Keteladanan Abdullah bin Al-Mubarak

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman al-Handzali. Beliau lebih dikenal dengan Ibn al-Mubarak. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya berkebangsaan Arab. Beliau dilahirkan pada tahun 118 H.

Ayahnya, al-Mubarak, dulunya hanyalah seorang mawla (pelayan) dari seorang saudagar besar. Ia lama bekerja di perkebunan saudagar itu. Pada suatu hari, datanglah saudagar tersebut ke perkebunannya. Ia menyuruh al-Mubarak mengambilkan buah delima yang manis dari kebunnya. Al-Mubarak pun bergegas mencari pohon delima dan memetik buahnya, kemudian menyerahkan buah itu kepada tuannya. 

Setelah tuannya membelah dan memakan delima itu, ternyata rasanya kecut. Tuannya kesal sambil berkata, “Aku minta yang manis. Kamu malah ngasihyang kecut. Ambilkan yang manis!” Al-Mubarak segera bergegas kembali dan memetik delima dari pohon yang lain. Buah delima itu lalu diberikan kepada tuannya. Namun, lagi-lagi buah itu rasanya kecut. Tuannya makin kesal kepada al-Mubarak. Hal itu berlangsung sampai tiga kali. 

Akhirnya, tuannya bertanya, “Sekian lama kamu merawat kebun ini, kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang kecut?” Al-Mubarak menjawab, “Tidak, Tuan.” Tuannya bertanya lagi, “Mengapa?” Al-Mubarak menjawab, “Karena saya belum pernah sekalipun mencoba mencicipi buah yang ada di kebun ini.”Tuannya bertanya lagi, “Mengapa bisa begitu?” Al-Mubarak menjawab, “Karena selama saya bekerja di sini, Tuan belum pernah mengizinkan saya untuk mencicipi buah di kebun ini.” 

Mendengar jawaban itu, tuannya merasa takjub. Ia takjub atas sikap amanah al-Mubarak. Al-Mubarak pun mendapat tempat di hati tuannya. Tuannya lalu menikahkan al-Mubarak dengan putrinya. Dari perkawinan keduanya lalu lahir seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdullah. Dialah yang kelak kemudian menjadi ulama besar: Abdullah ibn al-Mubarak.
(Lihat: Wafayat al-A'yan, 3/32).


Ibn al-Mubarak dijuluki dengan banyak julukan. Di antaranya: Al-Hafizh, Syaikh al-Islam, Fakhr al-Mujahidin dan Pemimpin Para Ahli Zuhud. Masih banyak gelar lainnya. Beliau menghabiskan usianya untuk melakukan banyak safar dalam rangka mencari ilmu, berhaji, berjihad dan berdagang. Karena itu beliau dikenal dengan “As-Sâffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan).

Adz-Dzahabi menuturkan, Ibnul Mubarak mulai mencari ilmu sejak umur 20 tahun di daerahnya, Marwa. Pada tahun141 H ia melanjutkan perjalanannya ke wilayah lain dan berguru kepada para tâbi’in. Beberapa wilayah Islam yang pernah ia kunjungi dalam rangka menuntut ilmu antara lain: Yaman, Mesir, Syiria, Bashrah dan Kufah. Karena begitu banyaknya ulama yang beliau kunjungi untuk berguru menuntut ilmu, Ibrahim bin Ishaq al-Bunani menuturkan bahwa Ibnul Mubarak pernah berkisah, “Aku telah belajar dari 4.000 guru dan meriwayatkan hadis dari 1.000 ulama.”

Al-Abbas bin Mush’ab juga berkata, “Aku pernah meneliti guru-gurunya dalam periwayatan hadis. Ternyata aku menjumpai gurunya ada 800 ahli hadis.”


Salah satu akhlak beliau yang menonjol adalah selalu berusaha menyembunyikan amal kebaikannya dari penglihatan manusia. Al-Marwazi berkata: Aku pernah mendengar Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal berkata, “Ibnu al-Mubarak tidak diangkat derajatnya oleh Allah kecuali karena dia telah banyak melakukan kebaikan yang tidak diketahui banyak orang.” (Ibn ‘Asakir, Târîkh Dimasyqi,38/240).

Terkait itu, Muhammad bin Isa berkata, suatu hari Ibnu al-Mubarak pernah berjumpa dengan seorang pemuda. Beliau lalu menyampaikan hadis. Setelah itu beliau pergi. 

Setelah beberapa hari, Ibnu al-Mubarak hendak menjumpai pemuda itu untuk kedua kalinya. Namun, beliau sudah tidak melihat anak muda itu. Ibnu al-Mubarak bertanya perihal anak muda tersebut kepada seseorang. Orang itu berkata kepada beliau bahwa pemuda itu terlilit utang sebesar 10 ribu dirham (kira-kira Rp 700 juta). 

Lalu Ibnu al-Mubarak meminta dipertemukan dengan orang yang telah memberi pinjaman kepada pemuda tersebut. Setelah bertemu, segera

Ibnu al-Mubarak membayarkan utang pemuda tersebut sebesar 10 ribu dirham kepada orang tersebut. Beliau berpesan agar orang itu tidak perlu bercerita kepada siapapun tentang hal ini selama beliau masih hidup. 

Setelah beberapa hari Ibnu al-Mubarak menemui anak muda itu dan bertanya kepada dia, “Anak muda, dari mana saja engkau? Beberapa hari ini aku tidak melihatmu?” 

Dia menjawab, “Abu Abdurrahman, saya terlilit utang hingga saya dipenjara. Namun, seseorang telah datang membayarkan utangku hingga aku bebas dari penjara. Saya tidak tahu siapa orang itu.” 

Al-Mubarak berkata,”Alhamdulillah.”Anak muda itu baru mengetahui orang yang telah membayar utangnya setelah Ibn al-Mubarak meninggal (Ibn’ Asakir, Târikh Dimasyqi, 38/350).

Ibn al-Mubarak juga terkenal karena kemuliaan akhlaknya. Hasan bin ‘Arafah pernah mendengar Ibnu al-Mubarak berkata, “Aku pernah meminjam sebuah pena dari penduduk Syam. Setelah selesai, aku bermaksud pergi Syam untuk mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya. Namun, saat aku sampai di Marwa, tiba-tiba orang yang aku pinjam penanya itu telah berada di sampingku. Aku tidak segera memberikan pena itu hingga ia kembali ke Syam. Setelah ia kembali ke Syam, aku pun segera pergi menyusul dia ke Syam untuk untuk mengembalikan pena itu.” (Ahmad bin Ali Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi, Târikh Baghdâd, 10/160).

Ibn al-Mubarak juga seorang yang wara’. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq pernah mendengar Ibn al-Mubarak berkata, “Sesungguhnya mengembalikan satu dirham dari sesuatu yang syubhat lebih baik bagiku daripada aku bersedekah 100 ribu sampai 600 ribu dirham.” (Ahmad bin Ali Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi, _Târîkh Baghdâd,_ 10/139).

Ibn al-Mubarak pun terkenal karena kedermawanannya. Fudhail bin Iyadh berkata, “Ibn al-Mubarak biasa berinfak kepada orang-orang fakir setiap tahun sebanyak 100.000 dirham (kira-kira Rp 7 miliar).”

Karena keagungan dan kemuliaan Ibn al-Mubarak, tidak aneh jika adz-Dzahabi pernah berkata, “Sungguh aku menyukai Ibnu al-Mubarak karena Allah SWT. Dengan mencintai dia karena Allah SWT, aku berharap Allah SWT juga memberi aku sebagian kebaikan yang telah diberikan kepada dia seperti ketakwaan, kerajinan dalam beribadah, keikhlasan, kegemaran untuk berjihad, mempunyai ilmu yang luas, kepandaian, kesederhanaan, bijak dalam memberikan fatwa dan sifat-sifat terpuji.” (Abu al-Hajaj, _Tahdzîb al-Kamâl,_ 16/15-16).

Ibn al-Mubarak wafat pada bulan Ramadhan saat kembali dari medan perang pada tahun 181 H dalam usia 63 tahun. []

Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah)

Posting Komentar

0 Komentar