Mengenal Wahabi dan Hizbut Tahrir (Hizb)


Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.

Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi.

Soal:

Siapa sebenarnya Wahabi? Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi atau setidaknya mirip Wahabi? Jika tidak, ada apa sebenarnya di balik tuduhan seperti ini?

Jawab:

Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya merupakan pengikut mazhab Hanbali, kemudian berijtihad dalam beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kitab, Shiyânah al-Insân, karya Muhammad Basyir as-Sahsawani.¹ Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai bermasalah oleh ulama Sunni yang lainnya.

Nama Wahabi sendiri telah dikubur oleh para pengikut dan penganutnya. Boleh jadi karena sejarah kelam pada masa lalu. Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut mereka, ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Muwahhidûn, yang berarti “orang-orang yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.

Secara historis, gerakan Wahabi telah mengalami beberapa kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan murni yang bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah, kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini mendapatkan penentangan. Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung halamannya dan berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu mendapat perlindungan dari Muhammad bin Saud, yang notabene bermusuhan dengan Amir Uyainah. Dalam kurun tujun tahun, sejak tinggal di Dar’iyyah, dakwah Wahabi berkembang pesat.

Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah agen Inggris, menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi. Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud. Namun, pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.

Ketika Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765 M, kepemimpinannya diteruskan oleh anaknya, Abdul Aziz. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari gerakan ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama 31 tahun (1957-1788 M), gerakan ini stagnan.

Namun, setelah Abdul Aziz, yang juga agen Inggris itu, mendirikan Dewan Imarah pada tahun 1787 M, sekaligus menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat dalam ekspansi kekuasaan yang didukungnya, sekaligus menyebarkan paham yang dianutnya. Tahun 1788 M, mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode baru ini, gerakan ini menimbulkan instabilitas di wilayah Khilafah Utsmani; di semenanjung Arabia, Irak dan Syam yang bertujuan melepaskan wilayah tersebut dari Khilafah. Gerakan mereka akhirnya berhasil dipukul mundur dari Madinah tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di Dar’iyyah pun berhasil diratakan dengan tanah oleh Khilafah tahun 1818 M. Sejak itu, nama Wahabi seolah terkubur dan lenyap ditelan bumi.²

Namun, pandangan dan pemikiran Wahabi memang tidak mati. Demikian juga hubungan penganut dan pendukung Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.

Metamorfosis berikutnya terjadi ketika mereka mengubah nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi digunakan, mungkin karena rentan. Akhirnya, mereka lebih suka menyebut diri mereka Salafi. Namun, pandangan dan cara mereka berdakwah tetap sama. Inilah fakta sejarah tentang Wahabi. Dari fakta ini jelas sekali, bahwa Wahabi (Salafi) ikut membidani lahirnya Kerajaan Arab Saudi. Karena itu, tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi) senantiasa menjadi pendukung kekuasaan Ibn Saud sekalipun Wahabi (Salafi) bukan merupakan gerakan politik.

Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir (Hizb). Hizbut Tahrir (Hizb) adalah partai politik yang berideologi Islam. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah aktivitasnya.³ Meski begitu, Hizbut Tahrir (Hizb) tidak pernah terlibat dalam pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia. Hizb juga tidak pernah terlibat dalam dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua negara yang ada di seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan memerintah berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam pandangan Islam, menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat Islam di seluruh dunia adalah Khilafah, yang notabene pernah dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn Saud, termasuk di dalamnya menggunakan Wahabi.

Pandangan keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam masalah akidah, misalnya, Wahabi, banyak mengambil pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid rububiyyah. Tauhid yang pertama bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).⁴ Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid tersebut menjadi tiga: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.⁵

Ini berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak mengenal klasifikasi seperti ini. Dalam pembahasan tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan asma dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la takyîf wa la tamtsîl (menetapkan sifat dan asma Allah, tanpa menyelewengkan, mengabaikan, mendes-kripsikan tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang lain), sebagaimana lazimnya Wahabi.⁶ Hizb membahas sifat justru untuk meluruskan perdebatan yang tidak berkesudahan, antara Muktazilah, yang menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang menyatakan, bahwa sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya. Dalam pandangan Hizb, perdebatan seperti ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan, karena tidak berangkat dari fakta, melainkan didasarkan pada asumsi mantik.⁷

Bagi Wahabi, masalah utama umat Islam adalah masalah akidah; akidah umat ini dianggap sesat, karena dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas dakwah mereka difokuskan pada upaya purifikasi (pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Akidah dimurnikan dari syirik, baik syirik ashghar (syirik kecil), akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-samar); juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai membuat metode yang tidak dicontohkan sebelumnya. Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah dalam adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama, menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah, Muktazilah, Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi al-’ibâdah.⁸

Ini berbeda dengan Hizb. Pandangan seperti ini, menurut Hizb, juga berbahaya karena menganggap seolah-oleh umat Islam belum berakidah Islam. Ini tampak pada pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain kelompok mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka tidak jarang saling sesat-menyesatkan terhadap kelompok sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.

Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi.

Dengan pandangan Wahabi seperti itu terhadap akidah umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang konstruksi masyarakat—yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system—maka wajar jika sejarah Wahabi berlumuran darah kaum Muslim. Situs-situs penting dan bersejarah di dalam Islam pun mereka hancurkan. Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari syirik dan khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb. Hizb tahu persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya tidak pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik, seperti situs-situs penting dan bersejarah; melainkan menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang diyakini dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai dakwah fikriyyah lâ ‘unfiyyah (intelektual dan non-kekesaran).

Pendek kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas dan nyata. Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti tentang kedua-duanya, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb, agar disalahpahami, dibenci dimusuhi dan dijauhi oleh umat. Inilah yang sebenarnya hendak dilakukan. Lalu siapa yang diuntungkan dengan semuanya ini, tentu bukan Islam dan kaum Muslim, melainkan kaum kafir penjajah dan para boneka mereka, yang tetap menginginkan negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia, ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh.[]

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman

Posting Komentar

0 Komentar