Ketika Cinta Habaib Berujung Ancaman Pidana


Polemik atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam kerangka PSBB di DKI, khususnya terkait dengan aktifitas sambutan umat Islam kepada IB Harisy, hingga kini masih terus memanas dan berbuntut pada sejumlah persoalan baru dalam suhu perpolitikan dan hukum di negeri ini. 

Setelah pencopotan beberapa Kapolda karena kerumunan massa yang berlangsung saat acara Harisy, yang akhirnya disusul oleh kebijakan Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo yang menerbitkan surat telegram terkait proses hukum kepada seluruh masyarakat yang tidak mematuhi standar protokol kesehatan penanganan Covid-19. Surat telegram bernomor ST/3220/XI/KES.7./2020 tanggal 16 November 2020 yang ditandatangani oleh Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo. 

Persoalan kian memanas tatkala satuan personel TNI selaku aparat pertahanan negara juga ikut turun tangan, dengan melakukan aksi penurunan penurunan baliho poster Imam Besar Harisy atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman, pada Jum'at 20/11/2020 di satu wilayah DKI Jakarta. Karena alasan penertiban. Hingga ancaman atas pembubaran ormas pimpinan Imam Besar itu juga sempat dilontarkan.

Dari sejumlah peristiwa tindakan di muka, tampak ada upaya untuk memburu para pelanggar prokes covid 19 tertentu yang hendak disasar oleh aparat. Ada apa sejatinya dibalik peristiwa tindakan yang tidak biasa tersebut? Apakah hal itu juga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum?

Apakah tidak ada cara lain dalam mendisiplinkan warga agar mematuhi protokol kesehatan selain dari ancaman sanksi pidana, denda, maupun sanksi pidana penjara? Apakah daerah yang tidak dalam wilayah penerapan PSBB atau tindakan kekarantinaan kesehatan lainnya, juga dapat diterapkan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan tersebut atas alasan penertiban? 


Kerinduan Umat atas Kepulangan Harisy dan Disambut dengan Gegap Gempita di Tengah Pandemi Masih Melanda DKI Jakarta

Setelah berkali-kali gagal untuk pulang ke tanah air, kini ulama dan Imam Besar Harisy akhirnya dapat kembali dengan selamat dan sehat wala'fiat. Sambutan gegap gempita ribuan bahkan jutaan dari umat Islam tidak dapat disembunyikan. Sampai-sampai apa yang mengemuka di ruang publik atas sambutan umat tersebut, membuat pihak-pihak yang selama ini tidak suka kepada sosok ulama kharismatik itu dibuat panas, dan mencemooh dengan lontaran hinaan dan penistaan yang sangat tidak terpuji. 

Ya, momen yang telah lama ditunggu-tunggu umat tersebut, menghadirkan suasana euforia dan rona kebahagiaan yang memancar dari wajah para pendukung dan pecinta ulama hanif tersebut. Bahkan di laman Twitter pun, penggunaan tagar #AhlanWaSahlanIBHR begitu menggema. Berbagai cuitan penyambutan beserta visualisasi foto Harisy membanjiri lini masa.

Bukan hanya di ruang dunia maya, sebelum hari H kedatangannya di Jakarta, deretan poster, spanduk dan berbagai atribut untuk menyambut sosok imam besar itu bertebaran di berbagai daerah. Utamanya di beberapa titik yang menjadi basis jamaah Front Pembela Islam (FPI). Seperti yang terpampang jelas di Jalan Petamburan III Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang mana merupakan jalan akses menuju markas besar Dewan Pimpinan Pusat FPI dan kediaman Harisy.

Penyambutan luar biasa atas kepulangan Harisy ke Indonesia sejatinya adalah potret sebuah kerinduan umat, di tengah kian langkanya keberadaan sosok ulama mukhlis dalam gempuran zaman yang penuh fitnah ini. Harisy dikenal sebagai sosok ulama yang tegas dan lantang dalam memerangi kekufuran, tidak takut dalam menyampaikan dan membawa kebenaran walau dengan berbagai tekanan kekuasaan yang cenderung anti pada syari'at Islam.

Di tengah kondisi masih berlangsungnya masa pandemi, tidak menyurutkan langkah dan semangat umat untuk menyambut kedatangan Harisy. Karena bagi umat, adalah sebuah keniscayaan hadirnya sosok ulama yang lurus, tidak gampang dibeli dengan iming-iming duniawi untuk membela kekuasaan tirani yang kerap menjadikan Islam sebagai obyek sasaran propaganda keji. 

Fitnah dan tuduhan keji yang diarahkan ke Harisy selama ini, sama sekali tidak menyurutkan langkahnya apalagi menyerah pada kebatilan, namun yang tampak justru menambah kekuatan tersendiri baginya untuk menyeru pada kebenaran. Hal demikian juga menjadi alasan bagi umat yang menjadikannya sebagai icon perubahan yang bertajuk revolusi akhlak untuk masa depan kehidupan negeri ini.

Jadi, bukanlah hal yang aneh dan berlebihan atas apa yang ditunjukkan umat Islam kepada Harisy, sebagai sosok ulama yang diharapkan dapat menjadi pelopor perubahan bagi negeri dan kehidupan umat Islam di tengah tekanan kekuasaan tiran. Tidaklah patut jika ada pihak yang justru menunjukkan sikap ketidaksukaan, atas apa yang dilakukan umat atas kecintaannya kepada seorang ulama yang senantiasa menyeru pada kebaikan bagi agama dan negaranya.

Aturan Hukum dalam Pelaksanaan PSBB dan konsekuensi Jika Ada Ketidakpatuhan Terhadapnya

Rupanya sengkarut atas respon dari aktivitas umat terkait penyambutan kepada Harisy itu berlanjut, dilansir dari tribunnews.com 17 Nopember 2020, mewartakan bahwa Polda Metro Jaya telah memanggil sejumlah pihak untuk dimintai klarifikasi terkait acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dipimpin oleh Harisy yang berbarengan juga dengan acara ijab kabul pernikahan putri Harisy di kawasan Petamburan Jakarta Pusat, yang dikaitkan pada pelanggaran protokol kesehatan. Polisi juga memanggil sejumlah pihak mulai dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, hingga RT dan RW tempat diselenggarakan acara tersebut. 

Alhasil, sebagaimana diketahui bersama, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi dipanggil dan hadir untuk diperiksa di Polda Metro Jaya. Adapun FPI sebagai pihak inisiator dan penyelenggara acara tersebut diberian sanksi berupa denda administratif sebesar 50 juta rupiah atas pelanggaran protokol kesehatan pada gelaran acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang menimbulkan kerumunan massa tersebut.

Sejatinya, Pembatasan Sosial Berskala Besar secara rinci diatur dalam Pasal 59 UU KK. Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.

Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud paling sedikit meliputi:

(1) Peliburan sekolah dan tempat kerja;
(2) Pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
(3) Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Aturan pelaksanaan PSBB tersebut juga telah diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keppres (Keputusan Presiden) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Terbitnya aturan pelaksanaan tersebut memberikan landasan kebijakan bagi pemerintah dalam menangani dampak Covid-19. Namun demikian, PP PSBB ini tidak mengatur apa maksud PSBB dengan segala kriteria rincian apa saja yang dilarang, dibatasi dengan kuantitas maupun kualitasnya. PP ini hanya terdiri dari 6 Pasal saja secara umum yang sangat jauh dari cakupan dari UU No. 6 Tahun 2018 itu sendiri. Sudah jelas bahwa tidak ada lagi dasar hukum Lockdown yang ada hanyalah Sosial Distancing Skala Besar.

Adapun Kepres No. 11/2020 dan PP No. 21/2020 ditetapkan sebagai dasar pemberlakuan pembatasan interaksi wilayah yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kepres No. 11/2020 menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepres ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan penyebaran Covid-19 yang luar biasa dengan meningkatnya jumlah kasus dan/atau jumlah kematian serta berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanaan, serta masyarakat di Indonesia.

Semua kebijakan di daerah harus sesuai dengan peraturan serta berada dalam koridor undang-undang dan PP serta Keppres tersebut. Polri juga dapat mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang terukur dan sesuai undang-undang agar PSBB dapat berlaku secara efektif dan mencapai tujuan mencegah meluasnya wabah.

Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar diajukan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Kesehatan dengan memperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dapat menetapkan wilayah tersebut untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) juga dapat mengusulkan kepada menteri Kesehatan untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu dan apabila usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kesehatan maka kepala daerah wilayah dimaksud wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Selanjutnya, ketentuan tentang PSBB diatur lebih rinci melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kegiatan apa saja yang diperbolehkan dibatasi hingga dikecualikan dalam PSBB diatur dalam KepmenKes ini.

Kebijakan Hukum yang Bisa Dilakukan Demi Menghadirkan Keadilan di Tengah Masyarakat Sehingga Tidak Selalu Berujung Tindak Pidana

Sebagimana diketahui di awal, pada saat Harisy kembali pulang ke Jakarta pada tanggal 10 Nopember 2020, DKI Jakarta sedang menerapkan PSBB. Demikian pula atas pelaksanaan kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pernikahan Putri Harisy masih termasuk lagi dalam masa penerapan PSBB perpanjangan. Artinya ketika di suatu wilayah sedang diterapkan PSBB maka dengan segala konsekuensinya Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 dapat diterapkan, atau dengan kata lain Harisy atau pihak terkait lainnya dapat dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 93 UU KK ini. Pidana itu bisa berupa pidana penjara dan atau pidana denda.

Aparat penegak hukum seperti polisi memang bisa masuk bila pemerintah menjalankan karantina wilayah atau PSBB sebagaimana yang ada dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Sekali lagi dengan catatan suatu daerah (propinsi, kabupaten, kota) telah dan masih menerapkan kegiatan kekarantinaan kesehatan khususnya karantina wilayah dan PSBB. Jika suatu daerah tidak melakukan kegiatan kekarantinaan kesehatan, maka polisi tidak dapat masuk untuk menerapkan Pasal 93 UU KK. Terhadap adanya pelanggaran prokes pun demikian. Pidana denda atau pun pidana penjara hanya dapat diterapkan ketika suatu daerah tengah diterapkan tindakan kekarantinaan kesehatan dengan dilengkapi telah adanya peraturan pelaksanaannnya, yakni adanya PP, Keppres, Kepmenkes, dan peraturan daerah misalnya Pergub dan Perda. DKI Jakarta telah lengkap memiliki Perda Pelaksanaan PSBB dan Pergub (33/2020) tentang Pelaksanaan PSBB Dalam Penanganan Covid 19 di DKI Jakarta.

Namun, pabila berbicara tentang pelanggaran prokes pandemi covid 19, pada tanggal 17 Nopember 2020 JawaPos.com sudah terlebih dahulu memberitakan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menindak sedikitnya 398 kegiatan tatap muka atau pertemuan terbatas yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 selama 10 hari kelima kampanye. Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin mengatakan tindakan itu terdiri dari 381 penerbitan surat peringatan dan 17 pembubaran kegiatan kampanye. Dengan demikian selama 50 hari tahapan kampanye Bawaslu menertibkan 1.1448 kegiatan kampanye tatap muka yang melanggar protokol kesehatan (prokes). Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal tersebut tidak ditindak juga sanksi denda maupun ancaman pidana, seperti halnya yang dilakukan kepada Harisy, FPI maupun Gubernur DKI Jakarta.

Perlu juga diketahui, sebelumnya pasangan bakal cawali dan cawawali Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa pada saat mendaftar diri juga membawa massa dalam jumlah banyak sehingga terjadi kerumunan di kator KPU. Bukankah hal tersebut juga bisa dikatakan melanggar aturan protokol kesehatan Covid-19 yang telah ditetapkan pemerintah. (6/9/2020).

Tidak hanya itu, masih di wilayah Jawa Tengah, juga ada berita bahwa sebanyak 9.999 anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Kabupaten Banyumas melakukan longmart ditengah guyuran hujan deras dengan membentangkan bendera merah putih sepanjang 1.000 meter atau satu kilometer. Kegiatan itu dilakukan pada Minggu (15/11/2020). Kegiatan bertajuk Parade Merah Putih digelar dalam rangka memperingati Hari Pahlawan. Dikutip dari law-justice.co - acara Kliwonan Habib Luthfi bin Yahya atau Wantimpres Jokowi di Pekalongan, 16 Oktober 2020 lalu, dihadiri ribuan orang. Tampak tidak terlihat adanya physical distancing atau jaga jarak dan pakai masker dalam acara itu. Lalu mengapa tidak juga adanya tindakkan yang serupa seperti ancaman pidana, atau bayar denda kepada Banser atau pihak penyelenggara acara Kliwon Habib Luthfi?

Banyaknya kejadian-kejadian yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan di berbagai daerah di Indonesia, yang beberapa di antaranya terekam dalam beberapa link pemberitaan. Memunculkan juga pertanyaan, mengapa sederet pelanggaran prokes itu ternyata tidak berujung juga dengan tindak dipidana atau denda? Ternyata setelah kita amati, pelanggaran masif itu tidak semua diikuti dengan sanksi rigid, melainkan seolah tindakannya permisif. Mengapa? Karena prokes tidak dijalankan dalam kerangka PSBB sebagaimana diatur oleh UU Kekarantinaan Kesehatan.

Betul memang kata Cicero bahwa salus populi suprema lex esto atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, penerapan adagium ini tidak serta merta membolehkan penguasa untuk bertindak sewenang-wenang dengan dalil dan dalih demi keselamatan rakyat. Mindset due process of law harus tetap dipegang agar pelaksanaan tugas dan kewajiban beban penguasa tidak kontraproduktif dengan tujuan utama hukum itu dibentuk dan ditegakkan.

Demikian pula penerapan pasal pidana dalam suatu UU harus pula ditelisik lebih dahulu persyaratan pokok untuk dapat diterapkan. Misalnya UU ini mengatur tentang tindak lanjut pasal tertentu dengan pengaturan lebih lanjut dengan jenis peraturan yang lebih rendah. Misalnya diperlukan PP, Keppres dan Peraturan Menteri terkait. 

Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat diterapkan ketika suatu daerah menjalankan kegiatan kekarantinaan kesehatan, misalnya karantina wilayah atau pun PSBB. Ketentuan PSBB oleh UU diamanatkan untuk diatur dengan Keputusan Menteri yang terkait dengan kesehatan. Untuk ada Kepmen (9/2020), berarti secara logikan hukum harus ada PP (21/2020) dan Keputusan Presiden (Keppres) (11/2020). Lengkap sudah ketentuan pelaksanaan PSBB di Pemda DKI yakni telah disahkan Perda dan Pergub DKI. Dengan demikian secara formal, penerapan Pasal 93 UU KK telah dapat dipertanggungjawabkan.

Kembali ke persoalan utama bahwa penerapan Pasal 93 UU KK tidak dapat dilakukan ketika suatu daerah tidak sedang menerapkan tindakan kekarantinaan kesehatan khususnya karantina wilayah atau PSBB. Sebaliknya, ketika suatu daerah menerapkan tindakan kekarantinaan kesehatan, misalnya berupa PSBB, maka Pasal 93 UU KK dapat diterapkan. Sebagai mana diketahui peristiwa penjemputan Harisy (tanggal 10 Nopember) dan pernikahan putrinya serta kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW (tanggal 12 Nopember) dilaksanakan setelah berakhirnya masa PSBB Transisi DKI yakni dari tanggal 28 Oktober hingga 8 Nopember 2020, namun masih tetap dalam masa PSBB karena telah terjadi perpanjangan PSBB oleh Gubernur DKI dari tanggal 9 sampai dengan 22 Nopember 2020. 

Jadi akibat hukumnya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat diterapkan untuk Gubernur Anies maupun Harisy atau pihak-pihak lain yang terlibat. Untuk kasus Harisy, penulis kira sudah clear ketika Harisy sudah diberikan sanksi pidana berupa denda 50 juta rupiah dan tidak boleh dipersoalkan lagi di depan hukum karena akan terjadi nebis in idem bahkan double punishment dan hal ini berarti berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ada pun untuk kasus Gubernur Anies, perlu penelaahan lebih lanjut karena Anies termasuk Pihak yang bertugas melakukan Pembinaan dan Pengawasan PSBB di DKI Jakarta. Tentu harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional. Bahkan menurut hemat penulis, tidak semua pelanggaran hukum harus dipidana karena adanya dalil hukum: "Policy of non enforcement of law" (Chambliss-Seidman).

Jika Harisy ataupun Anies dipidana, maka Menkopolhukam pun harus pula mempertanggungjawabkan pernyataannya yang mengizinkan para pendukung Harisy untuk menjemput kepulangannya di Bandara Soekarno Hatta sementara Menkopolhukam dipastikan telah mengetahui risiko adanya kerumunan yang berpotensi adanya pelanggaran protokol kesehatan covid 19 padahal DKI sedang menerapkan PSBB.

Penegakan hukum biasa sering terbelenggu dengan mantra-mantra sakti positivisme hukum yang mengandalkan rule and logic dengan alasan karena kita mengkiblat pada hukum Eropa Kontinental yang beraroma civil law system. Benarkah? Apakah dengan kultur hukum Pancasila itu kita tidak punya cara tersendiri, cara Indonesia dalam penegakan hukum? Bukankah telah terjadi ingsutan paradigma penegakan hukum dari yang mengutamakan kepastian hukum (rule and logic) kepada kepastian hukum yang adil? Kita lihat UUD 1945 juga UU Kekuasaan Kehakiman dan juga Rancangan KUHP kita yang mengutamakan nilai keadilan di samping nilai kepastian (rule and logic). Ini adalah langkah progresif! Pertanyaannya adalah: Cukupkah di tataran ide dan di atas kertas? Bukan! Harus diimplementasikan. Nah, di sini perlu legal culture baik Internal Legal Culture maupun External Legal Culture. Jadi, polisi pun harus berani menegakkan hukum secara progresif.

Di sisi lain, Gustav Radbruch dengan Triadism (justice, certainty and expediency (utility)) juga mengatakan: "where statutory law is incompatible with justice requairment, statutory law must be disregarded by a judge..". Oleh karena itu hukum mestinya mengutamakan pencarian keadilan bukan terlalu sibuk dengan kepastiannya yang justru dapat menghadirkan ketidakadilan. Hukum yang tidak adil itu bukan hukum (lex injusta non est lex: Thomas Aquinas).

Penutup

Dari serangkaian ulasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Penyambutan luar biasa atas kepulangan Harisy ke Indonesia walau di tengah kondisi masih berlangsungnya masa pandemi, sejatinya adalah potret sebuah kerinduan umat, di tengah kian langkanya keberadaan sosok ulama mukhlis dalam gempuran zaman yang penuh fitnah ini. Harisy dikenal sebagai sosok ulama yang tegas dan lantang dalam memerangi kekufuran, tidak takut dalam menyampaikan dan membawa kebenaran walau dengan berbagai tekanan kekuasaan yang cenderung anti pada syari'at Islam. Karena bagi umat, adalah sebuah keniscayaan hadirnya sosok ulama yang lurus, tidak gampang dibeli dengan iming-iming duniawi untuk membela kekuasaan tirani yang kerap menjadikan Islam sebagai obyek sasaran propaganda keji. Hal demikian juga menjadi alasan bagi umat yang menjadikannya sebagai icon perubahan yang bertajuk revolusi akhlak untuk masa depan kehidupan negeri ini.

Kedua. Sejatinya, Pembatasan Sosial Berskala Besar secara rinci diatur dalam Pasal 59 UU KK. Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.

Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud paling sedikit meliputi: Pertama, Peliburan sekolah dan tempat kerja; Kedua, Pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau Ketiga Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Ketiga. Akibat hukumnya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat diterapkan untuk Gubernur Anies maupun Harisy atau pihak-pihak lain yang terlibat. Untuk kasus Harisy, penulis kira sudah clear ketika Harisy sudah diberikan sanksi pidana berupa denda 50 juta rupiah dan tidak boleh dipersoalkan lagi di depan hukum karena akan terjadi nebis in idem bahkan double punishment, dan hal ini berarti berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ada pun untuk kasus Gubernur Anies, perlu penelaahan lebih lanjut karena Anies termasuk Pihak yang bertugas melakukan Pembinaan dan Pengawasan PSBB di DKI Jakarta. Tentu harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional. Bahkan menurut hemat penulis, tidak semua pelanggaran hukum harus dipidana karena adanya dalil hukum: "Policy of non enforcement of law" (Chambliss-Seidman). Tabik...![]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.,Hum (Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar