Ngawur: Jika Ada Pihak yang Melaporkan Ustadz Ismail Yusanto (UIY) dengan Modal UU Ormas


Tersiar berita dari oknum yang disebut sebagai Pengurus Lembaga Dakwah NU (LDNU) Jawa Barat, Heriansyah alias Ayik melakukan pelaporan terhadap (mantan) juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto. Bersama Muannas Alaidid yang ditunjuk sebagai kuasa hukumnya, Heriansyah menyebut laporan ia buat karena ustadz Ismail masih menganggap dirinya sebagai juru bicara HTI. Organisasi dakwah yang telah dicabut Badan Hukumnya sejak 2019 lalu.

Dilansir dari CNNIndonesi.com, dalam laporan tersebut, Heriansyah turut menyertakan Gus Yasin dan Gus Makmun Rosyid sebagai saksi. "Kami melaporkan Ismail Yusanto karena masih mengaku sebagai Jubir HTI, padahal organisasi ini sudah dibubarkan dan terlarang serta terus mempropagandakan khilafah ala HTI ke publik khususnya melalui media sosial dia" kata dia. 

Muannas menuturkan Ismail diduga telah melanggar Pasal Pasal 82A Ayat (2) juncto Pasal 59 Ayat (4) Poin (b) & (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas. Ismail, lanjutnya, terancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama 20 tahun. Sebab, disampaikan Muannas, Ismail masih mengaku sebagai juru bicara HTI. Padahal, HTI telah dibubarkan oleh Kemenkumham dan dikuatkan dengan kasasi di Mahkamah Agung.

"Juga menyebarkan ideologi Khilafah yang menurut putusan Pengadilan bertentangan dengan Pancasila, ancaman penjaranya bisa seumur hidup atau 20 tahun" ucap Muannas.

Ismail juga dilaporkan dengan Pasal 28 Ayat (2) Juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan Pasal 169 KUHP. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menyatakan pihaknya telah menerima laporan terhadap Ismail. 

Ustadz Ismail sendiri enggan berkomentar soal pelaporan terhadapnya. "Saya perlu mengetahui dulu agar bisa bicara dengan jelas," tuturnya kepada CNNIndonesia.com.


Aturan dan Ketentuan Sanksi tentang Larangan yang Tidak Boleh Dilanggar oleh Anggota dan Pengurus Suatu Ormas

Sejak disahkannya Perppu Ormas tahun 2017 hingga kemudian menjadi UU Ormas No.16 Tahun 2017 kelompok dakwah HTI memang selalu mendapatkan tekanan yang luar biasa dan dituduh sebagai ormas yang idelologinya bertentangan dengan ideologi Pancasila hingga akhirnya dicabut Badan Hukumnya oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly. Stempel sebagai ormas terlarang begitu bias didengungkan oleh para pembencinya termasuk menjadi alasan utama pelaporan terhadap Juru Bicaranya Ustadz Ismail Yusanto tersebut.

Dalam pandangan kami ormas HTI itu mirip perjuangan sekelompok "manusia pintar" dalam Laskar Pelangi ketika menghadapi persoalan hidup dan pasca kehidupan dengan menghadapi tekanan dan ancaman yang bertubi-tubi. Dari tuduhan sebagai kepompok radikal, anti Pancasila, Anti NKRI, disamakan dengan PKI dan bahkan oleh Boni Hargens disebut sebagai laskar pengacau negara (https:fajar.co.id/2020/06/05/). 

Sebutan yang menurut analisis hukum penulis sangat tidak berdasar atas fakta hukum karena selama ini--sebelum dicabut badan hukumnya--- ormas HTI tidak pernah membuat kekacauan apalagi rencana makar atau kudeta terhadap NKRI. Apalagi sekarang sudah dicabut badan hukumnya, dan HTI secara kelembagaan formal sudah tidak ada, jadi sungguh naif jika ada yang menyatakan "HTI" telah dan berencana membuat kekacauan.

Lalu kini ada lagi pihak yang mempersoalkan dan coba melaporkan terkait sematan Juru Bicara yang sebetulnya masih kerap disematkan publik kepada ustadz Ismail Yusanto. Sehingga muncullah pertanyaan di benak kita, mengapa kegiatan para individu eks anggota atau pengurus selalu menjadi kambing hitam yang sengaja dicari-cari dugaan kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Ada apa dengan si pelapor, penuduh dan pembenci dakwah ajaran Islam itu.

Apakah hal tersebut hanya karena didasarkan atas rasa kebencian terhadap HTI yang selama ini hingga sekarang tidak bisa dipungkiri sebagai kelompok dakwah besar dan selalu bertambah pengikutnya walaupun telah dinyatakan dibubarkan dan dengan secara paksa?.

Berbicara tentang Ormas, sejatinya memang terdapat sebuah aturan dan ketentuan sanksi pelanggaran pabila  dilakukan oleh anggota dan pengurus suatu ormas.

Berdasarkan pada aturan UU ORMAS No. 16 Tahun 2017 berisi Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 jo UU Ormas No. 17 Tahun 2013). Ormas itu memiliki HAK namun juga kewajiban dan larangan. Pelanggaran terhadap Kewajiban dan Larangan berdampak pada penjatuhan sanksi.

Sanksi Ormas:

1. Sanksi Administratif (Pasal 61)

(1) peringatan tertulis

(2) penghentian kegiatan dan atau

(3) pencabutan SKT atau Badan Hukum'itu

2. Sanksi Pidana (Pasal 82A)

(1) Setiap orang anggota dan atau pengurus ormas memenuhi Psl 59 (3) c dan d: penjara paling singkat 6 bln dan paling lama 1 tahun.

(2) Setiap orang anggota dan atau pengurus ormas memenuhi Psl 59 (3) a dan b dan (4): penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5 th dan paling lama 20 tahun. 

(3) Pidana tambahan sesuai dgn KUHP

Kapan Ormas dapat dibubarkan (sanksi administratif)?

Ormas dapat dibubarkan jika:

1. Tidak memenuhi kewajiban ormas DN/Dalam Negeri (Pasal 21), Ormas Asing (Kewajiban Pasal 51, Larangan Pasal 52).

2. Melanggar Larangan Ormas DN sbgm diatur dlm Pasal 59:

(1) Penggunaan Nama

(2) Perolehan Dana

(3) Tindakan (a. permusuhan (agama, golongan), b. kekerasan, c. penodaan agama, d. Kegiatan APH).

(4) Keamanan Negara: Separatisme, ajaran bertentangan Pancasila.

Pasal 60:

(1) Ormas yang melanggar ketentuan Ps 21, 51 dan 59 (1, 2): Sanksi Administratif.

(2) Ormas yang melanggar ketentuan Ps 52, 59 (3, 4): Sanksi Administratif dan / Pidana).

Dari sejumlah aturan hingga ketentuan sanksi pelanggaran suatu ormas tersebut, tidak ada satupun pelanggaran dari aturan yang bisa dijadikan dalil atau dasar sanksi yang menimbulkan sebuah laporan kepada pengurus HTI ustad Ismail Yusanto ini. HTI yang hanya dicabut Badan Hukumnya boleh-boleh saja melakukan aktivitas dakwah secara perorangan oleh para anggotanya. Apalagi aktifitas dakwah tersebut dilakukan tanpa penggunaan dana dari negara maupun kekerasan secara verbal maupun fisik.

Soal masih adanya penyematan Juru Bicara HTI kepada Ismail Yusanto itu adalah urusan lain dan menjadi urusan orang lain itu juga selama UIY tidak memintah pihak lain tersebut untuk menyematkannya.


UU Ormas Tidak Tepat Digunakan untuk Melaporkan Seorang Mantan Anggota atau Pengurus Suatu Ormas atas Tuduhan Menyebarkan ideologi Terlarang

Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan hukum pencabutan status badan hukum sebuah ormas jika mengambil case pada HTI dan pengurusnya ini?

Pada realitasnya yang terjadi saat ini ada piramidal antara Rule Of Law, demokrasi dan HAM. Ketika ROL Represif maka DEM dan HAM akan berjalan tidak dengan cara yang semestinya. Indonesia diketahui sebagai Negara Hukum maka sudah seharusnya tindakan Pemerintah Negara harus taat azas pada HUKUM (Psl 1 ayat 3 UUD). UU No. 17 Th 2013 adalah UU Ormas yg sangat DEMOKRATIS karena ketika ada ormas yang dinilai tidak penuhi kewajiban dan melakukan pelanggaran ada prosedur hukum (due process of law) yang menjamin HAM, yaitu diproses melalui pentahapan administratif dan Peradilan (Pasal 63 sd 80, sudah dihapus dengan Perppu). 

Namun faktanya yang terjadi sekarang adalah berdasarkan UU Ormas 2017 Pemerintah (Kemenkumham dengan Asas Contrarius Actus) langsung dapat mencabut Badan Hukum Ormas tanpa berdasar Putusan PN tentang Pembubaran Ormas. Inikah wujud negara hukum yang demokratis dalam rangka memenuhi HAM rakyatnya itu? Jika iya, maka inilah vandalism!

Pencabutan Badan Hukum HTI mengggunakan UU Ormas 2017, dan itupun dilakukan tanpa melalui prosedur yang sebenarnya melainkan diatur sendiri oleh UU Ormas 2017 ini, yakni tidak dipenuhinya:

1. Prosedur yang diatur dalam Pasal 62, yaitu:

(1) Tdk pernah ada peringatan tertulis (7 hari).

(2) Tidak ada penghentian kegiatan oleh menteri

2. Tidak adanya kepastian pelanggaran apa yang dilakukan HTI karena tidak adanya Putusan Pengadilan. Misal dituduh menganut ideologi lain, yang seharusnya dijelaskan secara detail yang dimaksud dengan ideologi lain itu apa? Status ideologi itu bagaimana? Lebih dari itu, siapa yang menentukan khilafah yang didakwahkan oleh HTI dan pengurusnya itu sebagai ajaan Islam yang terlarang? 

Seharusnya untuk bisa menentukan suatu ajaran itu terlarang atau tidak perlu dilakukan pengujian oleh:

(1) Lembaga keagamaan yg menaunginya, kalau itu tentang khilafah, maka MUI lah yang berwenang untuk mengujinya.

(2) Putusan Pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk apa yang disebut ajaran terlarang itu.

Pada faktanya hingga kini belum ada fatwa MUI dan Putusan Pengadilan atau Ketentuan UU yang menyatakan bahwa Khilafah itu sebagai ajaran Islam ( bidang fikih) yang terlarang dan bertentangan dengan Pancasila.

Bukankah khilafah itu adalah sebagai ajaran Islam yang terkait tentang sistem pemerintahan yang ideal menurut tuntutan Alloh, Rasul dan para sahabat. Dan bukan sebuah ideologi yang hari ini juga coba disejajarkan dengan komunisme dan kapitalisme maupun radikalisme. 

Karena itu, sebagai bagian dari ajaran Islam maka khilafah boleh didakwahkan. Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak "Bodoh" ketika suatu saat sistem ini tegak kembali di muka bumi sebagaimana janji Rasululloh dalam hadist yang shohih. Jadi, tidak dapat disalahkan jika siapapun orang, lembaga, ataupun anggota maupun pengurus ormas Islam tertentu untuk mendakwahkan khilafah selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan dan apalagi makar.

Pembubaran atau pencabutan Badan Hukum HTI tidak otomatis memberangus aktifitas individu eks anggota maupun para pengurus HTI untuk mendakwahkan ajaran Islam apa pun itu termasuk khilafah, sebelum ada pernyataan hukum bahwa khilafah sebagai ajaran sesat dan terlarang. Dan hingga kini tidak ada fatwa MUI dan ketentuan UU terhadap larangan mendakwahkan khilafah karena khilafah itu sendiri adalah ajaran islam khususnya terkait dengan fikih siyasiyah.

Terkait upaya pelaporan terhadap ustadz Ismail Yusanto sebagai pengurusnya tersebut secara hukum tidak bisa diperkarakan karena HTI memang sudah dibubarkan oleh Pemerintah melalui Perppu Ormas 2017. Jadi justru karena sudah dibubarkan itulah UU Ormas tidak dapat diberlakukan terhadap Eks anggota atau pengurus HTI. Kalau belum dibubarkan, barulah UU ormas dapat dipakai untuk memidanakan anggota atau pengurusnya sesuai dgn Pasal 82 Perppu Ormas 2017. Jadi kalau ada pihak yang coba memperkarakan dan melaporkan UIY dengan UU Ormas, maka itu bisa disebut "ngawur!'.


Hak Seorang Mantan Anggota atau Pengurus Ormas Islam yang Telah Dibubarkan untuk Menjalankan Hak Pribadi, Khususnya dalam Hal Berdakwah

Pada tanggal 15 Pebruari 2019, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelum ke MA, HTI melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), lalu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Dengan demikian maka pada semua jenjang peradilan gugatan HTI tidak ada yang dikabulkan. Atau dengan perkataan lain Badan Hukum HTI tetap dicabut dan dengan demikian dibubarkan (Pasal 80 A UU Ormas). 

Lalu secara konstitusional bagaimana hak seorang mantan anggota atau pengurus ormas yang dianggap telah dibubarkan untuk menjalankan hak pribadinya khususnya haknya dalam berdakwah?

Berikut kami terangkan terkait Akibat Hukum yang ditimpa suatu ormas yang dianggap secara sah telah dicabut Badan Hukumnya. 

1. Akibat terhadap anggota.

Ketika status badan hukum suatu organisasi dicabut dan otomatis dibubarkan, maka yang tersisa hanyalah anggota-anggota atau mantan anggota badan hukum tersebut. Tidak ada larangan dari negara yang menyatakan bahwa mantan anggota ormas dilarang bergabung dengan ormas lainnya.

2. Akibat terhadap wadah organisasi.

Ketika sudah ditandatangani penetapan pencabutan badan hukumnya oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang, maka baju atau status badan hukum suatu organisasi sudah terlepas.

Di negara kita ini, ormas itu ada yang berbadan hukum, ada yang tidak. Sebagai contoh di sini adalah HTI, sebelumnya HTI adalah ormas yang berbadan hukum “perkumpulan” atau vereneging, yang didaftarkan di Kemenkumham. Status badan hukumnya itulah yang kini telah dicabut. Jadi jika mantan pengurus dan anggota HTI melakukan kegiatan dakwah secara perorangan atau kelompok tanpa menggunakan organisasi HTI berbadan hukum, maka hal itu sah saja. Tidak ada yang dapat melarang kegiatan seperti itu.

3. Akibat terhadap kegiatannya.

Aktivitas atau kegiatan yang mengatasnamakan organisasi tidak diakui dan tidak diizinkan meskipun keputusan MA tidak menyebutkan secara eksplisit yang menyatakan bahwa ormas yang telah dibubarkan tersebut sebagai organisasi terlarang.

Jadi, sebagai organisasi yang sudah dibubarkan maka konsekuensinya warga ormas tersebut tidak boleh menyelenggarakan kegiatannya atas nama yang dipakainya sebelum dibubarkan. Namun sebagai pribadi para anggota ataupun pengurusnya tetap diperbolehkan untuk berdakwah sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar sesuai kaidah syariat Islam.

4. Akibat terhadap aset badan hukum yang dicabut Badan Hukum dan dibubarkan.

Setelah dicabut dan dibubarkan maka aset yang dimiliki oleh Badan Hukum tidak dapat dikelola oleh perseorangan. Seharusnya bila ada kekayaan tersisa, kekayaan itu dapat diberikan kepada ormas sejenis atau kepada umat Islam.

Berdasarkan aturan dan hak secara konstitusional di atas aktivitas pribadi para anggota dan pengurus HTI atau ormas yang telah dicabut Badan Hukumnya untuk terus tetap melakukan aktivitas dakwah tidaklah dilarang menurut hukum, karena nyatanya tidak ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang, karena hanya status Badan Hukum Perkumpulannya yang saja yang dicabut.

Ajaran Islam tentang Khilafah, yang saat ini terus-menerus diframing sebagai ajaran terlarang sama sekali tidak memiliki aturan keputusan baik dalam surat keputusan tata usaha negara, putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan maupun produk hukum lainnya yang mendukung dan menguatkannya sebagai faham terlarang sebagaimana paham komunisme, marxisme/leninisme dan atheisme, yang merupakan ajaran PKI, melalui TAP MPRS No. XXV/1966.

Dengan demikian sebagai ajaran Islam, Khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan di tengah-tengah umat dan oleh para anggota maupun pengurus ormas yang telah dicabut Badan Hukumnya, karena mendakwahkan ajaran Islam Khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama Islam dan hal tersebut dijamin oleh konstitusi. 

Yang tidak kalah penting, perlu diingat oleh pembenci Khilafah ajaran Islam adalah kebenciannya terhadap ajaran Islam dapat dimasukkan ke dalam pelanggaran pasal 156a Kitab Hukum Undang-undang Pidana, pabila terbukti sengaja berbuat jahat memusuhi, membenci dan/atau menodai ajaran agama. Oleh karena itu siapapun yang menyudutkan ajaran Islam, termasuk Khilafah, maka dapat dikategorikan tindak pidana penistaan agama.


Dari sejumlah uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Berdasarkan pada aturan UU ORMAS No. 16 Tahun 2017 berisi Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 jo UU Ormas No. 17 Tahun 2013). Ormas itu memiliki HAK namun juga KEWAJIBAN DAN LARANGAN. Pelanggaran terhadap Kewajiban dan Larangan berdampak pada penjatuhan sanksi. Namun dari sejumlah aturan hingga ketentuan sanksi pelanggaran suatu ormas tersebut, tidak ada satupun pelanggaran dari aturan yang bisa dijadikan dalil atau dasar sanksi yang menimbulkan sebuah laporan kepada pengurus HTI ustadz Ismail Yusanto. Soal masih adanya penyematan Juru Bicara HTI kepadanya itu adalah urusan lain dan menjadi urusan orang lain itu juga selama UIY tidak memintah pihak lain tersebut untuk menyematkannya.

Kedua. Terkait upaya pelaporan terhadap ustadz Ismail Yusanto sebagai pengurusnya tersebut secara hukum tidak bisa diperkarakan karena HTI memang sudah dibubarkan oleh Pemerintah melalui Perppu Ormas 2017. Jadi justru karena sudah dibubarkan itulah UU Ormas tidak dapat diberlakukan terhadap Eks anggota atau pengurus HTI. Kalau belum dibubarkan, barulah UU ormas dapat dipakai untuk memidanakan anggota atau pengurusnya sesuai dgn Pasal 82 Perppu Ormas 2017. Jadi kalau ada pihak yang coba memperkarakan dan melaporkan UIY dengan UU Ormas, maka itu bisa disebut "NGAWUR!'

Ketiga. Sebagai organisasi yang sudah dicabut Badan Hukumnya maka konsekuensinya warga ormas tersebut tidak boleh menyelenggarakan kegiatannya atas nama yang dipakainya sebelum dibubarkan. Namun sebagai pribadi para anggota ataupun pengurusnya tetap diperbolehkan untuk berdakwah sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar sesuai kaidah syariat Islam. Jadi, berdasarkan aturan dan hak secara konstitusional di atas aktivitas pribadi para anggota dan pengurus HTI untuk terus tetap melakukan aktivitas dakwah tidaklah dilarang menurut hukum, karena nyatanya tidak ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang, karena hanya status Badan Hukum Perkumpulannya yang saja yang dicabut.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum. dan Liza Burhan


Posting Komentar

0 Komentar