Sabar dan Shalat, Kunci Kesuksesan Seorang Hamba


Allah Swt berfirman,

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ 

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab)? Maka tidaklah kamu berpikir?” [TQS Al-Baqarah : 44]

Meski ayat ini dalam bentuk pertanyaan, namun ayat ini memiliki qarinah berupa perintah untuk amar ma’ruf sekaligus muhasabah untuk diri sendiri. Kedua perintah ini merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar salah satu ataupun keduanya di dalam waktu yang bersamaan. Memperbaiki diri untuk memantaskan diri sekaligus melakukan amar ma’ruf. Amar ma’ruf sendiri merupakan istilah lain dari dakwah, sehingga  didapati bahwa seorang hamba wajib melakukan dakwah sekaligus memperbaiki diri. Bahkan Allah mengajak manusia untuk senantiasa menggunakan akalnya untuk senantiasa memuhasabah diri di samping ia mengajak manusia mengerjakan kebajikan. Bagaimana mungkin seseorang yang diberi akal untuk berfikir namun hanya meminta manusia berbuat kebajikan, tapi dirinya sendiri tidak.

Proses seorang hamba dalam berdakwah dan memperbaiki diri tidaklah sebentar, sehingga dibutuhkan kunci untuk mewujudkannya. Pada ayat berikutnya Allah Swt berfirman,

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ 

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”[TQS Al-Baqarah : 45]

Segala bentuk kebaikan yang diperjuangkan oleh seorang hamba tidaklah mudah untuk diraih. Karena dalam perkembangannya manusia sesungguhnya memiliki kehidupan yang dinamis, bertolak belakang dengan malaikat. Manusia punya hajatul udhowiyah (kebutuhan pokok) yang harus dipenuhi, begitu juga dengan berbagai macam kecendrungan yang memang sudah Allah  tanamkan seiring dengan penciptaannya.

Mendapatkan pasangan yang didambakan itu membutuhkan kesabaran, namun membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah hingga berhasil mencetak anak-anak yang shalih dan shalihah itu menghabiskan waktu yang tidak sebentar. 

Begitu juga menjadi hamba yang baik, menjadi seorang alim yang ilmunya digunakan untuk membangun peradaban emas, prosesnya jauh lebih panjang. Sehingga hanya hamba-hamba tertentu yang sanggup menjalaninya. 

Pahala seorang hamba dalam shalat amat jarang yang mendapati dari ½ dari shalatnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya ada hamba (manusia) melaksanakan shalat tapi tidak diterima dari shalat itu melainkan 1/10, 1/9, 1/8, 1/7, 1/6, 1/5, ¼, 1/3, atau setengahnya.” (HR. Ahmad 18136). Berbeda dengan Rasulullah Saw yang menggapai secara penuh apa yang dikerjakannya dalam shalat itu. Bahkan ketika adzan berkumandang Rasulullah Saw lupa ada aisyah, istri tercinta di sebelahnya. Kalaulah adzan begitu memukau dan menenangkan Rasulullah maka tak heran ketika menegakkan shalat Rasulullah pun menjadi lebih tenang meskipun berbagai urusan agama dan kenegaraan berada di pundaknya. Tak heran karena Rasulullah memahami betul khusu’ dalam shalat, 

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ 

“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” [TQS Al-Baqarah : 46].

Shalat akan menjadi benteng bagi seorang hamba karena ia yakin bahwa ketika menegakkan shalat, ia sangat yakin bertemu dengan Rabb-Nya. Sehingga di setiap gerakan shalat yang dilakukan secara munajat, seorang hamba akan memanggil dan berdoa kepada Rabb-Nya dengan suara lirih. 

Rasulullah saw bersabda,

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ 

“Kalau Engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan (dunia).” [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/412), Ibnu Majah(4171), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/462) Al Mizzi (19/347) dan Lihat Ash Shahihah (401)].

Nampaklah secara jelas bahwa seorang hamba yang diamanahi  Allah untuk beramar ma’ruf nahi mungkar serta mengubah dirinya untuk menjadi pribadi lebih baik, dibutuhkan proses yang tidak sebentar. Oleh karenanya, sabar dan shalat adalah kunci kesuksesan dalam meraihnya. Wallahu a’lam bisshowab.[]

Oleh: Novida Sari
(Santri Daring I’rabul Quran di Bawah Asuhan KH. Hafidz Abdurrahman)

Posting Komentar

0 Komentar