaan alam Papua, dapat dipastikan dampak diintegrasi Papua tidak akan jauh berbeda merubah keadaan masyarakat Papua. Kemungkinan terburuk, Papua akan semakin jatuh lebih dalam lagi dari keadaan saat ini, jatuh dalam cengkeraman korporat dunia. Sedangkan bagi pemerintah Indonesia akan berdampak pada kembali terpecah dan hilangnya bagian wilayahnya, menjadi bukti ketidakmampuannya menjaga keutuhan wilayah negaranya.

Islam menjadi solusi satu-satunya atas seruan diaintegrasi Papua, hanya Islam yang sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan masyarakat Papua, pertama, Islam mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Papua, sandang pangan papan, termasuk juga kesehatan dan pendidikan. Kedua, Islam dapat memberikan hukum yang adil dan menuntaskan segala konflik yang terjadi di Papua. Ketiga, Islam dapat seutuhnya menjadi negara yang berdaulat dan memiliki wibawa di hadapan dunia. Bahkan, isu rasialisme bukan hal yang sulit, Islam terbukti mampu menyatukan ribuan ras dan suku lintas benua, menjamin kesatuan wilayahnya. Jadi, solusinya beranikah melakukan perubahan besar, menjadikan politik Islam yang akan mengatur seluruh sendi kehidupan, menerapkan Islam secara kaffah?


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Analis Mutiara Umat dan Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Sayangnya Islam bukan agama mayoritas orang Papua, sehingga menggunakan Islam sebagai solusi dis-integrasi sangatlah mustahil, bahkan bisa memancing isu SARA disana.

    BalasHapus