Ada Apa dengan Bendera Tauhid: Santri, Apa yang Merasukimu?


(Sedikit Menyoal Film: My Flag, Merah Putih Vs Radikalisme)

Pengantar

Setahun telah berlalu, tepatnya pada peringatan Hari Santri Selasa 22 Oktober 2019 di Cianjur beredar viral, video perdebatan antara para santri yang membawa dan mengibarkan bendera tauhid saat yang benderanya diambil paksa oleh orang yang mengaku Ketua Ormas tertentu. Berdalih acara mereka, kewenangan panitia, oknum ini mengambil paksa bendera Al Liwa yakni bendera persegi empat bertuliskan kalimah tauhid di atas kain berwarna putih. Seorang santri di antara perdebatan menunjukan sikap ta'ziem kepada bendera tauhid. Terlihat, santri tersebut mendekat bendera tauhid yang digenggam oknum dari Ormas tersebut, kemudian mencium bendera tauhid. 

Kini, pada peringatan hari Santri Tahun 2020 ini diwarnai dengan viral Film Pendek bertitel: My Flag - Merah Putih vs Radikalisme. Saya menangkap pesan yang sebenarnya kontra produktif dengan semangat nasionalisme dan demokrasi di negeri ini serta semboyan bhinneka tunggal ika. Film ini bagaikan jauh panggang dari api terhadap tujuan slogan-slogan tadi. Terkesan seolah celana cingkrang, cadar dan bendera tauhid hitam maupun putih identik dengan radikalisme yang harus diperangi. Adakah larangan orang atau kelompok memiliki bendera? Adakah larangan umat Islam memiliki dan mengibarkan bendera sendiri tanpa meninggalkan bendera negara? Setiap santri mestinya paham, sesungguhnya apa yang bisa menyatukan umat Islam? Ada Apa Dengan Bendera Tauhid? Mengapa seolah santri alergi dengan bendera tauhid?

Simbol itu Bernama Panji

Sangat menarik apa yang dikatakan oleh George Herbert Mead ketika membahas sebuah teori kominukasi, yakni teori interaksionalis simbolik. Ia menjelaskan bahwa manusia termotivasi untuk bertindak berdasarkan pemaknaan yang mereka berikan kepada orang lain, benda, dan kejadian. Dapat dikatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan pemaknaan atas simbol tertentu yang disepakati. 

Pemaknaan atas simbol ini diciptakan melalui bahasa yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi dengan pihak lain yakni dalam konteks komunikasi antarpribadi atau komunikasi interpersonal dan komunikasi intrapersonal atau self-talk atau dalam ranah pemikiran pribadi mereka. Bahasa sebagai alat komunikasi memungkinkan manusia mengembangkan sense of self dan untuk berinteraksi dengan pihak lain dalam suatu masyarakat. Interaksi dengan pihak lain itu dilakukan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Dengan demikian, ada beberapa unsur pokok dalam komunikasi tersebut yaitu meaning (makna), language (bahasa) dan thought (pemikiran) yang pada akhirnya akan mendorong pada pembentukan persepsi, sikap hingga perilaku seseorang.

Salah satu simbol yang memilki makna khusus bagi pemiliknya adalah panji-panji. Panji adalah bendera yang dibuat untuk menunjukkan kedudukan dan kebesaran suatu jabatan atau organisasi. Ada komunitas yang membuat dan mengagungkan suatu panji, ada pula komunitas yang tidak terlalu peduli dengan panji-panji itu. Sepanjang peradaban dunia terbukti banyak peradaban suatu bangsa itu memiliki panji tertentu sebagai simbol keberadaan dan persatuan bangsa itu bahkan sudah dimiliki pada saat suatu komunitas belum menjadi negara bangsa modern, yakni ketika komunitas itu berupa kerajaan. 

Dalam torehan sejarah pemerintahan di nusantara kita mengenal Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan, Ternate, Tidore, Kerajaan Aceh, Kerajaan Cirebon. Kerajaan Yogjakarta, semuanya memiliki panji kerajaan berupa bendera bertuliskan kalimat tauhid. Pada zaman yang mendekati modern, menjelang kemerdekaan Indonesia beberapa organisasi politik juga memiliki panji organisasi berupa bendera yang bertuliskan kalimat tauhid. Misalnya Laskar Hizbullah (cikal bakal TNI) dan Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Samanhudi juga menggunakan lambang yang memuat kalimat tauhid di dalamnya. 

Panji Rasululloh

Semenjak masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, umat Islam sudah mempunyai bendera. Dalam bahasa Arab, bendera sebut dengan liwa’ atau alwiyah (dalam bentuk jamak). Istilah liwa’ sering ditemui dalam beberapa riwayat hadis tentang peperangan. Jadi, istilah liwa’ sering digandengkan pemakaiannya dengan rayah (panji perang). Istilah liwa’ atau disebut juga dengan al-alam (bendera) dan rayah mempunyai fungsi berbeda. Dalam beberapa riwayat disebutkan, rayah yang dipakai Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih. (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah).

Rayah dan liwa’ sama-sama bertuliskan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Pada rayah (bendera hitam) ditulis dengan warna putih, sebaliknya pada liwa’ (bendera putih) ditulis dengan warna hitam. Rayah dan liwa’ juga mempunyai fungsi yang berbeda. Rayah merupakan panji yang dipakai pemimpin atau panglima perang. Rayah menjadi penanda orang yang memakainya merupakan pimpinan dan pusat komando yang menggerakkan seluruh pasukan. Jadi, hanya para komandan (sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan lain) yang memakai rayah.

Selain itu, fungsi liwa’ sebagai penanda posisi pemimpin pasukan. Pembawa bendera liwa’ akan terus mengikuti posisi pemimpin pasukan berada. Liwa’ dalam perperangan akan diikat dan digulung pada tombak. Riwayat mengenai liwa’, seperti yang diriwayatkan dari Jabir radi allahu anhu yang mengatakan, Rasulullah membawa liwa’ ketika memasuki Kota Makkah saat Fathul Makkah (pembebasan Kota Makkah). (HR Ibnu Majah).

Urgensi Panji Tauhid Bagi Suatu Komunitas

Bendera bagi suatu bangsa merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan suatu komunitas, organisasi, hingga negera bangsa tertentu. Bendera merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Sebagai sebuah simbol, makas seringkali bendera itu sebagai lambang harga diri. Menghinanya, menistakannya sama saja dengan menistakan harga diri pemilik bendera tersebut. Setelah masa-masa ekspansi dari daulah Islam berakhir (dengan runtuhnya kekhalifahan Utsmani 3 Maret 1924), simbol-simbol menyerupai rayah dan liwa’ kembali muncul. Banyak kelompok dan ormas yang menggunakan simbol tersebut sebagai lambang organisasinya. Namun, apakah hal ini diperkenankan?

Secara yuridis sebenarnya tidak ada larangan bagi satu kelompok untuk memakai simbol rayah dan liwa’. Namun dari sisi moral agama, jika tujuannya untuk menipu atau mengecoh umat Islam, tentu itu jelas haram. Bahkan ada yang mensinyalir, kelompok-kelompok ekstremis, seperti Islamic State of Irak and Suriah (ISIS), menggunakan rayah dan liwa’ untuk menipu umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan slogan yang mereka usung. Penggunaan rayah dan liwa’ hanya sekadar propaganda untuk menarik simpati umat Islam. 

Demikian juga tentang fungsi rayah dan liwa’ sebagai bendera umat Islam. Menurut Ali Mustafa, tidak ada dalil kuat yang bisa mengklaim begitu saja bahwa liwa’ merupakan bendera umat Islam. Menurutnya, Islam bukan bendera, melainkan keyakinan. Keberadaan rayah dan liwa’ pada zaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam hanya sebagai tanda. Benarkah pendapat itu? Kita simak sejarah perang Nabi, bagamana pengorbanan Mush’ab bin Umair dalam mempertahankan bendera perang?

Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair adalah salah seorang pahlawan dan pembawa bendera perang. Ketika situasi mulai gawat karena kaum Muslimin melupakan perintah Nabi, maka ia mengacungkan bendera setinggi-tingginya dan bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju menyerang musuh. Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW. 

Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan menunggang kuda, lalu menebas tangan Mush'ab hingga putus, sementara Mush'ab meneriakkan, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul. Maka Mush'ab memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush'ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil berucap, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."

Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur, dan bendera jatuh. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush'ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Tak sehelai pun kain untuk menutupi jasadnya selain sehelai burdah. Andai ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya, terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!" 

Kemudian sambil memandangi burdah yang digunakan untuk kain penutup itu, Rasulullah berkata, "Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah." Setelah melayangkan pandang, ke arah medan laga serta para syuhada, kawan-kawan Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru, "Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah!"

Bendera (kalimat) Tauhid Dalam Sejarah Nusantara

Ada banyak bukti yang secara historis membuktikan bahwa Panji berupa bendera Tauhid bukanlah barang yang asing bagi masyarakat Indonesia. Pemakaian itu terjadi baik pada masa kerajaan dahulu hingga zaman menjelang dan sesudah kemerdekaan. Berikut ini adalah beberapa bukti tersebut:

Pertama. Konon, lambang kerajaan Samudra Pasai ini dirancang oleh Sultan Zainal Abidin yang kemudian disalin ulang oleh Teuku Raja Muluk Attahashi bin Teuku Cik Ismail Siddik Attahasi. Hanya saja, pada setiap bagiannya dari kepala, sayap, hingga kaki dipenuhi tulisan-tulisan arab. Tulisan tersebut berisikan kalimat basmallah dan kalimat tauhid.

Kedua. Kesultanan Cirebon juga memiliki bendera dengan kalimat tauhid di dalamnya. Bendera Macan Ali namanya. Pada bendera kasultanan Cirebon tersebut mempuat sejumlah kalimat seperti basmalah, surat Al Ikhlas, hingga kaimat tauhid yang membentuk seperti macan.

Ketiga. Sementara kesultanan Tidore juga memiliki bendera dengan kalimat tauhid di dalamnya. Bendera kasultanan Tidore pada 1890 tersebut berwarna kuning dengan tulisan kalimat tauhid di bagian atas berwarna merah.

Keempat. Hal yang sama juga digunakan di kesultanan Inderapura di Sumatra Barat. Pada lambang kesultanan ini juga memuat kalimat tauhid di dalamnya. Kesultanan ini mempunyai lambang lingkaran bertuliskan kalimat syahadat yang diapit oleh dua singa dan naga pada tiap sisinya. Selain itu mempunyai mahkota bertuliskan lafaz Allah dan Muhammad. Kesultanan yang berada di pesisir selatan Sumatra Barat itu telah berdiri pada 1347.

Kelima. Bendera dengan kalimat tauhid juga dimiliki oleh laskar Hizbullah yang kemudian membentuk TNI. Tak hanya dalam bentuk bendera, pada atribut laskar hizbullah lainnya seperti emblem atau pin juga menyertakan kalimat tauhid.

Keenam. Foto bendera dengan kalimat tersebut misalnya menjadi salah satu bendera yang dipakai Kesultanan Aceh. Pemakaian kalimat tauhid menandakan betapa pentingnya kalimat tauhid dalam sejarah bangsa kita. Heroism dalam perlawanan jihad fi sabilillah rakyat Aceh tentu bagian penting dari perjuangan kemerdekaan Indonesia

Ketujuh. Tak hanya laskar Hizbullah, Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Samanhudi juga menggunakan lambang yang memuat kalimat tauhid di dalamnya. Pada lambang organisasi yang dibentuk 1905 itu membuat kalimat tauhid pada bagian bulan sabitnya.

Bendera (kalimat) Tauhid Sebagai Simbol Persatuan Umat

Suatu komunitas apalagi suatu bangsa memiliki cara untuk menunjukkan bahwa mereka, para anggotanya berhimpun menjadi satu dan memiliki persamaan pendapat (ijtima’ kalimatihim) dan juga persatuan hati mereka (ittihadi qulubihim). Tanda untuk semua itu adalah panji dalam bentuk bendera. Inilah makna tersembunyi dari balik suatu bendera.

Terkait polemik bendera, perlu disebutkan bahwa kini tak ada larangan dari pemerintah jika ada pihak yang mengibarkan bendera berkalimat tauhid. Yang tidak boleh jika bendera ada logo Hizbut Tahrir Indonesia--ormas yang sudah dibubarkan oleh pemerintah. Bagaimana kita akan menggunakan dan memaknai bendera tauhid, sangat tergantung dengan literasi yang telah kita kuasai. Umat Islam termasuk para santri di Indonesia merupakan komunitas yang berpotensi untuk memperbaiki dan menyokong peradaban baru yang hendak dibangun untuk rahmatan lil ‘alamiin.

Penutup

Santri dan bendera tauhid tidak dapat dipisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Nasionalisme yang dianut Indonesia memang boleh tetap diperjuangkan karena eksistensi kita kini memang di Indonesia. Namun, menista bendera tauhid dengan menghadap-hadapkannya versus bendera Merah Putih bukanlah langkah cerdas menanamkan nasionalisme dan menjunjung tinggi slogan Bhinneka Tunggal Ika apalagi soal demokrasi. Kita beragam komunitas, dan semua komunitas boleh memiliki panji, antara lain berupa bendera. 

Jadi, di negeri dengan pluralitas ini mustahil yang berkibar hanya Bendera Merah Putih dan melarang kepemilikan serta pengibaran bendera lainnya. Partai politik, ormas, kampus bahkan setiap pemerintah daerah juga memiliki dan mengibarkan bendera masing-masing. Bendera Merah Putih adalah lambang sekaligus bendera negara, sedangkan panji lainnya adalah lambang komuntas yang juga harus dihargai. Yang terpenting adalah bagaimana menempatkan keduanya secara proporsional dan sesuai dengan protokol penghargaan dan penghormatan bendera. Disarankan semua santri membaca UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, agar tidak gagal paham. Tabik.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar