Wisata Medis: Inikah Strategi Membuka Kran Investasi Asing dalam Layanan Publik Bidang Kesehatan?


Pemerintah mewacanakan untuk membangun industri medical tourism atau wisata medis di Indonesia, namun tanpa dibarengi kesiapan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Al hasil, membuka kembali kran bagi para investor asing adalah solusi yang dimunculkan ke permukaan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan memerintahkan BKPM yang dikepalai oleh Bahlil Lahadalia mendatangkan rumah sakit asing ke Indonesia. Bahkan permintaan Luhut diiringi dengan rencana pemerintah untuk memperbolehkan dan mengizinkan dokter asing lebih banyak di Indonesia.

"Karena itu saya meminta BKPM untuk mencari investor potensial guna membangun rumah sakit berkelas internasional di Jakarta, Bali, dan Medan. Kita juga akan pertimbangkan ijin untuk dokter asing, untuk spesialis tertentu namun harus sesuai kebutuhan," kata Luhut dilansir dari cnbcindonesia.com, Sabtu (29/8/2020).

Mengapa pemerintah tidak mencoba membenahi carut marut persoalan kesehatan terlebih dahulu? Tak sedikit rumah sakit yang telah tersedia, namun kualitas belum mampu memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat, bahkan kalau pun ada yang cukup berkualitas, masyarakat tak mampu menjangkau biayanya. Pada akhirnya layanan publik kesehatan tak mampu penuhi kebutuhan setiap warga negaranya.

Pemerintah makin Membabi Buta Membuka Kran Investasi Asing Melalui Wisata Medis dalam Layanan Publik Kesehatan

Medical tourism atau wisata medis merupakan perjalanan yang dilakukan untuk mendapatkan layanan kesehatan, kebugaran, serta penyembuhan di negara tujuan. Sedangkan adanya rencana pembangunan wisata medis ini bertujuan untuk dapat meningkatkan akses pelayanan kesehatan untuk rakyat Indonesia dan meningkatkan kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan.

Menurut Jodi Mahardi, juru bicara Kemenko Kemaritiman dan Investasi sebagaimana dikutip dari ekbis.sindonews.com, Rabu (19/8/2020), mengatakan, berdasarkan data yang dirilis PwC, Indonesia merupakan negara asal wisatawan medis dengan jumlah 600 ribu orang di tahun 2015, terbesar di dunia. Umumnya pasien memilih perawatan medis ke luar negeri dengan alasan kurang mempunyai layanan medis domestik untuk menyembuhkan penyakit-penyakit khusus.

Bila melihat lebih jauh, menurut laman mahkotaregency.id yang menjadi alasan mengapa ada sebagian masyarakat lebih suka memilih wisata medis ke negara lain adalah pertama, penanganan medisnya bisa dibilang lebih berkualitas karena didukung oleh dokter spesialis yang memiliki jam terbang tinggi. Kedua, karena kualitas pelayanan yang maksimal serta didukung oleh peralatan medis termutahir.

Maka tak heran untuk beberapa case yang tidak dapat ditangani di rumah sakit dalam negeri, tapi setelah dibawa ke luar negeri kasus itu dapat diatasi dengan jauh lebih baik. Dengan begitu harapan pasien untuk sembuh dari suatu penyakit pun jadi jauh lebih besar. Atas pertimbangan ini, tentu saja mereka yang tergolong kaya akan memilih alternatif wisata medis ke luar negeri demi memperoleh kesembuhan.

Apalagi, beberapa tahun terakhir, negara di Asia seperti Thailand, Singapura, India, Malaysia, dan Korea Selatan sedang mengembangkan wisata medis. Pada 2016, Thailand mencatatkan jumlah wisatawan medis mencapai 2,29 juta orang dengan nilai pasar mencapai USD 6,9 miliar. Data yang dirilis Indonesia Services Dialog (ISD), setiap tahun orang Indonesia mengeluarkan uang yang nilainya cukup fantastis untuk mendapatkan layanan kesehatan di luar negeri.

Senada dengan tujuan utama kapitalis, hanya demi meraup keuntungan. Jubir Kemenko Kemaritiman dan Investasi memaparkan pengembangan wisata medis di Indonesia menjadi sangat realistis dan menguntungkan jika melihat data dari angka nilai pasar diatas. Apalagi jumlah wisata medis secara global juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tentu saja ini dapat menjadi ladang menggiurkan bagi para kapitalis.

Bahkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan melalui sosial media instagramnya, sebagaimana yang dikutip cnbcindonesia.com, Sabtu (29/8/2020), mengakui bahwa rencana ini dikaji karena berbagai pertimbangan, diantaranya adalah fakta bahwa rata-rata pengeluaran wisatawan medis sebesar US$ 3,000 - 10,000 per orang. Sedangkan masyarakat lebih senang berobat ke Penang dan Singapura karena merasa layanan kesehatannya terhitung murah dan lebih cepat sembuh.

Atas nama diversifikasi ekonomi, menarik investasi luar negeri, penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan industri layanan kesehatan di Indonesia, serta menahan laju layanan kesehatan agar tidak mengalir ke negara-negara yang lebih sejahtera. Alasan-alasan tersebut digunakan untuk melanggengkan wacana pembangunan wisata medis.

Pada akhirnya demi pemenuhan fasilitas-fasilitas penunjang, membangun rumah sakit berstandar internasional, solusi yang diberikan dengan membuka kran investasi asing, mencari investor potensial guna membangun rumah sakit berkelas internasional serta melanggengkan ijin bagi dokter asing.

Jadi, benarkah pembangunan wisata medis murni demi peningkatan pelayanan akses kesehatan ataukah sekedar memuaskan kapitalis merambah lebih jauh lagi untuk menguasai pelayanan publik dibidang kesehatan? Terlebih lagi wacana yang dimunculkan adalah dibukanya kran investasi asing guna membangun rumah sakit standar international. Dan tidak berhenti disitu, wacana mengimpor dokter asing pun dimunculkan, demi kualitas pelayanan katanya.

Padahal, laman bisnis.cm (16/10/2020) menyebutkan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mengklaim secara fasilitas rumah sakit yang ada di Indonesia tidak kalah dengan rumah sakit di Malaysia. Selain itu, dari sisi dokter atau tenaga media dokter-dokter yang bekerja di rumah sakit-rumah sakit di Kuala Lumpur, Penang dan lainnya sebagian di antaranya merupakan lulusan universitas di Indonesia.

Jika benar pembangunan wisata medis bertujuan meningkatkan akses pelayanan kesehatan dan kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan, pemerintah seharusnya memaksimalkan potensi di dalam negeri. Mengapa membuka kran investor asing dan dokter asing, yang malah akan menjauhkan dari independen pemerintah yang sudah selayaknya mampu memberikan pelayanan kesehatan yang selain berkualitas juga dengan biaya murah.

Bukankah ini mengisyaratkan pemerintah makin membabi buta dalam menarik investasi asing? Alasan keuntungan, mendorong investasi asing di sektor kesehatan yang merupakan puncak layanan publik. Pada akhirnya hanya memberi peluang memuaskan para kapitalis asing untuk menguasai pelayanan publik kesehatan di dalam negeri.

Berdasarkan data Indeks Ketahanan Kesehatan Global Asia Tenggara (2019) yang dirilis katadata.co.id (29/1/2020), Indonesia berada di posisi keempat Asia Tenggara atau peringkat 30 dunia.

Namun, masih dari laman yang sama, berdasarkan data jumlah kematian tenaga kesehatan akibat Covid-19 global (3/9/2020), Indonesia menempati urutan ke-10 dunia kematian tertinggi. Hingga Kamis (3/8/2020), setidaknya 181 tenaga kesehatan meninggal dalam bertugas.

Jadi, seharusnya yang harus dibenahi pemerintah adalah kualitas kesehatan dan pelayanannya. Harusnya pemerintah mampu memberikan fasilitas kesehatan yang memadahi dan terjangkau, layanan kesehatan yang berkualitas namun dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat.

Terlihat jelas, kebijakan pemerintah yang semakin membabi buta membuka kran investasi asing dalam mewujudkan pembangunan wisata medis ini, hanya lah demi alasan keuntungan semata. Hilanglah fungsi negara sebagi pelayan umat, untung rugi telah menjadi standar kebijakannya. Negara dalam sistem kapitalisme sangat mungkin tak lagi memikirkan kepentingan seluruh rakyat. Membuka peluang selebar-lebarnya bagi kapitalis asing untuk menguasai pelayanan publik kesehatan di dalam negeri.

Dampak Dibukanya Kran Investasi Asing untuk Wisata Medis dalam Layanan Publik Kesehatan

Kesehatan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap warga negara, baik miskin maupun kaya, dan sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Namun, dalam sistem kapitalisme. Kebutuhan ini sangat sulit dipenuhi, negara cenderung memikirkan untung rugi dalam memberikan pelayanan.

Membuka kran investasi asing tentu akan membawa dampak yang tidak biasa, terutama jika diperuntukkan pada layanan publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Beberapa dampak yang kemungkinan besar akan dirasakan akibat menyerahkan pelayanan publik kepada para investor asing, diantaranya:

Pertama, adanya privatisasi kesehatan. Pelayanan di bidang kesehatan sudah menjadi keharusan dikelola negara. Ini adalah salah satu kewajiban negara sebagai pelayan umat. Namun, ketika kebutuhan akan kesehatan ini diserahkan kepada asing, negara akan kehilangan fungsinya, negara hanya akan menjadi fasilitator atau regulator semata. Jadi, privatisasi pelayanan publik ini bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada warganya dalam memenuhi hak dasar rakyatnya.

