Diskriminasi Muslim Rohingya: Inikah Kegagalan Konsep Negara Bangsa?




Kebencian terhadap Muslim Rohingya yang mencari suaka hingga saat ini masih berlangsung. Ujaran kebencian itu terlontar melalui laman Facebook Malaysia. Seiring merebaknya wabah corona, ujaran kebencian dan hasutan terhadap pengungsi Rohingya mulai beredar di Facebook Malaysia. Sebagian laman dikabarkan dikelola bekas pejabat negara. Pemerintah dituding menutup mata. (dw.com: 14 Oktober 2020).

Enam bulan silam jagad Facebook Malaysia dipenuhi ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya yang mencari suaka. Hingga kini, ragam laman yang berisikan komentar pedas dan penuh permusuhan itu masih dibiarkan beredar oleh Facebook. Dua laman, Anti Rohingya Club dan Foreigners Mar Malaysia's Image, baru diturunkan setelah dilaporkan oleh kantor berita Reuters baru-baru ini.

"Aku harap mereka semua mati, kelompok etnis terkutuk ini," bunyi sebuah komentar di salah satu grup tertutup yang beranggotakan 100.000 pengguna.

Padahal 2018, silam Facebook didera kecaman lantaran dinilai membiarkan ujaran kebencian kepada Rohingya di Myanmar. Atas dasar itu, Facebook pada 2019 lalu berkomitmen menginvestasikan USD 3.7 miliar untuk membersihkan platformnya dari ujaran kebencian dan kelompok-kelompok yang aktif menyebar hasutan terhadap minoritas.

Facebook melalui juru bicaranya menilai tuduhan bahwa pihaknya tidak berkomitmen menanggulangi isu keamanan dan keselamatan pengguna adalah tidak akurat, dan tidak merefleksikan investasi signifikan yang dibuat untuk mengatasi masalah konten berbahaya.

Namun demikian, Reuters menemukan puluhan laman dan grup di Facebook yang menggunakan bahasa-bahasa diskriminatif tentang Rohingya dan migran ilegal. Beberapa di antaranya dioperasikan oleh bekas atau pejabat aktif otoritas keamanan Malaysia.


Menguak Kegagalan Nation State dalam Mengatasi Diskriminasi Muslim Rohingya

Dunia telah menyaksikan penderitaan kaum Muslim Rohingya yang tertindas di Myanmar selama beberapa tahun terakhir, dengan meningkatnya permusuhan terhadap mereka, sementara para pemimpin kawasan itu menolak tanggung jawab untuk membantu mereka. Situasi mengerikan mereka kadang-kadang mendapat perhatian di media arus utama, tetapi lebih sering diabaikan.

Sekarang setelah virus corona menjadi topik utama pembicaraan, dan menyalahkan orang asing telah menjadi tren populer bagi para penguasa yang gagal ini, maka mereka menggunakannya sebagai alasan untuk membenarkan perlakuan tidak berperikemanusiaan mereka terhadap para migran yang tengah putus asa dalam penderitaannya.

Sebuah kapal yang membawa ratusan pengungsi Rohingya baru-baru ini diusir dari Malaysia, sebab pemerintah khawatir terkait pandemi virus corona. Puluhan orang dari mereka meninggal dalam perjalanan, dan diyakini bahwa ratusan orang masih terjebak di tengah laut (www.bbc.com, 26/4/2020).

Pemerintah Bangladesh menolak untuk mengizinkan sekitar 500 pengungsi Rohingya yang terdampar di atas dua kapal pukat di Teluk Benggala untuk merapat pantai. Menteri Luar Negeri AK Abdul Momen mengatakan kepada Al Jazeera pada hari Sabtu (25/04/2020) bahwa para pengungsi Rohingya, yang diyakini telah melaut selama berminggu-minggu, “bukan tanggung jawab Bangladesh”. Kedua kapal pukat yang diperkirakan membawa sekitar 500 wanita, pria dan anak-anak Rohingya itu tengah berada di Teluk Benggala setelah ditolak oleh Malaysia, yang telah memberlakukan pembatasan pada semua kapal sehubungan dengan pandemi virus corona (www.aljazeera.com, 25/4/2020).

Tidak diragukan lagi bahwa tumbuhnya penyakit nasionalisme di Eropa dan Amerika, telah mendorong pemerintah antek dan boneka yang lemah di negeri-negeri kaum Muslim untuk mengikuti jejak tuannya. Inggris, Italia, Yunani, dan Amerika tidak perlu alasan mencegah penyebaran penyakit untuk menolak masuknya migran di kapal, di mana keegoisan dan keengganan untuk berbagi sumber daya mereka dengan “orang lain” selalu menjadi sentimen populer bagi para politisi untuk memanfaatkannya.

Berikut ini beberapa sebab terjadinya diskriminasi terhadap Muslim Rohingya 

1. Tindak kekerasan lewat ujaran kebencian

Publik Malaysia awalnya menyambut kedatangan pelarian Rohingya dari Myanmar. Meski begitu, pengungsi Rohingya di Malaysia yang kini berjumlah 100.000 orang itu tidak diizinkan membangun kehidupan normal seperti mencari pekerjaan atau bersekolah di institut pendidikan publik.

Sentimen publik mulai berubah pada April silam, ketika etnis Rohingya dituduh ikut menyebarkan virus corona. Buntutnya ujaran kebencian mulai memenuhi kanal-kanal media sosial. Sebanyak 70% penduduk Malaysia yang berjumlah 32 juta orang tercatat menggunakan Facebook.

Reuters mendapati, ujaran kebencian paling banyak disebar di grup-grup privat yang menyaring keanggotaan. Menurut kantor berita asal London itu, Facebook menonaktifkan 12 dari 36 grup yang dilaporkan Reuters dan sejumlah unggahan bernada hasutan.

"Kami tidak mengizinkan pengguna mengunggah ujaran kebencian atau ancaman tindak kekerasan di Facebook dan kami akan menghapus konten ini secepat mungkin," tulis Facebook.

Sejumlah laman yang dibiarkan online mengandung komentar yang membandingkan Rohingya dengan anjing dan parasit. Beberapa yang lain membocorkan lokasi keberadaan pengungsi Rohingya dan meminta aparat keamanan menindak mereka.

"Ujaran semacam ini bisa berujung pada tindak kekerasan fisik dan persekusi terhadap kelompok etnis ini. Kita sudah pernah melihatnya di Myanmar," kata John Quinly, pegiat senior HAM di lembaga HAM untuk Asia Tenggara, Fortify Rights.  Dia juga mengatakan akan sangat tidak bertanggungjawab jika Facebook tidak secara aktif menutup laman dan grup antipengungsi atau anti-Rohingnya.

2. Hasutan Oleh Penguasa?

Kelompok HAM menuduh pemerintah Malaysia ikut bertanggungjawab atas maraknya xenofobia, dengan mengurung kaum migran dalam kamp-kamp isolasi dan menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya. "Tidak ada upaya dari pemerintah Malaysia untuk mencegah gelombang ujaran kebencian," kata Phil Robertson, Wakil Direktur Asia untuk Human Rights Watch.

Reuters menemukan empat laman Facebook yang berkaitan dengan otoritas keamanan dan menyuarakan sentimen antipengungsi. "Mari jauhi kanker berupa kelompok etnis ini," tulis administrator di sebuah grup yang bernama "Friends of Immigration." Menurut keterangan di laman sendiri, grup itu dikelola oleh bekas pejabat dan pejabat aktif imigrasi." Unggahan dari bulan April itu dicabut setelah Reuters melapor ke Facebook.

Salah satu unggahan yang memicu komentar kejam agar pengungsi Rohingya ditembak mati berasal dari Kantor Pusat Angkatan Tentera Malaysia (ATM) yang meminta pengguna agar menjadi "mata dan telinga" terkait migran ilegal. Seorang jurubicara ATM membenarkan unggahan tersebut berasal dari lembaganya.

Unggahan lain yang dibagikan sebanyak 26.000 kali berasal dari laman Korps Intelijen Militer Kerajaan yang menulis migran ilegal "akan membawa masalah kepada kita semua." Pihak militer mengatakan laman itu dikelola oleh bekas perwira dinas rahasia.

"Warga Malaysia yang hidup bersama pengungsi Rohingya selama bertahun-tahun, kini mulai melaporkan kami kepada polisi. Beberapa sudah kehilangan pekerjaan. Kami hidup dalam ketakutan," kata Abu, seorang pengungsi Rohingya yang enggan membocorkan identitas pribadinya.

Seorang pengungsi lain mengaku terpaksa harus menutup akun Facebooknya, setelah mendapat pesan yang mengusirnya agar kembali ke Myanmar. "Facebook sudah gagal. Mereka tidak mengerti betapa bahayanya komentar-komentar seperti itu," kata dia, merujuk pada ragam pesan di Malaysia yang mendukung persekusi Rohingya oleh Myanmar.

Sementara di sisi lain, pemerintah Myanmar terus melakukan kezaliman kepada mereka, membatasi geraknya, tidak memberi hak atas tanah, pendidikan dan layanan publik. Menurut Amnesty Internasional, Muslim Rohingnya juga menjadi sasaran aksi kekerasan dan pembunuhan massal oleh para ekstremis Budha yang didiamkan oleh Pemerintah Myanmar.

Oleh sebab itu, ujaran minus empati terhadap muslim Rohingnya serta kehilangan kepedulian terhadap nasib umat Islam adalah bencana ideologis dan moral.

Hal yang fatal adalah pendekatan lepas tangan minimalis yang dilakukan para rezim berasal dari prinsip nasionalis-sekuler yang lebih mengamankan kepentingan ekonomi nasional dibanding memberikan kesejahteraan yang memadai dan keamanan kepada orang-orang paling butuh pertolongan. 

Konsep yang korosif ini telah mendehumanisasi umat Islam dari negara lain, melahirkan rasisme dan bertanggung jawab atas kefanatikan dan diskriminasi yang diderita oleh Muslim setiap harinya di banyak negara-negara nasionalistik lain di Timur sampai Barat. 

Gagasan Negara bangsa yang dianut oleh pemerintahan negeri-negeri muslim, telah menyebabkan mereka hanya duduk sebagai penonton, mengabaikan pembunuhan yang terjadi di depan matanya tanpa rasa malu, dan menonton bencana manusia di bumi Allah yang memburuk setiap hari, tanpa mengerahkan satupun tentara.

Solusi hampa berupa perundingan diplomatik yang sia-sia dan perjanjian setengah hati terus ditawarkan berulang oleh forum-forum bilateral maupun internasional. Namun, tak satu pun nyawa saudara kita diangkat dan dikembalikan dalam ruang aman dan kenyamanan. 

Apa yang terjadi "pada perundingan tanpa aksi nyata" adalah bukti bahwa semua itu adalah pepesan kosong yang buang-buang waktu. Saat Muslim Rohingya meregang nyawa di lautan, justru para pemimpin rezim sekular ini mencukupkan diri dengan drama diplomasi murahan  daripada menolong puluhan ribu pengungsi Rohingya menjadi warga negara mereka.

Ketiadaan persatuan dan kehilangan kepedulian terhadap nasib umat Islam merupakan buah nasionalisme. Ini pula yang menyebabkan kaum Muslim Rohingya menderita kepanjangan tanpa ada yang menyelamatkan. Padahal negeri Muslim Arakan ini dikelilingi negeri-negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Pemerintah Indonesia dengan jumlah penduduk muslim lebih dari 200 juta juga tidak melakukan tindakan yang serius untuk menghentikan pembantaian yang telah dilakukan rezim Myanmar sebelumnya.


Sikap Diam ASEAN Menguntungkan Genosida Rohingya

Sejak Agustus 2016 silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.

Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.

Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.

Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.

Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."

Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.

Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya.

Derita yang dialami oleh anak-anak Rohingya tersebut, tak membuat penguasa negara ASEAN melakukan tindakan nyata terhadap penguasa Myammar. Myanmar diuntungkan oleh kebijakan non intervensi ASEAN dalam isu pelanggaran HAM terhadap Muslim Rohingya. 

Semestinya, negara-negara ASEAN terutama negeri-negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei melakukan tindakan nyata dengan mengirim tentara untuk membela Muslim Rohingya.

Sesungguhnya negeri-negeri Islam memiliki SDM tentara yang besar dengan persenjataan yang lengkap. Negeri-negeri Islam juga memiliki penduduk yang siap membantu para tentara membebaskan saudaranya dari penindasan. 

Sangat jelas perintah Islam bagi penguasa negeri Muslim untuk segera melakukan tindakan-tindakan pertolongan darurat terhadap pengungsi Rohingya.

Tindakan-tindakan itu antara lain:

- Membuka perbatasan negeri bagi pengungsi Rohingya.

- Mengirim misi penyelamatan pada mereka jika ada yang masih terkatung-katung di darat dan laut.

- Melindungi dan mengurus semua kebutuhan mereka.

- Melakukan tekanan politik terhadap rezim penindas Myanmar agar menghentikan semua kezaliman dan brutalitas mereka kepada Muslim Rohingya.

- Jika tekanan politik diabaikan, maka langkah mobilisasi kekuatan militer harus dilakukan untuk menegakkan kehormatan Islam dan kaum Muslim

Sungguh, yang dirindukan umat hari ini adalah sikap jantan penguasanya yang bertaring membela kebenaran dan menyelamatkan mereka yang tertindas. 

Puluhan ribu perempuan dan anak-anak Muslim ini tidak seharusnya menjadi orang-orang yang tak diinginkan dan diabaikan tanpa kewarganegaraan di darat dan lautan. Mereka adalah bagian dari umat terbaik (khayru umah)' dan harus diperlakukan selayaknya demikian.


Strategi Islam dalam Mengatasi Diskriminasi Muslim Rohingya

Masalah Muslim Rohingya tidak akan pernah selesai selama umat Islam terpecah belah dalam bentuk negara bangsa. Mereka terhalang oleh batas semu nasionalisme untuk membantu saudaranya. 

Oleh sebab itu, melihat fakta kebobrokan konsep negara bangsa, maka tidak ada solusi ideal bagi seluruh umat Islam khususnya Muslim Rohingya selain negeri-negeri Muslim itu harus bersatu dalam satu kepemimpinan yaitu Khilafah. Hanya dengan Khilafah, nyawa setiap Muslim terlindungi. Hanya dengan Khilafah, penghinaan terhadap umat Islam di seluruh penjuru dunia akan berakhir. 

Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw., bersabda:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]

“Sesungguhnya seorang imam itu laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menggunakan lafadz, al-Imam, bukan lafadz al-Amir. Nabi Saw. memilih dan menggunakan lafadz ini bukan tanpa maksud, sebaliknya tentu dengan maksud. 

Dengan menelaah berbagai hadits yang membahas Bab al-Khilafah dan al-Imamah, tampak sekali, bahwa Nabi Saw, para sahabat ra. dan para tabiin yang meriwayatkannya tidak membedakan antara lafadz, Khalifah dan Imam. 

Dengan kata lain, lafadz, Imam di sini mempunyai konotasi, Khalifah. Karena kedua lafadz ini konotasinya sama, sehingga ketiga digunakan lafadz Imam, maka yang dimaksud adalah Khalîfah.

Setelah ‘Umar bin al-Khatthab ra., diangkat menjadi Khalifah, menggantikan Abu Bakar as-Shiddiq, para sahabat menambahkan lafadz, Amiru al-Mu’minin. Karena itu, para ulama kemudian menggunakannya, dan menjadikan ketiga lafadz, Imam, Khalifah dan Amiru al-Mu’minin tersebut sebagai sinonim, dengan konotasi yang sama. 

Imam an-Nawawi menjelaskan:

«يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ: اَلْخَلِيْفَةُ، وَالْإِمَامُ، وَأَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ»

“Untuk seorang imam atau kepala negara, boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mu’minîn.”

Saat ini kita dapat menyaksikan kondisi umat Islam di dunia ini yang semakin lama semakin memprihatinkan. Disamping pandemi corona yang belum juga berakhir, kehidupan kaum muslimin semakin terpuruk, terjajah, hancur dan tertindas. Kita menyaksikan bagaimana nasib saudara-saudara kita yang dijajah, disiksa, dibantai dan banyak yang diusir dari negerinya, tanpa ada yang melindungi dan membelanya.

Oleh karena itu, saat ini diperlukan sebuah perjuangan besar untuk merubah keadaan dunia yang saat ini masih jauh dari aturan Islam, menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan yang berasal dari Allah SWT. Umat Islam memerlukan perubahan besar dunia menuju diterapkannya Syariat Islam yang kaffah (keseluruhan), sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT. 

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
(QS. Al Baqarah 2 : ayat 208)

Berbagai strategi telah dilakukan Umat Islam dalam mewujudkan Khilafah antara lain:

1. Metode Demokrasi

Banyak dari umat Islam yang telah mengupayakan perjuangan untuk menerapkan Syariah Islamiyah melalui jalan demokrasi. Beberapa contoh tersebut diantaranya adalah FIS di Aljazair, Partai Refah di Turki dan Hammas di Palestine. 

Mereka berhasil menduduki kekuasaan, seperti menjadi menteri dalam sebuah departemen. Namun, kekuasaan tidak mampu didedikasikan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi negara Khilafah.

2. Metode Perbaikan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Upaya lain yang banyak ditempuh oleh umat Islam untuk menerapkan Syariat Islam adalah melalui metode perbaikan sosial-ekonomi masyarakat. Misalnya dengan cara membangun masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, BMT dan lain sebagainya.

Aktivitas-aktivitas itu memang bukanlah aktivitas yang buruk (syarr), melainkan tergolong baik (al-khayr) yang dianjurkan Islam. Namun demikian, semua aktivitas sosial-ekonomi tersebut bukanlah jalan untuk menerapkan syariah dan tak ada relevansinya dengan penerapan syariah dalam wadah negara. Apalagi jika aktivitas yang ada sudah dibatasi hanya pada aksi sosial-ekonomi saja. Ini berarti aktivitas sosial-ekonomi tersebut akan dapat mengabaikan tugas suci yang seharusnya lebih diutamakan, yaitu mengembalikan Khilafah yang akan menerapkan hukum yang diturunkan Allah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 15-16).

3. Metode Perbaikan Individu

Di antara umat Islam juga ada yang mengambil metode perbaikan individu-individu yang ada di dalam masyarakat, hingga syariat Islam dapat tegak dalam negara. Metode ini muncul karena ada yang berpendapat bahwa, negara atau masyarakat itu bergantung pada individu-individunya. Jika individunya baik, dalam arti mempunyai kesalihan pribadi, seperti akhlak atau ibadah yang baik, maka negara atau masyarakat pun otomatis akan baik pula.

Tentu usaha perbaikan akhlak atau ibadah individu ini adalah amal baik. Namun, jika dikaitkan dengan jalan penerapan syariah, metode ini tentu tidak akan dapat mengantarkan pada tegaknya syariah dalam Daulah Khilafah. Sebab, Khilafah hakikatnya bukanlah semata-mata sistem pemerintahan atau kekuasaan, melainkan wadah bagi masyarakat Islam itu sendiri. 

4. Metode People Power

People power juga banyak diminati oleh umat Islam, terutama setelah merebaknya fenomena Arab Spring (Musim Semi Arab) di Timur Tengah dan sekitarnya. Fenomena Arab Spring dijadikan referensi kesuksesan dalam menurunkan seorang penguasa. People power disebut juga revolusi rakyat (tsawrah sya’biyah). Ini adalah demonstrasi massal tanpa kekerasan yang dilakukan oleh rakyat dari berbagai elemen untuk menumbangkan kekuasaan seorang pemimpin.

Namun demikian, perlu difahami bahwa tingkat keberhasilan people power  ternyata tidak hanya ditentukan oleh banyaknya kekuatan massa. Dalam banyak kasus, keberhasilannya juga ditentukan oleh sikap militernya. Militer yang mengambil sikap netral sudah cukup untuk menumbangkan seorang penguasa di tengah gelombang people power.

5. Metode Kudeta

Kudeta berasal dari bahasa Prancis coup d’etat, yang secara bahasa berarti tindakan yang tiba-tiba dan tegas. Dalam istilah politik, kudeta berarti sebuah gerakan/operasi yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan dengan kekuatan (militer) atau dengan jalan yang inkonstitusional (Munir Ba’albaki, Kamus Al-Mawrid, hlm.224). Dalam literatur bahasa Arab, kudeta disebut revolusi militer (al-inqilab al-‘askari) yang didefinisikan sebagai penggunaan senjata untuk memperoleh kekuasaan (istikhdam as-silah li al-wushul ila al-hukm) (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah Asy-Syar’iyah, I/302).

Kudeta bukanlah metode (thariqah) yang yang sesuai dengan syariah untuk mendirikan Khilafah. Kudeta berbeda dengan thalabun-nushrah. Kudeta semata-mata bersandar pada kekuatan militer dan paksaan, kurang memperhatikan aspek dukungan dan kesadaran masyarakat. Sebaliknya, metode yang dicontohkan Rasulullah SAW, yakni thalabun-nushrah, mensyaratkan adanya dukungan dan kesadaran masyarakat. 

6. Metode Rasulullah

Mendirikan Khilafah Islam merupakan kewajiban syariah. Tentu ada metode yang diambil dari Rasulullah SAW dalam mendirikan Khilafah sebagai tatanan dunia baru. 

Metode Rasulullah tersebut tercermin dalam tiga tahapan: 

1. Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tatsqif wa Takwin)

Pembinaan ini ditujukan agar umat Islam menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim.

Dengan pendidikan dan pembinaan ini, seorang Muslim diharapkan memiliki kesadaran bahwa menegakkan syariah dan Khilafah Islamiyah yang merupakan kewajiban bagi dirinya dan berdiam diri terhadap sistem kufur adalah kemaksiatan. Dalam aktivitas penyadaran ini, membutuhkan kehadiran sebuah kelompok politik atau partai politik.

2. Tahap Interaksi dan Perjuangan di Tengah Ummat (Marhalah Tafa’ul ma’a al Ummah)

Individu-individu Islam yang telah terhimpun dalam partai politik Islam selanjutnya diterjunkan di tengah-tengah masyarakat untuk meraih kekuasaan dari tangan umat.

Dalam menjalankan perintah Allah tersebut, Rasulullah SAW dan para shahabat terjun di tengah masyarakat, berinteraksi dengan masyarakat untuk melakukan proses penyadaran umum tentang pentingnya kehidupan yang harus diatur dengan Syariah Islam. Hal ini
ditandai dengan dilaksanakannya thalabun nushrah yaitu mencari dukungan politik dari ahlun nushrah.

3. Tahap Penerapan Hukum Islam (Marhalah Tathbiq Ahkamul Islam)

Setelah proses thalabun-nushrah berhasil, maka akan masuk tahapan selanjutnya, yaitu penerapan syariat Islam sebagai hukum dan perundang-undangan bagi masyarakat dan negara secara kaffah. Sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat, setelah Beliau mendapatkan Bai’atul Aqabah II, beliau melanjutkan dengan hijrah ke Madinah. Di Madinah inilah, Rasulullah SAW dapat memulai penerapan Syariat Islam secara kaffah. 

Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi Saw. melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah bagi Islam dan kaum Muslim. 

Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. 

Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan.

 Demikian pula dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah atau perisai.

Umat Islam, Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya. Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. 

Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.


Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, berikut ada beberapa kesimpulan, yaitu:

Pertama. Gagasan Negara bangsa yang dianut oleh pemerintahan negeri-negeri muslim, telah gagal dalam menyelesaikan diskriminasi Muslim Rohingya. Solusi hampa berupa perundingan diplomatik hanya sia-sia dan menjadi bukti bahwa semua itu adalah pepesan kosong yang buang-buang waktu di saat yang bersamaaan Muslim Rohingya meregang nyawa. Hal ini disebabkan ketiadaan persatuan dan kehilangan kepedulian terhadap nasib umat Islam yang merupakan buah nasionalisme. 

Kedua. Sikap diam negeri-negeri Muslim di kawasan ASEAN sangat menguntungkan Myanmar dalam melakukan genosida terhadap Muslim Rohingya. Semestinya, negara-negara ASEAN terutama negeri-negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei melakukan tindakan nyata seperti membuka perbatasan negerinya bagi pengungsi Rohingya, mengirim misi penyelamatan pada mereka jika ada yang masih terkatung-katung di darat dan laut, melindungi dan mengurus semua kebutuhan mereka, melakukan tekanan politik terhadap rezim penindas Myanmar agar menghentikan semua kezaliman dan brutalitas mereka kepada Muslim Rohingya, serta jika tekanan politik diabaikan, maka langkah mobilisasi kekuatan militer harus dilakukan untuk menegakkan kehormatan Islam dan kaum Muslim

Ketiga. Solusi ideal bagi seluruh umat Islam khususnya Muslim Rohingya adalah negeri-negeri Muslim itu harus bersatu dalam satu kepemimpinan yaitu Khilafah. Hanya dengan Khilafah, nyawa setiap Muslim terlindungi. Hanya dengan Khilafah, penghinaan terhadap umat Islam di seluruh penjuru dunia akan berakhir. 


Oleh: Achmad Mu'it
Analis Politik Islam
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Referensi

1. Hafidz Abdurrahman, "Kalau Bukan Khilafah, Siapa yang Akan Melindungi Umat? (Syarah Hadits).

2. Achmad Mu'it," Ketidakpedulian terhadap Muslim Rohingya adalah Bencana Ideologis dan Moral," 2020

3. https://amp.dw.com/id/ujaran-kebencian-anti-rohingya-masih-beredar-di-facebook-malaysia/a-55271622

4. https://m.dw.com/id/sikap-diam-asean-untungkan-genosida-rohingya/a-41369820

MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO, Sabtu 31 OKTOBER 2020.
(Diasuh oleh: Prof. Suteki)
#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar