Covid-19 Meroket: Inikah Kegagalan Sistem Kapitalisme Menanggulangi Pandemi?




Pandemi corona bukan hanya menimbulkan krisis kesehatan secara global, namun juga menimbulkan dampak hebat berupa krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia.

Dari data BNPB Indonesia, kasus positif Covid-19 per 10 September 2020 di seluruh dunia adalah 27.486.960 kasus sedangkan yang meninggal total berjumlah 894.983 orang. Sementara di Indonesia, terdapat 207.203 kasus dan 8.456 meninggal. 

Selain banyaknya korban, pandemi Covid-19 juga berdampak hebat pada sektor ekonomi. Resesi ekonomi telah dilaporkan terjadi di sejumlah negara. Terbaru adalah Inggris. Mengutip The Guardian, Rabu (12/8/2020), Inggris mengalami resesi terparah sepanjang sejarah perekonomiannya. Badan Statistik Nasional Inggris (ONS) melaporkan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2020 minus 20,4 persen. Sebelumnya, Inggris mengalami minus 2,2 persen pada kuartal I-2020.

Indonesia sendiri tengah berada di ambang resesi ketika pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020 dilaporkan minus, di angka minus 5,32 persen. Menkeu Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan negatif pada kuartal III mungkin saja terjadi karena tingkat konsumsi masyarakat masih lemah, meski mendapat bantuan sosial dari pemerintah.

Solusi sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan ekonomi dalam mengatasi pandemi ini menyebabkan korban terus berjatuhan, termasuk di Indonesia. Akibatnya, demi mengejar pertumbuhan ekonomi, nyawa manusia dijadikan taruhan. Namun hingga kini, ekonomi semakin merosot dan korban pun terus berjatuhan.

Berbeda dengan Sistem Islam, ketika terjadi wabah, Negara dan rakyat akan bahu membahu agar wabah segera berakhir. Negara akan menjamin kesehatan dan kebutuhan hidup rakyatnya. Solusi lockdown akan diterapkan pada awal terjadi wabah. Selama lockdown, Negara akan melakukan tes massal. Bagi yang sakit akan diobati atau diisolasi mandiri. Sementara bagi yang sehat bisa beraktivitas seperti biasa. Sedangkan rakyat akan mematuhi segala peraturan yang ditetapkan Negara. 


Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme Dalam Menanggulangi Covid-19 dan Faktor Utama Yang Memengaruhinya

Pandemi Covid-19 telah menelanjangi aib negara kapitalisme dimanapun, atas ketidakmampuan mereka dalam melindungi kesehatan dan keselamatan nyawa rakyatnya. Tidak hanya negara seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara terkategori negara maju.

Pandemi COVID-19 adalah tragedi manusia dan krisis kesehatan global, yang menimbulkan risiko besar bagi ekonomi dunia. Hingga kini, korban terus berjatuhan dan ekonomi dunia pun mengalami kemerosotan. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang saat ini dianut oleh banyak negara di dunia dinilai telah gagal dalam mengatasi pandemi.

Berikut ini faktor penyebab gagalnya sistem kapitalisme mengatasi pandemi:

1. Rapuhnya Sistem Kesehatan Dunia

Perancis, Italia dan Spanyol telah dianggap sebagai negara-negara maju yang memiliki sistem kesehatan terbaik di dunia termasuk juga Amerika. Namun seakan semuanya tidak berdaya dengan kehadiran wabah Covid-19 yang merebak hampir merata di seluruh dunia, kurang lebih 200 negara. WHO sebagai badan organisasi kesehatan dunia mengatakan pandemi yang terjadi sekarang telah membongkar bagaimana buruknya kondisi sistem kesehatan negara-negara di dunia selama ini.

WHO melihat bagaimana covid-19 memporak-porandakan suatu negara karena sistem kesehatan yang tak memadai. Kebutuhan akan fasilitas medis meroket begitu tajam dalam hitungan hari, sementara sarana, prasarana hingga tenaganya sangat-sangat terbatas. Banyak negara kewalahan luar biasa dan memaksa keras sistem kesehatannya. Kondisi ini juga berakibat fatal ke para tenaga medis yang bertempur dan bertaruh nyawa melawan pandemi ini. 

Indikator buruknya penilaian tampak dari kelangkaan alat tes, masker hingga APD (Alat pelindung Diri). Banyak tenaga medis yang bekerja dengan alat terbatas, pasien yang tidak kebagian ventilator, serta petugas medis yang kelelahan terus menerus bekerja dan terpapar oleh virus, hingga banyak yang meninggal. 

Mereka bekerja dengan alat yang terbatas dan tidak bisa beroperasi dengan efektif.
Secara fakta wajar saja apabila sistem kesehatan kapitalis telah gagal melindungi rakyatnya. Hal ini  tidak lain dikarenakan sistem kesehatan kapitalis berdasarkan asas manfaat dan materi. Salah satu kebijakan kapitalis adalah dengan mekanisme privatisasi atau swastanisasi yang dikatakan merupakan suatu revolusi global yang dimulai pada dekade 70 dan 80an (The Economist; 21 Agustus, 1993:9).

Keberadaan Covid-19 telah menunjukkan bagaimana kegagalan peran kesehatan dalam sistem kapitalis. Menyerahkan semuanya kepada swasta ternyata tidak memberikan solusi yang komprehensif, yang akhirnya negara juga harus ikut turun tangan dalam mengatasi wabah. Terbukti bahwa mekanisme pasar bebas pada seluruh bidang termasuk bidang kesehatan akan mengalami kendala dan masalah yang akhirnya negara menjadi pemilik tanggung jawab penuh. 

2. Sistem Ekonomi Kapitalis Rawan Terjadi Resesi

Dalam konsep kapitalisme, waktu adalah uang. Adam Smith mengatakan prinsip kapitalisme adalah dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Jadi wajar karena prinsip ini banyak para kapitalis menabrak segala aturan demi memenuhi birahinya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Oleh sebab itulah, saat terjadi pandemi, solusi lockdown tidak segera diambil karena menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Akibat dari lockdown, laju ekonomi akan berhenti. Pabrik banyak yang ditutup, karyawan banyak yang di PHK. Akibatnya konsumsi masyarakat menurun. Rakyat hanya mengonsumsi kebutuhan primer karena menurunnya pendapatan. 

Pendapatan negara pun berkurang karena sebagian besar APBN berasal dari pajak. Sementara sumber pajak terbesar berasal dari sektor swasta. Banyaknya industri yang tutup tentu saja akan menurunkan penghasilan pajak yang merupakan nyawa bagi APBN. 

Inilah yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalisme rawan terjadi resesi. Negara tidak mempunyai cadangan dana yang cukup saat terjadi krisis. Banyak negara-negara maju, kini ekonominya telah ambruk karena terjadi resesi. Namun hingga kini Indonesia dianggap belum mengalami resesi ekonomi karena kontraksi pertumbuhan PDB baru terjadi di satu kuartal pada tahun 2020. Negara dianggap mengalami resesi ketika pertumbuhan ekonominya minus dua kuartal berturut-turut atau lebih.

Badan Pusat Statistik ( BPS) melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) RI pada kuartal II 2020 terkontraksi atau minus 5,32 persen. Sementara pada kuatral pertama tumbuh 2,97 persen.

Namun, sisa waktu kuartal III tinggal satu bulan lagi. Alarm bahwa Indonesia sudah berada di ujung resesi harus diakui makin hari makin kuat. Berbeda dengan krisis ekonomi global di tahun 2009 yang hanya menyerang sektor keuangan, krisis ekonomi yang terjadi akibat imbas pandemi Covid-19 menyerang hampir semua sendi kehidupan dan dunia usaha dari berbagai level.

Dampak wabah Covid-19 tidak hanya menyebabkan kegiatan ekonomi di sektor kelas menengah bawah yang kolaps, tetapi juga industri berskala besar seperti industri manufaktur. Di berbagai daerah, sudah bukan rahasia kalau banyak perusahaan mulai mengurangi dan bahkan menghentikan aktivitas operasional perusahaan karena omzet yang turun bahkan minus.

