Bukan Soal 'How Democracies Die', Tapi 'How Caliphate Rise Again'




TintaSiyasi.com-- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tengah viral karena unggahan di akun media sosialnya soal dirinya yang tengah bersantai dengan membaca buku berjudul How Democracies Die. Unggahan foto Anies ini viral di media sosial. (wartaekonomi.co.id, 24 November 2020)

Diketahui, How Democracies Die adalah buku karya akademisi asal Universitas Harvard, AS, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Kedua profesor itu disebut sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari demokrasi di Eropa, Amerika Latin hingga AS. Buku tersebut membahas beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres, tetapi lekat dengan label 'diktator'.

Dalam bukunya, mereka mencatat bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu.

Dalam konteks modern, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem politik terbaik. Mengutip buku Demokrasi Politik dalam Paradoks yang ditulis oleh Budiarto Danujaya yang diterbitkan oleh Gramedia (2012), sebuah riset  pada tahun 1996 yang terdapat dalam Inoguchi, Takashi, et al (ed), The Changing Nature of Democracy, Tokyo: United Nations University Press (1998) menunjukan bahwa terdapat 100 negara yang memadai untuk disebut sebagai negara demokrasi.

Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila juga terkesan menjadikan nilai Pancasila hanya sekedar menjadi catatan di atas kertas belaka. Akhir skenarionya dapat ditebak bahwa negara hukum Indonesia hendak dipaksa berubah arah menjadi negara kekuasaan dan ini berarti hal itu telah menjawab pertanyaan kritis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt : How Democracies Die? Ketika hukum telah terhegemoni oleh kekuasaan maka taring hukum tumpul bahkan hukum akan diterapkan sesuka pemegang kekuasaan atau sering disebut dengan istilah SSK alias Suka-Suka Kami, trial by vested interest kadang terkesan lebih diutamakan dibandingkan dengan trial by rule of law sehingga yang muncul adalah trial without truth sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi. Keadaan ini akhirnya akan berakhir dengan trial without justice.

Sedangkan dalam tinjauan syari’ah, sesungguhnya jalan demokrasi itu bertentangan dengan hukum syariah. Demokrasi adalah sistem kufur, karena mengajarkan bahwa kedaulatan (siyadah, sovereignty) ada di tangan rakyat. Dengan kata lain, kekufur-annya itu bukan karena mengajarkan bahwa kekuasaan itu di tangan rakyat, tetapi karena faham kedaulatan rakyat tersebut. 

Dalam tinjauan fakta, jalan demokrasi sebenarnya penuh dengan permainan politik yang menipu dan destruktif terhadap visi politik Islam. Penganut demokrasi sering melakukan kecurangan untuk meraih kemenangan dalam Pemilu. Kalaupun kalah, mereka akan pura-pura sportif menghormati hasil Pemilu yang berhasil dimenangkan oleh partai Islam. Namun kemudian, mereka akan bermain dengan licik di balik layar, berkonspirasi secara jahat, untuk menghancurkan atau melumpuhkan kemenangan tersebut.

Dari sudut pandang syari’ah dan fakta empiris, demokrasi terbukti secara meyakinkan merupakan jalan tidak sahih. Oleh karena itu, saat ini diperlukan sebuah perjuangan besar untuk merubah keadaan dunia menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan yang berasal dari Allah SWT. Umat Islam memerlukan perubahan besar dunia menuju diterapkannya Syari’at Islam yang kaffah.


Menguak Sejarah Matinya Demokrasi di Berbagai Negara

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua profesor dari Harvard University, membuat buku menarik tentang bagaimana demokrasi itu mati dengan mendasarkan analisisnya dalam perspektif historis. Kedua profesor tersebut, menulis buku How Democracies Die yang diterbitkan Baror International (2018), kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Bagaimana Demokrasi Mati yang diterbitkan oleh Gramedia (2019).

Dalam buku yang ditulis oleh kedua profesor tersebut, dijelaskan bagaimana demokrasi di berbagai negara mati dengan cara-cara militeristik, demokrasi mati di tangan orang-orang yang memegang senjata, hal itu seperti terjadi di Chili pada 1973, dan selama perang dingin, terjadi di beberapa negara lainnya, seperti Brazil, Ghana, dan sebagainya.

