Telah Kehilangan Legitimasi: Mungkinkah UU Omnibus Law Cipta Kerja Segera Dicabut?




Sejak diserahkan ke DPR oleh Pemerintah pada bulan Pebruari 2020, yang berarti baru sekitar 8 (delapan) bulan----telah dilakukan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja sebanyak 64 kali rapat. Jika dibandingkan AS membentuk UU sejenis---pembahasan hingga pengesahan butuh waktu 5 (lima) tahun, tentu masih terlalu singkat waktu yang telah dimanfaatkan oleh Pemerintah dan DPR. 

Kesannya terlalu buru-buru jika dalam waktu yang singkat ini lembaga legislator ini untuk menyetujui pengesahan UU OL CK pada tanggal 8 Oktober 2020 yang lalu. Bukankah lebih baik menunda hingga legitimasi UU ini cukup baik untuk seluruh stakeholders? Namun, sebaliknya ternyata ada kesan dipaksakan saat ini harus disahkan, sementara masih banyak pasal yang kontroversial dan prosedur yang cacat formil maka tidak aneh jika muncul aksi penolakan dari berbagai kalangan bahkan tuntutan untuk mencabut UU ini. Legitimasi UU OL Cipta Kerja sungguh dipertanyakan.

Apa sebenarnya latar belakang dibuatnya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini?

Sebenarnya sungguh mulia politik hukum UU ini. Sebagaimana tertuang dalam konsiderans UU ini bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja. Di samping itu, UU OL Cipta Kerja juga bermaksud bahwa cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

Kita perlu meninjau dari sisi lain, mengapa perlu omnibus law Cipta Kerja atau ada yang menyebut Cipta Investasi? Setidaknya ada lima alasan perlu membentuk omnibus law khususnya di bidang perekonomian dan investasi, yaitu:

1. Ditemukan sekitar 79 UU yang berpotensi saling mendistorsi satu dengan lainnnya. Ini berarti tidak ada sinkronisasi horizontal;

2. Lambatnya proses investasi;

3. Jumlah perizinan yang masif, banyak dan berbelit;

4. Regulasi dan permasalahan kelembagaan terlalu banyak dan berpotensi tumpang tindih;

5. Kesulitan berinvestasi sehingga diperlukan UU "sapu jagat”.

Lima alasan tersebut dapat dikatakan alasan praksis terkait dengan harmonisasi hukum dan praktik investasi. Seharusnya, alasan praksis tersebut tetap berpijak pada aspek idealitas, khususnya menyangkut politik hukum investasi kita baik Pancasila maupun UUD NRI 1945 yang seharusnya mengutamakan perlindungan segenap warga negara dan memajukan kesejahteraan umum, termasuk pekerja. Jika tidak, maka UU OL CK hanya akan mengikuti kemauan investasi yang berarti akan lebih memihak korporasi dan akhirnya berpotensi menindas pekerja/rakyat dan berpotensi merusak lingkungan hidup.

Apa substansinya dan kritik mendasar terhadap UU berisi 905 halaman?

Penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan Perlawanan Terhadap Ketidakadilan.

Core substansi penolakan

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal melalui siaran pers tanggal 4 Oktober 2020 menjelaskan bahwa ada 10 isu yang diusung oleh buruh dalam menolak omnibus law RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Kesepuluh isu tersebut adalah berkaitan dengan (1) PHK, (2) sanksi pidana bagi pengusaha, (3) TKA, (4) UMK dan UMSK, (5) pesangon, (6) karyawan kontrak seumur hidup, (7) outsourcing seumur hidup, (8) waktu kerja, (9) cuti dan hak upah atas cuti, serta (10) jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing.

Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, katanya 3 isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003. Tapi terhadap 3 isu ini, harus diperiksa kembali kalimat yg dituangkan kedalam pasal RUU Cipta Kerja tsb, apakah merugikan buruh atau tidak. 

Namun demikian, terhadap tujuh hal yang lainnya, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut. Ketujuh isi yang telah disepakati pemerintah bersama DPR yang ditolak oleh buruh adalah: 

1. UMK bersyarat dan UMSK dihapus. Buruh menolak keras kesepakatan ini. Yang wajib itu UMP.

2. Buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengsuaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. 

3. PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Buruh menolak PKWT seumur hidup. Maksimal 3 tahun mestinya.

4. Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelum, outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan. Buruh menolak outsourcing seumur hidup.

5. Waktu kerja tetap eksploitatif. Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif.

6. Hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.

7. Karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang.

Perkembangan terbaru

Tirto.id 6/10/2020 mewartakan bahwa ada sekitar 35 investor global yang mewakili investasi (AUM) senilai 4,1 triliun dolar AS membuat SURAT TERBUKA kepada pemerintah Indonesia menyikapi Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Ke-35 investor itu berpandangan RUU yang baru saja disahkan pemerintah dan DPR ini akan merusak iklim investasi. 

RUU Cipta Kerja dianggap bakal melanggar standar praktik terbaik internasional yang ditujukan untuk mencegah konsekuensi berbahaya dari aktivitas bisnis. Pada akhirnya hal ini akan menghalangi investor dari pasar Indonesia. Surat itu juga menyoroti kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik, dan sistem sanksi yang diyakini akan berdampak parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia dan ketenagakerjaan. Kekhawatiran inilah yang menjadi sumber ketidakpastian yang dihindari investor.

“Selagi kami menilai perlunya reformasi aturan terkait berusaha di Indonesia, kami memiliki kekhawatiran mengenai dampak negatif pada perlindungan lingkungan hidup yang disebabkan oleh Omnibus Law Cipta Kerja,” ucap Senior Engagement Specialist Robeco Peter van der Werf dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).

Jadi, saya memandang bahwa rencana pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan bentuk ketikadilan penguasa terhadap hak hidup dan konstitusional rakyat hingga potensi kerusakan lingkungan hidup. Padahal dalam pandangan Islam – sebagai ajaran yang dipeluk mayoritas rakyat – negara adalah khodimul ummah. Yaitu pelayannya umat, mengurusi kepentingan dan kemashlahatan rakyat serta menjaga lingkungan hidup dari kerusakan dan kerakusan ulah tangan manusia.

Setelah diketok palu, apa dampaknya ke rakyat bila tidak dicabut lagi?

Potensi Dampak Negatif Omnibus Law Cipta Kerja.

Tak hanya mengalami cacat konstitusi, saya memperkirakan dampak negatif yang ditimbulkannya justru lebih besar dibanding keuntungan yang bakal diperoleh. Tak hanya saya, banyak kalangan menilai RUU ini berpotensi sebagai alat hegemoni oligarki. Hal ini karena perancangannya dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil yang memadai, satgas penyusun naskah akademiknya bersifat elitis (terakhir tersiar berita ada 12 Perguruan Tinggi, termasuk Undip, UI dan UGM masuk dalam satgas ini) dan tidak mengakomodasi masyarakat yang terdampak keberadaan RUU Omnibus Law, serta akan terjadi sentralisme kewenangan apabila RUU Omnibus Law disahkan. Wajar jika kritik bermunculan bukan? 

Adapun dampak buruk yang menyasar kaum buruh/pekerja antara lain menjadikan mereka sebagai budak modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisiasi upah di bawah standar minimum, potensi upah per jam---meskipun tidak disebutkan secara jelas--- dan perluasan kerja kontrak outsourcing, serta potensi kemudahan PHK massal dan memburuknya kondisi kerja.

Tak hanya itu, kerusakan juga disinyalir akan terjadi pada lingkungan hidup. Tersebab RUU Omnibus Law Cipta Kerja melegitimasi investasi yang berpotensi menjadi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang dinilai lebih ramah lingkungan. Pun terjadi percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis dan kerusakan lingkungan. Akhirnya, dapat diprediksikan kehancuran ruang hidup rakyat. Bahkan dunia pendidikan pun disinyalir terdampak. Demi memenuhi kebutuhan investor akan tenaga kerja, orientasi sistem pendidikan lebih kepada menghasilkan lulusan yang siap menjadi tenaga kerja murah. 

Bagi kalangan umum rakyat, RUU Omnibus Law diyakini dapat berpotensi memiskinkan kalangan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak, difabel. Juga diprediksi bakal terjadi kriminalisasi, represi dan kekerasan negara terhadap rakyat, sementara negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha. 

Selain itu, saya pun merasakan aroma liberal dan pro kapitalis yang menyengat dalam RUU ini. Berbagai dampak negatif di atas telah menegaskan bahwa dengan dalih investasi, amanah konstitusi untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat dikesampingkan. Nampak bahwa aturan dalam omnibus law secara eksklusif memang dibuat untuk lebih mengutamakan posisi kapitalis yaitu para investor atau korporat, ketimbang perlindungan terhadap hak hidup dan konstitusional rakyat.

Jika seperti ini, maka omnibus law tak lebih sebagai konsolidasi oligarki politik. Pasalnya, logika RUU Omnibus Law Cipta Kerja fleksibel dalam ranah investasi dan para pemodal, didesain membuat kemudahan untuk pemodal, perizinan dan aturan yang ada saat ini dicap bertolak belakang dari logika industri dan investasi. Tak berlebihan jika dikatakan negara telah abai terhadap demokrasi yang ia gadang-gadang dan kian memperlihatkan secara nyata bagaimana watak rezim yang tidak pro rakyat.

Ya, dalam sistem kapitalistik liberal, memang amat tak biasa deregulasi terjadi berbasis kepentingan rakyat. Biasanya, kepentingan para pebisnis kakaplah yang melatarbelakangi deregulasi. Omnibus law Cipta Kerja menjadi pilihan karena pebisnis tak akan sabar menempuh jalur konvensional untuk merevisi undang-undang satu per satu yang bakal makan waktu lebih dari 50 tahun.

Meski berdampak negatif pada kaum pekerja/buruh dan sektor kepentingan rakyat, pun telah ditolak oleh berbagai elemen masyarakat, namun RUU Omnibus Law Cipta Kerja tetap DISETUJUI untuk disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengklaim bahwa 75 persen anggota DPR mendukung pengesahan RUU Omnibus Law menjadi UU. Mereka anggota parlemen yang merupakan kekuatan partai pendukung pemerintah. Ada 2 fraksi yang tegas menolak RUU ini, yaitu PKS dan Demokrat.

Bagaimanapun, UU Omnibus law Cipta Kerja merupakan salah satu keniscayaan dalam demokrasi numerik. Legislasi hukum sangat mungkin bisa direkayasa sesuai kepentingan penguasa yang dikendalikan pengusaha. Realitas itu dimungkinkan sebagaimana pernyataan pakar Hukum Tata Negara, Jimmy Z. Usfunan, bahwa omnibus law bisa menjadi salah satu jalan keluar bila ada persoalan konflik di antara stakeholder (penyelenggara) pemerintahan. Tentu saja stakeholder yang diperhitungkan hanyalah kaum oligarki, elite kecil yang biasa berkolusi dalam menentukan kebijakan.

Dugaan Cacat Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang OL Ciker

Banyak kalangan menilai adanya kecacatan UU OL Ciker, baik menyangkut aspek substansi materiil maupun prosedural formil. Materi sudah diuraikan di muka, sedang dari aspek formal pembentukan UU ini prosesnya tidak dilakukan sebagai mana pembentukan UU, khususnya kurangnya partisipasi publik dan tata tertib pengesahannnya misalnya dalam rapat paripurna pengesahannya tidak ada materi UU yang diserahkan kepada anggota Dewan untuk dibaca dan dicermati. 

Menyoal cacat hukum, sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua, yakni cacat materiil dan cacat formil yang kemudian terhadap dugaan cacat hukum ini dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Pengujian secara materiil adalah pengujian yang berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang. Sementara pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan apakah proses pembuatan undang-undang telah sesuai atau tidak dengan prosedur yang ditetapkan.

Yang terjadi, hingga 7 Oktober 2020 ada pengakuan anggota Tim Perumus (Timmus) RUU Cipta Kerja bernama Ledia Amalia Hanifa belum memegang draf RUU Cipta Kerja yang telah bersih. Jika benar pengakuan mereka, maka UU Cipta Kerja ini telah diproses dengan melanggar Tata Tertib (Tatib) DPR sesuai
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Saya mengamini pernyataan Drajad H Wibowo bahwa dengan pelanggaran yang sangat fatal terhadap Tatib DPR di atas, Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 itu pemerintah dan DPR berarti menyetujui RUU Cipta Kerja yang berisi kertas kosong untuk disahkan.

Paripurna memang pengambil keputusan tertinggi di DPR. Namun, dengan pelanggaran yang sangat fatal terhadap Tatib DPR di atas, Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 itu mengesahkan naskah RUU Cipta Kerja yang berisi kertas kosong. 

Apabila terbukti UU OL Ciker ini cacat secara materiil maupun formil, maka implikasinya adalah pembatalan sebagian atau keseluruhan undang-undang tersebut.

Persoalan Tindak lanjut hasil JR di MK

Melalui UU No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003, Ketentuan ayat (2) Pasal 59 dihapus sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.

(2) Dihapus.

Padahal, ketentuan dalam ayat 2 (UU No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU MK) itu berbunyi sbb:

"Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan."

Apa artinya? Menurut saya terkesan percuma mengajukan JR ke MK karena ketika menang pun tidak ada kewajiban Presiden atau DPR untuk segera menindaklanjuti putusan MK dalam melakukan perubahan atas UU yang diuji. Apa makna penghapusan ayat itu? Apa hidden agenda atas perubahan masif dari segala macam UU kita sekarang ini?

Saya pun jadi pesimis, karena ada fakta bahwa telah terungkap dari penelitian tiga dosen Fakultas Hukum Trisakti terkait kepatuhan konstitusional atas pengujian undang-undang oleh MK pada 2019. Dari hasil penelitian tersebut, terdapat 24 dari 109 putusan MK pada 2013-2018 atau 22,01% yang tidak dipatuhi oleh pemerintah. Sementara itu, 59 putusan atau 54,12% dipatuhi seluruhnya, 6 putusan atau 5,50% dipatuhi sebagian, dan 20 putusan lainnya atau 18,34% belum dapat diidentifikasi (katadata.co.id 28 Januari 2020). Jadi, terlalu berharap atas hasil JR MK mungkin terlalu berlebihan. Karena ternyata, semua tergantung dari political will Pemerintah.

Penutup

Negara bertugas memberikan jaminan dan pelayanan. Menjamin penghidupan, kesejahteraan, kesehatan dan kebutuhan dasar rakyat. Sumber daya alam (SDA) melimpah akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara dilarang menyerahkan pengelolaan dan penguasaan SDA dan bidang strategis lainnya kepada swasta apalagi asing.

Lantas, ketika saat ini kita menyaksikan ketidakadilan terjadi, apakah kita akan tinggal diam? Tentu tidak. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisanmu. Dan jika tidak mampu, maka (tolaklah) dengan hatimu. Dan ini selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Sebagai bentuk ketidakadilan, sudah selayaknya UU Omnibus Law ditolak dan dibatalkan. Mengapa? Karena UU OL Ciker sebenarnya sudah kehilangan legitimasinya karena dari segala kalangan melakukan penolakan (buruh/pekerja, kalangan akademisi, pegiat lingkungan hidup, ormas besar, MUI, bahkan hingga investor luar negeri). 

Akhirnya, kita dan rakyat bersama-sama harus berjuang mewujudkan sebuah tatanan negara yang mandiri dalam pengelolaannya, tidak bergantung pada investasi dan utang luar negeri. Yang penguasanya melayani rakyat dengan sepenuh hati, dengan kesadaran bahwa semuanya itu kelak akan dipertanggungjawab kan di hadapan ilahi robbi. Semoga terwujud baldatun thoyibatun wa robbun ghofur. Tabik...!

Oleh: Prof. Dr. Suteki S.H. M.Hum.
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
Semarang, Ahad: 11 Oktober 2020

Posting Komentar

0 Komentar