Wanita yang Baik, akan Mendapatkan Lelaki yang Baik




Saya harus menghentikan tilawah saya pada Q.s. an-Nur [24]: 26. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Perempuan yang buruk untuk lelaki yang buruk. Lelaki yang buruk untuk perempuan yang buruk. Begitu juga, perempuan yang baik untuk lelaki yang baik, dan lelaki yang baik untuk perempuan yang baik. Mereka itu dibebaskan dari apa yang mereka tuduhkan. Bagi mereka ada ampunan dan rizki yang mulia.” [Q.s. an-Nur: 26]

Pekan lalu, saya baru menyelesaikan tulisan tentang Hadits al-Ifki [cerita bohong], yang melibatkan keluarga Nabi Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama yang suci dan mulia. Peristiwa ini bukan hanya menggoncang Sayyidah ‘Aisyah, Ummu al-Mukminin, radhiya-Llahu ‘anha, dan kedua orang tuanya, tetapi juga baginda Nabi Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama. Akibat fitnah yang dihembuskan oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, hubungan Sayyidah ‘Aisyah radhiya-Llahu ‘anha dengan Shafwan, yang tak lain adalah sahabat Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama. 

Sayyidah ‘Aisyah radhiya-Llahu ‘anha, menuturkan kisahnya: 

“Setiap Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama hendak keluar dalam suatu perjalanan, baginda selalu mengundi di antara para istri baginda dan siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama akan berangkat bersamanya. ‘Aisyah berkata, lalu Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama mengundi di antara kami untuk menentukan siapa yang akan ikut dalam perang dan ternyata keluarlah undianku, sehingga aku pun berangkat bersama Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama. Peristiwa itu terjadi setelah diturunkan ayat hijab [Q.s. al-Ahzab: 53] di mana aku dibawa dalam tandu dan ditempatkan di sana selama perjalanan kami.

Pada suatu malam ketika Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama selesai berperang, lalu pulang dan kami telah mendekati Madinah, baginda memberikan aba-aba untuk berangkat. Aku pun segera bangkit setelah mendengar mereka mengumumkan keberangkatan lalu berjalan sampai jauh meninggalkan pasukan tentara. Seusai melaksanakan hajat, aku hendak langsung menghampiri onta tungganganku, namun saat meraba dada, ternyata kalungku yang terbuat dari mutiara Zifar putus. Aku pun kembali, untuk mencari kalungku sehingga tertahan karena pencarian itu. Sementara orang-orang yang bertugas membawaku mereka telah mengangkat tandu itu dan meletakkannya ke atas punggung ontaku yang biasa aku tunggangi, karena mereka mengira aku telah berada di dalamnya.” 

‘Aisyah menambahkan, “Kaum wanita pada waktu itu memang bertubuh ringan dan langsing (tidak gemuk) karena mereka hanya mengkonsumsi makanan dalam jumlah sedikit sehingga orang-orang itu tidak merasakan beratnya tandu ketika mereka mengangkatnya ke atas onta. Apalagi ketika itu aku anak perempuan yang masih belia. Mereka pun segera menggerakkan onta itu dan berangkat.

Aku baru menemukan kalung itu setelah pasukan tentara berlalu. Kemudian aku mendatangi tempat perhentian mereka, namun tak ada seorang pun di sana. Lalu aku menuju ke tempat yang semula dengan harapan mereka akan merasa kehilangan dan kembali menjemputku. Ketika aku sedang duduk di tempatku rasa kantuk mengalahkanku sehingga aku pun tertidur. Ternyata ada Shafwan bin al-Mu’atthal al-Sulami al-Dzakwani yang tertinggal di belakang pasukan sehingga baru dapat berangkat pada malam hari dan keesokan paginya ia sampai di tempatku. Dia melihat bayangan hitam seperti seorang yang sedang tidur lalu ia mendatangi dan langsung mengenali ketika melihatku karena ia pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab. Aku terbangun oleh ucapannya, “Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’un” pada saat dia mengenaliku. Aku segera menutupi wajahku dengan kerudung dan demi Allah, dia sama sekali tidak mengajakku bicara sepatah kata pun dan aku pun tidak mendengar satu kata pun darinya selain ucapan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.

Kemudian ia menyiapkan onta sehingga aku dapat menaikinya. Dia pun berangkat sambil menuntun onta yang aku tunggangi hingga kami dapat menyusul pasukan yang sedang berteduh di tengah hari yang sangat panas. Maka celakalah orang-orang yang telah menuduhku di mana yang paling besar berperan, adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Sampai kami tiba di Madinah dan aku pun segera menderita sakit selama sebulan setiba di sana. 

Sementara orang-orang ramai membicarakan tuduhan para pembuat berita bohong, padahal aku sendiri tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu. Yang membuatku gelisah selama sakit adalah, bahwa aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama yang biasanya kurasakan ketika aku sakit. Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama hanya masuk, mengucapkan salam, kemudian bertanya, “Bagaimana keadaannya?”

Hal itu membuatku gelisah, tetapi aku tidak merasakan adanya keburukan, sampai ketika aku keluar setelah sembuh bersama Ummu Misthah ke tempat pembuangan air besar di mana kami hanya keluar ke sana pada malam hari sebelum kami membangun tempat membuang kotoran (WC) di dekat rumah-rumah kami. Kebiasaan kami sama seperti orang-orang Arab dahulu dalam buang air. Kami merasa terganggu dengan tempat-tempat itu bila berada di dekat rumah kami. 

Aku pun berangkat dengan Ummu Misthah, seorang anak perempuan Abu Ruhm bin Mutthalib bin Abdi Manaf dan ibunya adalah putri Shakhr bin ‘Amir, bibi Abu Bakar al-Siddiq. Putranya bernama Misthah bin Utsatsah bin Abbad bin Mutthalib. Aku dan putri Abu Ruhm langsung menuju ke arah rumahku sesudah selesai buang air. Tiba-tiba Ummu Misthah menginjak bajunya dan terpeleset jatuh sehingga terucaplah dari mulutnya kalimat, “Celakalah Misthah!” Aku berkata kepadanya, “Alangkah buruknya apa yang kau ucapkan! Apakah engkau memaki orang yang telah ikut serta dalam perang Badr?”

Ummu Misthah berkata, “Wahai junjunganku, tidakkah engkau mendengar apa yang dia katakan?” Aku menjawab, “Memangnya apa yang dia katakan?” Ummu Misthah lalu menceritakan kepadaku tuduhan para pembuat cerita bohong sehingga penyakitku semakin bertambah parah. Ketika aku kembali ke rumah, Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama masuk menemuiku, baginda mengucapkan salam kemudian bertanya, “Bagaimana keadaannya?” Aku berkata, “Apakah engkau mengizinkan aku mendatangi kedua orang tuaku?” Pada saat itu aku ingin mengklarifikasi kabar itu dari kedua orang tuaku. 

Begitu Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama memberiku izin, aku pun segera pergi ke rumah orang tuaku. Sesampai di sana, aku bertanya kepada ibu, “Wahai ibuku, apa yang dikatakan oleh orang-orang mengenai diriku?” Ibu menjawab, “Wahai anakku, tenanglah! Demi Allah, jarang sekali ada wanita cantik yang sangat dicintai suaminya dan mempunyai beberapa madu, kecuali pasti banyak berita buruk dilontarkan kepadanya.”Aku berkata, “Maha Suci Allah! Apakah setega itu orang-orang membicarakanku?” 

Aku menangis malam itu sampai pagi air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pada pagi harinya, aku masih saja menangis. Beberapa waktu kemudian Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama memanggil ‘Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Zayd untuk membicarakan perceraian dengan istrinya ketika wahyu tidak kunjung turun. Usamah bin Zayd memberikan pertimbangan kepada Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama sesuai dengan yang ia ketahui tentang kebersihan istrinya (dari tuduhan) dan berdasarkan kecintaan dalam dirinya yang ia ketahui terhadap keluarga Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama. 

Ia berkata, “Ya Rasulullah, mereka adalah keluargamu dan kami tidak mengetahui dari mereka kecuali kebaikan.” Sedangkan Ali bin Abu Thalib berkata, “Semoga Allah tidak menyesakkan hatimu karena perkara ini, banyak wanita selain dia (Aisyah). Jika engkau bertanya kepada budak perempuan itu (pembantu rumah tangga Aisyah) tentu dia akan memberimu keterangan yang benar.”

Lalu Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama memanggil Barirah (budak Nabi) dan bertanya, “Hai Barirah! Apakah engkau pernah melihat sesuatu yang membuatmu ragu tentang Aisyah?” Barirah menjawab, “Demi Zat yang telah mengutusmu membawa kebenaran! Tidak ada perkara buruk yang aku lihat dari dirinya kecuali bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang masih muda belia, yang biasa tidur di samping adonan roti keluarga lalu datanglah hewan-hewan ternak memakani adonan itu.” Kemudian Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama berdiri di atas mimbar meminta bukti dari ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Di atas mimbar itu, Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Wahai kaum Muslimin, siapakah yang mau menolongku dari seorang yang telah sampai hati melukai hati keluargaku? Demi Allah! Yang kuketahui pada keluargaku hanyalah kebaikan. Orang-orang juga telah menyebut-nyebut seorang lelaki yang kuketahui baik. Dia tidak pernah masuk menemui keluargaku (istriku) kecuali bersamaku.”

Maka berdirilah Sa’ad bin Mu’az al-Anshari seraya berkata, “Aku yang akan menolongmu dari orang itu, wahai Rasulullah. Jika dia dari golongan Aus, aku akan memenggal lehernya dan kalau dia termasuk saudara kami dari golongan Khazraj, maka engkau dapat memerintahkanku dan aku akan melaksanakan perintahmu.” Mendengar itu, berdirilah Sa’ad bin ‘Ubadah. Dia adalah pemimpin golongan Khazraj dan seorang lelaki yang baik tetapi amarahnya bangkit karena rasa fanatik golongan. Dia berkata tertuju kepada Sa’ad bin Mu’az, “Engkau salah! Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu untuk membunuhnya!” Lalu Usayd bin Hudhayr saudara sepupu Sa’ad bin Mu’az, berdiri dan berkata kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, “Engkau salah! Demi Allah, kami pasti akan membunuhnya! Engkau adalah orang Munafik yang berdebat untuk membela orang-orang Munafik.” 

Bangkitlah amarah kedua golongan yaitu Aus dan Khazraj, sehingga mereka hampir saling berbaku-hantam dan Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama masih berdiri di atas mimbar terus berusaha meredakan emosi mereka hingga mereka diam dan Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama diam. 

Pada saat kami sedang dalam keadaan demikian, Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama masuk. Baginda memberi salam, lalu duduk. Baginda belum pernah duduk di dekatku sejak ada tuduhan yang bukan-bukan kepadaku, padahal sebulan telah berlalu tanpa turun wahyu kepada beliau mengenai persoalanku. Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama mengucap syahadat pada waktu duduk kemudian bersabda, “Hai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku bermacam tuduhan tentang dirimu. Jika engkau memang bersih, Allah pasti akan membersihkan dirimu dari tuduhan-tuduhan itu. Tetapi kalau engkau memang telah berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, bila seorang hamba mengakui dosanya kemudian bertobat, tentu Allah akan menerima tobatnya.” 

Ketika Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama selesai berbicara, air mataku pun habis sehingga aku tidak merasakan satu tetespun terjatuh. Lalu aku berkata kepada ayahku, “Jawablah untukku kepada Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama mengenai apa yang baginda katakan.” Ayahku menyahut, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama.” Kemudian aku berkata kepada ibuku, “Jawablah untukku kepada Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama!” Ibuku juga berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama.”

Maka aku pun berkata, “Aku adalah seorang perempuan yang masih muda belia. Aku tidak banyak membaca al-Qur’an. Demi Allah, aku tahu bahwa kalian telah mendengar semua ini, hingga masuk ke hati kalian, bahkan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian, bahwa aku bersih dan Allah pun tahu bahwa aku bersih, mungkin kalian tidak juga mempercayaiku. Dan jika aku mengakui hal itu di hadapan kalian, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku bersih, tentu kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan yang tepat bagiku dan bagi kalian, kecuali sebagaimana dikatakan ayah Nabi Yusuf, “Kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.” 

Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Demi Allah, pada saat itu aku yakin diriku bersih dan Allah akan menunjukkan kebersihanku. Tetapi, sungguh aku tidak berharap akan diturunkan wahyu tentang persoalanku. Aku kira persoalanku terlalu remeh untuk dibicarakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan wahyu yang diturunkan. Namun, aku berharap Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama akan bermimpi bahwa Allah membersihkan diriku dari fitnah itu.

Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama belum lagi meninggalkan tempat duduknya dan tak seorang pun dari isi rumah ada yang keluar, ketika Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Tampak Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama merasa kepayahan seperti biasanya bila baginda menerima wahyu, hingga tetesan keringat beliau bagaikan mutiara di musim dingin, karena beratnya firman yang diturunkan kepada baginda. Ketika keadaan yang demikian telah hilang dari Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama (wahyu telah selesai turun), maka sambil tertawa, kata-kata yang pertama kali baginda ucapkan adalah, “Bergembiralah, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkan dirimu dari tuduhan”. 

Lalu ibuku berkata kepadaku, “Bangunlah! Sambutlah baginda!” Aku menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan bangun menyambut baginda. Aku hanya akan memuji syukur kepada Allah. Dialah yang telah menurunkan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa diriku bersih”. Ayat yang dimaksud adalah Q.s. an-Nur: 11-20. Begitulah kisah di balik Hadits al-Ifki, yang begitu luar biasa dahsyatnya menimpa Nabi dan keluarganya. 

Karena itu, Q.s. an-Nur: 26 di atas oleh kebanyakan Mufassir ditafsirkan dengan, “Ucapan yang buruk itu untuk orang-orang yang buruk..” Karena ayat ini dinyatakan setelah peristiwa Hadits al-Ifki di atas. Meski, sebagian Mufassir menafsirkan, bahwa konotasi “Khabitsat” untuk perempuan yang buruk, untuk lelaki yang buruk. Lelaki yang buruk untuk perempuan yang buruk. Begitu juga sebaliknya, perempuan yang baik untuk lelaki yang baik, dan lelaki yang baik untuk perempuan yang baik. 

Penjelasan seperti ini dikutip oleh al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, dari Ibn Zaid, dan an-Nahhas. Ini juga didasarkan pada Q.s. an-Nur: 3, dimana pezina laki-laki hanya bisa menikah dengan pezina perempuan atau Musyrikah. Jadi, “Khabitsat” adalah wanita pezina. Sedangkan “at-Thayyibat” adalah perempuan suci, yang tidak berzina. Karena itu, Sayyidah ‘Aisyah menjelaskan, “Aku benar-benar diciptakan sebagai wanita suci untuk lelaki yang suci.” [Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’, Tafsir Q.s. an-Nur: 26].

Karena urusan jodoh ini di tangan Allah, karena itu Allah menyatakan, “Wa Min Ayatihi” [di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya], maka jagalah ‘Iffah [kesucian hati dan perilaku] Anda, agar Allah berikan orang-orang yang baik untuk mendampingi hidup Anda. Pantaskanlah diri Anda. Mintalah hanya kepada Allah. Jangan mencari perhatian dari manusia. Karena Anda pasti akan kecewa.[]


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, M.A.
Khadim Syarafaul Haramain

Sumber: facebook KH Hafidz Abdurrahman

Posting Komentar

0 Komentar