Jangan Gegabah Menilai Calon ASN dan ASN Terpapar Radikalisme hanya karena Berpikir Khilafah



Laman detik.com (2/09/2020), mewartakan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama Kementerian Agama, Kepala BNPT, Kepala BKN serta Kepala Daerah lainnya siang tadi meluncurkan aplikasi ASN No Radikal. Aplikasi ini ditujukan untuk membasmi paham radikalisme di lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Menguatkan upaya tersebut, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi memberi usulan khusus terkait penerimaan CPNS. Ia meminta agar seleksi CPNS dibuat lebih ketat dan tidak menerima peserta-peserta yang terindikasi memiliki paham keagamaan tertentu seperti pro khilafah.

Menanggapi upaya berbagai kementerian untuk memerangi yang mereka sebut dengan radikalisme saya sebagai Guru Besar di bidang hukum merasa prihatin karena pengelolaan negara ini tidak lagi didasarkan prinsip negara hukum. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Indonesia ialah negara hukum. Pelarangan terhadap tindakan, pemikiran yang dilakukan oleh warga negara harus diatur dengan UU tidak cukup dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) apalagi hanya dengan aplikasi ASN NO RADIKAL sedangkan radikalisme itu lebih condong pada nomrnklatur politik dibandingkan hukum sehingga bersifat obscure (kabur) dan lentur sesuai kepentingan rezim penguasa..

Adakah per definisi HUKUM tentang apa itu artinya "terpapar radikalisme"? Ini masalah pelik karena bicara tentang ideologi seseorang. Tidak gampang membuktikan seseorang terpapar radikalisme sesuai dengan koridor hukum. Yang sering dipakai adalah koridor politik. Asal tdk setuju dengan kebijakan pemerintah, asal mengamalkan agama secara taat apakah langsung dikatakan terpapar radikalisme?

Untuk urusan ideologi kita sudah dibingkai dengan UU ORMAS Pasal 59, Tap MPRS No. XXV MPR 1966 yang dilarang adalah ateisme, komunisme, marxisme dan leninisme. Sedang nomenklatur dan paham lain itu merupakan pasal karet yang sulit dipastikan dan cenderung mengikuti kehendak penguasa. Ini yang seharusnya dihindari. Sebaiknya, perincian dan paham lain itu ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah sbg pelaksanaan UU Ormas, dan atau KUHP. Jadi rakyat itu mendapatkan kepastian hukum ketika UU Ormas dan lain-lain itu ditegakkan. 

Ketidakpastian itu akhirnya berdampak pada kecurigaan yang justru berakibat memecahbelah bangsa. Itukah yang kita kehendaki? Taruhlah ada yang terpapar komunisme misalnya, apakah langsung ditindak? Bukankah kita justru bekerja sama dengan negara yang menganut paham komunisme? Apakah tidak takut pula terpapar paham komunisme? Mengapa justri paham radikalisme yang bentuknya tidak jelas itu lalu justru lebih dijadikan alasan mempersekusi orang? Adilkah? 

Kita ingin ASN benar-benar perjuangkan nasib negara. Itu betul, tetapi tindakan semena-mena menyematkan bahwa seorang ASN terpapar radikalisme dan intoleransi itu suatu tindakan yang gegabah dan tidak sesuai dengan prinsip negara hukum. Pembuktiannya mesti dilakukan secara cover bothside bukan penilaian sepihak tanpa memberikan ruang untuk membela diri secara patut. Not due process of law! Jangan asal menuduh dan memberikan sanksi lantaran berhak dan berwenang menjatuhkan sanksi. Hendaknya para pejabat berlaku adil dan bijaksana. 

Kalau terpapar radikalisme lalu dipecat, lalu bagaimana bila terpapar korupsi? Koruptor juga bertentangan dengan Pancasila juga kan? Pejabat itu juga akan segera dipecat?

Radikal Itu Cara "BERPIKIR".

Issue radikalisme menghangat kembali sejak dilantiknya Kabinet Maju Jokowi-MA. Radikalisme terkesan cenderung dialamatkan kepada umat Islam dengan kategori tertentu. Cadar, celana cingkrang menjadi trending topic terkait dengan pelabelan radikalisme. Benarkah umat Islam itu radikal? Tidak ada Islam radikal, Islam itu sangat toleran. Anda bisakah membayangkan seandainya umat Islam mayoritas di Indonesia (87% dari total jumlah penduduk) tidak toleran, saya yakin kaum minoritas akan musnah dari Indonesia. Namun lihatlah, bagaimana umat Islam itu hidup rukun dan melindungi kaum beragama lain. Itu sebagai bukti bahwa umat Islam itu sangat toleran dan tidak anti kebhinekaan, apalagi kok anti Pancasila. Mengapa? Ya karena umat Islam memahami bahwa Pancasila itu juga hasil karyanya dlm menata kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Saya pun tidak marah disebut dosen radikal, karena radikal ala Suteki adalah: ramah terdidik dan berakal. Bukan radikal pangkal terorisme. Catat itu!

Apa sih radikal itu?

Radikal itu sebenarnya bicara tentang cara berpikir. Ada 3 tingkat level cara berpikir seseorang yang disebut dengan abstraksi.

1. Abstraksi 1 berpikir naive, langsung kongkret (ilmu-ilmu biologi, fisika). Jadi tidak ada penyisihan materi. Berpikir secara fisis.

2. Abstraksi 2, berpikirnya sudah matematis, kuantitas kualitas benda dan tidak selalu kongkret. Benda tidak selalu perlu diadakan. Misal hitung berapa hasilnya 1000 kelereng yang dimiliki 1000 anak? Tidak perlu menjumlahkan 1000 kelereng kali seribu ditumpuk jadi satu. Cukup satu hasil 1000x1000 ya 1000.000 (satu juta). Itu yang kita sebut berpikir secara matematis.

3. Abstraksi 3. Nah, dilevel ini orang tidak penting lagi bicara soal fisik dan kualitas yang dicari adalah HAKIKAT. Jadi materinya disisihkan dan dicari RADIKS-NYA atau akarnya atau inti dari segala inti, core of the core. Ini yg disebut berpikir secara radikal, mengakar bukan hanya pada simptoma atau kulitnya saja. Inilah yang kita sebut berpikir secara radikal (amelioratif).

Jadi bila kita berpikir radikal maka kita tidak akan puas dengan menerima pemahaman yang dangkal dan pragmentatif melainkan harus mendalam dan holistik. Maka kalau mau bicara tentang perubahan, berarti perubahan itu juga harus mendalam dan holistik alias perubahan revolusioner sistemis bukan perubahan gradual sporadis. Perubahan yang tidak sistemik itu sebuah kesia-siaan saja sebenarnya. Butuh waktu untuk berubah itu perlu, tetapi perubahan terencana dan terstruktur dalam road map yang jelas itu jauh lebih penting. That is radical but not radicalism, apalagi terorisme.

Benarkah ajaran khilafah dilarang disebarkan karena bertentangan dengan Pancasila?

Untuk menentukan suatu ajaran itu terlarang atau tidak perlu dilakukan pengujian oleh:

(1) Lembaga keagamaan yg menaunginya, kalau ttg khilafah, maka MUI berwenang mengujinya.
(2) Putusan Pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk itu.

Selama ini belum ada fatwa MUI dan Putusan Pengadilan atau Ketentuan UU yang menyatakan bahwa Khilafah itu sbg ajaran Islam ( bidang fikih) yang terlarang dan bertentangan dengan Pancasila.

Khilafah itu ajaran Islam tentang sistem pemerintahan ideal menurut tuntutan Alloh, Rasul dan para sahabat bukan ideologi yang disejajarkan dgn komunisme dan kapitalisme juga radikalisme. Karena sbg bagian dari ajaran Islam maka khilafah boleh didakwahkan. Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak "plonga-plongo" ketika suatu saat sistem ini tegak di muka bumi sbg mana janji rasululloh dalam hadist yang shohih. Jadi, tidak ada salahnya jika siapapun orang, lembaga, ormas Islam mendakwahkan khilafah selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan dan apalagi makar.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum.
Pakar Hukum Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar