Wanita Berani Kritik Khalifah Umar di Muka Publik, Demi Tunaikan Kewajiban Bukan Hak




Dalam sejarah kepemimpinan di dunia, nama Khalifah Umar begitu disegani. Ia telah menorehkan tinta emas dalam memimpin pemerintahan dan melayani rakyatnya. Ia tak punya catatan kroupsi sebagaimana kebanyakan para pemimpin di zaman now.

Padahal sosok Umar ketika belum mendapat hidayah sangatlah garang dan ditakuti masyarakatnya. Bahkan ketika masuk islam ia dijuluki oleh Rasulullah sebagai al Faruq (Pembeda).

Ya, dialah sosok berkarakter. Sosok Umar bin al Khattab radhiyallahu anhu yang khusus di doakan oleh Rasulullah untuk memeluk islam. Sebagaimana termuat dalam hadits; 
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang yang lebih Engkau cintai dari kedua laki-laki ini: Abu Jahal (Amr bin Hisyam) atau Umar bin Al-Khaththab.” (HR at Tirmidzi). (The Golden Story of Umar bin Khaththab, hal. 33)

Khalifah Umar sangat terkenal dengan ketegasan dan keadilannya. Selain itu ia juga sangat egaliter dan dikenal sangat berlapang dada dalam menerima kritik.

Sejarah telah mencatat bagaimana Umar begitu berlapang dada ketika menerima kritik. Dalam sebuah kisah, ketika Umar naik menjadi khalifah menggantikan Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq beliau pernah dikritik oleh seorang wanita.

Suatu ketika Khalifah Umar ingin mengatur biaya Mahar bagi laki-laki yang akan menikahi wanita. Ini disebabkan pada masa itu banyak sekali lelaki yang masih bujang. Istilah kaum milenial kini masih banyak pemuda jomblo. Para lelaki itu ingin menikah namun tak sanggup membayar mahar yang diajukan oleh para wanita.

Sebagai Kepala Negara yang juga memikirkan nasib kaum pemuda jomblo yang ingin menikah maka Khalifah Umar ingin mengatur agar Mahar tidak terlalu mahal. Dalam suatu kesempatan, Khalifah Umar berpidato didepan publik dan menetapkan mahar untuk para wanita sekitar 400 dirham. Namun saat itu juga ada seorang Wanita yang langsung memprotes Sang Khalifah. 

Dengan keberanian dan penuh percaya diri, Wanita itu mengkritik Khalifah Umar dihadapan publik. 
 "…Hai amirul mukminin engkau melarang orang-orang memberikan mahar lebih dari 400 dirham kepada istri-istri mereka?"

Khalifah Umar pun menjawab "Iya".
Lalu di balas oleh Wanita itu  “Wahai Umar, engkau tidak berhak menetapkan demikian. Bukankah engkau telah mendengar firman Allah:

“Kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai Mahar). Karena itu, janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikitpun.” (TQS an-Nisa’ [4]: 20).

Lalu bagaimanakah sikap Khalifah Umar atas kritik Wanita itu? Apakah Kahalifah Umar merasa malu dan marah? Apakah Khalifah Umar segera memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap wanita itu lalu dikriminalisasi dan berujung ditahan? 

Sungguh, apa yang terjadi diluar dugaan. Ketika diingatkan dengan ayat al Quran itu Umar langsung beristighfar, lalu berkata, “Wanita itu benar dan Umar yang salah.”

Khalifah Umar bukanlah seorang presiden yang pura-pura demokratis tapi marah bila dikritik. Betapa banyak para aktifis dan ulama di era Rezim demokrasi kini yang dikriminalisasi dan ditangkap? Bahkan sekedar menyampaikan dakwah islam, syariah, khilafah, jihad, jilbab, dll. pun sudah dituduh radikal lalu difitnah intoleran dan tak sedikit yang dikriminalisasi. 

Ketika Khalifah Umar dikritik dan dibacakan ayat al-Quran justru ia berterima kasih kepada rakyatnya. Ia malah beristighfar dan berkata "tiap orang lebih paham ketimbang Umar". 

Demikianlah sepenggal kisah sejarah dalam masa Khalifah Umar. Beliau dikritik di hadapan publik namun justru bangga kepada rakyat yang mengkritiknya. Bahkan seorang wanita yang mengkritiknya. 

Tentu situasi kini jauh beda dengan kehidupan dimasa Khalifah Umar. Wanita yang mengkritik Khalifah Umar tentu karena ia hafal ayat al Quran. Beda dengan zaman sekarang para wanita lebih banyak yang hafal lirik lagu pop dan lagu dangdut ketimbang ayat-ayat Quran. Lalu, bagaimana mau mengkritik presiden berdasar ayat Quran?

Sebaliknya Sang Khalifah Umar pun sebagai pihak yang dikritik juga hafal ayat-ayat Quran. Sehingga wajar jika bergetar hatinya ketika ada yang membacakan ayat Quran. Meski oleh seorang wanita bahkan oleh anak muda sekali pun. 

Dalam perspektif islam, melakukan dakwah dan memberikan nasihat termasuk mengkritik penguasa adalah kewajiban bukan hak. Jadi ketika wanita mengkritik khalifah Umar dengan menyampaikan ayat Quran, hakekatnya ia sedang menjalankan kewajiban besar, bukan sekedar menuntut Hak.

Sikap Khalifah umar yang mudah menerima kritik ini terjadi karena adanya sinyal yang sama antara pengkritik dan yang dikritik. Keduanya sama-sama hafal ayat Quran. Tentu kondisi kini sangatlah berbeda. Dimana orang yang hafal Quran malah dituding sebagai agen radikal atau yang diduga akan membawa paham radikal. Tentu akan jadi sulit terima jika dikritik dengan menyampaikan ayat Quran. 

Semoga para pemimpin negeri ini bisa belajar dan mencontoh sikap Khalifah Umar yang hatinya lembut ketika dibacakan ayat-ayat Quran karena memang hafiz (hafal Quran). Sehingga ia mudah menerima nasihat, saran dan kritik yang disampaikan demi kebaikan bersama.[]


Oleh: Wahyudi al Maroky
Dir. PAMONG Institute
*)Disarikan dari Buku The Golden Story of Umar bin Khaththab.
NB : Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-4, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Posting Komentar

0 Komentar