Revolusi "Akhlak" Negara




Sangat menarik pernyataan HRS dalam satu tausiyahnya tanggal 14 November 2020 terkait dengan revolusi akhlak, sebagai berikut:

"Bicara tentang revolusi akhlak berarti bicara suatu revolusi yang mengikuti jalan hidup Nabi Muhammad SAW, bicara revolusi akhlak berarti bicara revolusi yang berdiri tegak di atas Alquran dan sunnah nabi kita Syaidunna Muhammad SAW. Kenapa kita ingatkan revolusi akhlak, sebab nabi kita tidaklah diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak,"

Pernyataan HRS itu mengisyaratkan betapa pentingnya revolusi akhlak. Akhlak sangat penting bagi manusia baik sebagai penuntun kehidupan pribadi maupun kelompok. Akhlak yang telah rusak, usang dan dzalim, menyimpang dari syariat perlu untuk segera direvolusi. Menurut saya, revolusi akhlak tidak mungkin dilakukan tanpa landasan hukum yang jelas, tegas dan komprehensif. Jika dilakukan dengan hukum sebagian, maka cara dan hasilnya pun tidak lebih seperti orang melakukan tambal sulam bahkan sekedar "cut" and "glue". Yang berakhlak bukan hanya pribadi, tetapi negara pun punya akhlak dalam pemenuhan tugas negara. Pemenuhan tugas negara ini juga harus didasarkan pada hukum yang menyeluruh, tegas dan jelas. Dengan kata lain, hukum dan cara berhukumnya mesti kaaffah.

Saya terus terang dahulu merasa tertarik dengan visi partai berlambang ka'bah yang memiliki misi ingin membentuk NKRI bersyariah. Saya berpikir keras tentang hal itu. Mengapa? Karena selama ini banyak di antara umat Islam, bahkan mungkin mayoritas Muslim tidak sejalan dengan penegakan syariat Islam, apalagi secara kaafah. Umat Islam termasuk saya masih mengikuti cara berpikir: yang penting ada maslahah, syariat itu nanti dulu, bukan di mana ada syariat di situ ada maslahah. 

Kita--berarti termasuk saya---- lebih suka berhukum secara prasmanan. Artinya berhukum syariat Islam itu sebatas yang "mengenakkan", ambil yang dianggap menguntungkan, tinggalkan yang dianggap merugikan. Jadi kita berhukum itu sebatas anggapan manusia sendiri tanpa berkonsekuensi dengan "apa maunya Alloh". Mungkinkah kita dengan modal minimalis itu menegakkan syariat islam, hendak membentuk NKRI bersyariah seperti tekad partai itu? Padahal kita tahu bahwa the end of sharia islam enforcement adalah tercapainya tujuan negara didirikan, yakni maslahah dhuroriyaat.

Penegakan Syariat Islam dalam Negara selain akan mencegah pelanggaran, mencegah kriminalitas, juga karena penegakannya diwajibkan oleh Pencipta. Dan seperti yang dituliskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya ‘Mafahim Islamiyah’ (2002), bahwa Islam akan mendatangkan ‘maslahah Dhoruriyaat’, kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi keharusan, yang diperlukan oleh kehidupan individu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Jaminan ini menjadi akhlak negara terhadap rakyatnya karena negaralah yang menjadi pengurus (meriayah) pemenuhan kebutuhan rakyatnya.

Jika kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak ada, maka sistem kehidupan manusia menjadi cacat, manusia hidup anarki dan rusak, dan akan mendapatkan banyak kemalangan dan kesengsaraan di dunia serta siksa di akhirat kelak.

Maslahah Dhoruriyaat ini yang sekaligus menjadi akhlak negara ada delapan macam, yaitu:

Pertama. Menjaga Agama (Hifdzud Diin). 

Syariat telah menetapkan bahwa siapa saja yang murtad/keluar dari Islam, Ia akan dihukum mati. Sanksi tersebut harus ditegakkan sebagai Undang-Undang, sebab jika tidak, sanksi tersebut akan diabaikan oleh masyarakat. Dan ketika saat ini Islam diabaikan, tidak diterapkan, realitas yang terindera adalah begitu mudahnya dan banyaknya manusia keluar masuk agama Islam, seolah keluar dari Islam adalah gaya hidup modern yang tidak memiliki konsekuensi dosa. 

Kedua. Menjaga Jiwa (Hifdzun Nafs). 

Islam memandang bahwa jiwa manusia harus ditempatkan pada tempat yang terhormat, yang layak. Maka Islam mengharamkan membunuh jiwa tanpa haq. Siapa saja yang membunuh jiwa tanpa haq, maka akan diberlakukan hukum qishash, yaitu hukuman bunuh dibalas dengan bunuh. (lihat al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178). Hukum Qishash ini harus ditegakkan sebagai UU, sebab jika tidak hanya akan menjadi etika atau norma yang mudah diabaikan oleh masyarakat, pelakunya hanya akan mendapatkan sanksi sosial, seperti dijauhi, dikucilkan, dihina, dll. 

Ketiga. Menjaga Akal (Hifdzul Aqli). 

Islam telah menempatkan akal manusia pada tempatnya yang tinggi dan layak. Akal ini menjadi objek pembebanan hukum (manaathut takliif). Islam telah mendorong untuk menggunakan akal dalam proses keimanan sehingga bisa sampai pada aqidah yang benar dan akal terpuaskan dengan aqidah tersebut. Penjagaan Islam terhadap akal adalah bahwa Islam telah mengharamkan setiap perkara yang bisa merusak akal seperti minum khamr (minol), mengkonsumsi narkotika, menjadi tukang sihir, pornografi, dll. Dan Islam telah menetapkan sanksi bagi siapa saja yang melakukan aktivitas yang bisa merusak akal tersebut. Semua itu dalam rangka untuk memelihara akal.

Keempat. Menjaga Keturunan (Hifdzul Nasl). 

Rasulullah sebagai teladan terbaik telah menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan. Bahkan dinyatakan oleh beliau bahwa beliau akan membangga-banggakan umatnya yang banyak di hadapan para Nabi dan Rasul kelak. Islam telah menganjurkan untuk menikahi wanita-wanita yang penyayang dan subur, mengharamkan pengebirian, memerintahkan untuk memelihara keturunan, mengharamkan zina serta menetapkan sanksi bagi yang melanggarnya. 

Kelima. Menjaga Harta (Hifdzul Maal). 

Islam membolehkan bagi siapa saja untuk memiliki harta kekayaan berdasarkan ketentuan syariat. Islam juga telah menetapkan hak bagi orang-orang faqir dalam harta orang-orang kaya serta mengharamkan mengambil harta orang lain tanpa haq. Penjagaan Islam terhadap harta adalah dengan pengharaman pencurian, perampokan atau aktivitas yang mengambil harta orang lain tanpa haq, serta memberikan sanksi terhadap pelakunya dengan hukuman potong tangan jika mencapai kadar tertentu yang ditetapkan syariat (mencapai Nishab). 

Keenam. Menjaga Kehormatan (Hifdzul karamah).

Islam telah memuliakan manusia sejak penciptaannya. Sebagaimana tertuang jelas dalam kitab suci-Nya yang mulia, Al-Qur’an al-Kariim, bahwa Allah telah memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Nabi Adam. 

Islam bukan hanya menjaga kehormatan manusia semasa hidupnya, pun ketika setelah matinya, Islam memerintahkan untuk memandikan, mengafani, menguburkan dan melarang bertindak sewenang-wenang atas tubuh manusia. 

Ketujuh. Menjaga Keamanan (Hifdzul amn). 

Bagi orang-orang yang merusak keamanan yaitu orang yang melakukan pembegalan, sewenang-wenang atas harta benda dan jiwa serta menakut-nakuti manusia, Islam telah menetapkan had yaitu memerangi mereka. 

Kedelapan. Menjaga Negara (Hifdzud Daulah).

Islam telah memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan sebuah Negara yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah dan jihad ke luar negeri. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk membaiat seorang Khalifah saja untuk menjalankan Al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengharamkan kekosongan Khalifah dan Khilafah lebih dari tiga hari. Negara Khilafah lah yang akan menjaga kaum muslimin dan mengurusi seluruh urusan kaum muslimin. Negara Khilafah yang akan menjaga aqidah kaum muslimin dan system kehidupannya.

Maslahah dhuroriyah yang tidak lain adalah akhlak negara tersebut rasanya memang seperti fiksi. Sebatas energi positif yang dapat membangkitkan seseorang, kelompok orang untuk mencapai tujuan mulia tertentu. Namun, salah rasa itu. Maslahah itu bukan fiksi, apalagi fiktif melainkan realitas. Maslahah Dhuroriyaat itu juga sudah dikaji berdasarkan wahyu, ra'yu (olah akal) dan pengalaman sejarah ratusan bahkan ribuan tahun. Namun, ketiga hal itu sering kita kibaskan hanya karena nafsu yang ingin semakin lepas menjauh dari syariat Islam. Kita mesti ingat, tidak ada sebuah komunitas masyarakat di muka bumi ini homogen, tetapi heterogen. Islam setahu saya hadir untuk tetap menghargai keragaman dengan tetap menyerukan amar ma'ruf nahi munkar. 

Semoga uraian sedikit ini tidak makin membuat umat manusia, khususnya masyarakat bangsa Indonesia itu phobia terhadap syariat Islam yang sangat mulia tersebut. Saya tidak dalam kapasitas memaksakan dan menggunakan kekerasan untuk mengarahkan orang lain agar sepaham dengan saya. Syariat Islam bukan binatang buas yang mesti DIBURU untuk dihancurkan, melainkan ajaran yang menuntun ke arah kemaslahatan umat manusia, kemarin, kini dan yang akan datang. Pahamkah anda wahai pengusung NKRI bersyariah? Salut betul saya dengan misi yang kadang membuat sakit hati para pembenci. Jadi, syariat Islamlah yang akan menuntun untuk dapat dilaksanakan revolusi akhlak negara, bukan yang lain. Tabik.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar