Dilema Pembumian Al Quran sebagai Pedoman Hidup di Tengah Sistem Pemerintahan Demokrasi-Sekuler




Presiden Joko Widodo memandang bahwa penyelenggaraan MTQ merupakan wujud keinginan kuat untuk membumikan ajaran Al Quran serta menegakkan syiar Islam, untuk memperkokoh nilai-nilai agama dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan berbangsa. Pernyataan ini disampaikan dalam video singkat sambutan pembukaan MTQ Tingkat Nasional Tahun 2020, Sabtu (14/11/2020), yang diunggah oleh kanal youtube Sekretariat Kabinet RI. 

Dalam sambutan tersebut, ia juga mengingatkan bahwa Al Quran merupakan sumber petunjuk dan pedoman hidup yang aktual sepanjang masa, berisi nilai-nilai luhur universal yang sejalan dengan fitrah manusia yang hanif. Bahkan ia juga mengatakan, dalam menjalankan Al Quran patut meneladani pribadi Rasulullah SAW, kepribadian dengan kemuliaan akhlak yang bersumber dari Al Quran.

Sebuah pernyataan yang indah didengar, apalagi keluar dari orang nomor satu di negeri ini. Seakan negeri ini sedang melaju menjalankan tampu pemerintahan dengan bertumpu pada penerapan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Namun kenyataannya, saat ini negara hidup dalam sistem demokrasi sekuler, atas nama demokrasi banyak syariat Islam yang berusaha dikebiri. Gaya hidup sekuler liberal kian merusak umat Islam, baik secara pemikiran maupun perbuatan. Lalu, mungkinkah syariah Islam sebagai wujud implementasi membumikan Al Quran dan menjadikannya jalan hidup benar-benar terwujud dalam jerat sistem demokrasi-sekuler?


Mustahil Membumikan Al Quran sebagai Pedoman Hidup Umat Islam di Indonesia dalam Sistem Demokrasi-Liberal 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ  ۛ فِيهِ  ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Tafsir al-Jalalain mengartikan ayat ini, "(Kitab ini) yakni yang dibaca oleh Muhammad saw. (tidak ada keraguan) atau kebimbangan (padanya) bahwa ia benar-benar dari Allah swt. Kalimat negatif menjadi predikat dari subyek 'Kitab ini', sedangkan kata-kata isyarat 'ini' dipakai sebagai penghormatan. (menjadi petunjuk) sebagai predikat kedua, artinya menjadi penuntun (bagi orang-orang yang bertakwa) maksudnya orang-orang yang mengusahakan diri mereka supaya menjadi takwa dengan jalan mengikuti perintah dan menjauhi larangan demi menjaga diri dari api neraka."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 2)

Sedangkan, makna takwa menurut Ibnu Katsir adalah menjaga diri dari hal-hal yang dibenci, karena kata taqwa berasal dari kata al-wiqaayah (penjagaan).

Dikatakan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab mengenai takwa. Lalu Ubay bertanya kepadanya: "Apakah engkau pernah melewati jalan berduri?" Umar menjawab: "Ya." Ubay bertanya lagi: "Lalu apa yang engkau lakukan?" Umar menjawab: "Aku akan berusaha keras dan bersungguh-sungguh untuk menghindarinya." Lalu Ubay mengatakan: "Itulah takwa."
[Tafsiir al-Baghawi (I/59), Jaami'ul 'Uluum wal Hikam (I/160)]

Takwa yang berarti mengikuti apa yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah SWT dengan menjadikan Al Quran sebagai sumber hukum serta as-Sunnah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Membumikan ajaran Al Quran agar nilai-nilai agama tegak dalam sendi-sendi kehidupan, berarti harus menjadikan Al Quran sebagai pedoman hidup, harus tunduk sepenuhnya dengan setiap aturan yang Allah SWT turunkan, baik yang tertuang dalam Kalamullah mau pun as-Sunnah. Memahami Al Quran sebagai pedoman hidup, berarti meyakini bahwa Islam bukan sekedar agama ritual, yang hanya berbicara tentang ibadah mahdhah saja. Lebih dari itu, Islam juga mengatur segala macam aturan dalam setiap aspek kehidupan, dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Al Quran tidak hanya berbicara tentang shalat, puasa atau haji saja. Tapi, Al Quran juga memerintahkan untuk menjauhi riba, melarang zina, menjalankan qisas dan hukum-hukum lainnya.

Islam ini adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk seluruh manusia. Risalah Islam yang dibawa oleh beliau mencakup akidah dan syariah. Syariah Islam mengatur tiga hal: pertama, hubungan manusia dengan Penciptanya dalam masalah akidah dan ibadah; kedua, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yakni dalam masalah akhlak, pakaian, makanan dan minuman; ketiga, hubungan manusia dengan sesamanya dalam masalah muamalah. Hukum-hukum muamalah ini diantaranya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem pidana, politik pendidikan, politik luar negeri. Hukum ini hanya dapat tegak ketika daulah yang menerapkannya. 

Maka, membumikan ajaran Al Quran untuk memperkokoh nilai-nilai agama dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan berbangsa serta menjadikan Al Quran sumber petunjuk dan pedoman hidup dapat terwujud dengan ketakwaan hakiki, tunduk secara totalitas, menjalankan syariah Islam secara kaffah. Dan hanya orang-orang yang bertakwalah yang menjadikan Al Quran sebagai petunjuk dalam setiap aktivitasnya.

Saat ini umat Islam tidak hidup dalam habitatnya, namun terpaksa hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme yang berakidah sekuler. Makna sekuler adalah memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga tidaklah mengherankan ketika saat ini, banyak ditemukan kebijakan-kebijakan penguasa yang jauh dari syariah Islam, bahkan bertolak belakang dengan aturan Islam.

Dikutip dari mediaumat.news, Senin (16/11/2020), Pengamat Sosial Politik Iwan Januar menilai semua kebijakan yang dijalankan pemerintahan di Indonesia justru tidak selaras dengan Al Quran. Bahkan menurutnya, yang kita lihat justru sering muncul penentangan terhadap hukum-hukum yang dibawa Al Quran. Seruan penerapan syariat Islam justru dipandang sebagai tindakan radikalisme. Ada proses deislamisasi terhadap ajaran Islam dengan muncul arus Islam Nusantara. Menurutnya, kebijakan di Indonesia sejak lama adalah sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan. Ia menilai pernyataan Jokowi tersebut hanya lips service dan menjadikan Islam dan kaum Muslimin cuma sebagai komoditas politik dan ekonomi.

Kebijakan-kebijakan yang muncul dalam sistem saat ini lebih cenderung jauh dari apa yang diatur dalam Al Quran, umat Islam yang ingin menjalankan Islam secara kaffah dianggap radikal. Siapa yang memuhasabahi penguasa dianggap sebagai lawan. Produk undang-undang yang dibuat cenderung menjadi palu hukum untuk menggebug lawan. Dalam bidang hukum, jauh dari keadilan, karena selama hukum itu buatan manusia maka akan cenderung mengikuti hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan mereka yang berkuasa.

Ini bertolak belakang dengan syariah Islam, hukum di dalam Islam bersumber dari Al Quran dan as-Sunnah. Pembuat hukum adalah al-Khaliq yang tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap manusia. Setiap aturan dalam Islam sesuai dengan kebutuhan manusia. Siapa pun yang melanggar syara akan dikenai sanksi, tidak peduli jika itu dilakukan oleh keluarga sendiri.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah menegaskan bahwa seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri pasti akan aku potong tangannya. Ini adalah wujud penegasan untuk bersikap adil kepada siapa pun tanpa pandang bulu, kawan atau pun lawan. Namun sekali lagi, keadilan seperti ini tidak ditemukan dalam sistem buatan manusia saat ini.

Bukan hanya dalam bidang hukum, segala bentuk pengurusan urusan umat juga jauh dari apa yang diperintahkan Al Quran. Perintah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, baik kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan tidak bisa terpenuhi secara merata. Bahkan rakyat dibebani dengan berbagai pajak, iuran dan tarif. Dalam sistem yang jauh dari penerapan Al Quran, rakyat tidak menemukan kesejahteraan bahkan kian tertindas dan terzalimi.

Belum lagi kekayaan alam yang dianugerahkan Allah SWT yang seharusnya dikelola negara untuk kemudian hasilnya dipakai mensejahterakan rakyat, baik untuk pendidikan dan kesehatan serta fasilitas-fasilitas umum lainnya. Sehingga rakyat dapat menikmati secara cuma-cuma. Namun dalam sistem demokrasi kapitalis, seluruh kekayaan alam menjadi santapan para kapitalis dan ironisnya negara menjadi jalan pemulusnya.

Dalam sistem sosial, umat Islam terbelenggu gaya hidup liberal sekuler. Atas nama kebebasan, agama tidak berhak mengatur hidup manusia, dijadikan legitimasi untuk berbuat apa pun sekehendak hatinya. Atas nama HAM, segala bentuk penyimpangan seksual berusaha dilegalkan. Liberal sekuler semakin dalam merusak dan menjauhkan umat dari ajaran Islam. Zina semakin merajalela, LGBT semakin pongah tidak merasa dosa, kemaksiatan tidak lagi ditutup-tutupi, malah banyak yang bangga melakukannya. 

Dalam sistem demokrasi-sekuler saat ini, syariah Islam diamputasi, dikebiri dibuat tidak bernyali dan semakin jauh dari penerapan Al Quran. Jadi wajar ketika ada yang menilai bahwa pernyataan membumikan Al Quran, menjadikannya sebagai petunjuk dan pedoman hidup hanya sekedar lips service semata. Karena kebijakan saat ini yang bertolak belakang dengan Islam, kehidupan semakin jauh dari Islam. Jadi, membumikan Al Quran sebagai pedoman hidup umat Islam di Indonesia dalam sistem pemerintahan demokrasi-liberal adalah mustahil.


Membumikan Al Quran sebagai Pedoman Hidup dengan Menerapkan Islam Kaaffah Semakin Terasing di Tengah Sistem Demokrasi-Sekuler

Kemustahilan menjalankan ajaran Islam secara kaffah di tengah sistem demokrasi-sekuler, membuat umat Islam yang berusaha tunduk pada aturan Allah ini menjadi sangat sulit dan susah. Karena sekali lagi, umat Islam tidak sedang hidup dalam habitatnya. Sistem demokrasi-sekuler jauh bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Alhasil, kondisi sulit seperti ini, menjadikan umat Islam semakin jauh dari ajarannya. Siapa yang teguh menggenggam bara api agamanya menjadi semakin terasing dalam kehidupan yang penuh dengan kerusakan yang sistemik ini.

Rasulullah SAW bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُكَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَءِ

"Islam itu bermula asing dan akan kembali asing seperti awalnya. Karena itu kegembiraan dan kebaikanlah untuk orang-orang yang terasing." (HR Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dalam periwayatan hadist yang lain, Rasul SAW mendeskripsikan sifat al-ghuraba itu diantaranya:

Ath-Thabarani dan al-Qudha’i meriwayatkan hadis dari Sahal bin Saad as-Sa’idi bahwa Rasul SAW bersabda:

"Sungguh Islam bermula asing dan akan kembali asing seperti mulanya. Karena itu kegembiraan untuk al-ghuraba." Mereka berkata, "Ya Rasulullah, siapakah al-ghuraba itu?" Beliau bersabda, "Orang-orang yang melakukan perbaikan ketika masyarakat rusak."

Ibnu Wadhah meriwayatkan dari Bakar bin Umar dan al-Mughafiri, bahwa Rasul SAW bersabda:

"Kegembiraan untuk al-ghuraba, yaitu orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah ketika Kitabullah ditinggalkan dan mengamalkan sunnah ketika sunnah dipadamkan."

Kiranya deskripsi hadist-hadist di atas sinkron dengan kondisi masyarakat saat ini. Dalam jerat sistem demokrasi-sekuler kemaksiatan dan kefasadan tersebar dimana-mana. Penyimpangan terhadap syariah Islam menjadi suatu hal yang biasa. Demokrasi-sekuler menjadikan kerusakan di segala aspek kehidupan sebagaimana yang telah sedikit dijabarkan penulis di poin A. 

Sungguh, di masyarakat kerusakan telah tersebar, baik dalam ide, perilaku, pemikiran, hukum dan peraturan, yang menyimpang dari tuntutan Allah dan menyalahi syariah-Nya. Siapa yang berpegang pada tuntunan Allah, terikat dengan syariah, tentu akan menjadi orang yang asing, terasing dari masyarakat yang cenderung telah rusak.

Menjadi al-ghuraba, orang-orang yang terasing karena melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan yang ada di masyarakat, menghidupkan sunnah Nabi SAW, yakni syariah Islam, dan mengajarkannya kepada masyarakat adalah dampak atau konsekuensi saat ingin taat di saat kondisi semakin rusak. Terlebih kerusakan yang ada di masyarakat saat ini tidak lagi hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif bahkan sistematik. 

Kita harus siap menjadi bagian atau potret al-ghuraba yang lebih dekat pada orang-orang yang berhimpun dalam jamaah yang senantiasa berpegang pada tuntunan Allah, terikat kepada syariah, membumikan Al Quran dan menjadikannya petunjuk dan pedoman hidup, serta mengajarkannya kepada masyarakat dan memperjuangkan penerapan syariah serta mengajak umat untuk menerapkan syariah Islam secara kaaffah.


Membumikan Al Quran sebagai Pedoman Hidup dengan Menerapkan Islam Secara Kaffah

Membumikan Al Quran sebagai pedoman hidup tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi-sekuler. Tidak ada cara lain yang dapat ditempuh, kecuali dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah.

Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, secara kaffah, semua sendi-sendi kehidupan akan terjaga. Berikut delapan kemaslahatan ketika syariah dan khilafah diterapkan secara kaffah:

(1) Terjaga agama (hifdh ad-diin) 

Negara akan menjamin hak beragama tiap rakyatnya dan khususnya menjaga keutuhan aqidah umat Islam dengan menerapkan hukuman yang tegas pada muslim yang murtad atau menistakan Islam.

(2) Terjaga Jiwa (hifdh an-nafs)

Negara menjamin keamanan jiwa setiap warganya. Dan jika terjadi pelanggaran, hukumannya bisa berupa diyat (tebusan darah), qishash (dibunuh). Melindungi nyawa rakyat menjadi prioritas utama daripada melindungi stabilitas ekonomi, hilangnya nyawa seorang muslim lebih lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai & Turmudzi).

(3) Terjaga akal [hifdh al-'aql )

Negara menjaga akal setiap warganya dengan mengharamkan memproduksi, mengkonsumsi, mendistribusikan segala yang merusak akal manusia seperti khamer, narkoba dan sejenisnya.

Negara harus punya kemampuan dan kendali terhadap arus informasi yang beredar di masyarakat, dengan melakukan “mobilisasi secara pemikiran dan maknawi” di tengah umat. Meningkatkan tsaqofah umat secara pemikiran dan kejiwaan dengan Islam, akidah, dan hukum-hukumnya, agar terwujud masyarakat Islam yang kokoh, mulia dan bersih karena ketakwaannya serta memiliki daya tahan terhadap setiap ujian hidup.

(4) Terjaga harta (hifdh al-maal)

Negara menjaga harta setiap warga negara dan menghukum siapapun yang melanggar hak orang lain dengan hukum potong tangan atau ta'zir.

(5) Terjaga keturunan (hifdh an-nasl)

Negara menjaga keturunan tiap warganya dengan mengharamkan zina, LGBT dan memerintahkan pernikahan. Jika dilanggar, maka sanksinya bisa dicambuk atau dibunuh.

(6) Terjaga kehormatan (hifdh al-karaamah)

Negara menjaga kehormatan tiap warganya agar tidak sembarangan dalam menuduh seseorang berbuat kejahatan, kecuali dengan bukti. Jika dilanggar prinsip ini, maka sanksinya bisa berupa had atau ta'zir.

(7) Terjaga keamanan (hifdh al-amn)

Negara menjamin keamanan individu, masyarakat dan negara dari segala bentuk teror, intimidaai dan begal. Dan pelakunya akan dikenai sanksi yang keras.

(8) Terjaga Negara (hifdh ad-daulah)

Negara menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan dalam negeri dengan mengharamkan pemberontakan dan memisahkan upaya untuk memisahkan diri dari wilayah. Pelakunya pun akan dikenai sanksi yang keras.

Inilah strategi jitu Islam dalam menjaga Al Quran terterap dalam seluruh sendi-sendi kehidupan. Para penguasa negeri-negeri Muslim sudah seharusnya bertobat dan kembali kepada Allah SWT, karena kebijakan-kebijakan mereka jauh dari tujuan-tujuan penerapan syariat Islam. Mereka harus meninggalkan konsep bernegara buatan manusia yang rusak, yang tidak akan menghantarkan apa pun kecuali kezaliman dan kerusakan.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama. Membumikan ajaran Al Quran untuk memperkokoh nilai-nilai agama dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat dan berbangsa serta menjadikan Al Quran sumber petunjuk dan pedoman hidup dapat terwujud dengan ketakwaan hakiki, tunduk secara totalitas, menjalankan syariah Islam secara kaffah. Dan hanya orang-orang yang bertakwalah yang menjadikan Al Quran sebagai petunjuk dalam setiap aktivitasnya.

Dalam sistem demokrasi-sekuler saat ini, syariah Islam diamputasi, dikebiri dibuat tidak bernyali dan semakin jauh dari penerapan Al Quran. Jadi wajar ketika ada yang menilai bahwa pernyataan membumikan Al Quran, menjadikannya sebagai petunjuk dan pedoman hidup hanya sekedar lips service semata. Karena kebijakan saat ini yang bertolak belakang dengan Islam, kehidupan semakin jauh dari Islam. Jadi, membumikan Al Quran sebagai pedoman hidup umat Islam di Indonesia dalam sistem pemerintahan demokrasi-liberal adalah mustahil.

Kedua. Alhasil, kondisi sulit seperti ini, menjadikan umat Islam semakin jauh dari ajarannya. Siapa yang teguh menggenggam bara api agamanya menjadi semakin terasing dalam kehidupan yang penuh dengan kerusakan yang sistemik ini.

Menjadi al-ghuraba, orang-orang yang terasing karena melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan yang ada di masyarakat, menghidupkan sunnah Nabi SAW, yakni syariah Islam, dan mengajarkannya kepada masyarakat adalah dampak atau konsekuensi saat ingin taat di saat kondisi semakin rusak. Terlebih kerusakan yang ada di masyarakat saat ini tidak lagi hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif bahkan sistemik. 

Ketiga. Jadi, membumikan Al Quran sebagai pedoman hidup tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi-sekuler. Tidak ada cara lain yang dapat ditempuh, kecuali dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah.


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Analis Mutiara Umat dan Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Agama itu tentang kita dan tuhan, walaupun kita hidup di negara sekuler sekalipun tidak masalah. Indonesia sejak awal sudah jadi negara bhineka tunggal ika jadi tidak bisa kita memaksa jadi negara islam.

    BalasHapus
  2. Bukan hanya Indonesia, tapi seluruh Umat Islam sedunia, memilih pemimpin muslim untuk mendirikan Khilafah, dalam Qur'an hanya ada 2 : Islam dan Kafir (bukan non muslim) jika kita memang Islam, lantas kita Islam yg mana jika tidak tahu sistem Islam itu sendiri yaitu Khilafah

    BalasHapus