Akan tetapi, Ziblat dan Levitsky menggambarkan kepada kita, bahwa demokrasi mati, tidak hanya dengan cara-cara seperti itu. Ada kalanya, demokrasi mati justru dimulai dengan cara-cara yang demokratis. Hal itu seperti yang terjadi di Jerman sesudah kebakaran Reichstag pada 1933, saat Hitler yang sebelumnya terpilih dengan melalui mekanisme yang demokratis, akhirnya membubarkan demokrasi.

Bukan hanya itu, menurut kedua profesor tersebut, yang lebih sering lagi justru saat demokrasi tergerus pelan-pelan, dalam langkah-langkah yang nyaris tidak kasat mata. Hal itu seperti yang terjadi di Venezuela dengan tokoh Chavez yang terpilih sebagai presiden pada 1998, dan dibanyak negara lainnya, seperti Hungaria, Nikaragua dan sebagainya. Dengan kata lain, kemunduran atau bahkan kehancuran demokrasi, justru dimulai dari kotak suara.

Untuk menghindari kehancuran demokrasi yang dimulai dari kotak suara tersebut, salah satu yang ditawarkan oleh Ziblatt dan Levitsky adalah mengidentifikasi calon-calon yang maju dalam kontestasi politik.

Berdasarkan kasus-kasus di banyak negara yang lembaga-lembaga demokrasinya sudah dibajak, atau dengan kata lain demokrasinya sudah mengalami kemerosotan atau kehancuran di tangan pemimpin terpilih. Sebelumnya, para pemimpin ini banyak melakukan kampanye dengan cara-cara populis.

Artinya, melakukan konfrontasi yang tajam dalam ruang publik, menganggap liyan, dalam hal ini pesaing politik sebagai musuh, selalu mengkampanyekan ketidakpercayaannya pada lembaga-lembaga yang berwenang, mengatakan negara tengah berada dalam ancaman kehancuran karena elite-elite yang korup dan mereka (tokoh populis ini) adalah pihak yang akan menyelamatkan negara, dan cara-cara populis lainnya.

Dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati yang ditulis oleh Ziblatt dan Levitsky, mereka mengemukakan kekhawatiran terhadap keberlangsungan demokrasi di Amerika Serikat. Bagaimana tokoh populis seperti Donald Trump, yang bahkan tidak memiliki rekam jejak sebagai pejabat publik yang mentereng, namun bisa menduduki kursi presiden AS. Terlebih lagi, pada awal-awal kepemimpinan Trump saja, Trump sudah dianggap banyak melakukan pelanggaran terhadap norma publik.

Patut menjadi refleksi untuk kita bersama, jika di Amerika saja yang demokrasinya sudah sangat mapan, memiliki kelas menengah yang kuat dan pendidikan masyarakatnya yang baik, namun bisa digoyah oleh seorang populis seperti Trump, lalu bagaimana dengan Indonesia?

Hal yang digambarkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam bukunya "How Democrasies die" itu sangat mungkin terjadi di Indonesia dan bahkan ciri-cirinya sudah nampak terlihat jelas. 

Pada masa orde baru sangat nampak sekali, begitu juga pada rezim yang berkuasa saat ini. Mereka sangat mudah mengubah undang-undang yang disetting untuk mendukung pengusaha dan mengabaikan kepentingan rakyat, seperti UU Omnibus Law dan UU Minerba yang baru disahkan.

Rezim juga terlihat sekali mendeligitimasi oposisi. Oposisi dianggap anti pancasila dan anti NKRI. Oposisi juga dianggap tidak sesuai dengan ideologi negara. 

Rezim juga toleran terhadap aksi kekerasan dengan menggunakan kekuatan paramiliter. Ada beberapa ormas yang diduga dikendalikan oleh rezim saat ini untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Bahkan tidak hanya itu, BIN, TNI dan POLRI juga diduga dimanfaatkan oleh rezim hari ini untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung mengintimidasi rakyat.

Selanjutnya, rezim membungkam mereka yang mengkritiknya. UU ITE cenderung digunakan untuk menjerat mereka yang kritis pada penguasa. Hampir semua ciri yang ditulis di buku tersebut, terjadi pada rezim saat ini. Rezim cenderung pada otokrasi dan menunjukkan sikap-sikap keotoritariannya serta menunjukkan sifat kezalimannya kepada rakyat.

Ada empat indikator otoritarianisme yang disebut dengan "Four Key Indicators of Authoritarian Behavior". Untuk mengetes indikator otoritatianisme itu digunakan "litmus test" (p. 23-24). Keempat indikator itu adalah:

Pertama, Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi). Parameternya: Apakah mereka suka mengubah-ubah UU? Apakah mereka melarang organisasi tertentu? Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara? 

Kedua, denial of the legitimacy of political opponent (Penolakan terhadap legitimasi oposisi). Parameternya antara lain: Apakah mereka menyematkan lawan politik mereka dengan sebutan-sebutan subversif, mengancam asas dan ideologi negara? Apakah mereka mengkriminalisasi lawan-lawan politik mereka dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada?

Ketiga, toleration or encouragement of violence (Toleransi, membiarkan atau mendorong adanya aksi kekerasan). Parameternya antara lain: Apakah mereka memiliki hubungan dengan semacam organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri? 

Keempat, readiness to curtail civil liberties of opponent, including media (Kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil). Parameter diantaranya: Apakah mereka mendukung (atau membuat) UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat? Apakah mereka melarang tema-tema tertentu? 

Keempat indikator itu mungkin terpenuhi semua atau sebagian terpenuhi, maka dapat disebut bahwa suatu negara demokrasi telah mengarah kepada lonceng kematiannya. 

Lantas, adakah sistem lain sebagai pengganti demokrasi yang saat ini menuju kehancurannya?

Mengenal Khilafah sebagai Alternatif Pengganti Sistem Demokrasi

Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata Khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah. Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat Al-Quran.

Allah Swt berfirman,

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS Al-Baqarah: 30)

Demikian juga dengan ayat-ayat berikut ini,

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (QS Al-An’âm: 165)

وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ

‟Dan siapa yang menjadikan kamu (manusia) sebagai Khalifah-khalifah di bumi?” (QS Al-Naml: 62)

Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad Saw. dijadikan Khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”

Demikian juga Imam al-Thabari menjelaskan, “Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.”

Adapun makna syar’i dari istilah Khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang teragung). Imam al-Ramli mendefinisikan dengan,

الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا

“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan Khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.

Prof. Muhammad Rawwas Qal’ahji mendefinisikan Khilafah sebagai,

الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية

Khalifah adalah seseorang yang memegang kepemimpinan umum bagi kaum muslim, yakni pemimpin tertinggi bagi negara Islam (al-Dawlah al-Islamiyyah).”

Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih praktis,

الخليفة هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان، وفي تنفيذ أحكام الشرع

“Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”

Para ulama mengklasifikasikan kata imam, Khalifah, sebagai bentuk sinonim (taraduf). Imam Imam al-Nawawi menyatakan,

يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين

“Imam boleh juga disebut dengan Khalifah, imam atau amirul mukminin”

Adapun asal usul kata Khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja Khalafa, jika Khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah Khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Khilafah dan Imamah adalah sinonim.

Imam al-Mawardi mendefinisikan sebagai,

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Imamah itu menduduki posisi untuk Khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”

Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,

الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا

“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.”

Definisi yang jami’ dan mani’ (menyeluruh dan mengeluarkan yang tidak perlu) adalah,

الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم

“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”

Jelaslah, bahwa istilah Khalifah, imam, amirul mukminin, Khilafah, dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil syariah.

Kewajiban menegakkan Khilafah didasarkan pada alquran, al-Sunnah dan Ijmak Sahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, alquran menyatakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau Khalifah.

Nash-nash yang berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah, makna kontekstualnya telah melekat dengan makna tekstualnya. Allah Swt berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

‟Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS Al-Nisa’: 59)

Pada ayat ini Allah memerintahkan kita menaati ulil amri. Di sisi lain Allah tidak pernah memerintahkan taat kepada yang tidak ada. Termasuk tidak memerintahkan taat kepada yang keberadaannya hanya sunah. Maka berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya, sehingga kewajiban tersebut terlaksana.

Ayat tersebut juga mengandung petunjuk (dalalah), keberadaan ulil amri adalah wajib dan wajib pula mengadakan ulil amri (Khalifah) dan ‎sistem syar’inya (Khilafah).‎ Adanya ulil amri memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara, dan diam tidak mewujudkan ulil  amri membawa konsekuensi lenyapnya hukum syara’.

Pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman,

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS al-Maidah: 48).

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka.  Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49).

Seruan Allah Swt untuk Rasulullah yakni untuk memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah Saw untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah.

Perintah dalam ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal ini merupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah Khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah.

Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, muamalat, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum muslimin telah  diwajibkan untuk menerapkan hukum berdasarkan alquran dan al-Sunnah.

Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (penguasa).

Atas dasar itu, mengangkat seorang penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah.

Lantas bagaimana cara mewujudkan khilafah sebagai sistem pengganti demokrasi?


Strategi Mewujudkan Khilafah sebagai Sistem Pengganti Demokrasi

Kondisi umat Islam di dunia ini semakin lama semakin memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena dunia saat ini masih dikuasai sistem demokrasi. Tidak terkecuali di negeri-negeri kaum Muslimin. Akibat sistem demokrasi, kehidupan kaum muslimin semakin terpuruk, terjajah, hancur dan tertindas. Kita dapat menyaksikan bagaimana nasib saudara-saudara kita yang ada Mesir, Palestina, Syiria, Iraq, Afghanistan, Chechnya, Rohingnya, Thailand Selatan, Filipina Selatan dsb. Mereka dijajah, disiksa, dibantai dan banyak yang diusir dari negerinya, tanpa ada yang melindungi dan membelanya.

Sedangkan di Indonesia, kita juga dapat menyaksikan bagaimana nasib penduduknya yang semakin miskin, harga-harga kebutuhan pokok yang terus membumbung tinggi, kualitas pendidikan yang masih rendah, sumber daya alamnya telah dikuras habis oleh korporasi-korporasi asing, fasilitas kesehatan yang belum memadai, pergaulan pemuda dan pemudinya yang semakin rusak, korupsi yang semakin merajalela, meluasnya praktik ekonomi ribawi, kerusakan lingkungan yang semakin parah, kemaksiatan yang semakin marak dan lain sebagainya.

Mengapa kondisi umat Islam dapat menjadi seperti ini? Jika pertanyaan ini kita kembalikan pada Al-Qur’an, maka kita dapat menjumpai penjelasan dari Allah SWT melalui QS. Thaha: 124. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴿١٢٤﴾

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”.

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323). Sedangkan penghidupan yang sempit, tidak lain adalah kehidupan yang semakin miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya dan sebagainya. Dengan kata lain, keterpurukan nasib ummat Islam saat ini penyebabnya tidak lain adalah karena ummat Islam telah banyak menyimpang dari aturan Allah SWT atau berpaling dari Al-Qur’an.

Oleh karena itu, saat ini diperlukan sebuah perjuangan besar untuk merubah keadaan dunia yang saat ini masih jauh dari aturan Islam, menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan yang berasal dari Allah SWT. 

Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah 208:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana caranya agar syari’at Islam itu dapat diamalkan secara kaffah? Syari’at Islam tidak akan dapat diamalkan secara kaffah, kecuali harus ada suatu institusi yang mewadahinya. Institusi tersebut tidak lain adalah Daulah Khilafah Islamiyah. 

Dengan adanya Daulah Khilafah Islamiyah inilah, Syari’at Islam dapat diamalkan secara menyeluruh, baik dalam aqidah, ‘ibadah, makanan, pakaian, akhlaq, maupun dalam pengamalan mu’amalah, seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, peradilan, pendidikan dan politik luar negeri dan sebagainya.

Dalam diri umat Islam telah banyak upaya yang ditempuh untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Berbagai cara dan metode telah dilakukan. Namun sayangnya, berbagai metode yang telah ditempuh tersebut sampai saat ini belum membuahkan hasil. 

Metode yang dilakukan kaum Muslimin antara melalui jalur demokrasi dengan masuk ke dalam sistem, perbaikan sosial ekonomi masyarakat, perbaikan akhlak individu, people power hingga kudeta telah gagal mewujudkan khilafah sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Kegagalan metode-metode tersebut disebabkan karena metode-metode tersebut bukanlah metode yang benar sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Lantas bagaimana metode yang sahih yang telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW?

Jika kita mau mengkaji secara mendalam bagaimana metode Rasulullah SAW dalam upayanya menegakkan syari’ah Islamiyah, maka kita akan mendapati bahwa metode yangditempuh Rasulullah SAW sesungguhnya melalui beberapa tahapan dakwah yang khas. Secara ringkas, tahapan dakwah yang telah ditempuh Rasulullah SAW tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama.Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif wa Takwin)

Tahapan ini telah dilakukan Rasulullah SAW ketika memulai dakwahnya di Makkah. Langkah-langkah dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam tahapan ini adalah dengan jalan mendidik dan membina masyarakat dengan ‘aqidah dan syariah Islam. Pembinaan ini ditujukan agar umat Islam menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim.

Dengan pendidikan dan pembinaan ini, seorang Muslim diharapkan memiliki kesadaran bahwa menegakkan syariah Islam dan Khilafah Islamiyah yang merupakan kewajiban asasi bagi dirinya dan berdiam diri terhadap ‘aqidah dan sistem kufur adalah kemaksiatan. Kesadaran seperti ini akan mendorong seorang Muslim untuk menjadikan ‘aqidah Islam sebagai pandangan hidupnya dan syariah Islam sebagai tolok ukur perbuatannya.

Kesadaran ini akan mendorong dirinya untuk berjuang menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyah. Tanpa kesadaran ini, Khilafah Islamiyah tidak pernah akan bisa diwujudkan di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, kesadaran seperti ini tidak akan mendorong terjadinya perubahan, jika hanya dimiliki oleh individu atau sekelompok individu belaka. Kesadaran ini harus dijadikan sebagai “kesadaran umum” melalui propaganda yang bersifat terus-menerus. Dari sinilah dapat dipahami bahwa perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah harus berwujud amal jama’i. Dengan kata lain, harus ada gerakan Islam yang ikhlas yang ditujukan untuk membina dan memimpin umat dalam perjuangan agung ini. Oleh karenanya, dalam aktivitas penyadaran ini, mutlak membutuhkan kehadiran sebuah kelompok politik atau partai politik.

Kedua.Tahap Interaksi dan Perjuangan di Tengah Ummat (Marhalah Tafa’ul ma’a al Ummah)

Setelah lahir individu-individu Islam yang telah tergabung dalam sebuah kelompok dakwah atau partai politik Islam, maka akan dilanjutkan pada tahapan yang kedua, yaitu tahap interaksi dan perjuangan di tengah ummat. Individu-individu Islam yang telah terhimpun dalam partai politik Islam yang ikhlas ini harus diterjunkan di tengah-tengah masyarakat untuk meraih kekuasaan dari tangan umat.

Hal itu sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW bersama shahabat. Setelah dianggap cukup dalam menjalankan proses dakwah tahap pembinaan dan pengkaderan, kelompok dakwah Rasul SAW selanjutnya diperintahkan Allah SWT untuk berdakwah secara terang-terangan. Allah SWT berfirman:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ﴿٩٤﴾

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (QS. Al-Hijr: 94).

Dalam menjalankan perintah Alah tersebut, Rasulullah SAW dan para shahabat terjun di tengah masyarakat, berinteraksi dengan masyarakat untuk melakukan proses penyadaran umum tentang pentingnya kehidupan yang harus diatur dengan Syari’ah Islam.

Proses akhir dakwah dari marhalah kedua ini adalah ditandai dengan dilaksanakannya thalabun nushrah (mencari dukungan politik dari ahlun nushrah) kepada para pemimpin qabilah untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah SAW. Puncak dari marhalah ini adalah ketika Rasulullah SAW berhasil mendapatkan kekuasaan dari para pemimpin qabilah dari Yastrib (Madinah) melalui Bai’atul Aqobah II.

Dengan demikian, kekuasaan itu hakikatnya hanya bisa diraih jika umat telah rela menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam tersebut. Adapun cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat adalah terlebih dulu melakukan proses penyadaran, yaitu menanamkan mafahim (pemahaman), maqayis (standar perbuatan) dan qana’at (keyakinan/kepercayaan) Islam di tengah-tengah mereka; sekaligus memutus hubungan masyarakat dengan mafahim, maqayis dan qana’at kufur dan pelaksananya.

Dengan cara ini, umat akan mencabut dukungannya terhadap sistem kufur dan pelaksananya, lalu menyerahkan kekuasaannya kepada kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan Khilafah tersebut dengan sukarela. Hanya saja, prosesi seperti ini harus melibatkan ahlun-nushrah, yakni orang-orang yang menjadi representasi kekuasaan dan kekuatan umat, agar transformasi menuju Khilafah Islamiyah berjalan dengan mudah.

Atas dasar itu, kelompok Islam tidak boleh mencukupkan diri pada aktivitas membina umat dan membentuk opini umum tentang Islam belaka, tetapi harus menuju kekuasaan secara langsung dengan menggunakan metode yang telah digariskan Nabi SAW di atas, yakni thalabun-nushrah. Pasalnya, hanya dengan metode thalabun-nushrah inilah jalan syar’i untuk menegakkan Khilafah Islamiyah, bukan dengan metode yang lain.

Ketiga. Tahap Penerapan Hukum Islam (Marhalah Tathbiq Ahkamul Islam)

Setelah proses thalabun-nushrah berhasil, maka akan masuk tahapan selanjutnya, yaitu penerapan syari’at Islam sebagai hukum dan perundang-undangan bagi masyarakat dan negara secara kaffah. Sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat, setelah Beliau mendapatkan Bai’atul Aqabah II, beliau melanjutkan dengan hijrah ke Madinah. Di Madinah inilah, Rasulullah SAW dapat memulai penerapan Syari’at Islam secara kaffah. Penerapan Syari’ah Islamiyah ini ditandai dengan diberlakukannya Piagam Madinah yang wajib dita’ati oleh seluruh warga negaranya, baik bagi yang muslim maupun non muslim. Selain penerapan syari’at Islam untuk pengaturan kehidupan masyarakat di dalam negeri, Rasulullah SAW juga menerapkan syari’at Islam untuk politik luar negerinya.

Inilah tahap terakhir dari metode penegakan Syari’ah Islam yang dapat diteladani dari perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Setelah perjuangan kelompok Islam memperoleh kekuasaan dari ahlun-nushrah, maka pemimpin dari kelompok Islam tersebut akan dibai’at untuk menjadi Khalifah, dengan tugas menerapkan Islam secara kaffah, baik untuk pengaturan kehidupan di dalam negeri, maupun luar negerinya.

Dengan diterapkannya Islam secara kaffah inilah, insya Allah keagungan Islam akan nampak dalam penerapannya di dalam negeri dan juga akan nampak dari tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia, untuk menebar rahmat-Nya. Hal itu sebagaimana yang telah dijanjikan Allah SWT dalam Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’: 107. Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam”(QS al-Anbiya’ [21]: 107).


Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, berikut ada beberapa kesimpulan, yaitu:

Pertama. Beberapa faktor yang menyebabkan demokrasi bisa mati antara lain lemahnya komitmen terhadap sendi-sendi demokrasi, penolakan terhadap legitimasi oposisi, rezim toleran terhadap kekerasan dan kesiapan rezim untuk membungkam kebebasan sipil.

Kedua. Sebagai bagian dari ajaran Islam, Khilafah yang merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mewujudkannya, bisa menjadi alternatif pengganti sistem demokrasi. Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Ketiga. Metode untuk mewujudkan khilafah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ada tiga yakni: pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan, kedua, tahap interaksi dan perjuangan di tengah umat, ketiga, tahap penerapan hukum Islam.


Oleh: Achmad Mu'it
Analis Politik Islam
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo
Referensi
1. https://www.wartaekonomi.co.id/read315403/viral-anies-baca-buku-how-democracies-die-pks-khazanah-ilmu-itu-begitu-luas 

2. Cusdiawan, "Sejarah Matinya Demokrasi di Berbagai Negara", 2020

3. Yuana Ryan Yresna, "Memahami Penggalian Hukum Kewajiban Menegakkan Khilafah", 2020

4. Dwi Condro, "Metode Penegakan Khilafah, 2015

5. Prof. Suteki, "Jika Kenekatan UU Cipta Kerja, Diskriminasi Penegakan Hukum dan Otoritarianisme Penguasa itu Lonceng Kematian Demokrasi: Akankah Berakhir Dengan "Civil War"?, 2020

#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar