Film My Flag: Inikah Bentuk Serangan Terhadap Islam dari Timur?



Selain dari penghinaan terhadap Rasulullah Saw oleh Imanuel Macron, presiden Perancis yang telah melukai hati umat muslim sedunia, kita juga belum bisa serta merta beranjak dari peristiwa yang dapat dikatakan juga telah melakukan pelecahan terhadap simbol Islam seperti bendera tauhid di antaranya. Adalah peringatan hari Santri Tahun 2020 ini yang diwarnai dengan kontroversi, munculnya film pendek berjudul My Flag Merah Putih Vs Radikalisme. 

Yang kami dapat tangkap dari film tersebut yaitu, ingin memuat pesan meningkatkan rasa nasionalisme kebhinekaan namun yang terjadi justru kontra produktif dengan semangat nasionalisme, prinsip demokrasi, serta semboyan bhinneka tunggal ika yang hendak dijunjung di dalamnya. Dengan narasi yang penuh tendensi bahwa disebut bendera merah putih adalah harga mati.

Film tersebut bagaikan jauh panggang dari api terhadap tujuan slogan-slogan tersebut. Karena konten dalam film tersebut membuat kesan bahwa celana cingkrang, cadar dan bendera tauhid hitam maupun putih yang kesemuanya merupakan simbol ajaran Islam diidentikan dengan faham radikalisme yang harus diperangi. Tampak sekali ada maksud untuk menyerang keberadaan bendera tauhid dengan memuat narasi ke hadapan masyarakat bahwa tidak boleh ada bendera lain yang boleh dikibarkan selain dari bendera merah putih.

Pertanyaannya, sejak kapan di negeri ini ada larangan orang atau kelompok untuk memiliki bendera? Adakah larangan umat Islam untuk memiliki dan mengibarkan bendera sendiri tanpa meninggalkan simbol negara? Film yang bergenre kehidupan santri tersebut mestinya mampu memahamkan umat bahwa sesungguhnya apa yang bisa menyatukan umat Islam? Ada Apa Dengan Bendera Tauhid? Mengapa di dalam film tersebut seolah memberikan pesan bahwa santri alergi dengan bendera tauhid yang padahal merupakan simbol dari agamanya?


Arti Penting Bendera Tauhid dalam Islam dan Bagi terjalinnya Ukhuwah Islamiyah

Sejak dari masa kepemimpinan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, umat Islam sudah mempunyai panji ataupun bendera. Dalam bahasa Arab, bendera disebut dengan liwa’ atau alwiyah (dalam bentuk jamak). Istilah liwa’ sering ditemui dalam beberapa riwayat hadis tentang peperangan. Jadi, istilah liwa’ sering digandengkan pemakaiannya dengan rayah (panji perang). Istilah liwa’ atau disebut juga dengan al-alam (bendera) dan rayah mempunyai fungsi berbeda.

Dalam beberapa riwayat disebutkan, “rayah yang dipakai Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih. (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah).”

Rayah dan liwa’ sama-sama bertuliskan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Pada rayah (bendera hitam) ditulis dengan warna putih, sebaliknya pada liwa’ (bendera putih) ditulis dengan warna hitam. Rayah dan liwa’ juga mempunyai fungsi yang berbeda. Rayah merupakan panji yang dipakai pemimpin atau panglima perang. Rayah menjadi penanda orang yang memakainya merupakan pimpinan dan pusat komando yang menggerakkan seluruh pasukan. Jadi, hanya para komandan (sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan lain) yang memakai rayah.

Selain itu, fungsi liwa’ sebagai penanda posisi pemimpin pasukan. Pembawa bendera liwa’ akan terus mengikuti posisi pemimpin pasukan berada. Liwa’ dalam perperangan akan diikat dan digulung pada tombak. Riwayat mengenai liwa’, seperti yang diriwayatkan dari Jabir radi allahu anhu yang mengatakan, Rasulullah membawa liwa’ ketika memasuki Kota Makkah saat Fathul Makkah (pembebasan Kota Makkah). (HR Ibnu Majah).

Dengan demikian Liwa dan Ar-Rayah dapat dikatakan merupakan simbol negara dan memperjelas kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam waktu itu sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (Al-Daulah Al-Islamiyyah) yang wajib difahami oleh umat Islam. Sehingga tidak perlu ada lagi dari kalangan umat Islam sendiri yang berpikir bahwa, kedua bendera putih dan hitam yang bertuliskan kalimat tauhid tersebut adalah bendera sebuah kelompok tertentu saja. 

Dan yang tak kalah penting harus diketahui juga oleh umat adalah hal tersebut merupakan bukti otentik, historis dan yuridis, tentang adanya konsep negara dalam Islam yang dipimpin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kepala negara yang mengatur urusan kenegaraan. Negara yang berasaskan ketauhidan (akidah Islam), sebagaimana termaktub pada tulisan kalimat tauhid dalam Al-Liwa dan Ar-Rayah, yang menunjukkan filosofi asas negara yang dibangun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai hukum positif yang diterapkan oleh negara, bukan hukum jahiliyyah dari nafsu buatan manusia.

Atas dasar itu, maka sudah seharusnya keberadaan Al-Liwa dan Ar-Rayah sebagai bendera dan panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam layak dijunjung tinggi oleh umat dalam mensyi’arkan Islam. Terlebih kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran, kalimat yang mempersatukan ukhuwah dalam ikatan yang hakiki, yakni ikatan akidah Islamiyah. Yang akan menghilangkan sekat-sekat kebangsaan yang dapat mecerai beraikan kaum muslimin di seluruh dunia.

Bendera bagi suatu bangsa merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan suatu komunitas, organisasi, hingga negera bangsa tertentu. Bendera merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa. 

Begitu pula bagi Al-Liwa dan ar-Rayah sebagai sebuah simbol agama dan persatuan bagi umat Islam, maka bukanlah hal yang aneh ketika bendera itu juga sering diartikan sebagai lambang harga diri. Dengan menghinanya dan menistakannya sama saja dengan menistakan harga diri pemilik bendera tersebut, yaitu agama dan umat Islam. 

Jadi bukanlah sebuah kesalahan apalagi dipandang sebuah kejahatan ketika hari ini yakni masa setelah runtuhnya kekhalifahan Utsmani sejak 3 Maret 1924 lalu, simbol-simbol Islam layaknya rayah dan liwa’ tersebut kembali banyak dibawa dikibarkan ke tengah umat. Dalam rangka mensyiarkan dakwah Islam dan menjalin ukhuwah serta persatuan antar sesama umat Islam, seperti yang banyak dikibarkan umat yang bersatu dalam aksi membela Nabi dan kemuliaan Islam yang saat ini sering dilecehkan contohnya. Maka hal tersebut cukup menjelaskan bahwa bendera tauhid rayah dan Liwa bukanlah sebagai simbol keberadaan dari kelompok tertentu.

Sementara dalam torehan sejarah pemerintahan di nusantara kita mengenal Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan, Ternate, Tidore, Kerajaan Aceh, Kerajaan Cirebon. Kerajaan Yogjakarta, semuanya memiliki panji kerajaan berupa bendera bertuliskan kalimat tauhid. Pada zaman yang mendekati modern, menjelang kemerdekaan Indonesia beberapa organisasi politik juga memiliki panji organisasi berupa bendera yang bertuliskan kalimat tauhid. Misalnya Laskar Hizbullah (cikal bakal TNI) dan Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Samanhudi juga menggunakan lambang yang memuat kalimat tauhid di dalamnya. 


Ketidakpedulian Umat Islam pada Panji-panji dan Simbol Islam Bahkan Menodainya dengan penyematan istilah Radikal dan Intoleran

Ironis dan sangat disayangkan. Ya, itulah perasaan yang bisa kita ungkapkan ketika kembali pada konten yang ada pada Film My Flag yang menampakkan kedua bendera hitam dan putih, yang sangat diduga kuat adalah bendera liwa dan rayah yang ditampakkan sebagai atribut santri yang memiliki faham radikalisme. Yang dapat memunculkan persepsi buruk masyarakat terhadap bendera kebanggaan Rasulullah Saw tersebut.

Padahal secara hukum, kini di negara kita pun tidak ada larangan dari pemerintah jika ada pihak yang mengibarkan bendera berkalimat tauhid. Yang tidak boleh adalah jika bendera ada logo Hizbut Tahrir Indonesia--ormas yang sudah dicabut badan hukumnya oleh pemerintah pada akhir 2018 lalu. Namun kendati demikian, bagaimana kita akan menggunakan dan memaknai bendera tauhid, sangat tergantung dengan literasi yang telah kita miliki dan kuasai.

Sangat menarik apa yang dikatakan oleh George Herbert Mead ketika membahas sebuah teori kominukasi, yakni teori interaksionalis simbolik. Ia menjelaskan bahwa manusia termotivasi untuk bertindak berdasarkan pemaknaan yang mereka berikan kepada orang lain, benda, dan kejadian. Dapat dikatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan pemaknaan atas simbol tertentu yang disepakati. 

Pemaknaan atas simbol ini diciptakan melalui bahasa yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi dengan pihak lain yakni dalam konteks komunikasi antarpribadi atau komunikasi interpersonal dan komunikasi intrapersonal atau self-talk atau dalam ranah pemikiran pribadi mereka. 

Bahasa sebagai alat komunikasi memungkinkan manusia mengembangkan sense of self dan untuk berinteraksi dengan pihak lain dalam suatu masyarakat. Interaksi dengan pihak lain itu dilakukan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Dengan demikian, ada beberapa unsur pokok dalam komunikasi tersebut yaitu meaning (makna), language (bahasa) dan thought (pemikiran) yang pada akhirnya akan mendorong pada pembentukan persepsi, sikap hingga perilaku seseorang.

Umat Islam termasuk para santri di Indonesia merupakan komunitas yang berpotensi untuk memperbaiki dan menyokong peradaban baru yang hendak dibangun untuk menjadi rahmatan lil ‘alamiin di bawah naungan kibaran panji-panji Islam. Maka sungguh disayangkan ketika di dalam film My Flag tersebut keberadaan santri justru ada yang dihadirkan sebagai santri-santri pembawa bendera tauhid yang harus dimusnahkan. 

Terlepas dari segala wujud keprihatinan tersebut, semua tidak terlepas dari pengaruh sistem sekulerisme yang telah menjangkiti pemikiran sebagaian besar masyarakat, khususnya umat Islam di negeri ini. Sistem yang telah membawa umat Islam pada pemikiran dan perilaku hidup yang jauh dari Islam, yang jauh dari tatanan syariat. 

Yang pada realitasnya tertanamlah hingga kini kebencian pada panji-panji Islam maupun syari'at. Sekularisme sedemikian rupa telah meracuni kaum Muslimin dengan beragam pemikiran maupun pandangan di berbagai bidang. Sekularisme telah berhasil merusak paradigma kaum Muslimin yang lurus dan mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala aspek kehidupannya.

Akibatnya bukanlah sesuatu yang mengherankan ketika hingga kini masih saja ada pihak-pihak yang melakukan penolakan bahkan pelecehan dan pengkriminalisasisian terhadap Al-Liwa dan Ar-Rayah. Hal tersebut dikarenakan kebodohan dan ketidakpahaman terhadap hakikat keduanya dalam Islam, dan lebih mengedepankan kecurigaan dan prasangka buruk terhadap apa-apa yang mereka belum ketahui. 

Selain dari itu, banyaknya upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam seperti bendera tauhid dan lainnya, hakikatnya adalah bagian dari agenda penyesatan opini yang didukung oleh kekuasaan rezim sekuler yang terjangkit islamophobia yang tidak menginginkan Islam tegak dalam bingkai institusi pemerintahan. Inilah bentuk keberhasilan dari visi misi Iblis yang berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, serta menyesatkan mereka dari kebenaran. Dan merupakan suatu keuntungan bagi negara-negara kafir penjajah yang memiliki ketakutan akan sebuah kekuatan tatkala umat Islam di seluruh dunia bersatu dalam satu kepemimpinan dalam institusi Khilafah Islamiyah di bawah kibaran panji-panji Rasullullah Saw.


Strategi Progresif yang Mampu Mendidik Umat Islam untuk Mencintai dan Membela Panji-Panji dan Simbol  Agamanya

Sebagai seorang muslim tentu kita sangat prihatin atas sebuah realitas masih ada saja dari umat Islam yang gagal paham atau gagal memahami ajaran Islam dan panji-panjinya. Lihat saja, bagaimana dakwah untuk penerapan syariah Islam secara kaffah terus-terusan dijegal dan dianggap sebagai ancaman negara. Melalui pengkriminalisasisian terhadap ajaran dan simbol-simbol Islam, yang mereka sebut akan mengancam kebhinnekaan, anti-NKRI, memecah belah persatuan, dan sebagainya. 

Bendera tauhid mereka stigma sebagai bendera teroris dari orang-orang yang berpaham radikalisme, bahkan tidak segan-segan ada yang sampai berani membakarnya. Adanya kalimat tayyibah yang tertulis dalam tubuh liwa dan rayah tidak mampu membuat hati mereka bergetar dan takut untuk melecehkannya. Namun ingin kembali kami tegaskan bahwa di balik semua itu, ada dugaan ketakutan yang luar biasa akan persatuan umat Islam di bawahnya. Yang dapat mengacam status quo dan penjajahan di negeri ini. 

Lalu, langkah progresif apa yang dapat dilakukan agar umat kembali pada fitrahnya yakni mencintai serta membela panji-panji dan simbol Islam? Berikut ada dua strategi progresif yang menurut kami dapat kita lakukan:

Pertama, mencintai dan mengagungkan kalimat tauhid yang ada di dalam panji Islam lebih dari cinta kepada bendera selainnya. Kalimat mulia Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh merupakan alamah atau ciri keagungan Islam. Umat Islam harus menyadari betul bahwa setiap dari dirinya haruslah memiliki misi Islam dengan dakwah dan jihad dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT ini bahkan sampai maut menjemput hanya kalimat inilah yang akan menjadi penuntunnya dalam menggapai ridha Allah SWT.

Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Siapa saja yang akhir ucapannya (sebelum wafat) adalah Lâ ilâha illalLâh maka dia pasti masuk surga (HR Abu Dawud).

Kalimat yang tertulis dalam ar-Rayah dan al-Liwa tidak lain merupakan simbol ketauhidan. Keduanya merupakan media syiar pemersatu umat atas dasar akidah, dan sungguh hal itu sangat berbeda dengan bendera-bendera pada umumnya yang acap kali menjadi penyekat bagi persatuan umat ataupun golongan. Sejatinya apabila kecintaan pada kalimat tauhid telah tertanam teguh pada diri seorang muslim, semestinya kecintaan itu juga tumbuh pada bendera liwa dan rayah yang merupakan panji kebanggaan Rasulullah hingga tumbuh ghirah di dalam dirinya untuk mengagungkannya bukan malah melecehkannya.

Kedua, memuliakan Panji Rasulullah saw dengan terus mendakwahkannya. Dalam Islam, adalah kebenaran bahwa Ar-Rayah disebut panji-panji perang dalam memerangi kaum kafir penjajah, dan Al-Liwa adalah simbol kepemimpinan umum. Selain dari keduanya juga berfungsi sebagai pemersatu umat Islam. Liwa dan Rayah bukanlah sekadar simbol biasa, namun keduanya adalah wujud mengekspresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran Islam. 

Liwa dan Rayah Rasulullah saw merupakan lambang akidah Islam yang membedakan antara Islam dan kekufuran. Yang mana pada tulisannya terdapat kalimat yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat kelak.

Dalam suatu hadits disebutkan bahwa panji tersebut akan dikibarkan oleh Rasulullah saw. kelak pada Hari Kiamat. Panji ini disebut sebagai Liwa`al-Hamdi. Rasulullah saw. bersabda:

«أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ وَبِيَدِى لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِىٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِى…»

Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat dan tidak ada kesombongan. Di tanganku ada Liwa` al-Hamdi dan tidak ada kesombongan. Tidak ada nabi pada hari itu, Adam dan yang lainnya, kecuali di bawah Liwa-ku (HR at-Tirmidzi).

Oleh karena itu adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk memuliakan panji-panji Islam yang akan menaunginya di akhirat kelak. Dengan mengagungkan dan menjunjung tinggi keduanya. Sebab keduanya merupakan syiar Islam dalam memerangi syiar-syiar jahiliah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat ashabiyah seperti yang terjadi pada hari ini. 

Allah SWT berfirman:

ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).

Atas dasar itulah sudah seharusnya bagi umat Islam untuk selalu menjunjung tinggi dan menghormati liwa dan rayah sebagai panji dan simbol keagungan Islam. Dan lebih dari itu, umat juga harus berjuang bersama dengan terus mendakwahkannya ke tengah umat, untuk mengembalikan kemuliaan keduanya sebagai panji tauhid, identitas, simbol sekaligus pemersatu bagi mereka. Hingga perilaku phobia dan kebencian terhadap panji maupun simbol Islam lainnya tidak lagi menjangkiti umat Islam.

Penutup

Pertama. Arti Panji Al-Liwa dan Ar-Rayah dalam Islam dan bagi ukhuwah Islamiyyah yaitu sebagai bendera dan panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang layak dijunjung tinggi oleh umat dalam mensyi’arkan Islam. Terlebih kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran, kalimat yang mempersatukan ukhuwah dalam ikatan yang hakiki, yakni ikatan akidah Islamiyah. Yang akan menghilangkan sekat-sekat kebangsaan yang dapat mecerai beraikan kaum muslimin di seluruh dunia.

Kedua. Sekularisme telah berhasil merusak paradigma kaum Muslimin yang lurus dan mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala aspek kehidupannya. Akibatnya bukanlah sesuatu yang mengherankan ketika hingga kini masih saja ada pihak-pihak yang melakukan penolakan bahkan pelecehan dan pengkriminalisasisian terhadap panji dan simbol Islam. Hal tersebut dikarenakan kebodohan dan ketidakpahaman terhadap hakikat keduanya dalam Islam, dan lebih mengedepankan kecurigaan dan prasangka buruk terhadap apa-apa yang mereka belum ketahui. Selain dari itu, banyaknya upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam seperti bendera tauhid dan lainnya, hakikatnya adalah bagian dari agenda penyesatan opini yang didukung oleh kekuasaan rezim sekuler yang terjangkit islamophobia yang tidak menginginkan Islam tegak dalam bingkai institusi pemerintahan. 

Ketiga. Langkah progresif yang dapat dilakukan agar umat kembali pada fitrahnya yakni mencintai serta membela panji-panji dan simbol Islam dapat dilakukan dengan dua langkah: Pertama, mencintai dan mengagungkan kalimat tauhid yang ada di dalamnya. Kedua, memuliakan serta menjunjung tinggi panji Rasulullah saw dan dengan terus mendakwahkannya ke tengah umat. Tabik.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.,* dan Liza Burhan**
*Pakar Hukum Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
**Analis Mutiara Umat
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar