Alih Fungsi Peran: Tulang Rusuk Jadi Tulang Punggung, Inikah Cara Memuliakan Kaum Hawa?



TintaSiyasi.com-- Siapa yang tega melihat tulang rusuk dijadikan tulang punggung? Boro-boro dimuliakan dan disejahterakan, yang terjadi tulang rusuk justru banting tulang jadi tulang punggung. Begitulah yang acap kali ditemui sekarang. Atas nama pemberdayaan perempuan, perempuan didorong untuk bekerja dan bersaing memperebutkan posisi strategis dalam dunia kerja.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengisi UN Women Asia Pasific and Women Empowerment Principles (WEPs) secara virtual, Rabu (18/11/2020) yang dikutip dari CNN Indonesia, ia mengatakan bahwa dampak pandemi lebih berat dialami perempuan. Pasalnya, akibat pandemi, partisipasi pekerja perempuan menurun. 

Ia menambahkan, penurunan partisipasi pekerja perempuan bisa mengakibatkan ketimpangan gender. Dari sini saja, bisa dilihat bahwa masih ada anggapan agar terjadi kesetaraan gender, perempuan harus ikut bekerja. Pertanyaannya, apakah dengan mendorong perempuan bekerja dapat memuliakan dan menyejahterakan mereka?


Membongkar Data Partisipasi Pekerja Perempuan Saat Pandemi

Menteri Keuangan Sri Mulyani menganggap partisipasi pekerja perempuan di Indonesia mulai tergerus akibat pandemi. Mengutip dari data yang dikemukakan Menkeu Ani sapaan akrabnya dalam laman CNN Indonesia (19/11/2020) tercatat partisipasi pekerja perempuan turun dari 55,5 persen menjadi 54,56 persen pada tahun ini. "Sementara tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki justru meningkat," imbuhnya.

Data yang ia miliki, 40 persen pekerja perempuan di dunia bekerja di sektor bisnis yang paling terdampak pandemi, misalnya restoran, perhotelan, akomodasi, dan asisten rumah tangga. Data lain mencatat 54 persen dari total 75 juta pekerja di bisnis restoran dan akomodasi merupakan perempuan.

Tak hanya itu, Ani mengungkapkan 60 persen dari total 740 juta pekerja perempuan di sektor informal telah kehilangan pekerjaan sejak awal pandemi. Pengurangan jam pekerja perempuan mencapai 50 persen, sedangkan pekerja laki-laki 35 persen di tengah pandemi. 

Inilah awal mula anggapan Ani bahwa perempuan adalah pihak yang paling menderita terdampak Covid-19. Hingga ia berkesimpulan bahwa terjadi ketimpangan gender akibat penurunan partisipasi pekerja perempuan saat pandemi. Lagi-lagi dorongan yang mereka lakukan adalah meminta agar perempuan kembali bekerja. 

Tak dipungkiri kenapa perempuan dijadikan sasaran empuk penyokong industri kapitalisme, karena dua hal sebagai berikut. 

Pertama, perempuan dapat digaji lebih murah daripada laki-laki. Dilansir dari okezone.news (13/3/2019), Sri Mulyani mengatakan, secara umum upah karyawan perempuan lebih rendah 32% dari laki-laki. Sesungguhnya karena itulah, banyak perusahaan lebih memilih banyak pekerja perempuan daripada laki-laki.

Kedua, perempuan lebih rajin dan terampil atas beban pekerjaan yang diterimanya. Dikutip dari TribunSolo.com (2016) menyatakan, hasil survei Chris Bart dan Gregory McQueen menyebutkan bahwa 600 direktur perusahaan sepakat, karyawan wanita dianggap lebih terampil dalam bertindak adil dibandingkan pria.

Apa jadinya jika banyak perempuan terjun di dunia kerja? Bagaimana tugasnya sebagai seorang istri dan ibu sebagai tiangnya negara?

Perempuan kembali dieksploitasi dan peran strategis sebagai perempuan terabaikan.


Dampak Ketika Perempuan Berpartisipasi Bekerja Saat Pandemi

Consellor Australia Embassy, Todd Dias mengatakan, Covid-19 telah menempatkan perempuan dalam kondisi yang tak menguntungkan. Kebijakan work from home (WFH) seakan menambah beban ganda yang dipikul perempuan.

"Ditambah dengan adanya pandangan dan norma sosial bahwa perempuan adalah pengasuh utama dalam keluarga, membuat perempuan bekerja harus bekerja lebih giat dalam mengurus pekerjaannya dan keluarga," katanya dalam webinar SAFE Forum bertajuk Economic Sustainability Pathway: Indonesian Women in the Workforce yang digelar Katadata.co.id, Jumat (28/8). 

Benar, beban kerja dan beban rumah tangga adalah bentuk beban ganda yang dialami perempuan. Hal tersebut dapat dikerucutkan sebagai berikut. 

Pertama, tugas seorang ibu sebagai manager rumah tangga terabaikan. Para ibu harus menjalankan tugas mendampingi anak-anaknya dalam mengikuti pembelajaran via daring selama pandemi.

Walhasil banyak orang tua, begitu juga para ibu stres akibat hal tersebut. Stres karena tekanan ekonomi yang semakin sulit dan beban tugas sekolah anak yang biasa dilakukan guru harus diambil alih oleh para ibu.

Stres pada ibu, ayah, anak, maupun anggota keluarga lainnya berpotensi besar memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Masih viral di ingatan kita, seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri. Ibu itu melakukan lantaran anaknya yang berusia delapan tahun susah mengikuti pembelajaran via daring. 

Tak hanya ibu, anak pun banyak yang stres akibat pembelajaran via daring. Karena tugas banyak dan membutuhkan sarana seperti smartphone, laptop, dan kuota untuk mengerjakan tugas juga harus mendukung. Jika sarana kurang memadai, pembelajaran akan terbengkalai.

Sebagaimana kabar duka dari Komisi Perlindungan Anak (KPAI) (dilansir dari CNN Indonesia, 31/10/2020) atas wafatnya seorang siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) di wilayah Tarakan, Kalimantan Utara berinisial AN (15) yang diduga melakukan bunuh diri. 

Diduga kuat anak tersebut bunuh diri karena PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Belum lagi kasus gaul bebas anak akibat kurang perhatian orang tuanya di kala pandemi juga menjadi permasalahan yang serius.

Kedua, tuntutan ekonomi juga menambah beban perempuan. Ancaman resesi di kala pandemi mengakibatkan badai PHK menerjang baik laki-laki maupun perempuan.

Di saat PHK melanda dan tak ada solusi yang berkelanjutan dari pemerintah, dari sinilah beban berat harus diterima perempuan baik yang bekerja ataupun tidak. Bagi perempuan yang bekerja, ia harus ekstra mencari sumber uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Bagi yang tidak bekerja, dia harus ikut menanggung beban berat yang dialami suami/walinya untuk bertahan hidup saat pandemi. Ini pula yang memicu banyaknya terjadi perceraian selama pandemi. Stres akibat tekanan ekonomi dalam keluarga telah memicu keretakan bahtera rumah tangga. 

Dari penjelasan di atas dapat diketahui berat beban yang dialami oleh para perempuan ini tidak lain karena penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Hal ini telah mengkonfirmasi gagalnya demokrasi kapitalisme dalam memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Kapitalisme telah menjadikan negara yang seharusnya mengurusi urusan rakyatnya, beralih fungsi hanya sebagai regulator semata. 

Rakyatnya dibiarkan golong koming menghadapi deburan resesi ekonomi dan pandemi yang tak kunjung usai. Lebih-lebih dengan kebijakan yang tak memihak kepada rakyat. Sebagai contoh, disahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba, UU Covid, dan lain-lain.

Kapitalisme juga telah menjadikan perempuan sebagai tumbal syahwat para kapitalis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sekalipun ada dana bantuan di kala pandemi, tapi dana tersebut hanya bersifat sementara, padahal kebutuhan rakyat terus bertambah secara signifikan.

Apalagi jika narasi ketimpangan gender didengung-dengungkan, narasi yang mendorong perempuan untuk bekerja dengan dalih pemberdayaan perempuan. Hal ini telah merusak peran strategis perempuan sebagai ibu. Pasalnya, ibu adalah tiang negara. Jika ibu abai pada keluarganya, maka rusaknya generasi penerus bangsa adalah sebuah keniscayaan.

Pungkasnya, apakah sistem kapitalisme yang terbukti gagal ini harus tetap dipertahankan? Ataukah kita berpikir terbuka menerima solusi tuntas dari Islam? Selain itu, apakah narasi kesetaraan gender yang menjadi penyebab perempuan keluar dari kodratnya akan kita terima?

Peran Strategis Perempuan yang Benar dalam Kacamata Islam

Apakah perempuan dalam pandangan Islam dilarang bekerja? Tentu tidak, asalkan tetap memenuhi koridor syariah. Dalam Islam perempuan bekerja hukumnya boleh (mubah). Hanya saja, perempuan tidak boleh keluar dari ketaatan kepada syariah, ketika dia memilih untuk bekerja. Dia tak boleh lupa akan tanggungjawab sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. 

Selain itu, bagi perempuan yang masih jomblo juga tidak boleh, hanya karena bekerja, dia melupakan menikah. Padahal menikah hukumnya sunnah muakad. 

Bahkan, dalam sebuah hadis dikatakan bahwa menikah menyempurnakan separuh agama. Jika diulik lebih jauh, peran strategis perempuan dalam Islam adalah sebagai berikut.

Pertama, perempuan sebagai ibu. Ibu adalah madrasah ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Peran penting ibu adalah sebagai pencetak generasi yang akan mengisi peradaban. Melalui perannya, maju-mundurnya generasi peradaban ditentukan. Jika ditelisik ke masa lalu, lahirnya Imam Syafi'i sangat erat kaitannya kecerdasan ibundanya Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah. 

Ibu sebagai ummu warobatul bait (manajer rumah tangga). Di tangan ibu urusan rumah tangga diatur, termasuk juga dengan keuangan. Jika ibu tak paham tentang ini, tentunya akan berantakan manajemen rumah tangga. Bisa saja, akibat ibu yang ceroboh, memasukkan keluarganya pada jeratan utang ribawi. Utang ribawi ini menjadi penyebab keberkahan tidak menaungi keluarganya.

Kedua, pengemban dakwah. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar” (QS. At Taubah: 71).

Tidak hanya laki-laki, perempuan beriman juga diwajibkan untuk melakukan amar makruf nahi munkar yaitu menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran. 

Inilah peran yang tak boleh dilupakan, apalagi banyak wanita yang lupa akan tanggungjawab untuk berdakwah, menyebabkan banyak wanita terjerembab ke sumur dosa. 

Muslimah harus turut serta dalam mendidik para wanita agar senantiasa menjadikan Islam sebagai solusi atas segala masalah yang dihadapi.

Ketiga, peran perempuan sebagai politikus. Politik di dalam Islam adalah mengurusi urusan umat dengan sandaran syariah Islam. Tak hanya Muslim, Muslimah harus turut melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). 

Sinergi antara Muslim dan Muslimah dalam turut berpolitik dan melakukan koreksi penguasa ini akan menjadi kontrol negara. Mengontrol negara agar senantiasa berjalan dalam koridor syara. 

Apabila negara belum menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah, Muslimah juga harus turut mendakwahkan khilafah. Karena mendakwahkan khilafah adalah mahkota kewajiban (tajul furudh). Darinya segala ajaran Nabi Muhammad saw dapat diterapkan secara totalitas.

Ketiga peran strategis tersebut belum bisa maksimal jika Muslimah masih dalam kolam demokrasi. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan peran strategis tersebut, para Muslimah tidak boleh melupakan tanggungjawab utamanya yaitu mengembalikan kejayaan dan kegemilangan Islam dengan menegakkan insitusi khilafah. 

Hanya khilafah yang mampu menjaga perempuan agar tidak keluar dari fitrahnya. Tak hanya itu, khilafah yang mampu menyejahterakan dan memuliakan perempuan.

Penutup

Menyimak pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Pertama. Partisipasi pekerja perempuan saat pandemi mengalami penurunan. Atas hal itu menyebabkan Menkeu Sri Mulyani dan pegiat gender mendorong perempuan kembali bekerja. Alih-alih jadi solusi, justru ini yang menjadikan perempuan dieksploitasi dan peran strategis perempuan terabaikan.

Kedua. Dampak yang dialami perempuan ketika bersih keras tetap bekerja kala pandemi yaitu, pertama, terabaikan peran strategis perempuan. Banyak perempuan stres yang berpotensi mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Dari kasus ibu membunuh anak, anak bunuh diri, hingga perceraian meningkat di kala pandemi. Kedua, perempuan terjun ke dunia kerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan ekonomi kapitalisme telah membuat perempuan dieksploitasi dijadikan tumbal industri kapitalisme. 

Ketiga. Dalam Islam perempuan bekerja boleh, tetapi tidak boleh melupakan dan mengabaikan peran strategis perempuan sebagai berikut. Pertama, ibu, kedua, pengemban dakwah, dan ketiga adalah politikus. Perempuan harus turut serta mengembalikan kejayaan dan kegemilangan Islam dalam naungan khilafah. Karena hanya dengan khilafah, mereka mampu dimuliakan dan disejahterakan. Tabik...!


Oleh: Ika Mawarningtyas, S. Pd.
Analis Muslimah Voice dan Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Nb: Materi Kuliah Online UNIOL 4.0 Diponorogo, Rabu, 25 November 2020. Di bawah asuhan Prof. Pierre Suteki. #LamRad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Deretan sekelumit penderitaan yg dirasakan perempuan apalagi disaat pandemi seperti ini banyak yg depresi..stress .perceraian meningkat..bukti sistem bobrok yg masih dipertahankan dinegri ini..
    #CampakkanDemokrasiSongsongKhilafah
    #DemokrasiHinakanPerempuan

    BalasHapus