Hukum Manusia Bukti Kerusakan di Tangan Manusia



Tangan manusia yang tak mengingat akan posisinya sebagai hamba, telah mengesahkan sebuah Undang-undang yang masih menjadi perdebatan sengit. Omnibus Law yang berkedok dalam Undang-undang Cipta Kerja (UU CK) hasil akal manusia merupakan makhluk baru diranah hukum Indonesia. Undang-undang yang digadang-gadang menjadi produk spesial karena bisa memberi pengaruh luar biasa dalam pembangungan.

Namun namanya aturan buatan tangan manusia, undang-undang ini pun ditafsirkan akan memberi kesengsaraan bagi banyak manusia dan juga lingkungan. Terbukti pasca pengesahan UU CK, berbagai kalangan melakukan aksi protesnya, baik dengan turun ke jalan, atau secarik kertas berisi petisi, gugatan, dan lainnya. Protes yang dilancarkan pun dari berbagai sudut pandang, terkait UU CK ini adalah omnibus law yang menyasar banyak aturan.

Para pakar lingkungan, ahli hukum lingkungan, pegiat dan pecinta lingkungan turut menyumbangkan suara untuk menolak aturan baru, yang meski saat ini sudah terlanjur ketuk palu dalam landasan nan keliru. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai organisasi lingkungan menyatakan dalam siaran persnya, “Omnibus Law Cipta Kerja Tidak Sah.” Suara ini dilantangkan karena beberapa alasan kekhawatiran akibat efek samping undang-undang yang membius pemerintah. Bahkan seorang Peneliti Institute for Development of Economi and Finance (Indef), menyatakan UU CK pasal lingkungan hidup bisa berdampak pada masyarakat yang berada di sekitar hutan. Tak hanya itu, pakar UGM justru menyatakan bahwa UU ini sudah salah, baik secara formil maupun materiil. Itu baru beberapa bukti kecacatan hukum tangan manusia, bahkan jika kita gali lebih dalam banyak sekali kesalahannya.

UU Cipta Kerja sebagai Hukum Buatan Manusia yang Merusak

Salah satu pakar memberikan sebuah pernyataan akan pasal-pasal yang cacat dalam UU CK yang dapat melemahkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Meski pernyataan Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Kebijakan Hutan Fakultas Kehutanan IPB) masih menafsiran dari teks RUU CK terlihat kurang kredibel, namun hal itulah yang membuktikan kecacatan dalam pengesahan UU CK. Bagaimana tidak cacat, di saat sidang paripurna saja draft asli belumlah di tangan para anggota dewan. Lebih parahnya setelah palu diketok pun ada bukti revisi dalam UU CK, yang jelas menyalahi konstitusi dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan No.12 tahun 2011.

Adapun sepuluh perubahan pasal tersebut menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, di antaranya:
1. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggara usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22;

2. Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan;

3.. Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35);

4. Dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha;

5. Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah;

6. Menghapus pasal 29, 30, 31, mengenai Komisi Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup;

7. Tak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UUPPLH;

8. Pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75;

9. Jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut;

10. Tak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.

Dari pemaparan di atas membuktikan sudah terbukanya jalan perusakan lingkungan yang bisa dilakukan oleh tangan manusia secara bebas. Tapi eh tapi, pemerintah punya tafsiran lain akan aturan baru dalam UU CK, dikatakannya melalui Mahendra Siregar (Wakil Menteri Luar Negeri), “Seperti seluruh negara dunia, Nusantara selalu ingin melakukan pembangunan ekonomi secara seimbang dengan yang tumbuh berdampingan dengan menjaga lingkungan secara berkelanjutan dan kesejahteraan sosial. Ketiganya tetap menjadi inti dan basis pertumbuhan nasional kita dan seperti seluruh dunia kita mengakui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG.”

Tak ingin kalah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menepis anggapan negatif adanya pelemahan perlindungan lingkungan dalam UU CK. Dikatakannya, “tidak benar bahwa ada anggapan terjadi kemunduran dengan perlindungan lingkungan. Kenapa? Karena prinsip dan konsep dasar pengaturan Amdal di dalam UU ini tidak ada perubahan. Yang berubah adalah kebijakan dan prosedurnya. Kenapa? Karena dia harus disederhanakan supaya sesuai dengan tujuan dari UU Cipta Kerja ini. Artinya apa? Harus diberikan kemudahan kepada pelaku usaha.”

Namun pernyataan tersebut menjadi buah bibir bagi para pakar hukum lingkungan. Mereka paham bahwa banyaknya administrasi yang ada dalam perizinan lingkungan dari UUPPLH dan aturan lainnya, adalah bagian bentuk penjagaan secara hukum adanya pelanggaran yang terjadi terhadap lingkungan. Para ahli meyakini bahwa, isu lingkungan adalah kehati-hatian dini. Karena tidak adanya bentuk tanggung jawab pemulihan lingkungan yang dilakukan baik itu dari pengusaha maupun pemerintah. 

Sebetulnya tidak akan ada habisnya membahas mengenai UU CK yang bisa berdampak pada lingkungan. Buatan hukum manusia meniscayakan perbedaan, pertentangan dan perdebatan. Bahayanya dari aturan buatan manusia itu bukan hanya berefek pada lingkungan saja, tapi juga bagi fisik manusia kedepannya. Karena jika merusak bumi sama saja merusak manusia. Tapi fakta saat ini beberapa demonstran sejatinya dirusak fisiknya, bahkan masyarakat secara umum mendapatkan luka mental yang juga berbahaya. Sudah terlihat jelas rusaknya aturan manusia ini. Lalu masihkah mau percaya bahwa aturan ini bisa memberi dampak pada pembangunan? Di saat pandemi belum berakhir pula?

Hukum Kesepakatan Manusia Secara Global pun Sarat Akan Kerusakan

Sepertinya perlu kita perjelas lebih dalam, kerusakan lingkungan semata-mata bukan hanya karena satu aturan manusia saja. Program Sustainable Development Goals (SDGs) yang mengglobal⸻mengharapkan cita-cita demi dunia yang lebih baik lagi⸻pun bagian dari kesalahan hukum buatan manusia. Karena sampai saat ini apakah aturan tersebut dapat melindungi ekosistem dunia? Justru faktanya, 3.8 juta hektare hutan primer tropis yang penting bagi keanekaragaman hayati hilang sebab manusia atau alam (Gambar 1). Sedihnya negara tercinta kita berada di posisi ketiga kehilangan hutan terbanyak di dunia (Gambar 2). 

Jadi sudah jelaslah kesepakatan-kesepakatan manusia dalam membuat aturan tiada realisasinya. Bahkan makin menimbulkan kerusakan dan kesengsaraan. Hal ini sesuai dengan janji Allah swt., dalam firman-Nya yang berbunyi:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Taha: 124).

Hukum Allah Swt Lebih Baik dari Hukum Manusia

Sebelumnya Allah swt., telah memperingatkan pada manusia, bahwa: 
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS. Al Maidah: 50).

Kapitalisme dengan aqidah sekulernya yang memisahkan antara agama dengan kehidupan, lalu mengagungkan demokrasi dalam pengaturan kehidupannya itu adalah hal yang berlawanan dengan apa-apa yang telah dijelaskan dalam agama. Namun saat ini, manusia menutup mata, atau bahkan memang buta mata hatinya? Hingga-hingga ketika terdengar suatu ayat ke telinganya, mereka berpaling seakan menjadi kambing congek. Penjelasan ini telah Allah perkenalkan, dikatakan-Nya, “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (TQS. Al Hajj: 46).

Lalu apa yang meski dilakukan tatkala kekacauan telah merebak menjadi buah simalakama. Sungguh Allah berfiman, “Katakanlah,’Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (TQS. Az Zummar: 53). Sungguh Allah memiliki rahmat yang sangat luas bagi hamba-Nya. Maka satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah kembali⸻kembali kepada-Nya.

Undang-undang dalam Islam Adalah Pelegalisasian Hukum Syara’

Islam adalah agama agung serta memiliki aturan yang sangat menyeluruh. Saat ini, manusia mencoba melangit, padahal semua jawaban telah membumi. Al Quran beserta As Sunnah telah hadir dekat di sekitar kita. Di situ pulalah jawaban jadi permasalahan yang ada. Perdebatan-perdebatan sengit yang memusingkan kepala dan melelahkan hayati di media-media hanya hadir saat undang-undang berlandaskan tangan manusia. Namun, di dalam sistem kehidupan nan agung⸻khilafah⸻semua itu tidak akan berlaku. Karena aturan yang dibuat bukan dari manusia, melainkan dari Pencipta manusia. 

Undang-undang (qanun) di dalam Islam adalah hasil dari ijtihad para mujtahid. Mereka menggali hukum-hukum Islam dari Al Quran, As Sunnah, Ijma’ sahabat, dan Qiyas. Hakikatnya semua itu adalah hukum Allah yang digali oleh manusia dengan keistimewaan pemberian-Nya. Aturan-aturan yang digali ini jika ingin ditetapkan dalam bentuk undang-undang haruslah disahkan oleh khalifah selaku kepala negara Islam. Serta ketundukkan umat, bukan sepenuhnya kepada negara atau pemimpin dalam menaati aturannya. Melainkan semuanya adalah atas kesadaran diri sebagai seorang hamba. Rasulullah saw., bersabda, “Siapa saja yang menaati Amir (pemimpin) maka dia telah menaatiku. Dan siapa saja yang durhaka pada Amir, maka dia telah durhaka kepadaku.”

Sistem Islam Rahmatan lil’Alamin

Di saat kepelikan tentang masalah alam terjadi akibat ulah manusia, bahkan manusia sendiri pun telah melihat bahwa kerusakan di masa depan akan lebih menjadi saat satu aturan disahkan. Semua itu adalah salah satu skenario Allah, sebagaimana firman-Nya:

 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (TQS. Ar Rum: 41).

Maka, solusi pasti dari kerunyaman masalah yang tidak sesuai fitrah sampai-sampai meresahkan jiwa, juga ketidakpuasan akal akan aturan buatan manusia, hanya satu yaitu dengan melanjutkan kehidupan Islam dalam naungan khilafah.

Khilafah akan menerapkan syariat bahwa harus adanya keseimbangan dalam pengelolaan lingkungan. Islam membatasi kepemilikan antara individu, umum dan negara. Sehingga ketika ada swasta yang ingin mendirikan suatu izin usaha dan itu bagian dari kepemilikan umum, jelas akan ada sanksi yang mengancamnya. Tidak seperti sistem sekarang yang mana, milik pemerintah dan milik umum bisa dengan mudah beralih pada kepemilikan individu, atas nama pembangunan berkelanjutan.

Di dalam kekhilafahan pun di atur mengenai kepemilikan tanah, yang mana tidak mengganggu kelestarian lingkungan, bahkan menggarap lahan-lahan yang mati. Serta adanya aturan pelarangan investasi dan eksploitasi kekayaan asing di dalam negara Islam. Terlebih dalam sistem kapitalisme saat ini semua investasi berbau riba. Sudah jelas sekali kemudharatannya. 

Seharusnya, jika negara menghendaki adanya kemajuan dan meniscayakan pembangunan berkelanjutan, yang dilakukan adalah mencampakkan sistem hidup buatan manusia dan kembali pada aturan pencipta yang rahmatan lil’alamin. Insyaa Allah, segala bentuk kerusakan yang ada, akan kembali secara alamiah, layaknya tombol reset hanya dengan satu ‘mantra’, Laa ilaaha illallah. Allahu’alam bish shawab[]

Oleh: Fitri Hidayahtika

Posting Komentar

0 Komentar