Kedua, mahalnya biaya kesehatan. Ketika terjadi pelayanan publik diserahkan pada investor asing, kemungkinan besar terjadi privatisasi kesehatan, wal hasil biaya kesehatan tidak lagi ditanggung oleh pemerintah. Seakan rakyat miskin dilarang sakit, fasilitas kesehatan yang berkualitas dan memadai hanya mampu dijangkau oleh mereka masyarakat kaya yang berduit. Kualitas kesehatan yang diberikan menjadi seimbang dengan biaya yang bisa dikeluarkan.

Ketiga, hilangnya peran negara dalam kewajibannya memenuhi kebutuhan kesehatan. Negara telah kehilangan fungsinya sebagai pelayan umat, gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar kesehatan. Tujuan pengelolaan pelayanan publik kesehatan oleh negara adalah agar setiap lapisan masyarakat baik dari masyarakat miskin hingga kaya sekali pun, dapat memperoleh pelayanan yang sama-sama berkualitas dan sama-sama terjangkau biayanya.

Keempat, negara kehilangan independensinya. Adanya investor asing dalam pelayanan publik tidak menutup kemungkinan pemerintah akan menerima syarat-syarat yang harus dipenuhi. Mendatangkan investasi asing menyebabkan ketidakmandirian negara dalam menentukan kebijakannya, negara harus tunduk pada segala syarat yang diwajibkan investor.

Kelima, tenaga asing akan menggeser tenaga lokal. Telah banyak tenaga kerja asing didatangkan ke dalam negeri, dari mulai tenaga ahli hingga buruh. Sedangkan rakyat pribumi makin kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, banyak terjadi PHK dan porsentase pengangguran semakin meningkat. Maka tidak menutup kemungkinan adanya impor tenaga medis asing akan kembali menggeser tempat tenaga medis lokal.

Melihat dampak yang kemungkinan dapat terjadi di atas, justru kebijakan wisata medis akan mengorbankan kepentingan rakyat. Kebutuhan akan memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau akan semakin jauh dari harapan.

Islam Mampu Memberikan Pelayanan Publik Kesehatan yang Memuaskan bagi Setiap Warga Negaranya

Islam memandang pemenuhan kesehatan warga negaranya sebagai sebuah jaminan. Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Baik kaya mau pun miskin. Masyarakat kota mau pun desa. Semua mendapat layanan dengan kualitas yang sama.

Negara memiliki fungsi sebagai pelayan umat. Negara tidak boleh menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya atau pun mengkomersilkan hak publik sekalipun mampu membayar.  Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.

Di dalam sistem Islam, pemimpin adalah penanggung jawab pelayanan publik. Khilafah wajib menyediakan sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya secara mandiri. Itu adalah tanggung jawabnya.  Rasulullah saw. bersabda: "Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi saw. pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat. (HR Muslim).

Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam secara gratis. (HR al-Hakim).

Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan Negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta atau pun asing).

Pada masa penerapan Islam sebagai aturan kehidupan bernegara, hampir setiap daerah terdapat tenaga medis yang mumpuni. Negara tentu sangat memperhatikan penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap daerah. Islam tidak membatasi kebolehan pasien menginap selama sakitnya belum sembuh tanpa dipungut biaya apapun. (alwaie.com)

Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab Negara. Pelayanan kesehatan wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma) bagi masyarakat. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, II/143).

Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2/143).

Dengan demikian dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib diberikan oleh Negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang. Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh Negara bagi seluruh rakyatnya.

Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab Negara. Rasulullah saw. bersabda: "Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam." (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Mereka yang masuk kategori fakir maupun yang kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan secara sama, sesuai dengan kebutuhan medisnya. Sebabnya, layanan kesehatan tersebut telah dipandang oleh Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyatnya.

Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta maupun kepada rakyatnya sendiri.

Jika hal itu terjadi, maka pemerintahnya akan berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda: "Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dalam Islam, potensi intelektual Muslim tidak boleh terbajak oleh kepentingan bisnis industri kesehatan. Kehidupan didesain untuk memberdayakan kehidupan manusia, bukan untuk menghidupkan mesin-mesin pemutar uang untuk industri kesehatan ala kapitalis.

Hanya Islam yang mampu memberikan pelayanan publik kesehatan yang memuaskan bagi setiap warga negaranya. Industri kemaslahatan publik dikelola Negara untuk tujuan pelayanan, bukan mengejar untung. Negara (Khilafah) tampil sebagai perisai dan pengurus umat.[]

Oleh: Dewi Srimurtiningsih, Analis Mutiara Umat dan Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar