Pilkada di Masa Corona: Masihkah Mengutamakan Keselamatan Rakyat sebagai Hukum Tertinggi?



Masih meningkatnya penyebaran wabah virus corona dan segudang ketimpangan sosial dan masalah yang mendera negara, santer pemberitaan bahwa pemerintah justru mantap untuk menggelar pesta demokrasi, yakni Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) langsung. Agenda pilkada tersebut rencananya akan dilaksanakan serentak di 270 daerah pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang. 

Jauh-jauh hari pada tanggal 4/5/2020 Presiden telah mengeluarkan Perppu nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Perppu Pilkada). Yang isinya yakni menggeser waktu pelaksanaan Pilkada 2020 dari semula 23 September menjadi 9 Desember 2020. Perppu 2 2020 ini merupakan bentuk kesepakatan antara KPU, Pemerintah dan DPR RI. Alasan utamanya adalah karena ada pandemi Corona. 

Namun alih-alih ingin melakukan keputusan bijak untuk kepentingan rakyat justru keputusan tersebut menyisakan berbagai tanya di benak kita sebagai rakyat. Mengapa di saat adanya kebijakan pelarangan pada rakyat terhadap berbagai aktivitas kerumunan melalui kebijakan PSBB dan di saat kondisi perekonomian negara sedang mengalami krisis dan ancaman resesi akibat dampak pandemi ini, pemerintah malah kukuh akan menggelar pesta besar dalam bentuk pilkada? Alasan serta urgensi mendasar apa yang bisa diterima oleh logika kita?

Untuk mengulik atas persoalan pada pengantar di atas, kami akan coba memecahkannya melalui sejumlah rumusan masalah, yaitu (1) Mengapa pilkada serentak ini tetap akan dilaksanakan meskipun Indonesia masih dalam masa pendemi corona?; (2) Bagaimana bahaya yang diperkirakan akan timbul ketika pilkada serentak dilaksanakan pada masa pandemi corona?; (3) Bagaimana strategi yang tepat sebagai jalan keluar untuk menyelenggarakan pilkada serentak di masa pandemi corona di Indonesia?; (4) Benarkah Keselamatan Rakyat itu hukum tertinggi ketika pemerintah nekad menyelenggarakan pilkada langsaung di masa pandemi corona?


Mengulik Latar Belakang Pilkada Serentak Tetap Dilaksanakan di Masa Pendemi Corona

Dilansir dari Merdeka.com pada Minggu 4 Oktober 2020: tercatat Kasus Covid-19 bertambah, dari 3.992 kasus menjadi 303.498. Angka kesembuhan bertambah 3.410 menjadi 228.453 orang. Namun pasien meninggal juga masih terus mengalami penambahan 96 orang menjadi 11.151 orang.

Berdasarkan laporan day to day satgas covid ini membuktikan bahwa kita masih mengalami fluktuasi jumlah penderita covid 19. Prediksi puncak pandemi di Indonesia belum dapat ditentukan secara pasti. Dengan perkataan lain, hal ini mendorong penerapan kebijakan New Normal dengan segala protokol kesehatannya. Dengan pertimbangan ini, seolah terkesan kegiatan politik dalam pemilihan kepala daerah mesti dijalankan meski kita masih dalam situasi pandemi corona. Berbagai dalih dicoba untuk diajukan dalam rangka memberikan pembenaran kebijakan yang dipilih oleh KPU.

Setidaknya ada empat alasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjawab mengapa pilkada yang melibatkan 270 daerah itu harus tetap bergulir di tahun ini walau di tengah mewabahnya virus korona (covid-19). 

Pertama, demi melaksanakan UU. Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan KPU sebelumnya sempat menunda pelaksanaan tahapan pilkada pada Maret lalu. Penundaan akibat pandemi virus korona (covid-19). Namun setelah penundaan, Peraturan Pemerintah Pengganti UU Pilkada Nomor 2 Tahun 2020 diterbitkan pemerintah sebagai landasan hukum menggelar kembali pesta demokrasi tingkat daerah itu.

Kedua, tidak ada yang bisa memastikan kapan covid-19 berakhir. Pemerintah, KPU dan DPR kemudian sepakat pemungutan suara pilkada serentak dilaksanakan 9 Desember 2020 melalui Perppu No. 2 Tahun 2020. 

Ketiga, pelaksanaan Hak konstitusional. Alasan ketiga, yakni mengenai pelaksanaan hak konstitusional memilih dan dipilih. Setiap lima tahun, harus ada pergantian kepemimpinan dalam rangka pelaksanaan sistem demokrasi lima tahunan. 

Keempat, melaksanakan tertib tata kelola anggaran. Alasan lainnya menyangkut dana pilkada. Jika pilkada ditunda melewati tahun atau pada 2021, maka anggaran yang telah dicairkan pada 2020 ini akan terbuang sia-sia karena lewat tahun anggaran. Sementara, yang telah dicairkan sudah mencapai Rp 4,1 triliun (Medcom.id 22/Juli /2020).

Itulah keempat alasan pemerintah untuk tetap melaksanakan hajat demokrasi yaitu pelaksanaan Pilkada secara langsung, dan anehnya justru alasan utama yakni karena pandemi Corona. Yang bila ditelaah lebih mendalam sejumlah alasan tersebut terkesan sangatlah dipaksakan.

Bukankah akan lebih bijak jika sejumlah anggaran yang disebut telah cair tersebut digunakan untuk dana fokus penanganan pandemi corona yang hingga kini penuh dengan kekurangan baik dari segi persediaan APD maupun dana penanganan untuk pasien yang terinfeksi serta masyarakat yang terdampak karena wabah pandemi ini.

Lebih jauh lagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa negara kita saat ini juga sedang mengalami kesulitan dari segi keuangan, adanya utang luar negeri yang kian menggunung, dan kewajiban membayar hutang itupun sudah menanti, sementara pendapatan negara tampak menurun, lalu kenapa pemerintah masih hendak memaksakan untuk tetap melaksanakan pilkada ini? 

Di saat adanya keadaan yang genting seperti ini bukankah pemerintah bisa saja untuk keluarkan Perppu agar dilakukan penundaan terlebih dahulu? Atau dengan perppu bisa diminta DPRD untuk memilih dan mengusulkan nama untuk diangkat seperti pemilihan masa lalu. Dengan begitu pilkada tetap bisa dilaksanakan dengan jaminan keselamatan dan keamanan bagi rakyat dapat diberikan.

Dalam kehidupan bernegara, Pilkada sebenarnya dapat dilihat sebagai sebuah "ajang peperangan" di masa damai. Secara ideal, Pilkada itu sebuah pertempuran "nalar" untuk menuju peradaban yang lebih baik. Para pihak yang berkontestasi seharusnya warga negara terbaikmu agar mereka yang menang menjadi pemimpin terbaik untuk semua. Namun, realitas yang ada seringkali demokrasi ternyata kesulitan mewujudkan tujuan mulia tersebut. 
Pemekaran wilayah yang juga diikuti dengan Pilkada, misalnya justru dapat berkonsekuensi akan melahirkan raja-raja baru. Akhirnya calon terpilih pun tidak sudi mendekatkan pelayanan bagi rakyat jelata, bahkan hanya memikirkan diri dan kelompok partai pengusungnya saja. 

Lima tahun yang lalu, tepatnya tahun 2015 lalu, tercatat 269 daerah yang terdiri atas 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten melaksanakan pilkada serentak. Pada 15 Februari 2017, teragendakan sebanyak 101 daerah, 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Kita dapat membayangkan betapa sibuknya pemerintah daerah dan panitia penyelenggara pemilu. Namun, itulah semua risiko yang harus ditanggung ketika kita menjatuhkan pilihan menentukan pemilu Pilkada Langsung. Masalah justru bertambah, kesibukan makin tinggi, biayanya pun bisa berlipat ketika kita dihadapkan ada fakta bahwa kita ada di masa pandemi corona.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) Serentak 2020 yang digelar pada 9 Desember tidak akan mengalami penundaan di tengah pandemi Covid-19. Menurut Mahfud, tetap digelarnya pesta demokrasi tersebut bertujuan agar dapat melahirkan kepala daerah definitif. Artinya, kepala daerah-daerah itu harus definitif, kalau ditunda terus tanpa tahu kapan selesainya, hal itu menimbulkan masalah baru dalam pemerintahan, yaitu kepala daerah Plt atau pelaksana tugas (Kompas.com, Kamis (11/6/2020). Namun juga disadari oleh berbagai kalangan bahwa sangat mungkin Pilkada di masa pandemi corona berpotensi menimbulkan berbagai kerawanan.

Potensi Bahaya Pilkada Serentak Jika Dilaksanakan Pada Masa Pandemi Corona

Langkah atau kebijakan pemerintah yang bersikeras untuk tetap melaksanakan agenda pesta demokrasi di tengah pandemi ini juga menyisakan kesan bahwa pemerintah seakan minim empati dan rasa kemanusiaan. Bagaimana tidak, di saat rakyat sedang mengalami berbagai kesulitan, bertarung jiwa dan raga dalam melawan wabah corona pemerintah justru lagi-lagi mengambil langkah sepihak yang terkesan mengenyampingkan keselamatan rakyat.

Pada saat rakyat diminta secara ketat untuk tidak menggelar pesta besar yang menimbulkan kerumunan di musim pendemi ini, pemerintah justru berkali-kali melakukannya. Seperti pembagian sembako di depan Istana oleh Presiden Jokowi pada beberapa waktu lalu, konser musik yang diinisiasi oleh BPIP, dan sekarang adanya agenda untuk melaksanakan pesta pilkada secara langsung. Sungguh kebijakan-kebijakan yang kontradiktif dengan apa yang menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat dan pengurus negara terutama saat menghadapi masa pandemi ini.

Di sisi lain, kebijakan untuk tetap memaksakan pesta demokrasi di 270 daerah itu juga akan berpotensi memunculkan berbagai persoalan baru. Bukan saja terkait kesehatan dan keselamatan masyarakat, tapi juga terkait proses pelaksanaan sistem demokrasi itu sendiri. 

Setidaknya ada tujuh "Bahaya" yang akan dihadapi rezim, apabila pilkada langsung tetap dilaksanakan di masa pandemi corona, antara lain:

Pertama, kualitas penyelenggaraan pilkada terdegradasi, buruk. Prinsip yang dapat menjaga marwah Pilkada tidak lain berupa asas-asas pilkada khususnya JUJUR dan ADIL. Di tengah pandemi corona itu yang akan dianut adalah aliran pragmatisme, dan apalagi karena kemiskinan warga pemilih dan calon membutuhkan suara itu sering terlibat dalam transaksi ekonomi.

Kedua, keselamatan dan kesehatan warga negara terancam. Masa puncak pandemi corona hingga sekarang belum pasti. Angka infeksi penyakit masih pasang surut meskipun para warga telah menjalankan program PSBB. 

Ketiga, partisipasi pengguna hak pilih rendah karena pertimbangan pandemi yang belum mereda. Salah satu kerawanan ialah tingkat partisipasi rendah lantaran tren wabah korona yang saat ini masih meningkat dan masyarakat menghindari aktivitas berkerumun. Meskipun Juru Bicara Gugus Petugas Percepatan Covid diganti, tren kejadian covid-19 beberapa hari ini ada 1.000-an orang lebih yang dinyatakan positif covid-19. Sementara itu, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pada saat situasi normal tidak lebih dari 60 s/d 70 persen, apalagi di saat pandemi corona. Diperkirakan partisipasi rakyat dalam pilkada akan menurun drastis.

Keempat, transaksi jual-beli suara sangat potensial menguat. Politik transaksional pada pilkada di tengah pandemi bakal menguat lantaran kebutuhan ekonomi warga yang meningkat dan pragmatisme kandidat kepala daerah. Kandidat mungkin merasa ruang geraknya sudah semakin susah karena protokol kesehatan yang harus mereka patuhi, maka pendekatan pragmatis akan dipilih dengan akan melakukan jual-beli suara. 

Kelima, Politisasi program penanganan covid-19. Khususnya para calon incumbent akan memanfaatkan kesempatan penanganan covid sekaligus untuk curi start kampanya terselubung. Misalnya, melalui pembagian bantuan negara sembako, namun diklaim sebagai bantuan pribadi, bungkusnya ada foto diri dan narasi pribadi.

Keenam, politik bumi hangus setelah jadi kepala daerah. Kesulitan-kesulitan suksesnya memenangkan calon di pilkada dapat makin mendorong pasangan pemenang dan tim suksesnya segera setelah pelantikan merapatkan barisan untuk melakukan pergantian gerbong “kabinet”. Pejabat yang mendukung akan dipertahankan atau dipromosikan. Sebaliknya, yang dianggap lawan akan dicopot atau di-nonjobkan.

Ketujuh, pebisnis demokrasi berpotensi marak terjadi. Meskipun pilkada serentak ini membuat para bandar politik (pebisnis democracy) kurang bisa lagi bermain di setiap daerah yang melaksanakan pilkada, namun diprediksikan masih tetap akan terjadi. Para bandar politik ini biasanya menjadi penyandang dana untuk para kontestan dengan janji imbalan proyek-proyek infrastruktur, konsesi tambang, HPH dan segala macam potensi yang bisa dikeruk dari daerah itu. 

Jadi, demokrasi melalui Pilkada ini ternyata melahirkan pebisnis-pebisnis demokrasi yg tidak hanya berbisnis barang dan jasa, tanpa melihat lagi halal atau haram, tetapi lebih jauh lagi, mereka juga membisniskan demokrasi itu sendiri. Bisnis demokrasi lengkap dengan layanan purna jual dalam bentuk korupsi, manipulasi, kolusi dan saudara-saudaranya.

Strategi Tepat Sebagai Jalan Keluar Untuk Menyelenggarakan Pilkada Serentak di Masa Pandemi Corona

Pilkada langsung pada Desember mendatang masih diselimuti sejumlah ketidakpastian mulai dari anggaran tambahan untuk alat kesehatan atau pelindung diri, teknis penyelenggaraan, dan sosialisasi baik kepada penyelenggara di daerah dan pemilih. Maka bukankah akan lebih baik jika disarankan agar pilkada sebaiknya diundur hingga Juni 2021 agar persiapan bisa dilakukan lebih matang. Hal ini pun belum ada kepastian karena masa puncak pandemi corona hingga sekarang belum dapat ditetapkan secara pasti oleh pemerintah.

Kendati demikian, ada strategi atau jalan keluar yang bisa dilakukan ketika keputusan untuk mengadakan pilkada di tengah pandemi ini bersikeras ingin tetap dilakukan di antaranya:

Pertama, perlu adanya terobosan Hukum. Perlu diinisiasi cara pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh DPRD. Untuk itu harus ada perubahan UU PEMILU khususnya yang mengatur Pilkada. Di samping itu perlu dipersoalkan kembali apakah Pilkada langsung mempunyai landasan konstitusional? Dalam UUD 45, Pasal18 ayat (4) tidak memerintahkan untuk melakukan pilkada langsung. Pada pasal itu hanya diterangkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Atas dasar apa kita melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan biaya yang super mahal tersebut? 

Sementara kondisi objektif hari ini juga belum mampu meyakinkan masyarakat terhadap hal-hal yang diperlukan untuk bisa melanjutkan pilkada di 2020. Jadi, bila dimungkinkan bisa saja Presiden dapat menerbitkan Perppu yang berisi bahwa untuk Pilkada di Masa Pandemi Corona ini Kepala Daerah dan Wakilnya tidak dipilih secara langsung melainkan melalui DPRD terkait. 

Kedua, pertimbangan anggaran untuk melaksanakan pilkada secara langsung. Mengingat biaya setiap agenda dalam Pesta demokrasi dan dalam hal ini yaitu Pilkada itu sangat mahal, maka tentu saja anggaran atau biayanya yang harus siap dikeluarkan tentunya tidaklah sedikit, terlebih-lebih dilaksanakan pada masa wabah corona ini. Seluruh tahapan pilkada tentu harus menerapkan standar pencegahan Covid-19. Ini tentu membutuhkan tambahan anggaran yang sangat banyak, antara lain untuk pengadaan alat perlindungan diri (APD) dan perlengkapan disinfeksi di 270 wilayah pemilihan yang meliputi sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. 

Hal tersebut telah terkonfirmasi melalui adanya permintaan anggaran tambahan sebesar Rp 4,7 triliun yang diajukan KPU. Dan itupun telah disetujui oleh DPR dan pemerintah. Selain KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) juga mendapatkan tambahan anggaran masing-masing sebesar Rp 478,9 miliar dan Rp 39,05 miliar. Dan tentu saja seluruh tambahan biaya ini bersumber dari APBN dan APBD. Bayangkan juga jika saja dana sebesar itu dialokasikan untuk mengatasi wabah corona tentu akan lebih bijak, dan dapat menjaga marwah pemerintah karena bisa diterima oleh logika sehat dan perasaan mayoritas masyarakat kita.

Di sisi lain, jika kita tarik dari sejarah dalam sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyyah, mekanisme pengangkatan kepala daerah semacam ini cukup ditunjuk saja. Hal ini mirip dengan UU 5/74 tentang Pemerintahan di Daerah. Yang di dalam sistem khilafah, kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi disebut dengan Wali atau Amir sedangkan dalam sistem demokrasi kini disebut Gubernur. Selanjutnya untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota disebut Amil atau Hakim, yang jika disamakan dengan struktur dalam sistem saat ini disebut dengan Bupati atau Walikota.

Namun perbedaannya, kepala daerah dalam sistem khilafah (wali/Amir dan Amil) dipilih oleh Khalifah atau kepala negara dengan mendapatkan saran dan masukan dari Majelis Umat dan Majelis Wilayah. Majelis Umat merupakan lembaga perwakilan dari Umat ditingkat pusat. Sedangkan Majelis Wilayah merupakan lembaga perwakilan dari masyarakat yang ada di daerah. 

Dengan kapasitas itulah Majelis Umat dan Majelis Wilyah dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian seorang kepala daerah. Baik level Provinsi maupun level daerah Kota. Jika terjadi perbedaan pendapat antara Majelis Umat dan Majelis Wilayah maka yang lebih diutamakan yaitu pendapat dari Majelis Wilayah karena merupakan representasi utama masyarakat daerah.

Mekanisme tersebut mirip dengan model pemilihan Kepala daerah di era Pra-reformasi (masa Orba). Dalam tekhnisnya kepala daerah dipilih oleh DPRD lalu diajukan beberapa nama untuk dipilih langsung oleh kepala negara. Dengan mekanisme yang simpel seperti itu tentu saja tidak perlu menyiapkan dana atau anggaran yang sangat mahal dan kepala daerah yang terpilih tidak akan punya beban besar “Utang” maupun intervensi dari para pemodal yang menjadi pengusungnya seperti yang banyak terjadi pada kepala daerah - kepala daerah yang terpilih pada sistem hari ini.

Bila kita cermati kembali hal demikian sejalan dengan MUI, Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang digelar di Tasikmalaya tahun 2012 lalu yang merekomendasikan kepala daerah akan lebih afdal jika dipilih oleh DPRD provinsi, kota, atau kabupaten. Sedangkan, wakilnya bisa dipilih oleh gubernur, wali kota, atau bupati terpilih. Untuk mengawal jalannya proses pemilihan, DPR bisa membuat RUU yang tegas mengatur secara eksplisit.

Mekanisme pemilihan pemimpin ataupun kepala daerah dalam sistem Islam adalah sebaik-baik acuan untuk sebuah sistem pemerintahan. Selain praktis, mekanisme dengan biaya yang sangat murah sehingga tidak akan berujung pada pemborosan uang negara maupun dana dari masyarakat sendiri yang dihambur-hamburkan untuk tujuan yang tak bermanfaat. Akan tetapi dana atau anggaran tersebut bisa dimanfaatkan fokus untuk pembangunan, pemberdayaan, dan kesejahteraan masyarakat terlebih-lebih saat dalam menghadapi musibah pandemi.

Penunjukan kepala daerah ditunjuk langsung oleh sang Khalifah/kepala negara yang sudah dibai'at umat karena mempunyai otoritas dalam mengangkat para penguasa di bawahnya, baik Gubernur (Wali) maupun Kepala Daerah Kab/Kota (Amil) untuk membantunya dalam mengurus rakyat. Hal demikian sangat berbeda dengan sistem demokrasi sekarang, ketika rakyat sudah memilih Kepala negara (presiden) dan menyerahkan kekuasaannya, tapi sisi lain rakyat juga masih harus memilih kepala daerah yang notabene merupakan pembantu Presiden di daerah.

Hal yang tidak kalah penting juga dalam sistem Islam, kepala daerah yang terpilih dipilih karena ketaqwaan dan kapasitasnya sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan seluruh perintah syara'. Bukan atas dasar kekuatan modal atau dinasti politik dan oligarki yang dipenuhi dengan cara-cara yang kotor dan tidak syar'i seperti yang tampak pada sistem demokrasi yang rawan konflik, korupsi maupun manipulasi.

Walhasil, pemilihan kepala daerah dalam sistem Islam, Khilafah jauh lebih efisien dan efektif. Sangat berbeda dengan sistem demokrasi yang sangat mahal, dan dengan biaya yang mahal itupun belum tentu sebagai jaminan akan menghasilkan para pemimpin atau kepala daerah yang berkualitas. Karena tentunya kita pasti ingin mendapatkan kepala daerah yang berkualitas namun dengan biaya yang murah bukan? Maka model pemilihan Kepala daerah dalam sistem khilafah bisa menjadi contoh atau referensi yang dapat diajukan.

Pilkada Langsung di Tengah Corona: Benarkah Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat

Para pembaca mungkin tidak asing dengan Marcus Tullius Cicero. Dialah yang pertama kali berdalil tentang Ubi Societas Ibi Ius (Di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Ada satu lagi dalil yang terkenal bahkan akhir-akhir ini "disesorahkan" di mana-mana, yakni dia pernah berujar: “salus populi suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Jika dalil tersebut dihubungkan dengan konsep negara modern, maka sebuah keniscayaan jika negara dengan organ-organ yang dimiliki, mempunyai peran melalui tugas dan fungsinya masing-masing untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan mengusahakan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Melalui upaya ini berarti adalah benar jika keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara.

Tujuan nasional bangsa Indonesia mendirikan negara telah termaktub dalam Alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia NRI 1945 yakni “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Tujuan nasional tersebut seharusnya menjadi visi setiap kegiatan pemerintah negara. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah betulkah pada tataran implementasi atau secara realitas asas “salus populi suprema lex esto” telah sepenuhnya direalisasikan? 

Fakta bicara lain: "salus populi suprema lex esto" just a myth that lie daily. Misalnya terkait dengan isu utama sekarang tentang Pilkada Langsunh di masa Pandemi Corona. Pilkada di tengah pandemi telah dikritisi banyak pihak. Potensi Bahaya Pilkada di Masa Pandemi telah diuraikan panjang lebar. 

Meski banyak tentangan dari berbagai elemen masyarakat, bahkan dua ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah juga meminta agar pilkada serentak langsung dievaluasi bahkan ditunda. Namun, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) Serentak 2020 yang digelar pada 9 Desember tidak akan mengalami penundaan di tengah pandemi Covid-19. Menurut Mahfud, tetap digelarnya pesta demokrasi tersebut bertujuan agar dapat melahirkan kepala daerah definitif. Artinya, kepala daerah-daerah itu harus definitif, kalau ditunda terus tanpa tahu kapan selesainya, hal itu menimbulkan masalah baru dalam pemerintahan, yaitu kepala daerah Plt atau pelaksana tugas (Kompas.com, Kamis (11/6/2020). Namun juga disadari oleh berbagai kalangan bahwa sangat mungkin Pilkada di masa pandemi corona berpotensi menimbulkan berbagai kerawanan. 

Atas dasar keprihatinan kita terhadap fakta lapangan ini, maka kita akhirnya bertanya, masihkah pantas kita meneriakkan dalil "salus populi suprema lex esto"? Ternyata kalau sudah bicara tentang politik, tidak ada kawan dan musuh abadi, yang abadi itu kepentingan. Tidak ada hukum tertinggi itu di atas konstitusi kecuali: kepentingan. Jadi, kepentingan adalah hukum tertinggi, bukan keselamatan rakyat. Itu faktanya!

Dari sejumlah uraian di atas, maka dapat kami tarik beberapa kesimpulan yaitu:

Pertama. Alasan utama pemerintah untuk tetap melaksanakan hajat demokrasi pelaksanaan Pilkada yang melibatkan 270 daerah secara langsung yakni karena pandemi Corona. Yang bila ditelaah lebih mendalam sejumlah alasan tersebut terkesan sangatlah dipaksakan.

Kedua. Langkah atau kebijakan pemerintah yang bersikeras untuk tetap melaksanakan agenda pesta demokrasi di tengah pandemi ini kontradiktif dengan apa yang menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat dan pengurus negara terutama saat menghadapi masa pandemi ini. Yang akan berpotensi memunculkan berbagai persoalan baru. Bukan saja terkait kesehatan dan keselamatan masyarakat, tapi juga terkait proses pelaksanaan sistem demokrasi itu sendiri. 

Ketiga. Strategi atau jalan keluar yang bisa dilakukan ketika keputusan untuk mengadakan pilkada di tengah pandemi di antaranya perlu adanya terobosan Hukum melalui Presiden yang dapat menerbitkan Perppu yang berisi bahwa untuk Pilkada di Masa Pandemi Corona ini Kepala Daerah dan Wakilnya tidak dipilih secara langsung melainkan melalui DPRD terkait. Selain dari pada itu mekanisme pemilihan pemimpin ataupun kepala daerah dalam sistem Islam adalah sebaik-baik mekanisme untuk sebuah sistem pemerintahan. Selain praktis, mekanismenya syar'i, dan dengan biaya yang sangat murah sehingga tidak akan berujung pada pemborosan uang negara terlebih-lebih saat dalam menghadapi musibah wabah corona.

4. Ketika penguasa nekad menyelenggarakan pilkada serentak langsung di tengah pandemi corona, maka dalil Cicero yang menyatakan keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi ternyata oleh pengemban kekuasaan hanyalah isapan jempol belaka. Potensi bahaya yang besar hasil analisis dari berbagai pihak masyarakat seolah dianggap angin lalu. Pertanyaan besar kita adalah: "sebenarnya pemerintah itu mewakili siapa?" Mengapa suara rakyat diabaikan? Kepentingan siapa sebenarnya yang lebih diutamakan sehingga menjadi hukum tertinggi dan mampu menggeser keselamatan rakyat? Tabik..!


Oleh: Prof. Dr. Suteki S.H. M.Hum. 
(Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)
(Dosen Universitas Online Diponorogo 4.0)
Semarang - Karawang, 6 Oktober 2020



Posting Komentar

1 Komentar

  1. Hukum tertinggi yg berlaku untuk manusia dan jin pastinya Hukum Allah : Hukum agama Allah dan Hukum alam ciptaan Allah.

    Tapi dewasa ini memang ada yang belajar Hukum agama Allah sambil berkhayal Hukum alam ciptaan Allah bisa mengikuti nafsunya, atau belajar Hukum alam ciptaan Allah akhirnya malah berpikir Tuhan itu tidak ada.

    apakah hukum alam ciptaan Allah itu bersifat tetap seperti Hukum agama Allah(Al Qur'an) ?

    BalasHapus