RUU Omnibus Law Cipta Kerja: "Kejar Tayang Bulldozer Hukum, Haruskah ditolak?"



Omnibus law, Anda sudah tak asing lagi dengan istilah ini, bukan? Perbincangan, polemik, hingga penolakannya sampai hari ini--- 4 Oktober 2020---terus menyesaki pemberitaan dan ruang-ruang publik, sejak Presiden Jokowi melontarkan wacananya dalam pelantikan beliau sebagai Presiden RI periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019. Dan pada hari Rabu (12/2/2020) Pemerintah telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR RI. 

Omnibus law berarti one for everything. Yaitu suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana. Ketika omnibus law disahkan, maka semua produk hukum lain yang mengatur masalah atau topik yang sama, otomatis akan gugur atau tidak berlaku lagi. 

Mengapa perlu omnibus law Cipta Kerja atau ada yang menyebut Cipta Investasi? Adalah Dr. Ahmad Redi menyebutkan setidaknya ada lima alasan perlu membentuk omnibus law khususnya di bidang perekonomian dan investasi, yaitu:

1. Ditemukan sekitar 81 UU yang berpotensi saling mendistorsi satu dengan lainnnya. Ini berarti tidak ada sinkronisasi horizontal;
2. Lambatnya proses investasi;
3. Jumlah perizinan yang masif, banyak dan berbelit;
4. Regulasi dan permasalahan kelembagaan terlalu banyak dan berpotensi tumpang tindih;
5. Kesulitan berinvestasi sehingga diperlukan UU "sapu jagat”.

Lima alasan tersebut dapat dikatakan alasan praksis terkait dengan harmonisasi hukum dan praktik investasi. Seharusnya, alasan praksis tersebut tetap berpijak pada aspek idealitas, khususnya menyangkut politik hukum investasi kita baik Pancasila maupun UUD NRI 1945. Jika tidak, maka UU OL CK hanya akan mengikuti kemauan investasi yang berarti akan lebih memihak korporasi dan akhirnya berpotensi menindas pekerja/rakyat.

Sejak diserahkan ke DPR oleh Pemerintah, berarti baru 6 (enam) bulan berlangsung pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Jika dibandingkan AS membentuk UU sejenis---pembahasan hingga pengesahan butuh waktu 5 (lima) tahun, tentu masih terlalu singkat waktu yang telah dimanfaatkan oleh Pemerintah dan DPR. Terlalu buru-buru jika dalam waktu yang singkat ini lembaga legislator ini hendak mengesahkan UU OL CK pada tanggal 8 Oktober 2020 ini. Bukankah lebih baik menunda hingga legitimasi UU ini cukup baik untuk seluruh stakeholders? Namun, sebaliknya jika dipaksakan saat ini harus disyahkan, sementara masih banyak pasal yang kontrovesial, maka tidak aneh jika muncul aksi penolakan terhadap RUU ini. Jadi, tidak berlebihan jika penyusunan RUU OL CK disebut "kejar tayang".

I. Target dan Corak RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Target Penyelesaian RUU Terkesan Buru-buru.

Semula Presiden menargetkan RUU tersebut selesai dalam waktu seratus hari kerja. Setidaknya jadi sebelum lebaran tahun ini, 2020. Tak heran, jika ada adegan ‘salah ketik’ sempat mewarnai proses pembuatan draft RUU-nya. Diduga akibat sikap terburu-buru dan kurang matang karena ingin cepat disahkan. 

Sepengetahuan kami, negara sekelas Amerika Serikat saja saat membuat UU Omnibus Law Perdagangan dan Persaingan Usaha, membutuhkan waktu 3 (tiga tahun) sosialisasi dan 5 (lima tahun) proses pembahasan hingga pengesahan. 

Di Indonesia, di antara 50 RUU dalam Prolegnas 2020, pemerintah menghendaki pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja atau disebut juga dengan istilah RUU Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka), RUU Cipta Kerja (UU CiptaKer) atau RUU Cipta Investasi (UU Cinta). Bisakah dalam waktu secepat itu (100 hari) selesai? Ternyata juga tidak bisa selesai. Padahal RUU Cipta Lapangan Kerja berisi 1028 halaman disebut akan memangkas dan menyederhanakan aturan sejumlah 1244 pasal dari 81 UU terkait investasi. RUU Omnibus Law Cipta Kerja berisi 11 klaster, yaitu: (1) penyederhanaan perizinan tanah, (2) persyaratan investasi, (3) ketenagakerjaan, (4) kemudahan dan perlindungan UMKM, (5) kemudahan berusaha, (6) dukungan riset dan inovasi, (7) administrasi pemerintahan, (8) pengenaan sanksi, (9) pengendalian lahan, (10) kemudahan proyek pemerintah dan (11) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). 

Terkait dengan waktu yang diperlukan untuk mengubah UU secara omnibus, kita dapat merujuk pengalaman Amerika yang menganut Common Law System, sedang Indonesia menganut Civil Law System sebagaimana telah disebutkan di muka. Mungkinkah Indonesia menyusun RUU Cipta Kerja yang mengoreksi 81 UU itu akan selesai dalam hitungan bulan, bahkan hari? Kini UU OL CK telah memasuki babak akhir, yakni tahap pengesahan. Sebagian fraksi telah setuju kecuali PKS dan Demokrat. Secara perhitungan, maka mayoritas anggota fraksi telah setuju dan dengan demikian maka dapat dipastikan, UU OL CK akan tetap disyahkan, kecuali ada kejadian luar biasa yang menghalanginya.


Corak Omnibus Law Layak Disebut Sebagai RUU Bulldozer

1. Potensi RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Bulldozer Hukum.

Melihat daya pangkas RUU Omnibus Law yang demikian, maka kami menyebutnya sebagai BULLDOZER HUKUM! Apakah Anda sepakat dengan kami? Kita tahu bahwa bulldozer  adalah jenis peralatan konstruksi bertipe 
traktor yang menggunakan track/ rantai serta dilengkapi dengan:

(1). Bagian depan. Blade (pedang) sebagai perlengkapan standar bulldozer, diaplikasikan untuk pekerjaan menggali, mendorong dan menarik material (tanah, pasir, dsb). 
(2). Bagian belakang. Ripper untuk membongkar material yang tidak dapat digali menggunakan blade, biasanya untuk pekerjaan pembuatan jalan atau pertambangan.
(3). Bagian belakang. Winch untuk menarik material, sering digunakan pada pekerjaan pengeluaran kayu di hutan. 

Bak bulldozer, Omnibus Law juga bekerja dengan cara:

(1) Blade: memotong prosedur baku (Perubahan secara omnibus UU tidak diatur dalam UU 12 Tahun 2011 jo UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan PerUU, AMDAL tidak ketat diterapkan untuk perusahaan yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan luas dan diambil alih oleh Pusat).

(2) Ripper: membongkar pola baku (Hak tenaga kerja banyak dikurangi, Hubunga Kerja secara tetap dipersulit, Sertifikasi dosen asal Asing tidak wajib).

(3) Winch: menarik produk lama dan mengeluarkan produk baku (Desentralisasi, Sentralisasi, Model Pengelolaan Asing, Swasta)

2. Kelindan antara Demokrasi dan Kapitalisme.

Pada praktiknya, demokrasi pasti berkelindan dengan kapitalisme di negara yang menerapkan sistem hidup sekularisme. Sama-sama terlahir dari rahim sekularisme, demokrasi dikenal sebagai sistem politik/pemerintahan, adapun kapitalisme berperan sebagai sistem pengatur ekonomi. 

Jelas, RUU Omnibus Law dirancang berbasis paradigma kapitalisme. Kapitalisme menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas segalanya. Kepentingan para kapitalis (pemilik modal) mendapatkan pelayanan terdepan. “Wajar” jika isi RUU tersebut jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan sosial terhadap rakyat.

Ya, demokrasi dan kapitalisme adalah dua sisi mata uang yang tak berbeda. Kapitalisme mempersiapkan modal untuk menggulirkan demokrasi yang berbiaya tinggi. Dan demokrasi harus melengkapi peraturan dan perundang-undangan yang melanggengkan para kapitalis agar bebas mengeruk kekayaan negeri ini dan menguasai perekonomian negara.

Maka, problematika omnibus law terjadi bukan semata akibat keserakahan manusia. Tetapi lebih dari itu, yaitu adanya sistem hidup yang memfasilitasi manusia terutama dari kalangan kaya dan berkuasa melampiaskan kerakusannya atas kelompok manusia lainnya yang lemah, baik lemah secara ekonomi maupun politik. 

3. Potensi "Perselingkuhan" Rezim, Parlemen dan Kapitalis.

Negeri ini sedang menghadapi masalah krusial. Sistem yang ada terbukti tidak mampu menyangga permasalahan kehidupan yang kian kompleks. Sementara rezim hanya memikirkan diri dan kelompoknya, serta abai terhadap nasib rakyat. Gejala otoritarianisme terlihat nyata. Rezim menguasai parlemen. Parlemen pun tak mampu mengontrol pemerintah. 

Ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja nanti lolos dan sah menjadi UU, maka posisi institusi DPR tak lebih sebagai “tukang stempel” yang berselingkuh dengan rezim untuk menghasilkan peraturan yang menguntungkan kedua belah pihak. Termasuk kepentingan kaum oligarki (investor dan korporat) yang menangguk untung dari keberadaan UU tersebut. Tepat jika Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. 

Jadi sejatinya, hari ini negeri ini menganut demokrasi atau oligarki? Sampai kapan kita bertahan mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati?


II. Batu Uji Keberpihakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Agar tidak asal pangkas UU sehingga justru merusak tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hendaknya pembuatan UU Omnibus Law memperhatikan: 

1. Aspek Ideolgi Pancasila.
Menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional sesuai dengan UU 12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Aspek konstitusional.
RUU Omnibus Law harus sejalan dengan UUD NKRI 1945. Beberapa hal yang harus ditaati, misalnya:

(1) Pengelolaan sumber daya alam, di mana usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, bukan swasta apalagi asing.

(2) Jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kaum buruh selayaknya mendapatkan hak-hak seperti: upah UMR, hak cuti, pesangon, menjadi pekerja tetap, kontrak harus ada jaminan kesejahteraannya.

Hanya saja kami mengindera bahwa RUU Omnibus Law ini seolah menjadi mimpi buruk bagi dunia ketenagakerjaan (baca : perburuhan). RUU ini justru menciptakan 'penindasan baru' bagi buruh. Beberapa hak-hak dasar buruh seperti terkait upah, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, status karyawan tetap (PKWTT), model karyawan kontrak (PKWTT), kesejahteraan buruh, yang sebelumnya diatur dengan cukup baik dan memperhatikan kepentingan buruh melalui UU No 13/2003, justru dikaji ulang sehingga dihilangkan. Lihat misalnya terkait PHK dan pesangon pada Pasal 161. Pada UUK Pasal 161 disebutkan bahwa meskipun pekerja di-PHK dengan SP 1, 2 dan 3, pekerja tetap berhak mendapatkan pesangon, tetapi di UU OL CK tidak diatur lagi dan bahkan dihapuskan. 

UU OL CK juga menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan. Pekerja/buruh yang di PHK karena pergantian status kepemilikan perusahaan tidak akan diberi pesangon lagi oleh perusahaan awal, sebab hal ini sudah dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

(3) Hubungan pusat dan daerah tetap harus integral, desentralisasi bukan sentralisasi, serta pembagian pendapatan daerah harus imbang.

Misalnya saja diihilangkannya Kewenangan Pemerintah Daerah, baik tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang melalui Penghapusan Pasal 10 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik 15 Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

(4) Demokratisasi mulai dari pembentukan hingga penegakannya. Tidak boleh menyalahi prosedur dan tidak boleh mematikan kehendak rakyat dan memanjakan kepentingan korporasi dengan menindas hak buruh dan rakyat untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan.

(5) Potensi terjadinya anarkisme Konstitusi

Sayangnya, dalam proses RUU Omnibus Law ini kami memandang berpotensi terjadinya anarkisme konstitusi. Baik secara formil maupun materiil terjadi kecacatan yang akan berujung pada pemaksaan kehendak pemerintah. 

a. Secara formil. Penghapusan, perubahan dan penambahan sejumlah pasal dan peraturan perundang-undangan merampas kewenangan menafsirkan Peraturan Perundangan yang awalnya menjadi wewenang yudikatif (Mahkamah Konstitusi) menjadi wewenang eksekutif (presiden melalui pengajuan RUU).

b. Secara materiil. Penghapusan, perubahan dan penambahan sejumlah pasal dan peraturan perundang-undangan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak mungkin menghasilkan produk legislasi yang bersifat komprehensif dan memperhatikan berbagai aspek utamanya, yaitu aspek konstitusionalitas pasal-pasal apakah sejalan atau bertentangan dengan konstitusi.


Potensi Dampak Negatif Omnibus Law Cipta Kerja

Tak hanya mengalami cacat konstitusi, kami memperkirakan dampak negatif yang ditimbulkannya justru lebih besar dibanding keuntungan yang bakal diperoleh. Tak hanya kami, banyak kalangan menilai RUU ini berpotensi sebagai alat hegemoni oligarki. Hal ini karena perancangannya dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil yang memadai, satgas penyusun naskah akademiknya bersifat elitis dan tidak mengakomodasi masyarakat yang terdampak keberadaan RUU Omnibus Law, serta akan terjadi sentralisme kewenangan apabila RUU Omnibus Law disahkan. Wajar jika kritik bermunculan bukan? 

Adapun dampak buruk yang menyasar kaum buruh/pekerja antara lain menjadikan mereka sebagai budak modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah di bawah standar minimum, upah per jam dan perluasan kerja kontrak outsourcing, serta potensi PHK massal dan memburuknya kondisi kerja.

Tak hanya itu, kerusakan juga disinyalir akan terjadi pada lingkungan hidup. Tersebab RUU Omnibus Law Cipta Kerja melegitimasi investasi yang berpotensi menjadi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang dinilai lebih ramah lingkungan. Pun terjadi percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis dan kerusakan lingkungan. Akhirnya, dapat diprediksikan kehancuran ruang hidup rakyat. Bahkan dunia pendidikan pun disinyalir terdampak. Demi memenuhi kebutuhan investor akan tenaga kerja, orientasi sistem pendidikan lebih kepada menghasilkan lulusan yang siap menjadi tenaga kerja murah. 

Bagi kalangan umum rakyat, RUU Omnibus Law diyakini dapat berpotensi memiskinkan kalangan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak, difabel. Juga diprediksi bakal terjadi kriminalisasi, represi dan kekerasan negara terhadap rakyat, sementara negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha. 

Selain itu, kami pun merasakan aroma liberal dan pro kapitalis yang menyengat dalam RUU ini. Berbagai dampak negatif di atas telah menegaskan bahwa dengan dalih investasi, amanah konstitusi untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat dikesampingkan. Nampak bahwa aturan dalam omnibus law secara eksklusif memang dibuat untuk lebih mengutamakan posisi kapitalis yaitu para investor atau korporat, ketimbang perlindungan terhadap hak hidup dan konstitusional rakyat.

Jika seperti ini, maka omnibus law tak lebih sebagai konsolidasi oligarki politik. Pasalnya, logika RUU Omnibus Law Cipta Kerja fleksibel dalam ranah investasi dan para pemodal, didesain membuat kemudahan untuk pemodal, perizinan dan aturan yang ada saat ini dicap bertolak belakang dari logika industri dan investasi. Tak berlebihan jika dikatakan negara telah abai terhadap demokrasi yang ia gadang-gadang dan kian memperlihatkan secara nyata bagaimana watak rezim yang terkesan tidak pro rakyat.

Ya, dalam sistem kapitalistik liberal, memang amat tak biasa deregulasi terjadi berbasis kepentingan rakyat. Biasanya, kepentingan para pebisnis kakaplah yang melatarbelakangi deregulasi. Omnibus law Cipta Kerja menjadi pilihan karena pebisnis tak akan sabar menempuh jalur konvensional untuk merevisi undang-undang satu per satu yang bakal makan waktu lebih dari 50 tahun.

Meski berdampak negatif pada kaum pekerja/buruh dan sektor kepentingan rakyat, pun telah ditolak oleh berbagai elemen masyarakat, namun sepertinya RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan tetap disahkan. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengklaim bahwa 75 persen anggota DPR mendukung pengesahan RUU Omnibus Law menjadi UU. Mereka anggota parlemen yang merupakan kekuatan partai pendukung pemerintah. 

Ia juga melobi kekuatan politik di luar pemerintah termasuk PKS. Menurutnya, PKS setuju transformasi struktural dan secara prinsip mendukung Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan.

Bagaimanapun, omnibus law Cipta Kerja merupakan salah satu keniscayaan dalam demokrasi. Legislasi hukum sangat mungkin bisa direkayasa sesuai kepentingan penguasa yang dikendalikan pengusaha. Realitas itu dimungkinkan sebagaimana pernyataan pakar Hukum Tata Negara, Jimmy Z. Usfunan, bahwa omnibus law bisa menjadi salah satu jalan keluar bila ada persoalan konflik di antara stakeholder (penyelenggara) pemerintahan. Tentu saja stakeholder yang diperhitungkan hanyalah kaum oligarki, elite kecil yang biasa berkolusi dalam menentukan kebijakan.


Penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan Perlawanan Terhadap Ketidakadilan

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal melalui siaran pers tanggal 4 Oktober 2020 menjelaskan bahwa ada 10 isu yang diusung oleh buruh dalam menolak omnibus law RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Kesepuluh isu tersebut adalah berkaitan dengan (1) PHK, (2) sanksi pidana bagi pengusaha, (3) TKA, (4) UMK dan UMSK, (5) pesangon, (6) karyawan kontrak seumur hidup, (7) outsourcing seumur hidup, (8) waktu kerja, (9) cuti dan hak upah atas cuti, serta (10) jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak outsourcing.

Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, katanya 3 isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003,” kata Said Iqbal.Tapi terhadap 3 isu ini, harus diperiksa kembali kalimat yg dituangkan kedalam pasal RUU Cipta Kerja tsb, apakah merugikan buruh atau tidak. Namun demikian, terhadap tujuh hal yang lainnya, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut. Ketujuh isi yang telah disepakati pemerintah bersama DPR yang ditolak oleh buruh adalah: 

Pertama, UMK bersyarat dan UMSK dihapus. Buruh menolak keras kesepakatan ini.

Kedua, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengsuaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. 

Ketiga, PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Buruh menolak PKWT seumur hidup.

Keempat, outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelum, outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan. Buruh menolak outsourcing seumur hidup.

Kelima, waktu kerja tetap eksploitatif. Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif.

Keenam, hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.

Ketujuh, karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang.

Kami memandang bahwa rencana pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan bentuk ketikadilan penguasa terhadap hak hidup dan konstitusional rakyat. Padahal dalam pandangan Islam – sebagai ajaran yang dipeluk mayoritas rakyat – negara adalah "khodimul ummah". Yaitu pelayannya umat, mengurusi kepentingan dan kemashlahatan rakyat. Istilah Muhammad Hatta,  negara pengurus.

Negara bertugas memberikan jaminan dan pelayanan. Menjamin penghidupan, kesejahteraan, kesehatan dan kebutuhan dasar rakyat. Sumber daya alam (SDA) melimpah akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara dilarang menyerahkan pengelolaan dan penguasaan SDA dan bidang strategis lainnya kepada swasta apalagi asing.

Lantas, ketika saat ini kita menyaksikan ketidakadilan terjadi, apakah kita akan tinggal diam? Tentu tidak. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisanmu. Dan jika tidak mampu, maka (tolaklah) dengan hatimu. Dan ini selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Sebagai bentuk ketidakadilan, sudah selayaknya RUU Omnibus Law ditolak. Selain itu, rakyat bersama-sama berjuang mewujudkan sebuah tatanan negara yang mandiri dalam pengelolaannya, tidak bergantung pada investasi dan utang luar negeri. Yang penguasanya melayani rakyat dengan sepenuh hati, dengan kesadaran bahwa semuanya itu kelak akan dipertanggungjawab-kan di hadapan ilahi robbi. Semoga terwujud baldatun thoyibatun wa robbun ghofur. 

Kesimpulan

Akhirnya, kami simpulkan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak hanya berpotensi akan menghancurkan kehidupan bangsa, namun juga merusak tatanan kehidupan bangsa ini, karena kontennya tidak pro rakyat. Pun keberadaanya menjadikan Indonesia bukan sebagai negara benevolen. Mendukung pengesahan RUU Omnibus Law menunjukkan bahwa kita bukan hanya tidak Pancasilais, menabrak konstitusi dan melanggar tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, tetapi juga mendukung ketidakadilan penguasa serta ketamakan oligarki. Di sinilah kami hendak menyimpulkan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menindas pekerja dan memanjakan korporasi.

Kebutuhan investasi itu memang betul mendesak, namun penyelenggaraannya mesti tetap berpedoman pada politik hukum ideal (Pancasila) dan konstitusional (UUD NRI 1945). Tidak boleh lebih berat dibebankan pada pertimbangan praksis kemudahan berinvestasi. Untuk apa mengejar kuantitas investasi tetapi berakibat mundurnya kesejehteraan pekerja dan rusaknya lingkungan hidup? Negara harus mengambilalih soal "pengurusan" rakyat. Tetaplah menjadi "negara pengurus" seperti yang pernah digaungkan oleh Mohammad Hatta ketika membahas pelaksanaan Pasal 33 UUD RI 1945.[] 


Oleh: Prof. Dr. Suteki S.H. M.Hum. dan Puspita Satyawati
(Dosen Online di Uniol 4.0 Diponorogo)

Tabik...!!!
Semarang-Jogja, 5 Oktober 2020

Posting Komentar

0 Komentar