Adakah Pemberian yang Tulus: Sandera Gratifikasi dalam Perspektif Legal Pluralisme dan Islam




Lagi, publik dihebohkan dengan kasus korupsi yang menyeret oknum aparatur negara. Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka, atas kasus dugaan penerimaan hadiah (GRATIFIKASI) atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Diperoleh keterangan lanjutan bahwa KPK menetapkan total tujuh orang tersangka dalam kasus ini. Adapun EP(Edhy Prabowo) yakni sebagai penerima. Demikian dikatakan oleh Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, (kompas.com rabu 25/11/2020 pukul 23.45 WIB.

Dalam iklim kehidupan saat ini, gratifikasi atau giving, itu sebenarnya perkara yang lumrah atau dalam arti perkara yang lazim terjadi di tengah masyarakat. Bahkan, di zaman kerajaan-kerajaan dahulu, gratifikasi bukanlah suatu pelanggaran hukum. Praktik memberi hadiah ataupun upeti kepada raja atau pejabat, serta bentuk pemberian lainnya merupakan bagian dari tradisi yang lazim dipraktikkan dan dianggap sebagai bagian dari tatakrama sosial.

Artinya memberi hadiah atau upeti kepada raja adalah hal yang biasa saja, bukanlah suatu perbuatan terlarang. Namun, pemahaman tentang gratifikasi kini menjadi lain ketika dimasukkan ke dalam bingkai aturan hukum positif yang bercorak normatif legalistis, ketika praktik-praktik seperti itu bertabrakan dengan aturan-aturan hukum yang melarang, bahkan dapat memidanakan pemberi dan penerima. Lalu apakah sesungguhnya arti dari gratifikasi itu? Bagaimana gratifikasi dalam perspektif pemberantasan korupsi di Indonesia maupun pandangannya dalam perspektif Islam?
 

Hakikat Gratifikasi dan larangannya

Apa sesungguhnya makna dari gratifikasi itu? Secara harfiah, gratifikasi dapat diartikan sebagai sebuah pemberian, pemberian hadiah (giving). Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang tambahan (fee), hadiah uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi adalah permasalahan mengenai tindakan memberi, dan menerima. Kedua hal ini, baik memberi maupun menerima sesungguhnya tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan satu sama lain. Jacques Derrida, seorang filosof Perancis dalam salah satu renungan studi antropofilosofisnya menyatakan bahwa tindakan memberi adalah tidak mungkin dipisahkan dari ekonomi dalam artian luas. Satu dimensi lain yang mengikuti dari tindakan memberi dari ekonomi adalah dimensi temporal atau waktu.

Pemberian yang tulus, menurut Derrida, adalah the impossible, sesuatu yang tak mungkin karena memberi dalam artian yang sesungguhnya adalah tanpa meminta kembali, sebuah relasi asimetris yang satu arah. Tindakan memberi tidak dapat lepas dari ekonomi karena selalu menuntut timbal balik, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu melalui penyanderaan atas waktu, bahwa tindakan ini akan dibalas dilain waktu yang kemudian terus berputar secara bergantian, karena memberi adalah berarti memberi waktu. Dimensi temporalitas ini, dalam artiannya yang unconditional, adalah bahwa memberi adalah sekaligus melupakan karena dengan melupakan berarti lepas dari penyanderaan atas waktu. Posisi Derrida sendiri adalah untuk mendekonstruksi Marce Mauss, seorang antropolog, dalam bukunya The Gift yang berangkat dari studi pada masyarkat melanesia-polynesia.

Menurut Mauss, tindakan memberi adalah tindakan yang setara untuk saling memberi, bahkan memberi sebanyak yang seorang miliki, karena dengan memberi, dia tengah menanti untuk mendapatkan segala. Sistem pertukaran ini disebut sebagai Potlatch. Pada konteks tulisan ini, sesungguhnya keduanya sama saja. Baik Derrida maupun Mauss adalah sama-sama berbicara mengenai pertukaran. Bagi Mauss, sistem Potlatch adalah sistem pemberian. Sementara Derrida membagi antara conditional dan unconditional dalam tindakan memberi, dan menyatakan bahwa Potlatch tidak ubahnya sistem pertukaran biasa. Maka dapat dilihat keduanya memberi makna yang sama dengan perbedaan pada sisi definisi memberi, tapi keduanya bersepakat soal adanya kohesi sosial dari tindakan memberi menerima tersebut.

Tindakan memberi dan menerima tersebut sesungguhnya ada pada masyarakat kita. Pada prinsip ibadah keagamaan misalnya, seseorang berbuat baik atau taat dengan hadiah berupa ganjaran surga. Kemudian asas dasar etika klasik imperative juga memerintahkan agar berbuat sebagaimana kamu diperbuat orang lain juga mengandaikan adanya tindakan memberi dan menerima. Pada kasus yang lebih sederhana, hubungan memberi-menerima dengan penyanderaan waktu dapat dilihat dalam tradisi sunatan maupun tradisi ngantenan, dimana pengunjung/tamu akan memberikan sejumlah uang dalam amplop yang dinamai.

Penamaan amplop tersebut tidak hanya bertujuan sebagai tanda presensi kasih sayang, namun sekaligus juga penantian akan pembalasan yang serupa. Arisan dan pengajian juga demikian adanya, penyelenggara acara memberikan jamuan, untuk kemudian berganti dijamu pada kesempatan lain.

Penyelenggara acara biasanya akan mencatat nama dan jumlah pemberianya, serta akan melakukan hal serupa, menyumbang bila rekannya mengadakan hajat. Transaksi tersebut adalah bentuk kohesi sosial dari tindakan memberi-menerima, dengan saling menyandera kebaikan. Berdasar pemahaman yang telah dipaparkan di muka, memberi sekaligus menerima adalah sebuah transaksi kepentingan, dan selalu merupakan –mengikuti Derrida- relasi ekonomi dalam artiannya yang luas. Prinsip ini menunjukkan bahwa memang betul bahwa tindakan memberi-menerima adalah bukan merupakan suatu kejahatan, namun dalam hal penyanderaan kepentingan yang bukan lagi perkara saling membalas pada konteks dimana tanggung jawab sebagai pelayan orang banyak dan mendapatkan upah dari pajak orang yang dilayani, maka memang tepat adanya pemisahan dimana pemberian tidak boleh dilakukan sepanjang ada kaitanya dengan penyelenggaraan negara. 

Pertanyaan kemudian adalah, dapatkah diberikan suatu distingsi yang tegas antara seseorang sebagai pribadi dan penyelenggara negara? Apabila berada dalam satu tubuh yang sama. Bahkan pemberian dari orang lain, misalkan keluarga derajat pertama, yang dalam surat himbauan KPK dinyatakan tidak perlu dilaporkan, apakah keluarga tersebut dapat dipisahkan sama sekali dari status sebagai rakyat yang dilayani, yang memiliki hak yang sama dengan yang lain? Pertanyaan ini adalah pertanyaan mendesak dalam persoalan gratifikasi yang melibatkan kembali dimensi etis. Tugas KPK dengan demikian adalah memilah apakah gratifikasi yang bersangkutan adalah pribadi, atau dalam rangka sistem potlatch dengan para kelompok penjahat. 

Persoalan semakin menjadi pelik ketika gratifikasi yang semula merupakan hal yang biasa akhirnya menjadi permasalahan hukum, khususnya ketika terjadinya penyelewengan kekuasaan melalui praktik gratifikasi yang memanfaatkan kekuasaan atau kedudukan untuk sebuah kepentingan pribadi, yang dilakukan oleh aparatur atau pejabat penyelenggara negara. Sebagaimana tertera dalam UU 20/2001 jo UU 31/1999, UU mengategorikan ada 33 jenis tindakan korupsi yang dapat dibagi dalam tujuh kelompok yaitu: (1) Korupsi yang merugikan keuangan negara; (2) yang terkait dengan suap-menyuap; (3) penggelapan dalam jabatan; (4) pemerasan; (5) perbuatan curang; (6) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan (7) yang berkaitan dengan gratifikasi. 

Jadi secara kasat mata dapat kita lihat bahwa dalam hal ini sejatinya adanya norma hukum negara yang bertujuan untuk menciptakan sistem —termasuk ingin melahirkan aparatur penyelenggaraan negara— yang bersih dan berintegritas agar berwibawa. Di lain sisi norma hukum tersebut diberlakukan di dalam masyarakat yang masih belum siap untuk menerima kenyataan bahwa haknya untuk tetap menegakkan tatakrama memberi-menerima itu haruslah ada dalam koridor dan pada rambu-rambunya.

Oleh sebab itu maka diperlukan legal communication secara masif dan intensif untuk menyadarkan masyarakat tentang rambu-rambu yang mesti ditaati, agar dalam berinteraksi dengan aparatur atau pejabat penyelenggara negara tidak terjebak dalam jerat-jerat hukum yang bisa menyengsarakan, seperti halnya melalui kasus gratifikasi ini. Legal communication perlu agar menjadi bagian dari legal education secara masif kepada masyarakat agar ketaatan hukum akan didasari oleh kesadaran tentang manfaat serta pentingnya berhukum secara benar.

Kita mesti sampai ke suatu level ketika ada seseorang yang menaati hukum, itu semata karena ia merasa bangga bahwa mereka sedang taat menjalankan aturan yang mereka ciptakan sendiri melalui wakil-wakilnya di lembaga-lembaga legislatif----kita menyebutnya "legitimate". Maka ketika seseorang akan memberikan gratifikasi kepada seorang pejabat penyelenggara negara, misalnya, hati nuraninya akan menegurnya untuk tidak melakukan hal itu, sebab praktik demikian akan mencoreng kebanggaannya itu.


Perspektif Legal Pluralisme terhadap Penanganan Gratifikasi di Indonesia

Untuk sampai ke level yang ideal sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, diperlukan upaya besar dari semua pihak untuk menempatkan hukum ke dalam bingkai yang lebih besar dari sekadar aturan-aturan yang kaku dan tekstual-normatif. Bingkai besar itu dinamakan bingkai pluralisme hukum (legal pluralism) yakni menyadari bahwa hukum hanyalah satu bagian dari berbagai norma yang hidup dalam masyarakat.

Legal pluralism itu adalah sebuah pendekatan yang relatif "baru" di dalam hukum. Sebenarnya sebagaimana dikatakan oleh Werner Menski dalam bukunya Comparative Law in Gobal Context, ada empat pendekatan dalam memahami hukum yaitu pendekatan normatif filosofis, normatif legalistis, sosio legal, dan legal pluralism approach. Di dalam legal pluralism approach ada tiga wilayah hukum yang harus diperhatikan oleh para penegak hukum yaitu: (1) legal-state atau hukum negara, yang sifatnya itu sangat positivistik. Yang ke-dua adalah aspek masyarakat atau sosiolegal. Jadi, di samping itu ada aspek legal positifistik, tapi sudah mulai menengok pada realita sosial (social facts), bahkan mungkin juga habits, customary law, termasuk juga di situ ada living law. Jadi, sudah mulai menengok ke aspek-aspek sosial dari bekerjanya hukum itu.

Werner Menski menyebut ada pertimbangan hukum lain yang disebut dengan natural law yang di dalamnya terdiri dari tiga hal yaitu moral, ethics, dan juga religion. Ketika kita mencoba untuk menautkan ketiga wilayah hukum ini, maka keadilan yang ingin dicapai itu bukan semata-mata procedural law or procedural justice, tetapi lebih ke substantive justice yang juga disebut perfect justice.

Bisakah hal seperti ini diterapkan di Indonesia? Karena hal ini merupakan teori dan berbasis pada pengalaman, penulis beryakinan bisa, selama ada kemauan para penegak hukum untuk mencoba menautkan ketiga wilayah hukum tersebut. Sayangnya, sebagian dari kita, khususnya para penegak hukum, masih terjerembab dan terpaku dalam legal positivism approach. Mestinya bisa dipakai sarana-sarana lain untuk melakukan penyelesaian sebuah perkara, tetapi yang dipakai masih saja legal positivism.

Dari perspektif hukum progresif, yang dapat dilihat sebagai turunan dari legal pluralism, fokus kita mestinya bagaimana menyelesaikan suatu perkara dengan Restorative Justice System (RJS). Sudah ada Resolusi PBB Tahun 2000 tentang The Basic Principles of the Use of Restorative Justice in Criminal Matters.

Dalam kasus tindak pidana pun bisa dilakukan RJS. Prinsip utama dari RJS adalah voluntary principle. Maka polisi, KPK, dan jaksa tidak akan terkesan seolah ingin menghancurkan karir seseorang, meskipun dalam kasus-kasus kriminal, termasuk korupsi. Pendekatan RJS inilah yang, menurut hemat saya, paling ideal untuk diterapkan di dalam masyarakat di negara demokratis dimana perlindungan terhadap hak-hak azasi dan martabat manusia sangat perlu dijunjung tinggi. Penegak hukum sebetulnya bisa menerapkan Restorative Justice System sebagai penyeimbang dari Criminal Justice System yang selama ini cenderung hanya melihat pemberlakuan hukum secara sempit dari sudut pandang legal-positivistik semata.

Melalui pendekatan legal pluralism, hakim tidak bisa mengungkapkan korupsi yang berjalan dengan sistematik, yang melibatkan banyak pihak, yang membutuhkan keberanian institusi peradilan melakukan terapi kejut pada pendidikan korupsi masyarakat. Dalam perspektif sosiologis, Bourdieu percaya bahwa aparatus negara itu memiliki kekuasaan berlebih yang bisa menghipnotis warga untuk berkehidupan secara disiplin. Negara laksana sumber kekuatan sosial yang punya energi paksa seakan-akan menempatkan institusi lain sebagai sub ordinat yang patuh kepadanya. Bahkan Hakim dalam amar putusannya juga seharusnya bisa membuktikan niat jahat (mens rea) terpidana dan bukan mengakui terpidana hanya memenuhi unsur kesengajaan dengan kesinyafan/ kesadaran kemungkinan (opzet bij mogelijkeids bewustzijn), bukan kesengajaan sebagai maksud/ tujuan (opzet als oogmerk).

Dengan demikian, putusan peradilan hendaknya melacak secara radikal sumber permasalahan dan akibat apa saja yang ditimbulkan daripada kasus tersebut, termasuk pembersihan praktek korupsi di tubuh lembaga negara —pejabat pengguna anggaran— dan masyarakat—para penerima dana bantuan. Korupsi acapkali berjalan dengan sistematik, paralel, dan interdependensi. Maka ketidakmampuan pejabat publik dalam mengidentifikasi para pelaksana program berikut pengawasan pada pelaksanaan adalah termasuk perilaku yang mengakibatkan kerugian negara. Sebagaimana yang terjadi di Yunani, semenjak perpindahan paham sosialisme ke liberalisme, aparat pemerintah yang lemah kinerja pengelolaan keuangannya melahirkan skandal Koskotas yang sampai melibatkan Perdana Menteri K. Mitsokas antara tahun 1991 sampai 1993. Singkatnya, diperlukan sebuah aparat yang kuat, tangguh, cermat, cekatan dan hati-hati dalam menjalankan tugas kewajibannya, bukan aparat yang sembrono menghambur-hamburkan uang negara.

Bahkan seorang hakim percaya bahwa, asas hukum ‘tiada kesalahan tiada pidana (geen straf zonder schuld) perlu diimplementasikan dalam kasus ini. Unsur kesalahan menurut pemahaman saya sudah tidak lagi terbukti. Sayang para hakim ini tidak mengindahkan ‘kebenaran materil’. Dalam kategori ini, hakim lebih banyak menggumpalkan perhatiannya pada pertanggung-jawaban mutlak (strict criminal liability), padahal paham ini sungguh sangat legalistik-formalistik yang kaku. Pandangan mayoritas tidak bisa mengakses dan melihat bahkan mustahil menggapai keadilan subtantif. Sementara suara hakim nampaknya terlalu memaksakan unsur ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang apa padanya karena Jabatan atau Kedudukan’. Dalam bahasa dekonstruksi Derrida, hakim telah memanipulasi makna yang mendegradasikan fakta-fakta sosial dan hukum. 

Hakim seharusnya ‘wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat’ sesuai dengan pakta kekuasaan kehakiman Putusan hakim tak bisa melihat korupsi sistematik, hingga melibatkan banyak pihak yang terlibat. Putusan tersebut juga kurang memperlihatkan adanya tujuan hukum, yang hanya berorientasi pembalasan sebagaimana teori hukum pidana klasik. Hakim hendaknya menemukan dan membuat hukum (judge make law), putusannya hendaknya merepresentasikan rasa keadilan masyarakat. Butuh semangat dan keberanian untuk mewujudkan keadilan substantif. Maka ruh progresif hendaknya ditiupkan di peradilan. Kalau saja peradilan kita hanya menyelesaikan perkara yang sifatnya parsial atau setengah-setengah, apa jadinya para pencari keadilan hanya diperlihatkan kulit dari penegakan hukum berupa bergunanya pasal-pasal korupsi, bukan menyibak kebenaran. Sungguh ironis!.

Pada akhirnya, tarikan antara hukum alam, budaya (society: sociolegal) dan hukum negara ini dapat dinilai dari tujuan berhukum itu. Apakah dia lebih condong pada artian klasik sebagai cermin ataukah hendak dipergunakan sebagai alat rekayasa social (law as a tool of social engineering). Menilai pada keduanya dengan demikian adalah berarti melakukan penilaian terhadap dampak, mana kiranya yang menimbulkan cost lebih besar, apakah dengan melonggarkan hukum negara, atau justru sebaliknya. Penulis berpendapat untuk lebih condong kepada hukum negara, hal ini berkaitan dengan artian tindakan memberi dan menerima tadi, bahwa keduanya adalah bagian dari kohesi sosial yang dalam berkaitan dengan saling menyandera atas kebaikan. 

Dalam hal penyelenggaraan negara, hal tersebut tidak dapat dibenarkan dan menimbulkan kerawanan penyalahgunaan wewenang, menggoyahkan asas profesionalitas, dan akuntabilitas, yang berarti menimbulkan dampak yang lebih buruk yang berpengaruh pada budaya penyelenggaraan negara. Tentu, konteks ini harus dipisahkan dari pemberian pribadi yang bukan dalam konteks penyelenggaraan negara. Untuk memilah dua hal yang berbeda tersebut, kehadiran otoritas dalam konteks ini adalah perlu adanya. Titik beratnya ada pada pemilahan pada kepentingan dalam pemberian, apakah pemberian bersangkutan dengan penyelenggaraan negara. Karena baik suap maupun gratifikasi yang dianggap sebagai suap, keduanya adalah tindakan memberi-menerima, yang menyandera waktu, dengan tujuan menunggu, menunggu giliran untuk menerima, hasildari penyanderaan waktu. 


Gratifikasi dalam Perspektif Islam dan Cara Pemberantasannya

Sebagaimana gratifikasi dilarang dalam hukum bernegara, demikian juga pandangan hukum Islam dalam menyikapinya. Dalam pandangan Islam, adalah bentuk keharaman ketika seorang pejabat atau aparatur negara yang dipercaya untuk mengurusi umat malah memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya digunakan untuk memanipulasi ataupun melakukan tekanan kepada pihak lain, dengan terikat pada perjanjian tertentu untuk menjanjikan atau memberikan sejumlah harta yang bukan haknya, entah itu harta milik negara, milik umum, atau milik orang lain. 

Hal itulah yang disebut dengan gratifikasi, yakni pemberian apapun bentuknya yang terkait dengan akad atau perjanjian, yang di sana ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan dan hukumnya adalah haram. Di dalam Islam gratifikasi sendiri dihukumi sebagai risywah/suap, maka selama itu termasuk riswah maka hukumnya haram dan dilarang total. Namun lain halnya apabila suatu pemberian yang tidak terikat suatu perjanjian antara hak dan kwajiban oleh suatu akad maka hukumnya boleh-boleh saja.

Namun pada realitasnya praktik-praktik gratifikasi atau suap semacam ini bukanlah hal yang langka dalam lingkup rezim pemerintahan sistem kapitalis demokrasi. Sistem sekulerisme yang memisahkan antara agama dan kehidupan tidak mampu mendidik para pemegang kekuasaan untuk bekerja dengan kinerja yang ikhlas atas dasar ketakwaan. Acap kali kedudukan/kekuasaan dipergunakan sebagai jalan mendapatkan keuntungan pribadi, baik itu untuk suatu transaksi bisnis, atau untuk mendapatkan fee/komisi dari suatu proyek. Faktualnya dalam dunia perbisnisan sistem kapitalis saat ini, sudah menjadi keharusan jika pengusaha harus memberikan komisi sebagai upeti kepada para pejabat agar mereka dengan mudah dalam mendapatkan proyek atau ketika dana proyek tersebut sudah cair.

Semestinya sebagai negara yang berketuhanan dan dengan warga negara mayoritas pemeluk Islam, para pengurus negeri ini wajib mencontohkan hal yang benar kepada rakyatnya. Seharusnya para aparatur negeri ini dapat menghindari praktik-praktik mencari kepemilikan harta dengan cara yang gelap, yakni dengan cara menekan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan di luar gaji/pendapatan mereka yang diberikan oleh negara. 

Dalam aturan Islam, sangat jelas telah mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan apapun. Suap adalah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil, atau membatalkan hak orang, atau agar haknya didahulukan dari orang lain. Nabi saw. telah melaknat para pelaku suap, baik yang menerima maupun yang memberi suap:


لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي 
Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam kasus gratifikasi ini, ada riwayat yang menerangkan, bahwa Nabi saw. pernah menegur seorang amil zakat yang beliau angkat karena terbukti menerima hadiah saat bertugas dari pihak yang dipungut zakatnya. Beliau bersabda:

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ 
(Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan (HR Abu Dawud)).

Riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi dikisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal. "Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi," ujar si Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya.

Rasulullah SAW bersabda, "Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?" (HR Bukhari Muslim).
Rasulullah SAW dalam hadisnya menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang. Ancamannya sangat jelas, siapa yang makan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang mengembik. (HR Bukhari Muslim).

Bahkan dalam hadis lain beliau tegas mengatakan:

هَدَايَا الأُمَرَاءِ غُلُولٌ 

Hadiah yang diterima oleh penguasa adalah kecurangan (HR al-Baihaqi)

Islam telah sangat tegas menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta yang haram. Korupsi termasuk tindakan kha’in (pengkhianatan) yang dilakukan seseorang atau pejabat negara dengan menyalahgunakan kedudukan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk mencari harta dengan cara ghulul, dan sekali lagi itu sangat diharamkan di dalam Islam.

Pada masa sistem pemerintahan Islam, Rasulullah dan para Khalifah telah memberikan contoh hukuman yang berat dan tegas kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah saw. pelaku yang terbukti melakukan kecurangan seperti korupsi, maka harta curangnya akan disita dan akan diumumkan kepada khalayak atas kejahatan korupsinya.

Demikian juga pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjadi pejabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke Baitul Mal.

Adalah bentuk ketegasan Islam dalam memberikan hukuman kepada para pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi, dengan akan diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam yang diterapkan. Pemberantasan korupsi dalam Islam akan lebih mudah, simpel dan tegas untuk dilaksanakan oleh negara, karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Sumber hukumnya yang berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana terdapat dalam sistem demokrasi yang tengah diterapkan saat ini, yang dalam memberikan hukuman dan pemberantasan para koruptor dengan upaya penindakannya sesuai kepentingan sehingga bisa berubah-ubah.

Sekarang pilihan itu ada di tangan kita, jika memang menginginkan negeri ini dapat segera terbebas oleh berbagai praktik dan kasus korupsi para pejabat yang kerap mengkhianati rakyat, maka sudah saatnya umat untuk kembali pada syariah yang datang dari Allah melalui penerapan sistem Khilafah Islam.


Berdasar uraian di muka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang tambahan (fee), hadiah uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Diperlukan legal communication secara masif dan intensif untuk menyadarkan masyarakat tentang rambu-rambu yang mesti ditaati, agar dalam berinteraksi dengan aparatur atau pejabat penyelenggara negara tidak terjebak dalam jerat-jerat hukum yang bisa menyengsarakan, seperti halnya melalui kasus gratifikasi ini. 

Kedua. Untuk sampai ke level yang ideal, diperlukan upaya besar dari semua pihak untuk menempatkan hukum ke dalam bingkai yang lebih besar dari sekadar aturan-aturan yang kaku dan tekstual-normatif. Bingkai besar itu dinamakan bingkai pluralisme hukum (legal pluralism) yakni menyadari bahwa hukum hanyalah satu bagian dari berbagai norma yang hidup dalam masyarakat. Legal pluralism itu adalah sebuah pendekatan yang relatif "baru" di dalam hukum. Sebenarnya sebagaimana dikatakan oleh Werner Menski dalam bukunya Comparative Law in Gobal Context, ada empat pendekatan dalam memahami hukum yaitu pendekatan normatif filosofis, normatif legalistis, sosio legal, dan legal pluralism approach.


Ketiga. Di dalam Islam gratifikasi sendiri dihukumi sebagai risywah/suap, maka selama itu termasuk riswah maka hukumnya haram dan dilarang total. Namun lain halnya apabila suatu pemberian yang tidak terikat suatu perjanjian antara hak dan kwajiban oleh suatu akad maka hukumnya boleh-boleh saja. Adalah bentuk ketegasan Islam dalam memberikan hukuman kepada para pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi, dengan akan diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam yang diterapkan. []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum (Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar