Buzzer dan Influencer Eksis: Inikah Strategi Istana Menjaga Citra?



Orkestra pendengung. Demikian judul yang tertulis di sampul Majalah Tempo edisi 31 Agustus-6 September 2020. Diangkat khusus sebagai cover story, Tempo menguliti buzzer (pendengung) dan influencer (pemengaruh) yang diduga dipelihara istana. Tempo juga memuat pengakuan salah satu koordinator buzzer yang bergerak menyiapkan suplai konten tulisan.

Melalui investigatif reporting, Tempo edisi ini mengangkat judul berita antara lain Kakak Pembina di Teuku Umar, Tentara Bayaran Dunia Maya, Bebas Retas Akun Siluman dan Rupiah di Sekitar Buzzer. Kakak sepupu pimpinan istana disebut memimpin salah satu tim media sosial yang bertugas menyusun narasi untuk menggaungkan satu isu di jagat maya. Beberapa isu titipan diamplifikasi untuk mendapatkan dukungan publik.

Dunia buzzer atau influencer sebetulnya bukan barang baru. Keduanya lahir dari dunia bisnis. Diperkenalkan oleh pakar strategi pemasaran, Jay Conard Levinson pada tahun 1984. Tepatnya sebagai strategi gerilya pemasaran (guirella marketing). Belakangan, strategi menggunakan buzzer dan influencer diadopsi ke dunia politik. Maka muncullah buzzer dan influencer politik. Mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012 lalu.

Belakangan, ulah buzzer nampak dalam kampanye mendukung Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Berbagai tanda pagar atau tagar manipulatif dipromosikan diam-diam agar publik tak mempersoalkan rancangan pasal-pasal omnibus law. Kebisingan yang terjadi diharapkan bisa menutup suara kritis yang mempersoalkan posisi tawar buruh atau potensi kerusakan ekologi atas nama pembangunan ekonomi. 

Kini, stigma buzzer politik kadung kotor. Akibat perilaku aktor-aktor dan dalangnya yang bermisi manipulatif. Mengapa pemerintah menggunakan buzzer dan influencer? Padahal mereka memiliki sumber daya komunikasi melimpah. Strukturnya berjenjang. Dari pusat hingga daerah. Apakah hal ini tidak cukup? 


Buzzer dan Influencer dalam Pusaran Politik Istana

Isu buzzer dan influencer kembali mengemuka. Para politikus saling beradu argumen usai juru bicara Presiden Jokowi menyatakan influencer berperan penting di era demokrasi digital (newsdetik.com, 31/8/2020). Memang, apa perbedaan buzzer dan influencer?

Buzzer berasal dari akar kata 'buzz' dalam bahasa Inggris berarti 'dengung'. Jadi, 'buzzer' bisa dialihbahasakan sebagai 'pendengung' di media sosial (medsos). Adapun influencer berasal dari kata 'influence' yang artinya 'pengaruh'. Dalam bahasa Indonesia, influencer disebut juga sebagai pemengaruh. 

Analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, menjelaskan perbedaan dua makhluk internet ini. Menurutnya, buzzer bekerja berdasar pesanan isu dari agensi kehumasan (public relation), partai politik, pemerintah, perusahaan produk tertentu, selebritis, atau pihak lainnya. Secara personal, buzzer bukanlah siapa-siapa, bahkan anonim. Buzzer cenderung mengamplifikasi isu yang sudah ada, tidak membuat isu sendiri.

Akun-akun medsos buzzer bisa sembarang nama, dengan foto profil perempuan, laki-laki, atau tokoh anime. Pihak perekrut buzzer tidak peduli identitas aslinya. Bagi perekrut, misinya tersebar dan viral di Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, atau platform lainnya. Buzzer biasanya bukan orang terkenal (public figure).

Adapun influencer adalah sosok terkenal yang berpengaruh di bidangnya masing-masing. Misalnya di bidang politik, influencer adalah politikus tenar. Influencer punya banyak pengikut (follower). Apa yang disampaikannya di akun medsos bisa memengaruhi followernya. Pihak yang bermisi menggulirkan isu via medsos bakal merekrut nfluencer lantaran  pengaruh besarnya.

Karena bermanfaat dalam membentuk opini publik dan citra "pengguna jasanya,” pemerintah pun tak segan memilih buzzer dan influencer menjadi partner. Bahkan ada istilah BuzzeRp yang sering digunakan warganet untuk menyebut buzzer pro-pemerintah. 

Dalam konferensi pers bertema ‘Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?” yang digelar Kamis (20/8), Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan pemerintah diduga menggelontorkan anggaran Rp 90,45 miliar untuk jasa influencer, baik individu atau kelompok dengan tujuan memengaruhi opini publik terkait kebijakan. 

Terkait ini, ada beberapa alasan yang ditengarai di balik pengerahan buzzer dan influencer politik oleh pemerintah:

Pertama, pemerintah tidak percaya diri (inferior) dengan program-programnya, hingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer. 

Pun khawatir kebijakannya tidak populis dan menuai penolakan dari masyarakat, sehingga harus berlindung di balik tangan pihak ketiga. Para influencer yang dianggap berpengaruh, lalu dikerahkan. Diplot khusus untuk mengkondisikan opini melalui bermacam-macam propaganda. Solah-olah dukungan murni dari masyarakat,  padahal diseminasi informasi itu telah dimanipulasi sedemikian rupa.

Kedua, kekuasaan uang dan menganggap semua bisa dibeli. 

Inilah pemikiran khas rezim kapitalis sekuler. Berkuasa demi dan dengan uang. Uang kini bukan sekadar untuk membeli suara dalam Pemilu seperti yang diulas pakar politik Burhanudin Muhtadi dalam bukunya. Uang juga sudah menjadi senjata untuk menggiring dan membentuk opini publik. Pun dipakai membeli dan memborong pencitraan di tengah ledakan informasi yang kian buram dan tidak jelas. Uang membuat yang otentik dan manipulatif semakin sulit dibedakan.

Ketiga, produk politik (hukum) yang ditawarkan kian tidak laku. 

Tengoklah, begitu banyak undang-undang dan RUU yang mendapat kritikan hingga penolakan keras dari masyarakat akibat rezim kian kehilangan sense of crisisnya. Di tengah pandemi saja, rezim justru memproduksi undang-undang yang tidak berpihak bahkan merugikan rakyat seperti UU Minerba dan UU Covid-19. RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU HIP yang mengalami penolakan secara luas juga belum dibatalkan. 

Keempat, lebih efektif dan efisien daripada menggunakan media mainstream. 

Dibandingkan dengan beriklan di TV misalnya, lebih murah menggunakan jasa buzzer dan influencer. Jika beriklan di TV, video berdurasi 10 detik harus dibayar ratusan juta hingga miliaran rupiah tergantung frekuensi penayangan. Itu juga belum tentu bisa memengaruhi audiens
Namun dengan modal di bawah 100 juta, seorang politisi atau satu institusi pemerintah dapat memperoleh publisitas luas dan terukur dari seorang buzzer dan influencer. 

Demikianlah, meskipun memiliki sumber daya komunikasi melimpah, penguasa tetap menggunakan buzzer dan influencer demi menebar opini publik sekaligus menutup bopeng kebijakannya dan menguatkan citra positif di mata rakyat. 


Buzzer dan Influencer Istana: Manipulatif dan Memecah-belah Anak Bangsa

Para buzzer dan influencer politik senantiasa mendengungkan narasi yang diinginkan pembayarnya. Bahkan mereka tak segan menyebarkan kabar bohong (hoaks) dan membangun kebencian terhadap pihak lawan. 

Penelitian bertajuk The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation karya Samantha Bradshaw dan Philip Howard dari Universitas Oxford (2019) setidaknya mengungkapkan bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.

Buzzer juga bisa memadamkan kepercayaan masyarakat terhadap pemberitaan media tertentu, dengan membuat fakta alternatif (alternative fake) yang membuat orang meragukan informasi media. Bahkan dalam beberapa kasus, potongan gambar atau tautan berita dalam media pemberitaan menjadi alat distorsi propaganda buzzer melalui posting-poting berulang-ulang di medsos. Maka, kini yang menentukan perhatian netizen (atau publik secara luas) adalah makhluk bernama buzzer politik.

Kita mencoba melihat perilaku buzzer dan influencer politik dalam memainkan perannya di beberapa momen berikut ini:

Pertama, pemilihan umum.

a. Memainkan sentimen agama pada kedua kubu.
b. Menyerang personalitas lawan politik.
c. Menuding lawan selalu curang.

Kedua, revisi UU KPK.

a. Memunculkan istilah pegawai KPK sebagai anggota Taliban atau sekelompok teroris.
b. Mengiming-imingi pulsa untuk akun yang ikut mengamplifikasi tagar yang mereka munculkan.
c. Mengikutsertakan akun-akun robot pendukung revisi UU KPK.
d. Pada akhirnya, Presiden ikut menyetujui revisi UU KPK.

Ketiga, kampanye Corona.

a. Menolak pemberlakuan lockdown dengan alasan menyelamatkan ekonomi.
b. Presiden tak pernah menyetujui lockdown dan memilih PSBB.

Keempat, perombakan kabinet.

a. Mengamini pernyataan presiden soal rendahnya penyerapan anggaran.
b. Mengkritik menteri yang akan dicopot.
c. Membandingkan dengan menteri yang akan dipertahankan atau dengan kabinet sebelumnya.

