Hingga Jumat (11/9/2020), kasus Covid 19 telah melampaui angka 210.000, dengan kesembuhan di angka 150.000 serta korban meninggal mencapai 8.544. DKI Jakarta menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak, yakni 51.635. Menyusul Jawa Timur dengan 37.455 kasus, Jawa Tengah dengan 17.074 kasus, serta Jawa Barat dengan 13.940 kasus.
Akhirnya rencana memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara total PSBB di DKI Jakarta diberlakukan kembali sebagaimana awal pandemi, bukan lagi PSBB transisi mulai Senin, 14 September 2020. Dengan alasan situasi dinilai sudah darurat dan rumah-rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 di Jakarta semakin penuh dan laju kematian akibat virus corona semakin cepat. Bila tidak ada rem darurat, tanggal 17 September tempat tidur isolasi di Jakarta akan penuh.
Peningkatan kasus ini sedari awal sudah diprediksi oleh para Pakar dan telah mengingatkan kepada pemerintah, jika memaksakan new normal sementara grafik penurunan kasus belum melandai akan memicu gelombang kedua penyebaran virus Covid 19. Dan Hari ini telah terbukti, kasus Covid semakin melonjak tajam khususnya di DKI Jakarta.
Sejak awal wabah, para Pakar sudah menyarankan pemerintah untuk karantina wilayah, menyediakan PCR untuk tes, dan berbagai tahap penanganan wabah lainnya.
Namun Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan kaum kolonial serta komunitas pemilik oligarki dibanding kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Adanya lobi-lobi para pengusaha dengan penguasa memperkuat kebijakan untuk diterapkan new noramal alias PSBB (Pelonggaran Sosial Berskala Besar) transisi di tengah pandemi yang masih mewabah.
Kebijakan new normal dengan PSBB (Pelonggaan Sosial Berskala Besar) Transisi tidak diiringi dengan sigapnya pemerintah menyediakan fasilitas dan sarana kesehatan. Alhasil ketidaksiapan sistem kesehatan dari sisi mana pun turut memperburuk keadaan.
Lebih dari 115 tenaga dokter menjadi korban, merupakan pukulan besar bagi sektor kesehatan Indonesia Pasalnya, rasio dokter dan penduduk di Indonesia saat ini mencapai 1:2.500. Itu artinya satu dokter bisa menangani 2.500 pasien. Dengan meninggalnya 115 dokter selama pandemi, hampir 300.000 penduduk Indonesia kehilangan akses dokter.
Ditambah lagi kasus impor (imported case), semakin mempercepat transmisi wabah.
Jadilah Indonesia negara yang paling ditakuti oleh 59 negara karena wabah Covid 19. Konsekuensinya, Indonesia menjadi negara yang di banned oleh negara negara tersebut, dan tidak mendapat izin masuk ke negaranya.
Apalagi persyaratan WHO pun tidak terpenuhi. Dimana new normal diberlakukan jika kondisi jumlah kasus tidak naik selama dua minggu baru bisa dilonggarkan bahkan ada beberapa negara yang menetapkan pelonggaran dilakukan jika sudah menurun selama satu bulan. Jadi kondisi di Indonesia belumlah aman untuk keluar dan bergerak, risikonya masih tinggi.
Tindakan pencegahan seperti cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak serta sanksi hukum pun tidak merata diterapkan, tidak menjadi jaminan, karena kurangnya pemahaman di tengah masyarakat.
Sebagian besar aturan itu hanya dianggap sebagai larangan yang kalau tidak dilakukan akan kena denda bukan risiko terinfeksi penyakit,. Karena itu angka kasus ini terus meningkat, bahkan bukan sebagai gelombang kedua lagi, namun diprediksi lebih dari itu karena puncak tertinggi belum dicapai dan belum ada tanda-tanda grafik penyebaran wabah melandai.
Jika pemerintah nekat mengambil keputusan untuk kembali membuka kegiatan ekonomi, sosial, hiburan, pendidikan tanpa didukung langkah-langkah untuk memperkuat sistem perawatan kesehatan, kebijakan ini hanya akan menimbulkan ledakan infeksi. Tanpa peraturan dan sanksi yang jelas, kebijakan new normal hanya akan menjadi masalah besar.
Wajar saja, kebijakan Gubernur DKI Jakarta dianggap tidak konsisten, dianggap mundur kebelakang terhadap kebijakan new normal atau PSBB transisi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah beberapa bulan lalu. Bahkan Wali Kota Bogor Bima Arya beranggapan kebijakan ini menunjukkan pemerintah tidak konsisten, mengingat sebelumnya pemerintah pusat dan daerah sangat berorientasi pada aspek pemulihan ekonomi.
Sehingga sehari setelah pengumuman pelaksanaan PSBB total, kritik dari menteri-menteri kabinet atas Kebijakan PSBB total, dikhawatirkan bakal menggerus perekonomian yang dinilai mulai merambat pulih. Terlebih lagi, Kamis (10/9/2020), sehari setelah pengumuman PSBB total oleh Anies Baswedan bursa saham pun langsung longsor.
Saling lempar masalah dan mencari tumbal untuk dipersalahkan yang dipertontonkan kepada rakyat. Sementara rakyat diperintahkan untuk taat mengikuti setiap kebijakan protokol covid, namun disisi lain dibiarkan berkeliaran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bertarung di tengah wabah untuk mendongrak laju ekonomi yang sedang anjok sebagai dampak PSBB transisi alias new normal diberlakuan sejak bulan Mei lalu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menepis adanya kekhawatiran Gubernusr DKI Jakarta mengenai kapasitas rumah sakit jika penyebaran Covid-19 di Ibu Kota tidak dikendalikan secara ketat. Akibat dari keputusan Anies untuk menarik rem darurat sangat berdampak terhadap perekonomian, berpotensi mengganggu kelancaran distribusi barang, apalagi mengingat peran Jakarta dalam aliran distribusi nasional. Bahkan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) karena tertekan oleh pengumuman PSBB DKI Jakarta hingga 5 persen pada level 4.892,87 atau turun 257,49 poin.
Kritikan juga datang dari Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bahwa PSBB menyebabkan kinerja industri manufaktur kembali tertekan, padahal sumbangan industri manufaktur terhadap perekonomian sebesar 19,87 persen.
Bahkan orang terkaya di negeri ini, Budi Hartono ikut angkat bicara mengenai PSBB ini. Dalam suratnya kepada Presiden RI Joko Widodo, mengutarakan ketidaksetujuannya, karena memberlakukan PSBB bukan langkah yang tepat dan tidak efektif untuk menurunkan tingkat pertumbuhan infeksi di Jakarta. Gegaranya bos Djarum Group ini pada awal tahun, harta merosot Rp 177 triliun dari Rp 498 triliun akibat dampak Covid 19 ini.
Dengan banyaknya kritik kebijakan Anies Baswedan, apakah akan batal melaksanakan PSBB Total? mengingat kasus penularan Covid-19 di DKI Jakarta sendiri memang meningkat signifikan. Bahkan rekor tertinggi penambahan kasus harian dalam beberapa hari terakhir.
Lemahnya dukungan pemerintah dalam membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya , terutama masyarakat menengah bawah, berdampak pada tidak tertibnya masyarakat mematuhi protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah. Sementara nilai Bantuan Sosial (Bansos) 600 Rupiah tiap keluarga yang diberikan pemerintah sangat tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup layak per keluarga, tidak berkesinambungan, dan hanya pada sebagian masyarakat yang kurang mampu. Akibatnya, rakyat terpaksa keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dengan menanggung dua risiko: risiko lapar dan risiko tertular virus.
Dengan demikian, relaksasi regulasi pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan istilah New Normal, PSBB Transisi, PSBB Total, ATHB yang dilandasi oleh motif ekonomi, sebagaimana desakan para pengusaha, merupakan tindakan yang zalim. Sebab, kebijakan ini berpotensi meningkatkan jumlah rakyat yang terpapar virus ini.
Sementara pada saat yang sama, pemerintah memberikan dukungan yang minim kepada tenaga medis yang bertarung di front terdepan penangan Covid-19.
Kebijakan tersebut jelas sangat membahayakan rakyat negara ini. Nabi saw bersabda:
“tidak boleh melakukan tindakan bahaya (mudarat) dan tidak boleh menyebabkan bahaya bagi orang lain.”
Selain itu, mengedepankan kepentingan pengusaha dibandingkan dengan nasib rakyat banyak juga sangat tidak adil. Risiko paling besar penularan akibat dibukanya kegiatan bisnis para pengusaha adalah para karyawan mereka dan para konsumen, sementara para pemilik bisnis dapat tetap aman terhindar risiko.
Sikap pemerintah tersebut jelas bertolak belakang dengan konsep Islam yang mengatur bahwa tugas pemerintah adalah melakukan pelayanan terbaik pada seluruh rakyatnya termasuk dalam aspek kesehatan, tanpa pandang bulu, baik kaya ataupun miskin, pengusaha ataupun pekerja.
Oleh karena itu, dalam konteks ini, semestinya pemerintah memperkuat implementasi kebijakan yang bertujuan memutus mata rantai virus, meningkatkan kemampuan tenaga medis untuk melakukan tes, menelusuri (tracing) pihak yang berhubungan dengan penderita hingga beberapa lapis, dan melakukan tindakan yang optimal kepada penderita. Selain itu, pemerintah semestinya memberikan bantuan kebutuhan pokok dalam jumlah yang memadai kepada rakyat secara merata dalam jumlah yang layak hingga wabah ini dapat dikendalikan. Nabi saw bersabda:
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Walhasil, kebijakan pemerintah melakukan kebijakan PSBB Transisi atau Total di saat kasus baru penderita Covid-19 masih tinggi, bukanlah solusi tuntas dalam menyelesaikan masalah umat. Namun dengan diberlakukannya syariat islam sejak awal terjadinya wabah dan menjadikan keselamatan rakyat menjadi prioritas utama, dengan melakukan karantina, memisahkan yang sakit dengan yang sehat sedini mungkin, sehingga bagi rakyat yang sehat bisa melakukan aktivitas dan ibadah secara normal. Bagi yang terkena wabah, maka khalifah akan mengurus hingga sembuh dan memenuhi segala kebutuhan keluarganya jika yang sakait sebagai kepala rumah tangga.
Khilafah pun akan mengembangkan riset dan teknologi untuk mendapatkan obat and vaksin, dengan pendekatan-pendekatan ilmiah. Rakyat diberi pemahaman bagaimana menghadapi wabah ini secara ideologis yakin dari aspek aqidah agar terbangun mentalitas produktif dan edukasi utuh tentang bagaimana menjaga imunitas dan ikhtiar fisik untuk mencegah penularan virus. Inilah sesungguhnya solusi tuntas bagi seluruh rakyat. Wallahu a’lam bi asshawab.[]
Oleh: Farida
(Komunitas Penulis Master Opini)
0 Komentar