Celaka Saat Berjudi, Aku Berjanji Tak Main Lagi



TintaSiyasi.com-- "Plak!" suara pantulan jarum berbalut karet itu tepat mengenai mata kananku. Segera air mata mengalir. Namun, itu tak berlangsung lama, karena berangsur-angsur kondisi mataku mulai membaik.

"Kamu enggak apa-apa It?" tanya Konari. "Enggak apa-apa, lanjut saja," jawabku. Permainan yang berlangsung sejak siang itu pun dilanjutkan hingga hari menjelang senja.

Di kampungku, permainan itu dikenal dengan nama tembakan. Alat yang dibutuhkan adalah papan undian yang terbuat dari kayu berbentuk lingkaran yang dilapisi kertas, jarum untuk menembak dan lembaran kertas tempat taruhan. Papan undian tersebut dibagi menjadi 12 bagian yang sama. Setiap bagian diberi angka mulai 1 sampai 12. Bagian tengahnya diberi lubang agar bisa diputar. Jarum untuk menembak dilapisi kayu yang diikat karet sebagai pemberat. Sedangkan, kertas tempat taruhan dibagi menjadi 12 kotak, masing-masing kotak diberi angka mulai 1 sampai 12.

Cara bermain tembakan sangat mudah. Lembaran kertas tempat taruhan digelar. Setiap pemain bebas menaruh taruhannya di tempat angka yang dia inginkan mulai dari 1 sampai 12. Bandar memutar papan undian. Seorang pemain menembakkan jarum ke atas papan undian yang sedang diputar. Angka yang tertusuk jarum, itulah angka yang keluar. Pemain yang menang adalah yang memasang angka sesuai dengan angka yang ditusuk jarum. Dia akan mendapatkan 5 x lipat dari jumlah taruhan yang dia pasang. Sementara pemain yang kalah, taruhannya akan menjadi milik bandar.

Seminggu setelah kejadian itu, muncul lendir menutupi lensa mataku. Berbagai upaya telah dilakukan orang tuaku untuk menghilangkan lendir itu, namun semuanya gagal. Hingga akhirnya, satu-satunya jalan keluar, mata kananku harus dioperasi.

Tragedi itu terjadi, saat aku baru sebulan masuk SMA, sekitar tahun 1996. Aku terlahir dari keluarga miskin, baik miskin harta maupun miskin ilmu agama. Sejak SD hingga SMA, aku sekolah umum sehingga sangat minim mendapatkan pendidikan agama. Jangankan untuk  belajar ngaji dan menghafal Al-Qur'an, shalat wajib yang lima waktu pun sering kutinggalkan. Tak ada yang mengingatkanku, karena teman-temanku pun juga begitu. Berbagai kewajiban agama sering kutinggalkan, sebaliknya banyak kemaksiatan sering kulakukan.

Judi adalah hobiku hingga SMA. Berbagai permainan judi pernah kulakukan. Mulai dari main kartu remi, domino, main dadu, karambol hingga tembakan yang menyebabkan bencana bagi mata kananku.

Biaya sekitar 3 juta untuk operasi mata pada saat itu, tentu saja sangat mahal bagi keluargaku. Ayahku yang menjadi perangkat desa, hanya berpenghasilan 125 ribu tiap bulan. Namun demi menyembuhkan buah hatinya, berbagai upaya dilakukan oleh kedua orang tuaku untuk mengumpulkan uang itu, meskipun harus utang riba. Setelah utang sana sini, akhirnya uang pun terkumpul untuk biaya operasi.

Operasi mata kananku dilakukan di sebuah Rumah Sakit Swasta di Kota Tuban. Dengan bius sebagian, mata kiriku bisa melihat bagaimana dokter bedah melakukan operasi. Dokter menyuntikkan bius di bagian atas dan di bawah bola mataku masing-masing dua suntikan. Mata kananku pun terbelalak tidak bisa berkedip dan dipejamkan. Dokter mengambil silet untuk membelah mataku. Lendir pun diambil dengan menggunakan penjepit. Lantas, dokter mengambil benang dan jarum untuk menjahit bekas sayatan. Operasi mataku berlangsung cepat, kurang dari 10 menit.

"Baru boleh dibuka setelah satu bulan," ujar dokter kepada ibuku. Dalam masa penantian itu, aku tetap sekolah meski dengan mata satu. Akhirnya, hari yang dinanti pun hadir. Hari penentuan bagi mata kananku untuk bisa melihat atau tidak?

Di rumah sakit yang sama, dokter membuka penutup mataku. Takdir Allah, mata kananku tidak bisa melihat lagi dengan normal. Kulihat kedua orang tuaku pasrah dengan kondisi yang ada. Aku pun jadi merasa bersalah. Mereka sudah berupaya dengan keras, namun Allah berkehendak lain. 

Kata dokter, aku harus memakai kacamata silinder. Bukannya membantu penglihatanku, justru kacamata itu bikin pusing kepalaku. Saat aku memakainya, jalan tampak bergelombang sehingga jalanku sempoyongan seperti orang mabuk. Akhirnya kuputuskan untuk tidak memakai kacamata itu lagi.

Sejak kejadian itu, aku mulai sadar. Begitu mudahnya Allah mengambil nikmat kepada manusia. Namun, Allah masih sayang padaku. Dia hanya mengambil sebagian penglihatanku. Sementara, mata kiriku masih diberi kesempatan untuk melihat, meski mengalami rabun jauh.

Mungkin inilah cara Allah untuk mengakhiri kejahiliahanku. Mungkin ini juga kasih sayang dari Allah agar aku kembali kepada-Nya.

"Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? Kamu masih diberikan Allah mata kiri untuk bisa melihat," bisik hatiku. Benar sekali, aku masih bisa melihat keindahan ciptaan Allah dengan mata kiriku walaupun harus memakai kacamata minus empat.

Sejak saat itu aku semakin sadar dan berjanji tidak akan meninggalkan shalat lima waktu lagi. Aku juga berjanji untuk tidak lagi bermain judi.[] 


Oleh: Achmad Mu'it
Peserta Kelas Teknik Menulis Feature (Coaching with Om Joy)

Posting Komentar

0 Komentar