Komunisme Musuh Bersama bukan "Khilafahisme": Sanggupkah Kita Mendeteksi Moderasi Komunisme Dalam Kebijakan Publik?

Foto: Prof. Dr. Suteki S.H. M.Hum



Masih banyak yang menanyakan tentang posisi komunisme dan khilafah, bukan khilafahisme karena khilafah itu bukan isme melainkan sistem pemerintahan seperti sistem demokrasi, teokrasi, monarki dan lainnya. Bagaimana posisi khilafah dalam negara hukum Indonesia terkait dgn situasi politik di Indonesia. Untuk ini, perlu diingatkan kembali agar dapat dipahami Tausyiah negarawan berikut ini. Tausiyah ini sebenarnya terkait dengan situasi yang memanas menjelang Pemilu 2019. Namun, tidak ada salahnya kita menyimaknya kembali untuk direfleksikan pada peristiwa hari-hari ini. 

Beberapa taushiyah Ketua Dewan Pertimbangan MUI sebagai hasil Rapat Pleno Ke-37, 28 Maret 2019 yang terkait dengan posisi khilafah di negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut: 

(1) Sebaiknya kedua kubu Paslon Presiden-Wapres menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah, karena itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat peyoratif (menjelekkan). 

(2) Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Qur'an adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/ khalifatullah fil ardh).

3. Mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah identik dengan mempertentangkan Negara Islam dgn Negara Pancasila, yang sesungguh sudah lama selesai dgn penegasan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam. (Jakarta, 28 Maret 2019, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI)

Tausiyah Ketua Dewan Pertimbangan MUI tersebut tampaknya diabaikan oleh banyak pihak. Terbukti, hingga kini keanehan masih terus berlangsung ketika Islam dengan segala ajaran sucinya dipojokkan dengan isu terorisme dan radikalisme. Para pengemban dakwah merasa terintimidasi ketika mengajarkan seluruh ajaran Islam tanpa kecuali termasuk ajaran khilafah sebagai sistem pemerintahan menurut Islam. Sistem pemerintahan ini bukan isme atau ideologi. Tidak bisa disejajarkan dengan isme seperti kapitalisme dan komunisme. Hal inilah yang saya khawatirkan terjadi di negeri ini ketika para punggawa DPR RI menginisiasi RUU HIP. Belum selesai masalah RUU HIP, ternyata Presiden mengajukan RUU baru terkait dengan RUU HIP, yaitu RUU BPIP yang diajukan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).


Aspek Yustisia Khilafah dan Komunisme di Bidang Hukum Pidana

Untuk apa sebenarnya RUU HIP ini dibuat? Kecurigaan saya ternyata terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme-leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan Tap MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Perkembangan terakhir inisiator RUU HIP setuju memasukan Tap MPRS tersebut dengan syarat agar paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Sekjen PDIP menyebut ada dua ideologi yang dimaksud, yaitu Khilafahisme dan Radikalisme. 

Khilafahisme hendak disejajarkan dengan ideologi terlarang komunisme. Hal ini dapat dipandang pelecehan dan penistaan ajaran Islam. Khilafah bukan isme tapi sistem pemerintahan yang berbasis pada ideologi Islam. Mengkriminalkan ajaran Islam adalah tindakan gegabah dan menistakan agama. Jika Indonesia menyatakan belum menerima sistem kekhalifahan sebagai sistem untuk mengatur penyelenggaraan negara, tentu tidak serta merta menempatkan ajaran Islam ini sebagai isme yang dilarang dan bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan apple to apple. 

Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang politik (siyasah). Dalam hal ini ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Oleh karena itu ajaran agama maka Ia tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama. Maka khilafah tak pantas ditambahi isme sebagaimana paham buatan manusia seperti Kapitalisme, komunisme, radikalisme, dll.

Jika kesesatan berfikir tentang khilafah dibiarkan, maka bisa saja nanti ajaran Islam yang lain akan juga disejajarkan dengan ajaran atau isme buatan mausia. Bisa saja mereka akan melecehkan kesucian ajaran haji dengan haji-isme, jihad-isme, zakat-isme, jilbab-isme, dll. Padahal itu jaran islam yang pasti baik buat manusia karena datang dari Allah SWT, sang Pencipta alam semesta.

Narasi khilafahisme disejajarkan dengan komunisme jelas sangat menodai ajaran agama Islam. Dampak buruknya penyamaan ini adalah menyamakan pendakwah khilafah (HTI) DISAMAKAN DENGAN pengusung komunisme (PKI). Jika sengaja menyejajarkan ajaran agama dengan paham lain buatan manusia, maka itu merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama. Menyamakan Khilafah dengan paham komunisme, radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama islam. Jadi dapat dinilai sebagai penistaan agama. 

Dalam hal ini dapat dinilai sebagai bentuk permusuhan atau kebencian terhadap ajaran agama Islam. Dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran Pasal 156a KUHP bahwa harus diingat unsur utama untuk dapat dipidananya Pasal 156a adalah unsur sengaja jahat untuk memusuhi, membenci dan/atau menodai ajaran agama (malign blasphemies). Sedangkan menyatakan terkait khilafah sebagai ideologi kemudian dikampanyekan dan dibuat opini seolah-olah sesuatu kejahatan dihadapan dan/atau ditujukan kepada publik, artinya dapat dinilai unsur sengaja, terpenuhi.

Pasal 156a KUHP berbunyi :

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: 

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa khilafah itu betu-betul bagian dari ajaran Islam yang dipelajari dalam kitab-kitab fikih terkait dengan Bab Siyasah. Tidak tepat disejajarkan dengan komunisme, kapitalisme, marxisme-leninisme yang secara formal memang sudah dilarang di Indonesia. Kita mesti fair terhadap ajaran Islam ini, tidak boleh MENISTAKANNYA dengan cara mengkriminalisasikan. Persoalan khilafah itu tidak atau belum dianggap sesuai dengan alam demokrasi di Indonesia itu persoalan pilihan dan memang tidak boleh dipaksakan apalagi penggunaan kekerasan seperti makar. Namun, siapapun juga tidak boleh menyatakan khilafah itu ajaran terlarang dan harus diperangi dan memburu pendakwahnya seperti seorang penjahat. Ini termasuk penistaan terhadap agama yang dapat dijerat dengan Pasal 156a KUHP sebagaimana telah dibahas di muka.

Perlu diketahui bahwa ternyata masih banyak pejabat negeri ini yang tidak menginsyafi tindakannya karena menyatakan bahwa khilafah adalah sebagai isme dan disejajarkan degan komunisme yang jelas sebagai ideologi terlarang. Bahkan, ada pejabat yang menyatakan bahwa ASN yang terbukti menganut ideologi khilafah akan diberhentikan tidak dengan hormat dengan tuduhan melecehkan Pancasila berdasarkan Pasal 87 UU ASN. Meskipun pelaku mungkin mengklaim tidak ada niat melecehkan ajaran Islam, namun akibat yang tidak diinginkan pasti terjadi. Yakni, adanya perasaan keagamaan umat Islam yang tercederai oleh tindakan para pejabat tersebut. Untuk itulah jika kita ada kejujuran intelektual, maka perbuatan pejabat itu seharusnya dapat dihindari dan jika tetap pada pendiriannya maka pernyataannya itu dapat dikategorikan sebuah penistaan terhadap agama.


Mendeteksi Moderasi Komunisme dan Penguatannya Melalui Kebijakan Publik

Moderasi sebagai pemahaman sisi berlawanan dari radikalisasi. Moderasi berarti proses melunakkan keradikalan sesuatu pemikiran hingga sikap dan tindakan melalui berbagai sarana baik narasi maupun keputusan kongkret. Komunisme itu paham yang radikal, revolusioner juga. Keradikalan komunisme di Indonesia pasca kegagalan pemberontakannya pada 30 September 1965 dapat kita deteksi hendak dilunakkan melalui berbagai kebijakan publik berupa keputusan dan putusan kelembagaan negara. Berikut beberapa kebijakan publik yang ditengarai sebagai bentuk moderasi komunisme di Indonesia.

1. Upaya pencabutan Tap MPRS No. XXV 1966 telah dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid.

Kompasiana 30/09/2012 mewartakan bahwa Presiden Republik Indonesia ke-4, K.H. Abdulrachman Wahid atau yang popular dengan nama Gus Dur adalah presiden Indonesia pertama sejak orde baru yang mengusulkan ide objektivitas sejarah ketika ia menggulirkan wacana pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966. Gus Dur mengusulkan pencabutan Ketatapan Majelis tentang pembubaran PKI dan pernyataan pelarangan pengembangan ide Marxisme itu karena dianggapnya telah usang alias out of date.

Argumen Gus Dur saat itu tidak terbaca secara utuh karena gelombang protes atas usulannya telah lebih dahulu naik melebihi keinginan luhurnya. Dari media massa sedikitnya dapat diketahui tiga alasan objektif Gus Dur. Pertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah dipelajari terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring berakhirnya negara Uni Sofiet di ujung babak perang dingin. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik ke depan.

Presiden Gus Dur menerima banyak sekali tekanan dari kelompok-kelompok yang menantang usulannya. MUI dalam rapat pleno 21 Maret 2000 secara tegas menentang wacana yang digulirkan presiden. Hartono Mardjono, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang menyatakan akan meminta MPR menggelar sidang istimewa jika Gus Dur mencabut TAP MPRS XXV/1966. Partai Bulan Bintang juga menyatakan ketidaksetujuan mereka atas usul Gus Dur. Demikian halnya dengan FUII yang menggelar aksi massa sepanjang jalan Merdeka Utara.

Di sisi lain, dukungan atas ide Gus Dur juga mengalir. Banyak kalangan generasi muda yang mendukung wacana presiden Gus Dur. Demikian pula dukungan yang datang dari aktivis gerakan hak asasai manusia dan lingkungan perguruan tinggi.

Sebagaimana kita ketahui, kontroversi pencabutan TAP MPRS XXV/1966 telah berakhir bersamaan dengan berakhirnya kepemimpinan presiden Gus Dur. Bahkan, pada rapat fraksi komisi B DPR RI hari Minggu 3 Agustus 2003, semua fraksi sepakat tidak mencabut TAP MPRS XXV/1966. Fraksi TNI/Polri berpendapat, pemikiran untuk mencabut atau mempertahankan ketetapan majelis itu selayaknya ditempatkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945.

Dalam sidang tahunan MPR 2003, ketua MPR Amien Rais menandaskan bahwa MPR telah mencapai keputusan untuk tetap mempertahankan TAP MPRS XXV/1966. Keputusan ini sekaligus merupakan penetapan MPR atas ketetapan MPRS yang terdahulu.

2. Tidak menjadikan Tap MPRS XXV 1966 sebagai Pertimbangan dalam Pembentukan RUU HIP.

Untuk apa sebenarnya RUU HIP dan RUU BPIP ini dibuat? Kecurigaan saya ternyata terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme-leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan Tap MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Perkembangan terakhir, inisiator RUU HIP setuju memasukan Tap MPRS tersebut dengan syarat agar paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Sekjen PDIP menyebut ada dua ideologi yang dimaksud, yaitu Khilafahisme dan Radikalisme. 

3. Hak dipilih Diberikan Kembali, Putusan MK Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah mengingkari hak warga negara untuk menyatakan keyakinan politiknya dan bertentangan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi, dalam putusan akhirnya yang disampaikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (24/2/2003) petang, menyatakan bahwa pasal tersebut tak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bekas tahanan politik dari partai terlarang seperti Partai Komunis Indonesia juga berhak dipilih dalam Pemilu. Pasal 60 huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bahwa mereka tak diberikan hak politiknya adalah "Bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya." 

Telah terjadi pelonggaran untuk konsolidasi faham komunisme sedangkan patut diduga kegiatan mereka makin berani dan terang-terangan. Apakah negara lain yg demokratis dan menjunjung tinggi HAM juga melakukan pembatasan hak politik? Ya! Jerman (de-Nazi-sasi), Amerika Serikat (terkait Al Qaeda).

Saya sependapat dengan dissenting opinion Hakim MK Achmad Roestandi tentang pembatasan hak dipilih eks anngota PKI dan yang terlibat itu konstitusional. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum dalam keseluruhan Bab XV HAK ASASI MANUSIA, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 I, yaitu : 

a. hak hidup. 
b. hak untuk tidak disiksa. 
c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani. 
d. hak beragama. 
e. hak untuk tidak diperbudak. 
f. hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. 
g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 

Pembatasan yang diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak termasuk dalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1). Oleh karena itu 
pembatasan dalam Pasal 60 huruf g tidak bertentangan dengan Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Dari keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terungkap bahwa ketika Pasal 60 huruf g dibahas telah secara mendalam dipertimbangkan alasan-alasan pembatasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Menurut Hakim Achmad Roestandi, pembatasan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf g bukanlah pembatasan yang bersifat permanen, melainkan pembatasan yang bersifat situasional, dikaitkan dengan 
intensitas peluang penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/ Marxisme-Leninisme dan konsolidasi Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keterangan ahli, Dr. Thamrin Amal Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah, 
karena dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Bahwasannya pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengan semakin longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dari undang-undang Pemilu yang terdahulu ke undang-undang Pemilu berikutnya. 

Dalam undang-undang Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain, bukan saja dibatasi hak pilih pasif (hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif (hak untuk memilih). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan 
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibatasi hanya hak pilih pasif saja. 

4. Penerbitan SKKPH oleh Komnas HAM

Antaranews.com Jatim 1 Oktober 2019 memberitakan bahwa Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia atau "Center for Indonesian Community Studies" (CICS) menyatakan keberatan terhadap penerbitan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) bagi orang-orang eks-Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketua CICS Arukat Djaswadi kepada wartawan di Surabaya menjelaskan SKKPH bagi orang-orang eks-PKI disetujui untuk diterbitkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 

CICS khawatir SKKPH yang telah diterbitkan nantinya dibawa ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan selanjutnya bisa menjadi jalan bagi PKI untuk kembali mendapatkan legitimasi di Indonesia. Menurut pengakuan Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 Bedjo Untung, sampai hari ini sudah 3.000-an SKKPH yang diterbitkan.

CICS, lanjut Arukat, mempertanyakan konsekuensi dari SKKPH yang telah diterbitkan.

Jadi, melalui SKKPH, eks-PKI diakui lembaga negara sebagai korban, berarti pelaku pemberontakan 1965 bukan PKI, dengan begitu mereka bersih. Selanjutnya menuntut kompensasi, ganti rugi, rehabilitasi dan mendesak negara minta maaf, TAP MPRS XXV 1966 dicabut, akhirnya PKI hidup lagi.

5. Upaya Rekonsiliasi PKI sebagai "Korban".

Balairung 27 Juli 2019 menurunkan suatu pawarta tentang rekonsiliasi korban "pembantaian 1965". Upaya untuk melakukan rekonsiliasi antara pihak "korban" pemberontakan PKI terus dilakukan. Namun demikian, dari pihak pendukung rekonsiliasi, ada dua kelompok yang saya kira cukup sulit untuk menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan. Mengapa perlawanan tersebut terjadi?

Menurut versi pendukung rekonsiliasi, ada 2 kelompok penolak upaya rekonsiliasi. Kelompok pertama adalah militer dan keluarganya. Tentu saja karena merekalah yang ikut memproduksi penyeragaman sejarah. Mereka memproduksi narasi tidak seimbang bahwa PKI adalah dalang tunggal penculikan dan pembunuhan perwira militer.

Kelompok kedua mereka sebut Islam Konservatif. Kesalahan memahami sejarah juga terjadi dalam faksi Islam konservatif. Mereka masih mewarisi pandangan sejarah yang manipulatif baik setelah maupun sebelum kemerdekaan Indonesia. 

Dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa elite yang terang-benderang menolak agenda rekonsiliasi ini memang tidak memiliki jarak dengan masa lalu. Sehingga rekonsiliasi menjadi sulit terwujud selain karena larangan resmi terhadap komunisme dalam TAP MPRS No. XXV 1966 dan Kepres No. 28 Tahun 1975, disebabkan juga karena dua kubu itu. Militer, khususnya TNI AD, dan Islam "konservatif" masih tidak berjarak dengan masa lalu. 

Ada yang berpandangan bahwa rekonsiliasi itu mustahil dilakukan bahkan dikatakan penyelesaian kasus Penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1956. Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus Penumpasan PKI ’65. Rekonsiliasi yang berusaha mengklaim bahwa PKI adalah korban, bukan pelaku makar pada 30 September 1965 tampaknya akan sulit terwujud bahkan akan terus membuka luka lama, berupa dendam politik yang tidak berkesudahan. Sejarah telah membuktikan bahwa makar partai yang berpaham komunisme telah merenggut ribuan jiwa di negeri ini. Ini sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Jadi, masih perlukah kita melakukan rekonsiliasi?

Penutup

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah mengabaikan sejarahnya. Moshe Dayan, seorang ahli strategi militer Israel bahkan menyatakan bahwa suatu bangsa tidak akan bisa bangkit kembali ketika (1) Tidak peduli dengan sejarahnya; (2) Tidak memiliki perencanaan yang matang dan detail melainkan spontanitas dan tidak detail; (3) Tidak memiliki literasi tinggi (malas baca). Bangsa ini pun telah mengalami pahit getirnya kehidupan akibat sering melupakan sejarah, tidak mengambil pelajaran darinya dan membiarkan sejarah pilu terus berulang. 

Komunisme yang pernah mengejawantah ke dalam PKI telah terbukti melakukan makar, baik terhadap ideologi Pancasila maupun kekuasaan pemerintahan yang sah namun moderasi demi moderasi terhadapnya melalui kebijakan publik makin terasa. Jika kita tidak waspada, pasti ideologi yang jelas bertentangan dengan sebagian besar anak bangsa Indonesia ini akan bangkit kembali melalui kebijakan publik yang makin menguatkan posisinya. Ideologi tidak akan pernah mati, sekali pun ideologi itu tidak bersesuaian dengan fitrah manusia. Eksistensinya untuk menguji seberapa tangguh bangsa ini memahami, mematuhi serta mengadaptasikan ideologi bangsa yang dianut, yakni Pancasila. Pancasila sebagai mahakarya umat Islam bersama kaum nasionalis mesti dijadikan tameng perlawanan terhadap komunisme. Namun, perlawanan itu akan tak berarti ketika religiusitas bangsa ini makin ambyar alias rapuh. 

Musuh bersama kita adalah komunisme dengan segala pengejawantahannya, bukan Islam dengan segala ajarannya, termasuk fikih siyasah perihal kekhalifahan. Umat ini seharusnya memahami bagaimana menempatkan fikih untuk diyakini, dipelajari, didakwahkan. Yang penting tidak pernah ada pemaksaan, kekerasan apalagi makar. Tabik.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum.
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Semarang, Ahad, 27 September 2020

Referensi:
Berbagai berita Online (kompasiana, detiknews, balairungpress.com 27 Juli 2019 dll, Tap MPRS XXV/ 1966, Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003.

Posting Komentar

0 Komentar