Martabat



Perjalanan manusia sepanjang sejarah, bila disimpulkan dalam satu kalimat pendek adalah: "Pertarungan antara yang hak dan yang batil." 

Lain kata, antara kebenaran dan kesalahan, antara kebaikan dan keburukan, antara kekuatan malaikat dan kekuatan iblis, antara Namruj dan ibrahim, antara Musa dan Fir'aun, antara Muhammad dan Abu Jahal. Ujungnya pun, Tuhan menyiapkan dua akibat tempat kembali: surga dan neraka. Kita berada dimana, itu yang akan diperiksa oleh Tuhan secara detail kelak di yaumul hisab. 

Bila merasa berada di pihak kebenaran pun, masih akan ditanya: Niat, dasar dan tujuannya apa? Kepentingan Tuhan atau kepentingan manusia yang bertentangan dengan perintah Tuhan? Kepentingan akhirat/agama atau kepentingan dunia yang sementara? Hati nurani atau hawa nafsu? Keselamatan umat atau keselamatan diri? Tegaknya perintah Tuhan atau kenyamanan diri? Kepentingan umat keseluruhan atau kepentingan kelompok, golongan atau organisasi? 

Ketika kebenaran hinggap di hati dan kita tidak menyampaikannya, itu pun akan ditanya. Ketika kita gamang memilih kebenaran atau kesalahan pun akan ditanya pilihan, sebab dan dasarnya. Dasar²nya seperti yang diuraikan di atas.

Kita semua, sadar tidak sadar, berada di pertentangan dua kutub itu. Harga, nilai dan martabat kita ditentukan oleh posisi di pihak mana kita berada diantara dua kutub itu. Tidak ada nuansa dalam benar-salah. Benar ya benar, salah ya salah. "Wala talbisul haqqa bil bathil," Janganlah kalian mencampuradukkan yang benar dan yang salah sedangkan kamu mengetahui. Tuhan menegaskan begitu dalam kitab suci-Nya. 

Tengah-tengah, abu-abu, samar-samar, moderat, toleran, antara hak dan batil itu hanya akan melemahkan kebenaran bahkan membalikkan nilai: yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Bila kita terlibat atau berkontribusi dalam pembalikkan nilai-nilai itu, sadar tidak sadar, apalagi sengaja dan terbuka, pasti itu akan jadi pemeriksaan Tuhan kelak.

"Hai burung kecil, buat apa membawa setetes air di paruhmu itu?," tanya cecak pada burung disampingnya yang akan terbang.

"Aku ingin memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim."

"Hahaha .... apa pengaruhnya? Apa kamu tidak berpikir?"

"Aku tahu. Air kecil ini tak akan berarti apa-apa pada api besar yang akan membakar Ibrahim. Tapi aku ingin menegaskan, di pihak mana aku berada!!"

Sikap burung kecil itu adalah martabat. Martabatlah yang menjadikan kita sebagai manusia. Menjadi burung kecil di zaman sekarang adalah upaya membuktikan diri bahwa kita masih memiliki martabat, memiliki hati nurani.[]


Oleh: Moeflich H. Hart
Sejarawan

Posting Komentar

0 Komentar