Di Indonesia, diperkirakan akibat pandemi Covid-19 jumlah penduduk miskin kembali naik dan bertambah hingga 8 juta jiwa lebih. Demikian pula angka pengangguran juga dilaporkan naik drastis karena banyak bermunculan pengangguran baru akibat mereka menjadi korban PHK atau usahanya kolaps. Kalau pun mereka masih bekerja, biasanya bukan lagi pekerja penuh waktu. Mereka bekerja secara bergiliran, dengan konsekuensi gajinya susut hanya tinggal separuh bahkan lebih kecil lagi.

Resesi ekonomi yang mengancam Indonesia, niscaya akan berdampak menyebabkan daftar pencari kerja dan pengangguran bertambah panjang, jumlah penduduk miskin baru dan penduduk miskin yang mengalami pendalaman kemiskinan akan terus bertambah, sehingga ujung-ujungnya daya beli masyarakat akan turun drastis. Pada titik ini, lantas apa yang harus dilakukan untuk mengeliminasi agar dampak resesi ekonomi tidak membuat Indonesia kehilangan momentum untuk melakukan recovery economy?

Untuk menyiasati agar Indonesia tidak terpuruk dalam jurang resesi yang merugikan, kuncinya adalah bagaimana mendorong dan menumbuhkan kembali daya beli masyarakat. Secara teoritis, penurunan daya beli masyarakat akan membuat tingkat konsumsi rumah tangga melorot. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) terbesar.

Bukan rahasia lagi bahwa ekonomi Indonesia amat bergantung dengan konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat konsumsi rumah tangga menyumbang hingga 56,62% terhadap ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2019 diikuti oleh komponen investasi serta ekspor dan impor.

 
Beberapa Faktor Yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia Mengatasi Pandemi Covid-19

Pandemi COVID-19 ini mengharuskan pemerintah untuk mempunyai kebijakan yang luar biasa. Kebijakan untuk menangani masalah kesehatan, melindungi masyarakat dengan jaminan sosial, dan menjaga dunia usaha jadi prioritasnya. Realokasi anggaran, refocusing kegiatan, serta penyesuaian besaran belanja wajib adalah cara utama pemerintah untuk mendanai kebutuhan penanganan covid-19.

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk bidang kesehatan adalah sebagai berikut.

1. Rp 65,8 triliun untuk belanja penanganan kesehatan.

2. Rp 5,9 triliun untuk insentif tenaga media pusat dan daerah.

3. Rp 300 miliar untuk santunan kematian bagi tenaga kesehatan (Rp300 juta/orang)

4. Rp 3 triliun dialokasikan ke subsidi iuran untuk penyesuaian tarif Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja sesuai Perpres 75 tahun 2019.

5. Pemerintah juga menyediakan alokasi anggaran untuk biaya perawatan pasien Covid-19 yang disentralisasi melalui Kementerian Kesehatan. Seluruh biaya perawatan tersebut ditanggung pemerintah sesuai standar biaya penanganan.

6. Pemberian fasilitas pajak terhadap barang dan jasa yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19:

7. Relaksasi ketentuan impor alat kesehatan untuk keperluan penanganan COVID-19 berupa pembebasan dari kewajiban izin edar atau Special Access Scheme (SAS).

Namun pada awal virus ini mulai menyebar, pemerintah membatasi informasi jumlah data orang yang terinfeksi, dengan dalih mencegah kepanikan. Padahal sesungguhnya yang dikhawatirkan pemerintah adalah terganggunya arus investasi kapital ke dalam Indonesia, sehingga rezim mencoba melakukan segalanya untuk mengabaikan seriusnya situasi yang ada, untuk menciptakan ketenangan di antara investor. Bahkan sebelumnya pemerintah mencoba menggalakkan industri pariwisata, yang jelas-jelas mengakomodasi menyebarnya virus Corona.

Ketika data dirilis, banyak pihak yang mempertanyakan keakuratannya. Upaya serius untuk menanggulangi pandemi juga masih belum juga dilakukan. Upaya lockdown masih tarik ulur. Tes massal untuk mendeteksi jumlah orang yang terinfeksi pun belum juga dilakukan. 

Langkah-langkah menjaga kebersihan diri, isolasi diri dan social distancing nyatanya tidak efektif menanggulangi pandemi ini. Fakta yang terjadi saat ini justru korban terus berjatuhan. 

Jumlah positif sudah mencapai 200 ribu lebih sedangkan yang meninggal  mencapai 8 ribu lebih. Padahal sejauh ini, Indonesia telah melakukan tes rata-rata sekitar 20.000 spesimen per hari.

Jika ditotal, jumlah tes Covid-19 di Indonesia sampai saat ini adalah 1.061.367 tes atau 3.879 per 1 juta populasi, berdasarkan data Worldometer (13/7/2020). Indonesia berada di peringkat 31.

Apabila dibandingkan dengan 3 negara yang memiliki populasi penduduk terbesar di dunia lainnya, angka itu termasuk yang paling kecil.

China yang populasinya lebih dari 1,4 miliar, sejauh ini telah melakukan pengujian sebanyak 90,4 juta tes atau sekitar 62.814 tes per 1 juta populasi. Dengan jumlah tes itu, China telah mengonfirmasi 83.602 positif Covid-19 dengan 4.634 kasus kematian.

India dengan populasi penduduk tertinggi kedua di dunia yakni 1,38 miliar juga telah melakukan tes melebihi 11.8 juta atau 8.553 per 1 juta penduduk.  Tercatat India saat ini 879.466 kasus positif.

Sementara itu, Amerika Serikat dengan populasi 331 juta jiwa telah melakukan lebih dari 42,4 juta tes Covid-19 atau 128.281 tes per 1 juta penduduk. Dengan angka itu, lebih dari 3,4 juta positif dengan 137.782 kematian.

Rendahnya kapasitas tes di Indonesia akan berdampak pada tingkat deteksi terhadap orang yang terinfeksi. Itulah sebabnya, data yang terinfeksi Covid-19 yang ada saat ini bisa jadi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan data yang ada di lapangan karena rendahnya tes harian. Ini juga yang menyebabkan 59  negara memblokir warga negara Indonesia masuk ke wilayah negara-negara tersebut.

Selain di bidang kesehatan, Pemerintah juga bersiap mengambil sejumlah langkah luar biasa untuk mencegah perekonomian masuk ke dalam jurang resesi dan sekaligus mendorong pemulihan ekonomi pada kuartal tiga dan empat 2020. 

Untuk mencapai pemulihan ekonomi dari dampak Covid-19 itu, setidaknya ada lima upaya yang dilakukan pemerintah yang pada tahun ini dan yang akan dilakukan pada tahun depan.

1. Belanja Besar-besaran

Pemerintah berencana melakukan belanja besar-besaran untuk menghadapi ancaman resesi yang bakal datang. Sehingga permintaan dalam negeri meningkat dan dunia usaha tergerak untuk berinvestasi.

Dengan cara ini, kontraksi ekonomi akibat efek domino Covid-19 bisa diredam. Sebab, Indonesia kini tengah berjuang agar tidak masuk ke jurang resesi ekonomi. Beberapa negara sudah masuk resesi, seperti Singapura dan Korea Selatan.

Di sisi lain, belanja pemerintah juga menjadi instrumen yang dapat dijadikan daya ungkit untuk memulihkan ekonomi di saat krisis seperti saat ini akibat pandemi Covid-19.

2. Pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional

Pemerintah telah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto selaku Ketua Komite Kebijakan dan Erick Thohir selaku Ketua Pelaksana. Di bawahnya, ada Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang diketuai Doni Monardo dan Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional yang diketuai Budi Gunadi Sadikin.

Tujuan dari komite ini agar penanganan kesehatan dan ekonomi terus berjalan sinergi. Alokasi fiskal untuk memulihkan kondisi ekonomi akan terus dikeluarkan selama sektor kesehatan belum selesai. Hingga kini anggaran yang disiapkan mencapai Rp 695 triliun. Dengan sinergi ini, komitmen fiskal tersebut lama-lama bisa menurun.

Komite ini juga untuk memastikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 agar tetap terjaga. Kuartal III adalah momentum Indonesia jatuh ke jurang resesi atau tidak. 

3. Program Bantuan ke UMKM

UMKM menjadi salah satu sektor yang terpukul paling awal akibat pandemi Covid-19. Untuk itu, pemerintah menyiapkan berbagai program untuk mengungkit sektor ini bergeliat kembali. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi dan subsidi bunga kredit bagi UMKM.

Saat ini, Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi menyiapkan dua program lain, antara lain bantuan UMKM produktif dan kredit berbunga rendah. Program bantuan UMKM produktif akan diberikan dalam bentuk grant dan bukan pinjaman.

Rencananya, bantuan yang akan diberikan adalah sebesar Rp 2,4 juta per orang. Budi Gunadi mengatakan bantuan itu diharapkan tak hanya dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari, melainkan juga untuk mulai berusaha. Program tersebut menyasar hingga 12 juta pelaku UMKM.

Adapun selanjutnya adalah program kredit berbunga rendah yang akan dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada dan bakal ditargetkan kepada pengusaha-pengusaha, khususnya yang terkena pemutusan hubungan kerja dan pemilik usaha rumah tangga.

4. Penempatan Dana di Perbankan

Upaya lainnya yang dilakukan pemerintah untuk memutar kembali roda ekonomi, antara lain dengan melakukan penempatan dana di perbankan. Penempatan yang telah dilakukan pemerintah adalah Rp 30 triliun di Himpunan Bank Milik Negara, serta Rp 11,5 triliun di Bank Pembangunan Daerah.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan penyaluran kredit perbankan sudah mulai membaik seiring dengan adanya penempatan dana pemerintah tersebut. Hal ini, menurut dia, dibuktikan dengan adanya penyaluran kredit yang cukup besar dari bank-bank penerima penempatan dana tersebut.

Secara keseluruhan, hingga 22 Juli 2020, Kartika mengatakan penyaluran kredit dari penempatan dana di Himbara telah mencapai Rp 43,5 triliun kepada 518.797 debitur. Angka tersebut adalah 145 persen dari total dana yang ditempatkan pemerintah.

5. Penjaminan Kredit Modal Kerja untuk Korporasi

Pemerintah telah meluncurkan program program penjaminan pemerintah kepada korporasi padat karya dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.

Sesuai dengan PP 43/2019 dan padat karya sesuai PMK 16/2020, fasilitas penjaminan kredit modal kerja korporasi ditujukan kepada pelaku usaha korporasi yang memiliki usaha berorientasi ekspor dan padat karya yang memiliki minimal 300 karyawan.


Strategi Sistem Islam Dalam Mengatasi Pandemi Covid-19

Solusi Islam dalam mengatasi wabah tidak bisa dilepaskan dari komprehensivitas ajaran Islam. Berikut ini beberapa paradigma Islam tentang manusia, masyarakat dan negara.

1. Ri’ayah (mengurusi dan mengayomi rakyat).

Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dia pimpin.” (HR al-Bukhari).

Dalam Islam pemimpin harus benar-benar berupaya sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada. Tampilnya seorang memimpin dalam ikthiar penyelesaian wabah merupakan bagian dari amanah Allah SWT yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

2. Wajib menjaga nyawa manusia (hifzh an-nafs).

Di antara maqashid asy-syari’ah (tujuan syariah) adalah hifzh an-nafs, yakni menjaga jiwa. Islam mengajarkan bahwa nyawa manusia harus dinomorsatukan. Oleh karena itu, pembunuhan dianggap sebagai dosa besar dan pelakunya mendapat sanksi yang sangat berat, yaitu qishash. Bahkan terkait dengan nyawa, Rasulullah saw bersabda, "Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa haq.” (HR an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).

Dengan demikian dalam pandangan Islam, nyawa manusia harus diutamakan, melebihi ekonomi, pariwisata, atau pun lainnya.

3. Berbasis Syariah

Dalam Islam setiap perbuatan dapat bernilai ibadah selama memenuhi dua kriteria, yakni perbuatan tersebut dilaksanakan karena Allah SWT (untuk meraih ridha Allah SWT) dan dilaksanakan sesuai dengan syariah. 

Demikian pula dalam ikhtiar mengatasi wabah. Harus dengan mengikuti syariah, yakni mengikuti Rasulullah saw. Hal itu bukan hanya agar wabah tertangani, tetapi juga agar bernilai ibadah. Kesadaran bahwa ikhtiar ini merupakan ibadah menyebabkan usaha dan ikhtiar menjadi sungggh-sungguh. Bahkan orang tidak takut mati, sebab jika mati, maka kematiannya berada di jalan Allah SWT. Hal ini jelas tidak ditemukan dalam sistem kapitalis atau sosialis. Ini hanya ditemukan di dalam Islam.

4. Mekanisme anggaran yang fleksibel dan cepat dalam penanganan masalah.

Substansi dasar Islam adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Birokrasi dan administrasi hanyalah sebagai tools sehingga masalah-masalah teknis dapat berjalan dengan baik. Karena hanya masalah tools, maka tidak masalah mengambil dari mana pun. Umar bin Khaththab ra., misalnya, mengambil sistem akuntansi dari Romawi. 

Birokrasi dan administrasi juga sangat tampak pada penanganan wabah. Hal ini tampak, misalnya, saat suatu daerah mengajukan isolasi kepada pemerintah pusat. Pemerintah daerah harus melengkapi ini-itu. Pengajuannya harus direvisi, dan lain sebagainya. Padahal, keterlambatan dalam penanganan wabah menyebabkan kematian bertambah banyak.

Ajaran Islam dalam urusan birokrasi dan administrasi sangat fleksibel, sehingga untuk menangani wabah atau lainnya dapat dikerjakan sangat cepat.

Dalam hal ini, pendekatan dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi negara dan dari sisi rakyat.

1. Dari sisi Negara.

Negara dan pemimpin harus memainkan peran yang paling penting. Pemimpin dan negara harus mengacu pada syariah Islam yang sudah sangat jelas.

a. Menentukan tes dan tracing dengan cepat.

Pemimpin harus dengan cepat melakukan tes dan tracing. Tes dan tracing ini penting sekali. Apalagi dalam kasus virus Corona. Kelambanan dalam melakukan tes dan tracing berarti membiarkan masyarakat lebih banyak terkena wabah dan semakin banyak masyarakat yang meninggal. Begitu tes menunjukkan positif, harus segera dilakukan tracing. Dalam dua pekan, harus dipastikan dia kemana saja dan bertemu dengan siapa saja. Orang-orang yang berinteraksi harus segera dilakukan tes. Begitu seterusnya. Orang yang terbukti positif harus segera diisolasi dan diobati.

b. Pusat wabah harus segera ditentukan dengan cepat dan menjaga secara ketat agar wabah tidak meluas

Saat wabah menyebar, daerah terkena wabah harus segera diisolasi agar wabah tidak menyebar ke tempat lain. Tidak ada yang boleh keluar-masuk dari daerah tersebut agar proses penularan berantai dapat dihentikan. Hal ini telah disampaikan oleh Rasulullah saw: “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

c. Menjamin semua kebutuhan dasar masyarakat di daerah yang diisolasi

Negara harus benar-benar hadir secara riil. Saat terjadi isolasi, pasti masyarakat tidak bisa mencari nafkah, dan pada giliriannya dapat berdampak pada kelaparan sehingga dapat menyebabkan kematian rakyat. Oleh karena itu, saat negara melakukan isolasi atau karantina, kebutuhan rakyat harus ditanggung oleh negara. Negara tidak boleh berlepas tangan. Jika negara tak mau mencukupi kebutuhan, rakyat pasti akan melanggar. Pernyataan yang sering kita dengar dari sebagian saudara kita, “Lebih baik mati karena Corona daripada mati karena kelaparan”.

d. Merawat, mengobati dan melayani orang-orang yang sakit di daerah wabah.

Masyarakat yang sakit harus segera diobati dengan pengobatan yang berkualitas karena berkaitan dengan nyawa manusia. Dalam kasus virus Corona, yang belum ada obatnya, daya tahan tubuh pasien harus diperkuat sehingga pasien dapat melewati masa-masa genting. Dengan hal ini, prosentase kematian dapat diminimalkan.

e. Menjaga wilayah lain yang tidak masuk zona tetap produktif

Di sinilah pentingnya kehadiran negara. Negara harus memiliki peta yang jelas, mana daerah merah, kuning dan hijau. Pada daerah yang diisolasi, seluruh aktivitas harus diminimalkan sampai batas serendah-rendahnya. Daerah lain yang tidak terkena wabah dijaga bahkan ditingkatkan produktivitasnya sehingga dapat menopang daerah lain yang terkena wabah.

f. Memperkuat dan meningkatkan sistem kesehatan: fasilitas, obatan-obatan, dan SDM

Kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang harus disediakan oleh negara dengan kualitas yang setinggi-tingginya, sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi pada zamannya. Para tenaga medis harus diberikan pendidikan dan pelatihan setinggi-tingginya. Standarisasi SDM, baik dokter, perawat atau tenaga medis lainnya harus diupayakan. Tidak dibolehkan adanya mal praktik dan lain sebagainya.

g. Mendorong para ilmuwan untuk menemukan obat/vaksin dengan cepat.

Negara juga harus mendorong para ilmuan untuk menemukan metode, obat, atau vaksin untuk berbagai penyakit. Kita tahu bahwa berbagai virus mengalami mutasi sehingga dibutuhkan pengembangan berbagai obat atau vaksin baru untuk pengobatannya. Dalam hal ini, negara tidak boleh berpikir untung rugi dari aspek finansial, tetapi negara harus mendukung pengembangan penelitian tentang obat dan virus ini.

h. Dilakukan secara gratis.

Menurut politik-ekonomi Islam, kesehatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang harus disediakan oleh negara secara gratis. Hal ini bukan hanya saat ada wabah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

2. Dari sisi rakyat

a. Mentaati segala protap dengan dasar ketakwaan kepada Allah.

Protap dan aturan yang telah diputuskan oleh Imam (Khalifah) yang dibaiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya wajib ditaati. Masyarakat yang taat bukan hanya akan terhindar dari wabah sehingga mata rantai wabah segera berakhir, tetapi mereka juga mendapatkan pahala yang besar dari Allah SWT karena taat kepada pemimpin Islam. Sebaliknya, melanggar keputusan imam (khalifah) adalah perbuatan maksiat yang akan mendapatkan siksa dari Allah (QS an-Nisa’ [4]: 59). Konsep seperti ini tidak akan ditemukan kecuali hanya di dalam Islam, yakni di dalam sistem Khilafah.

b. Sabar dan ikhtiar, tidak putus asa bagi yang ditimpa musibah.

Masyarakat Islam menyadari bahwa berbagai musibah adalah qadha dari Allah SWT. Mereka menerima dengan ridha, sabar, tidak panik, apalagi putus asa. Rasul saw. bersabda, “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman. Semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya) dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur. Iu adalah kebaikan bagidirinya. Jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar. Itu adalah kebaikan bagi dirinya.” (HR al-Muslim).

Sikap seperti ini justru meningkatkan imunitas diri masyarakat. Mereka pun tidak lupa berikhtiar sesuai dengan syariah. Yang sakit berobat dengan sebaiknya-baiknya. Yang sehat berupaya untuk menjaga diri agar tidak terkena wabah. Misalnya tinggal di rumah, saat keluar memakai masker, menjaga jarak dari orang lain, mencuci tangan dan lain sebagainya.

c. Masyarakat saling membantu dengan dorongan keimanan.

Islam mengajarkan masyarakat untuk saling membantu, apalagi pada saat wabah. Beberapa orang yang seharusnya mengisolasi diri, tetapi miskin dan negara tidak menjangkau, maka masyarakat di sekitarnya harus membantunya. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang. sedangkan tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal ia (orang yang kenyang) mengetahui.” (HR al-Bukhari).


Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, berikut ada beberapa kesimpulan, yaitu:

Pertama. Kegagalan sistem Kapitalisme dalam menanggulangi Covid-19 dipengaruhi oleh rapuhnya sistem kesehatan dunia dan sistem ekonominya yang rawan terjadi resesi. WHO sebagai badan organisasi kesehatan dunia membongkar bagaimana buruknya kondisi sistem kesehatan negara-negara di dunia selama ini. Hal ini dikarenakan sistem kesehatan kapitalis berdasarkan asas manfaat dan materi. 

Begitu juga, saat terjadi pandemi, solusi lockdown tidak segera diambil karena menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Akibat dari lockdown, laju ekonomi akan berhenti. Pabrik banyak yang ditutup, karyawan banyak yang di PHK. Akibatnya konsumsi masyarakat menurun. Rakyat hanya mengonsumsi kebutuhan primer karena menurunnya pendapatan. Inilah yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalisme rawan terjadi resesi.

Kedua. Beberapa Faktor Yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia Mengatasi Pandemi Covid-19 antara lain meremehkan wabah, menutupi data demi investasi, tidak segera lockdown dan sedikitnya tes harian. 

Pada awal virus ini mulai menyebar,
pemerintah justru mencoba menggalakkan industri pariwisata. Pemerintah juga membatasi informasi jumlah data orang yang terinfeksi karena khawatir arus investasi terganggu. 

Upaya lockdown masih tarik ulur. Tes massal juga tidak dilakukan. Minimnya tes harian juga menyebabkan ketidakpercayaan global sehingga 59 negara melockdown Indonesia.

Ketiga. Strategi Sistem Islam Dalam Mengatasi Pandemi Covid-19 melalui paradigma Islam antara lain Ri’ayah (mengurusi dan mengayomi rakyat), Wajib menjaga nyawa manusia (hifzh an-nafs), Berbasis syariah, dan Mekanisme anggaran yang fleksibel dan cepat dalam penanganan masalah. Dalam hal ini, pendekatan dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi negara dan dari sisi rakyat.

Dari sisi negara antara lain menentukan tes dan tracing dengan cepat, segera menentukan pusat wabah dengan cepat dan menjaga secara ketat agar wabah tidak meluas, menjamin semua kebutuhan dasar masyarakat di daerah yang diisolasi, merawat, mengobati dan melayani orang-orang yang sakit di daerah wabah, menjaga wilayah lain yang tidak masuk zona tetap produktif, memperkuat dan meningkatkan sistem kesehatan: fasilitas, obatan-obatan, SDM, mendorong para ilmuwan untuk menemukan obat/vaksin dengan cepat, dan semua dilakukan secara gratis.

Sedangkan dari sisi rakyat diantaranya mentaati segala protap dengan dasar ketakwaan kepada Allah, sabar dan ikhtiar, tidak putus asa bagi yang ditimpa musibah, dan masyarakat saling membantu dengan dorongan keimanan.



Oleh: Achmad Muit
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Referensi

1. W. Irvandi, "Sistem Kesehatan Kapitalis Gagal Mengatasi Corona," 2020.

2. Ika Mawarningtyas, " MEMBONGKAR KEGAGALAN SISTEM KESEHATAN ALA KAPITALISME DALAM MENGHADAPI PANDEMI CORONA," 2020.

3. Bagong Suyanto, "Resesi Mengancam Indonesia," 2020.

4. M. Ulul Azmi, "Cara Khilafah Mengatasi Wabah," 2020.


Posting Komentar

0 Komentar