Lebih dari sekadar bagaimana opini publik terbentuk. Kekhawatiran terbesar dari eksistensi buzzer bukan hanya soal dominasi percakapan mereka  (hastag misalnya) di ruang publik virtual, tapi bagaimana kemudian ruang publik itu telah dimonopoli sehingga membuat orang tersingkir. Hingga buzzer bisa bertindak jauh melakukan kebohongan, keonaran dan penebar ketakutan.

Alhasil, peran sentral buzzer akan terus berlanjut ke depannya ketika politisi sendiri belum benar-benar siap menjalani kehidupan dialogis dengan publik. Menggunakan buzzer bisa berarti sebagai strategi politik pemimpin dimana mereka lebih suka dibicarakan, bukan berbicara secara langsung. 

Inilah watak pemimpin dalam dekapan kapitalisme sekuler. Yang enggan membuka diri demi mendalami permasalahan rakyat, apalagi berkehendak untuk menuntaskannya. Baginya, yang berposisi tuan adalah dirinya. Sementara rakyat adalah pelayan setia yang harus mendengarkan perintah sang majikan.

Jika mengikuti sepak terjang buzzer dan influencer politik ini, kita akan mendapati beberapa dampak negatif keberadaannya, yaitu:

Pertama, manipulasi informasi dan penggiringan opini sesuai kehendak penguasa.

Demi mewujudkan syahwat politiknya, rezim tak segan menggiring oipini melalui buzzer dan influencernya. Dalam kampanye mendukung RUU Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat tagar manipulatif #Indonesia ButuhKerja.  Eksploitasi pekerja oleh korporasi dan perusakan lingkungan digiring seolah menciptakan lapangan kerja. Manipulasi informasi dan penggiringan opini ini tentu berakibat buruk bagi kepentingan bangsa.

Kedua, memecah-belah masyarakat.

Pada Pilpres 2019, tuduhan dan saling serang antarkubu telah mempolarisasi kelompok masyarakat pendukung capres. Jokowi dalam pencalonannya sebagai presiden seringkali dituduh sebagai pendukung komunis dan anti-Islam, sedangkan lawannya Prabowo diserang sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan pendukung terbentuknya negara Islam. Akhirnya muncul tagar #PancasilaVsKhilafah dan PKIVsPancasila.

Ketiga, aspirasi dan kritik publik tidak tersampaikan dengan baik kepada pemerintah dan sensitivitas pemerintah terhadap kritik dan masukan publik pun memudar.

Pabrikasi percakapan, perang tagar serta disinformasi yang diproduksi oleh buzzer politik dapat menimbulkan distorsi di ruang publik, mengaburkan batas antara aspirasi publik yang otentik dengan aspirasi rekaan.

Keempat, menjadi bumerang perusak citra penguasa.

Ulah buzzer yang menyerang para pengkritik istana justru menjadi bumerang. Penguasa kian lekat dengan cap antikritik dan otoriter oleh masyarakat. Dalam akun Twitter miliknya, Sudjiwo Tedjo mempertanyakan mungkinkah buzzeRp itu justru penumpang gelap yang memang membuat presiden tidak disukai.

Eksistensi buzzer dan influencer politik yang berkelindan dengan manipulasi dan kebohongan, tak bisa dilepaskan dari fenomena politik Machiavellis. Serba menghalalkan segala cara demi meraih kursi kuasa. Tidakkah nurani kita menjerit karenanya?


Strategi Mewujudkan Media Konstruktif bagi Kemaslahatan Rakyat

Menelisik peran media -baik media massa maupun media sosial- di era pemerintahan saat ini, bak jauh panggang dari api. Fungsi media sebagai pilar keempat demokrasi hanyalah jargon. Tak lagi ikut mengawasi ketiga pilar lainnya yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, media massa (pers) justru terbelenggu oleh kepentingan politik pragmatis pemiliknya atau pihak di belakang sang pemilik. Posisi utamanya sebagai penyambung lidah publik dan melayani kepentingannya tak lebih sebagai utopi. 

Sementara keberadaan media sosial juga tak luput dari intervensi para politisi tamak. Yang terus menebar gurita kekuasaannya melalui penguatan opini dan citra lewat pasukan siber berwujud buzzer dan influencer politik. 

Untuk menjalin komunikasi politik melalui media dengan masyarakat, maka tugas penguasa hari ini antara lain:

Pertama, mengarahkan buzzer dan influencernya agar mengubah pola komunikasi. Berbicara sebagai humas pemerintah dengan narasi afirmatif. Juga memahami esensi dan filosofi platform digital ini hadir sebagai saluran komunikasi untuk mengirim informasi jernih tanpa distorsi. 

Kedua, melakukan kontrol dan pemantauan terhadap ruang publik media sosial agar dialog antarmasyarakat terjadi secara sehat dan setara.

Ketiga, mengedukasi publik mampu melakukan cek fakta dan verifikasi informasi secara mandiri. Juga menguatkan literasi media masyarakat guna meningkatkan jiwa kritis.

Keempat, memastikan media sebagai pengawal jalannya public interest dan berada di atas semua kelompok masyarakat tanpa kehendak untuk menguasai satu di antara lainnya.

Kelima, menanamkan etika sebagai pedoman dasar menghadapi kemajuan teknologi komunikasi sehingga mampu membedakan baik buruknya informasi yang ditemui dari media.

Namun, tugas penguasa di atas akankah terlaksana sempurna dalam penerapan sistem demokrasi nan liberal seperti saat ini? Mengingat ada sebuah tesis menyatakan, demokrasi liberal di tengah masyarakat yang belum sejahtera, rawan dibajak oleh para pemilik modal. Karenanya, pemerintah acapkali menyalahgunakan kekuasaan, sekalipun dengan mengatasnamakan kepentingan publik, untuk melayani kepentingan pemilik modal. Dalam sistem demokrasi liberal, kepentingan umum seringkali tidak dirumuskan secara jelas, sehingga interprestasi yang sah dilakukan secara sepihak (justification) untuk membenarkan tindakan pemegang kekuasaan.

Demikian halnya media dalam sistem demokrasi liberal, ia akan mengikuti tipikal politik pemerintahan. Karena media merupakan alat politik sebuah negara, maka ia dapat memengaruhi kebijakan institusi politik dan dijadikan katalis (penetral) ketika terjadi konflik perubahan institusional. Hal ini tidak dapat dihindari, karena media adalah alat yang paling efektif untuk melakukan hegemoni, alat penyebar ideologi dan memengaruhi masyarakat.

Secara realita, sebuah teks bukanlah realitas yang bebas nilai. Teks memuat sebuah gagasan dan pemahaman yang akan digunakan untuk memenangkan pertarungan ideologi. Hubungan media dengan ideologi adalah bahwa media dalam konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai ideological state apparatus, aparatur negara ideologis (Eriyanto, 2001).

Karenanya dalam Islam, media massa (wasaail al’ilam) –juga media sosial- tak hanya berfungsi strategis melayani umat, namun yang terpenting adalah melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda` al-islami) baik di dalam maupun di luar negeri (Sya’rawi, 1992). Di dalam negeri, media berfungsi untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh. Sedang di luar negeri, media berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam dan sekaligus untuk membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia (Ghazzal, 2003).

Dalam daulah Islam, media adalah mercusuar negara dalam propaganda dakwah menebar risalah Islam yang menjadi rahmatan lil ‘alamin, sehingga dengannya memudahkan untuk menggabungkan negeri-negeri Islam menjadi bagian integral dari khilafah Islam. Media pun memiliki fungsi edukasi kepada publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam di dalam negara. 

Di tengah masyarakat Islam, tidak ada tempat bagi penyebaran pemikiran dan pemahaman yang rusak dan merusak, pemikiran sesat dan menyesatkan, kedustaan dan berita manipulatif. Baik negara maupun warganegara terikat dengan pemahaman hukum syara’ yang melarang penyiaran berita bohong, propaganda negatif, fitnah, penghinaan, pemikiran porno dan amoral, dan sebagainya. Sehingga media menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat. 

Berbeda dengan media pengabdi  rezim dan sistem demokrasi liberal. Media telah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai-nilai Islam dan membejatkan moral. Karenanya, seruan penyadaran wajib ditujukan untuk mewujudkan lembaga penyiaran atau media massa –juga media sosial- yang sesuai ketentuan Islam. Tentu terlebih dulu merealisasikan khilafah Islam yang dengannya terwujud media Islam konstruktif pembangun peradaban hidup mulia. []



Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media, Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

PUSTAKA

Tempo Telanjangi Buzzer dan Influencer Istana, Jusman Direktur Eksekutif Tali Foundation & Praktisi Ekonomi Digital, 2 September 2020 

Orkestrasi Pendengung, Tempo, 31 Agustus-6 September 2020

Catatan diskusi dari pemaparan Nyarwi Ahmad (Dosen Fisipol UGM) dalam diskusi MAP Corner dengan tema “Buzzer Politik dan Benalu Demokrasi” yang diselenggarakan oleh Magister Admnistrasi Publik, 9 Oktober 2019 

Peran Strategis Media dalam Islam, muslimahnews.com, Ratu Erma Rachmayanti, 16 Februari 2019

Posting Komentar

0 Komentar