Pasca Anugerah Bintang Jasa: Masihkah Hakim MK Mampu Memutus Perkara Secara Independen, Adil dan Jujur?



Tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 2020, Presiden menganugerahkan gelar Bintang Mahaputera. Penganugerahan bintang jasa itu diberikan kepada berbagai pihak, baik di kelembagaan negara di bidang legilatif, eksekutif maupun yudikatif. Di lembaga yudikatif ada 6 (enam) anggota hakim MK yang mendapat bintang jasa tersebut. Adapun tiga dari enam hakim MK yang diberi anugrah yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto. Mereka menerima gelar bintang mahaputera adipradana. Sementara itu, tiga hakim lainnya yaitu Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan M.P. Sitompul diberi gelar bintang mahaputera utama.

Akankah penganugerahan bintang jasa tersebut berpengaruh pada independensi hakim MK? Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebutkan bahwa penganugerahan tanda kehormatan bintang mahaputera oleh Presiden Joko Widodo kepada enam hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tak akan mengganggu independensi para hakim. Moeldoko yakin bahwa keenam hakim konstitusi tetap bisa bekerja secara independen setelah ini. Benarkah?

Kita dapat meragukannya berdasar argumentasi bahwa penganugerahan itu diberikan di tengah MK mengadili perkara yang melibatkan Presiden dan DPR sebagai pihak termohon, terkait dengan JR UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) yang kontrovesial dan ditolak oleh berbagai elemen masyarakat secara masif. Di sisi lain kita juga dapat bertanya "adakah pemberian yang tulus?" Menurut seorang dekonstruksionis bernama Derrida pemberian yang tulus itu impossible, karena setiap pemberian (giving, gratifikasi) itu akan tersandera oleh 2 hal, yaitu "kepentingan" dan "waktu".


Berharap Pengadilan Menjadi Benteng Terakhir Pencarian Kebenaran dan Keadialan

Sebagai warga negara kita memang sangat berharap pengadilan itu berfungsi sebagai benteng terakhir pencarian keadilan dan kebenaran. Persoalannya ada pada semangat (spirit) para penyelenggara negara. Ketika spirit para penyelenggara negara itu baik, pro rakyat, menjadikan keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto) besar kemungkinan negara akan dijalankan sesuai amanat konstitusi dan menjadikan Pancasila sebagai leitztern dalam penyelenggaraan negara khususnya dalam pembentukan dan penegakan hukum. Sebaliknya ketika spirit para penyelenggara negara buruk, pro oligarki, tidak mengutamakan keselamatan rakyatnya, dapat dipastikan penyelenggaraan negara akan oleng menjauh dari amanat konstitusi dan berpotensi "menyesengsarakan" rakyatnya. 

Terkait dengan isu terkini, yakni UU Cipta Kerja, UU No. 11 Tahun 2020 sungguh kita berharap adanya pembatalan terhadapnya melalui MK karena masifnya penolakan oleh berbagai elemen masyarakat. Penolakan terhadap pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Bisnis dan Kerja (CLBK) atau secara resmi disebut RUU Cipta Kerja terus bergulir. Bukan hanya pekerja, siswa, LSM umum dan keagamaan, mahasiswa, akademisi melainkan ditolak oleh Perkumpulan Investor ASEAN dan 35 Investor Eropa dan Amerika ( AUM) yang nilai investasinya mencapai 4,1 Trilyun Dollar AS. Jadi, sebenarnya dari sisi legitimasi, RUU ini tidak lagi memiliki nilai tawar terhadap kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi. Pasca persetujuan RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU, MUI sebagai representasi umat Islam telah menemui Presiden untuk meminta agar RUU CLBK dibatalkan dengan menerbitkan Perppu, namun Presiden menolaknya dan menyarankan kepada MUI dan pihak yang tidak puas dipersilahkan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Ada beberapa pihak sekarang ini yang tidak percaya kepada MK untuk mengadili UU yang diusulkan oleh Presiden dan telah disetujui oleh DPR dan disyahkan menjadi UU. Mengapa? Mengingat ketika "rezim legislator" sudah menyatu dalam satu genggaman kekuasaan, maka kiprah hakim MK pun sangat diragukan akan berlaku jujur dan adil mengingat 6 dari 9 hakim MK diusulkan oleh Presiden dan DPR, apalagi setelah dianugerahi bintang tanda jasa kepada 6 hakim MK pada tanggal 10 Nopember 2020. Dari hitungan angka, 6 hakim akan memenangkan pihak Pemerintah dan apalagi jika 3 lainnya yang diusulkan oleh MA juga mendukung Pemerintah dlm menolak permohonan pembatalan RUU Cipta Kerja.

Pada akhirnya, masihkah kita berharap bahwa Mahkamah Konstitusi bisa menunjukkan bahwa demokrasi kita bukan demokrasi angka-angka (numeric democracy) dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Konstitusi tidak boleh menasbihkan diri sebagai mahkamah kalkulator. Para hakim Mahkamah Konstitusi diharapkan tetap berpegang teguh pada Tiga Prinsip Hukum Alam sebagaimana dinyatakan oleh Ulpianus, yakni:

1. Honeste vivere ( jujurlah dalam kehidupanmu);
2. Alterum non laedere ( janganlah merugikan orang lain di sekelilingmu);
3. Suum cuique tribuere ( berikanlah kepada orang lain apa yang menjadi haknya).

Terkait dengan 3 prinsip hukum alam ini, semula saya merasa sangat berbahagia karena MK telah menjadikan ayat Al Quran sebagai panji-panji dalam menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Panji-panji itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita tengah berada dalam "negara hukum transendental". 

Ayat Al Quran tersebut adalah QS An Nisaa ayat 135 sebagaimana tersebut di bawah ini:

۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

(Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan).

Tanpa bermaksud mengecilkan ajaran dari agama lain, tentu saja, para penganut agama non Islam juga mempunyai pedoman khusus bagi hakim yang tengah memeriksa suatu perkara.


Benarkah Hakim MK Hanya Takut Kepada Allah?

Sejak Ketua MK menyatakan diri di awal persidangan sengketa hasil Pilpres, bahwa beliau hanya takut kepada Allah, waktu itu besar sekali harapan saya agar beliau lebih mengutamakan rasa keadilan dari pada kepastian hukum (dalam state law). Mungkin saja sekarang pun beliau tetap merasa bahwa keputusannya telah on the track, merasa telah menghadirkan keadilan di tengah masyarakat karena fokus pada hasil perolehan suara pilpres dengan menyatakan berkali-kali bahwa dalil pemohon tidak beralasan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibuktikan menurut hukum. 

Speedy Trial, haruskah speedy trial? Speedy trial sebenarnya merupakan suatu hak atas persidangan agar sidang dilakukan secara cepat. Jadi speedy trial itu adalah hak asasi manusia yang di dalamnya dinyatakan bahwa seorang jaksa penuntut tidak boleh menunda persidangan tersangka kriminal secara sewenang-wenang dan tanpa batas waktu. Untuk kasus biasa (ordinary) apalagi perkara hukum yang ringan sangat mungkin dipenuhi hak speedy trial dalam speedy trial. Dalam kasus yang besar, bagaimana mungkin dengan speedy trial pihak pemohon mampu menghadirkan segala alat bukti yang cukup bila hakim bersikukuh tidak mau membantu penasbihan beban pembuktian. Semua beban pembuktian ada diberikan kepada pemohon sementara pemohon tidak punya sumber daya termasuk kekuatan pemaksa utk memperoleh alat bukti. 

Dari sisi hukum acara mungkin memang harus begitu, namun dari sisi kemanusiaan haruskah pemohon yang dalam posisi lemah tidak memperoleh bantuan kemanusiaan dari mahkamah dalam rangka pembuktian dalilnya. Ini hukum untuk siapa? Apakah hukum hanya untuk keluhuran hukum itu sendiri, ataukah hukum itu untuk keluhuran umat manusia khususnya dalam mengagungkan nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan. Maka, saya berani mengajukan statemen bahwa speedy trial tends to be trial without truth and justice.

Kalimat hanya takut kepada Alloh seharusnya dimaknai bahwa seseorang hakim harus punya braveness dan vigilante. Braveness untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman) ketika dia sedang dihadapkan dilema dalam conflict of interest. Vigilante adalah karakter untuk menjadi mujahid yang mengutamakan pembelaan terhadap kebenaran, kejujuran dan keadilan, apa pun taruhannya.

Lalu hendak dikemanakan kalimat: hanya takut kepada Allah? Bila para hakim tidak lebih takut kepada Alloh dari pada yang lain, masihkah kita berharap para hakim berjihad menegakkan moralitas, khususnya keadilan dan kebenaran dalam berhukum? Mungkin putusannya itu memenuhi aspek legalitas, tetapi sebenarnya putusannya itu tidak legitimate karena putusan itu patut diduga "cacat secara moral".


Penutup

Sengketa Pilpres 2019 secara hukum formal memang telah selesai. Yang bersengketa pun telah "menyatu" satu kabinat kerja. Namun demikian, mungkin dapat pula dikatakan secara kontekstual kebathinan luka-luka sayatan pisau demokrasi itu belum juga pulih tanpa bekas. 

Bercermin pada penyelesaian sengketa Pilpres yang terkesan "dikejar-kejar" waktu apakah harus terulang kembali digelar persidangan dengan pola speedy trial untuk mereview UU Omnibus Law CLBK yang penyusunannya juga terkesan "kejar tayang" sehingga mereduksi sisi bangunan hukum lainnya karena mendapatkan penolakan masif dari segala elemen masyarakat di mana akan menjadi tempat UU itu berlaku. Jadi, secara materiil sebenarnya UU Omnibus Law Cipta Kerja telah kehilangan legitimasinya. 

UU Cipta Kerja tetap diajukan JR ke MK sementara dengan penganugerahan bintang jasa kepada 6 hakim MK, para hakim MK patut diduga telah "tersandera" oleh kepentingan dan waktu, lalu akankah kita mengulang kesalahan masa lalu itu, trial without truth and justice? Jika hal itu terjadi, kepada siapa lagi kita berharap akan hadirnya keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat? Innalillahi wa innailaihi raji'uun. Ya, kembali kepada Allah, sang pemilik dan penguasa alam dan kolam. Tabik...!!!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
Semarang, 13 Nopember 2020

Posting Komentar

0 Komentar