Dana Wakaf Dibidik, Syariat Islam Tak Dilirik: Inikah Karakter Rezim Liberalisme Kapitalistik?



Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada selain utang dan pajak, dana umat Islam pun jadi. Pasca kehebohan dana haji untuk infrastruktur, kini pemerintah membidik dana wakaf untuk sumber keuangan baru. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menarget partisipasi pengumpulan dana wakaf yang lebih besar dari masyarakat kelas menengah Indonesia, khususnya generasi muda alias milenial. Ia menyebut kesadaran kalangan ini terhadap instrumen wakaf tengah meningkat sehingga bisa dijadikan sumber keuangan baru untuk memenuhi pembiayaan dari dalam negeri.

Sri Mulyani mendasarkan hal ini dari realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia tahun ini senilai Rp217 triliun, atau setara 3,4 persen total Produk Domestik Bruto (PDB). Menurutnya, jika mobilisasi ini dilakukan, akan menjadi langkah besar untuk mengumpulkan pendanaan sosial dan instrumen (wakaf) bisa dikembangkan.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga menginginkan meningkatnya partisipasi masyarakat mewakafkan dana. Ma’ruf menilai, wakaf merupakan potensi besar yang selama ini belum digali. Padahal wakaf bisa menjadi sumber pembiayaan proyek sosial dengan jumlah besar dan menggerakkan ekonomi nasional. Perlu kebijakan memperluas ragam wakaf dan menarik minat wakaf masyarakat. Salah satunya melalui Gerakan Nasional Wakaf Tunai (GNWT) (cnnindonesia.com, 25/10/2020).

Untuk mendukung hal ini, pemerintah baru saja menerbitkan sukuk wakaf atau Cash Wakaf Linked Sukuk (CWLS) ritel seri SWR 001. Sukuk ini bisa dibeli secara individu dan institusi. Masa penawaran 9 Oktober 2020 hingga 12 November 2020. Masyarakat bisa memilih wakaf tunai secara temporer atau permanen. (cnnindonesia, 31/10/2020).

Begitu bersemangatnya pemerintah membidik dana umat Islam, berbanding terbalik dengan penyikapan terhadap syariat Islam yang lain. Tak hanya ditolak, khilafah sebagai salah satu ajaran Islam misalnya, distigma negatif dan pejuangnya dikriminalisasi. 

Ya, paradoks ini senantiasa dipertontonkan oleh rezim. Sebagian kalangan pun menilai bahwa pemerintah telah kehabisan cara untuk menambah pemasukan negara selain dengan pajak dan utang.


Dana Wakaf Dibidik, Syariat Islam Tak Dilirik

Tak dipungkiri, potensi umat Islam sangat menggiurkan. Indonesia memiliki penduduk muslim mencapai 87 persen dari total populasi 267 juta orang. Ini tentu potensi sangat besar khususnya dalam hal pengelolaan dana umat. Diharapkan, dana yang terkumpul dari program GNWT dan sejenisnya, bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah dalam rangka akselerasi pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.

Saat ini Indonesia terancam resesi pada kuartal III 2020 akibat wabah pandemi Covid-19. Pembahasan wakaf menjadi isu penting untuk digulirkan sebagai buffer (penyangga) ekonomi nasional. Kebijakan pemberdayaan dana sosial keagamaan ini menjadi alternatif bagi pemerintah. 

Pemerintah juga telah memasukkan pengembangan kelembagaan ekonomi umat dalam program prioritas nasional pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sekretaris Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag), Muhammad Fuad Nasar menyatakan cetak biru (blueprint) pemberdayaan wakaf sebagai rencana induk pengembangan wakaf dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang juga diperlukan (liputan6.com, 30/10/2020).

Terlebih, utang luar negeri (ULN) Indonesia sangat membengkak. Data pada akhir Agustus 2020, ULN Indonesia tercatat di angka 413,4 miliar dolar AS. Terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 203,0 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 210,4 miliar dolar AS (pikiran-rakyat.com, 15/10/2020).

Pemerintah nampak kehabisan cara untuk menambah sumber pendapatan negara selain utang dan pajak. Membidik dana abadi wakaf tentu menjadi alternatif dengan low risk (risiko rendah) dibandingkan harus menambah utang baru. Apalagi karakter masyarakat muslim sangat filantropis dan peduli terhadap sesama.

Namun, penggalakan dana wakaf untuk investasi ini bukanlah indikasi bahwa syariat Islam sudah mendapatkan ‘lampu hijau’ di negeri ini. Faktanya, pemerintah hanya tertarik pada dana umat Islam seperti wacana dana haji bagi infrastruktur, keinginan agar zakat dikelola seperti pajak, hingga dana wakaf demi pembangunan dan penuntasan masalah ekonomi.

Sebagaimana watak kapitalisme yang dianut oleh rezim. Apapun yang bermanfaat akan diambil. Sementara hal merugikan akan ditolak. Untung rugi menjadi landasan kebijakan. Prinsip ekonominya yaitu dengan usaha sekecil-kecilnya demi memperoleh hasil sebesar-besarnya sebagai pijakan.

Di tengah tekanan ekonomi dalam kemelut pandemi saat ini, mengumpulkan dana wakaf adalah cara termudah mendapatkan sumber pemasukan. Lebih mudah dibandingkan mengupayakannya lewat pengelolaan sumber daya alam. 

Adapun terhadap aspek syariat Islam lainnya, terlebih aturan kemasyarakatan dan kenegaraan, rezim kapitalis sekuler tentu enggan memberlakukan. Bahkan memosisikannya sebagai ancaman bagi kekuasaan. Tak heran jika mereka menolak isu penerapan syariat Islam kafah, ide khilafah, dengan berbagai dalih. Pun menyematkan stigma negatif terhadapnya dengan cap radikalisme, intoleran, anti NKRI dan memecah-belah persatuan bangsa.

Tak hanya itu. Pejuang Islam pun dikriminalisasi. Tersebab konten ceramah atau unggahan yang bernada kritik dan berseberangan kepentingan, aktivitas pendakwah dibatasi, hingga dijebloskan dalam bui. Nampak bahwa rezim mengambil syariat Islam ala menu prasmanan. Dipilih-pilih sesuai hawa nafsunya. Yang enak dan menyenangkan dimakan. Yang kurang lezat ditinggalkan. 

Inilah karakter rezim kapitalis liberalistik. Mengambil syariat Islam hanya bagian yang menguntungkan. Namun enggan menerapkan syariat Allah itu sendiri. 


Dana Wakaf, Solusi Parsial Bukan Fundamental

Kini Indonesia berada di ambang resesi ekonomi. Di masa pandemi Covid-19, keuangan negara tertekan karena penerimaan pajak anjlok, sedangkan pemerintah butuh dana jumbo untuk menangani dampak pandemi. Pakar Ekonomi Syariah Syakir Sula mengatakan dana wakaf berpotensi cukup besar untuk menopang ekonomi Indonesia. Hal ini khususnya membantu negara dalam menghadapi tekanan ekonomi di tengah pandemi.

Pemasukan dari dana wakaf memang akan memberikan sumbangsih bagi perbaikan ekonomi. Namun menilik penyebab mendasar kekisruhan ekonomi ini, jika pengumpulan wakaf dijadikan sebagai solusi, tentu tak mampu menyelesaikan problematika ini. 

Justru penerapan sistem kapitalismelah penyebab utama krisis ekonomi di negeri ini. Kerapuhan kapitalisme menyebabkan mudahnya perekonomian dalam negeri maupun skala dunia goncang. Sebab ekonomi kapitalisme berdiri di atas sektor non riil dan sistem ribawi. Sistem ekonomi seperti ini, dengan isu kecil saja balon ekonomi bisa meledak sewaktu-waktu. Apalagi dilanda masalah besar seperti pandemi Covid-19 saat ini. 

Sebelum pandemi saja, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk miskin tinggi. Apalagi selama pandemi dimana terjadi PHK massal, pengangguran meningkat, tentu kemiskinan pun meroket. Belajar dari penerapan sistem kapitalisme selama ini, memang rentan terjadi krisis. Krisis yang berulang bahkan terjadi resesi, merupakan wajah asli penerapan kapitalisme. 

Terkait hukum wakaf tunai itu sendiri, sebenarnya terjadi perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Sumber perbedaan pendapat terkait dengan uang sebagai barang wakaf, apakah bendanya tetap ada atau akan lenyap. Perbedaan tersebut adalah: 

Pertama, membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat ulama Maliliyyah, satu riwayat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyah dan satu pendapat di kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah.

Kedua, tidak membolehkan wakaf tunai. Ini berdasarkan pendapat mayoritas fuqaha Hanafiyah, mazhab Syafi’i, dan pendapat sahih di kalangan fuqaha Hanabilah dan Zaidiyyah. 

Merujuk pendapat Ustaz Shiddiq Al Jawi, yang lebih kuat (rajih) ialah pendapat yang tidak membolehkan, dengan tiga alasan yaitu: 

Pertama, pendapat ini lebih sesuai dan lebih dekat kepada definisi syar’i bagi wakaf, yang mensyaratkan tetapnya zat harta wakaf. Wakaf uang tunai tak memenuhi syarat ini karena zat uang akan segera lenyap ketika digunakan. 

Kedua, pendapat ini berpegang dengan hukum asal yaitu benda wakaf harus dipertahankan zatnya. Berpegang dengan hukum asal adalah sesuatu yang yakin, sedang menyalahi hukum asal masih diragukan, kecuali ada dalilnya. Kaedah fiqih menyebutkan, al yaqiin laa yuzaalu bi al syakk (sesuatu yang yakin tak dapat dihilangkan dengan keraguan). (Jalaluddin Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha’ir, hlm. 50).

Ketiga, sesungguhnya pendapat yang membolehkan lebih bersandar kepada dalil kemashlahatan (mashalih mursalah). Padahal mashalih mursalah bukan dalil syar’i yang mu’tabar (kuat). 

Terlebih jika pengelolaan dana wakaf justru tak sesuai dengan syariat Islam. Diwartakan dari CNNIndonesia, Sabtu (31/10/2020), Syakir Sula menyebut masyarakat juga bisa berwakaf melalui bank. Masyarakat bisa memilih produk wakaf di perbankan, baik di bank konvensional maupun syariah. Masyarakat menabung seperti biasa, nanti bank mengelola atau menginvestasikan uang itu dan imbal hasilnya dibagi ke penerima wakaf. Lalu uangnya tetap akan menjadi milik orang yang menabung. 

Kemudian, masyarakat juga bisa berwakaf melalui reksadana (saham). Sama seperti di bank, dana yang diwakafkan hanya hasil keuntungan dari pengelolaan di reksadana. Bedanya, masyarakat bisa memilih berapa porsi keuntungan yang akan diwakafkan. Misalnya, keuntungan yang diwakafkan hanya 75 persen, sedangkan 25 persennya masuk ke rekening pemilik reksadana.

Nantinya, uang pokok dari investasi tersebut tetap akan menjadi hak pemilik rekening reksadana. Hanya saja, dana itu akan ditanamkan di instrumen reksa dana dalam waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan investor dan perusahaan manajer investasi.

Pengelolaan wakaf melalui bank dan kepemilikan saham akan menjauhkan pelakunya dari syariat Islam. Tersebab mengandung praktik riba, maysir (spekulasi) dan gharar (ketidakpastian) yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Bagaimana mungkin akan mendapat solusi barokah jika dana umat Islam ini dikelola dengan cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat?

Jika yang terjadi seperti ini, dana wakaf tak hanya menjadi solusi tambal sulam bagi krisis ekonomi, namun cara pengelolaanya justru akan menjauhkan umat Islam dari prinsip syariat Islam. 


Sistem Ekonomi Islam Tahan Banting di Masa Resesi

Resesi ekonomi saat ini merupakan masalah sistemik, yakni akibat penerapan sistem kapitalisme liberal. Setidaknya ada empat penyebab resesi, yaitu:

Pertama, sirkulasi atau perputaran harta hanya terjadi di kalangan orang kaya saja.
Kedua, praktik ekonomi ribawi.
Ketiga, praktik maysir (spekulasi) dan gharar (ketidakpastian).
Keempat, sifat tamak, khas bentukan peradaban sekularisme kapitalis.

Konsep seperti ini tentu sangat berbeda dengan konsep ekonomi Islam yang lebih tahan terhadap krisis (resesi ) ekonomi. Berikut ini adalah gambaran sistem ekonomi Islam: 

Pertama, larangan kanzul mal (penimbunan/menumpuk harta) yang akan menarik perputaran uang di masyarakat, termasuk harta yang disimpan atau ditahan dalam berbagai bentuk surat berharga.

Kedua, mengatur kepemilikan. Islam melarang privatisasi sehingga aset semacam sumber daya alam dalam deposit melimpah tidak bisa dikuasai korporasi. Rasulullah Saw bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Ketiga, menerapkan mata uang yang ‘tidak palsu’ yaitu berbasis emas dan perak. Ketika mata uang berganti, transaksi akan ekuivalen antara peredaran jumlah uang dengan barang/jasa. Ekonomi pun stabil dan produktif. 

Keempat, menghentikan kegiatan transaksi ribawi dan spekulatif yang menjadi muara persoalan. Umat Islam harus berkeyakinan bisa membangun ekonomi kuat non ribawi, sehingga Allah akan turunkan keberkahan dari langit dan bumi.

Kelima, penerapan zakat maal dalam regulasi negara. Zakat ini akan disalurkan kepada delapan kelompok sebagaimana firman Allah dalam QS. At Taubah: 60. Hasilnya, program pengentasan kemiskinan berjalan simultan.

Dengan kelima hal di atas, telah terwujud perekonomian selama 13 abad secara produktif dan tidak pernah mengalami krisis. Yakni terjadi pada masa kekhalifahan islamiyah. Tidakkah kita ingin mengulangi masa kejayaan Islam yang membawa umat pada kebahagiaan dan kesejahteraan ini?[]


Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media; Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo 

Pustaka:
Al Jawi, Shiddiq, Hukum Wakaf Tunai

Sa’adah, Nida, Resesi Siklik Akibat Islam Tidak Digunakan sebagai Regulasi, muslimahnews.com, 26 Oktober 2020

Asfa, Ummu Naira, Dana Umat YES, Syariat Islam NO? Islam Bukan Ideologi Prasmanan! Muslimahnews.com, 5 November 2020

Posting Komentar

0 Komentar