Buntut penusukan Syekh Ali Jaber: Polisi Tidak Boleh Melepas Pelaku Tindak Pidana Yang Diduga Gila



Umat kembali diresahkan oleh kejadian aksi penganiayaan terhadap kaum ulama di Indonesia. Dilansir dari portal Radarlampung. co.id (13/09/2020) yang mewartakan bahwa Pendakwah sekaligus ulama Syekh Moh Ali Jaber ditikam seseorang yang bernama Alfin Andrian. Peristiwa itu terjadi pada saat Syekh Ali sedang mengisi kajian di Masjid Falahuddin, Tamin, Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung, Minggu (13/9/2020) sore. 

Kejadian tersebut terjadi secara cepat dan tiba-tiba, ketika Syekh Ali Jaber didatangi seorang pria kurus berbaju biru dan langsung melancarkan aksinya di atas panggung seketika itu juga. Yang secara membabi buta pria tersebut coba menghempaskan senjata tajam ke arah perut Syekh Ali Jaber, namun beruntung hanya berhasil mengenai lengan atas kanannya.

Peristiwa ini tidak berhenti sampai di situ karena pelaku yang masih tergolong muda ini dan diduga mengalami gangguang jiwa, bahkan oleh orang tuanya Alfin dikatakan bahwa Alfin telah mengalami gangguan jiwa selama 4 tahun terakhir. Masuk akalkah alasan tersebut,? Seberapa dalamkah aturan dan hak penyidik kepolisian sebagai penegak hukum untuk melepaskan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan? Adakah misi dari kelompok tertentu di balik kerapnya peristiwa penganiayaan terhadap kaum ulama kita?


Fenomena Ulama dan Tokoh Islam yang Kerap Menjadi Sasaran Tindakan Kekerasan di Tengah Issue War On Radicalism

Entah untuk yang ke berapa kalinya penganiayaan secara tiba-tiba dan membabi buta dilakukan oknum-oknum tertentu terhadap para ulama di negeri ini. Belum tuntas polemik tentang wacana wajibnya sertifikasi bagi para ulama atau da'i, dalam berceramah atau menyampaikan syi'ar Islam oleh Kementerian Agama. Kini teror berwujud penyerangan secara fisik kembali membayangi kehidupan ulama-ulama yang hanif dalam menyampaikan syi'ar-syi'ar Islam.

Dalam pola-pola yang sama yakni dengan penyerangan dalam bentuk kekerasan secara fisik dan tanpa dilatarbelakangi oleh motif yang jelas, maka semakin menguatkan akan dugaan-dugaan akan adanya skenario terencana oleh peran intelektual yang mempunyai tujuan tertentu di baliknya. Khususnya terhadap Islam, umat dan ulamanya.

Betapa tidak, sepanjang banyaknya insiden penyerangan terhadap ulama yang terjadi selama ini, sasarannya selalu mengarah kepada ulama-ulama yang hanif dalam menyampaikan kebenaran dan syi'ar-syi'ar ajaran Islam. Hal tersebut meneguhkan akan adanya peran aktor-aktor intelektual yang sengaja melakukan teror-teror ke tengah masyarakat, melaui teror terhadap para ulama dalam rangka tujuan politik tertentu. Dengan memperalat seseorang yang dengan mudah diperdaya, di dalam menggencarkan misinya.

Sejatinya para ulama adalah pewaris para nabi. Sebagai pewaris nabi, tentu kedudukan para ulama begitu mulia, karena mereka menempuh jalan sebagaimana yang Rasulullah Saw tempuh. Dalam menyampaikan kebenaran dan seruan Islam di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Kokoh pada pendirian dan pantang menyerah meskipun harus menghadapi beragam risiko yang mengancamnya. Inilah yang menjadi kebencian besar bagi para pembenci dan musuh-musuh Islam.

Oleh karena itu banyaknya insiden penyerangan terhadap ulama ini, diduga kuat merupakan bentuk serangan dengan cara pengecut dari pihak-pihak pembenci Islam yang tidak menginginkan pabila Islam akan kembali bangkit terutama jika Islam kembali berjaya dan mengambil alih kekuasaan dalam bidang politik atau ranah pemerintahan. Di tengah Issue War on Radicalism, seakan menjadi jalan pelegitimasian terhadap upaya-upaya jahat terhadap Islam.

Karena bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa, saat ini berbagai materi dari ajaran Islam, umat yang memperjuangkannya maupun ulama-ulamanya sedang dalam target tuduhan keji dan opini busuk yang dilakukan dengan terstruktur dan sistematis. Narasi-narasi radikalisme kerap disematkan kepada ajaran Islam dan umat maupun ulama yang konsisten memperjuangkannya. Jadi, bukanlah suatu berlebihan jika kejadian penusukan terhadap Syekh Moh Ali Jaber ini, diduga kuat adalah bagian dari strategi keji yang dilakukan musuh-musuh yang sengaja menciptakan kegaduhan untuk mengalihkan perhatian umat dan dalam rangka menghalangi kebangkitan Islam.

Kegagalan intelektual dibalas dengan cara-cara keji melalui teror yang ditebarkan ke masyarakat. Baik dengan cara mengkriminalisasi ajaran Islam ataupun dengan cara kekerasan menciderai dan mengancam keselamatan para pejuangnya. Terutama bagi ulama yang merupakan bagian terpenting dan menjadi garda terdepan dalam membangkitkan ghirah dan kesadaran umat Islam, adalah menjadi ancaman terbesar bagi pihak-pihak yang memusuhi Islam.

Namun, di sisi lain, bisa jadi ada kemungkinan peristiwa penikaman terhadap ulama ini merupakan "by designed" dalam merongrong kewibawaan pemerintah dengan menciptakan TEROR di tengah masyarakat yang sedang menghadapi pandemi covid-19. Rasa aman masyarakatpun tercabik ketika negara seakan tidak hadir di tengah kegelisahan dan penderitaan rakyat.


Dampak Penyematan Status Gila Atas Pelaku Tindak Kekerasan Pada Ulama dan Tokoh Islam Terhadap Upaya Pengungkapan Motif Kejahatan 

Permasalahan insiden penikaman terhadap Syekh Moh Ali Jaber ini pun kian berbuntut panjang, tatkala munculnya kesimpulan-kesimpulan dari aparat yang mengatakan bahwa pelakunya adalah orang yang sedang mengalami gangguan kejiwaan atau Orang Gila. Tentu adanya kembali kesimpulan yang terkesan prematur ini, semakin membuat panas gejolak emosional masyarakat karena tidak bisa mereka terima secara akal sehat. 

Secara akal sehat, kita perlu menyamakan dahulu persepsi tentang gangguan jiwa dan gangguan ingatan. Adakah bedanya antara gangguan jiwa dan gangguan ingatan? Gangguan jiwa dan gangguan ingatan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Gangguan ingatan, adalah masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau penurunan kualitas fisik yaitu otak sebagai wahana penyimpan dan pemroses memori, sedangkan gangguan jiwa tidak selalu disebabkan oleh masalah penurunan kualitas fisik belaka. 

Dari pola-pola yang dilakukan pelaku saat melakukan penyerangan terhadap Syekh Ali Jaber itu tampak dilakukan dengan penuh kesadaran, maka bisa dikatakan hal tersebut adalah bentuk upaya pembunuhan yang terencana. Sehingga harus dimaknai sebagai bukan peristiwa hukum biasa. Perlu penelitian lebih lanjut apakah betul pelaku itu mengalami gangguan jiwa sehingga sebagaimana kebiasaannya perkara ini dianggap selesai. 

Polisi harus tetap mengusut tuntas hingga meneruskannya pada pelimpahan perkara kepada pihak jaksa penuntut umum sembari meminta kepada pihak terkait, khususnya pihak kedokteran jiwa untuk memeriksa kondisi kejiwaan tersangka, apakah betul yang bersangkutan gila ataukah tidak. 

Polisi sebagai aparat penegak hukum harus berani mengusut tuntas dengan cara adil dan transparan untuk menghindari berbagai dugaan-dugaan yang akan semakin menguatkan persepsi masyarakat atas berbagai kejanggalan dalam peristiwa ini. 

Adapun terhadap pelaku yang saat ini diduga mengalami gangguan jiwa, polisi tidak memiliki kewenangan untuk secara mudah melepaskan pelaku tindak pidana dan menghentikan penyidikan. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. Mengadakan penghentian penyidikan;
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Terkait tugas penyidik mengadakan penghentian penyidikan, ada beberapa syarat untuk dilakukannya penghentian penyidikan sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:

1. Tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. 

2. Peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana.

3. Atau penyidikan dihentikan demi hukum.
Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena ne bis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.

Berdasarkan beberapa syarat penghentian penyidikan dapat kita ketahui bahwa penghentian penyidikan tidak dilakukan dalam hal pelaku tindak pidana ternyata mengalami gangguan kejiwaan. Dengan demikian, hal tersebut semakin menegaskan bahwa penyidik kepolisian tidak berwenang melepaskan pelaku tindak pidana yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, namun hakimlah yang berwenang untuk menentukan apakah pelaku mengalami gangguan kejiwaan berdasarkan bukti yang ada melalui pemeriksaan di pengadilan.


Strategi Umat Islam dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam Menangani Kasus Tindak Kekerasan Kepada Ulama dan Tokoh Islam sehingga Keamanan Masyarakat Dapat Terjamin

Ironis memang melihat sebuah realitas di dalam kehidupan sebuah negeri yang bermayoritaskan muslim namun jauh dari rasa keamanan, khususnya bagi para ulama yang jujur dan berani dalam menyampaikan kebenaran dan syi'ar Islam. Dengan keberadaan para pemimpin dan mayoritas warga negaranya yang beragama Islam, seharusnya keamanan dan kebebasan dalam menyampaikan syi'ar-syai'ar Islam dapat terjamin dengan sepenuhnya.

Namun fakta yang ada saat ini sungguh amat memprihatinkan dan sangat disayangkan. Saat Islam, ajaran, dan ulamanya sering kali menjadi objek sasaran kejahatan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Dari mulai berupa tuduhan-tuduhan keji hingga kekerasan secara fisik sering diarahkan ke pada Islam dan umatnya.

Sudah sepatutnya bagi umat untuk tidak berdiam diri atas realitas sebuah kedazliman ini. Cengkraman sistem sekuler liberalis dan kapitalis memang telah sedemikian rupa menjadikan Islam dan umatnya tertindas. Baik secara akidah, pemikiran, ekonomi, politik, bahkan secara fisik. 

Dengan kondisi yang demikian maka wajib untuk umat segera bangkit dan tersadar, mau sampai kapan hidup dalam cengkeraman sistem yang pada hakikatnya dihadirkan memang untuk memerangi Islam. Sehingga dengan kondisi seperti ini, mewajibkan umat Islam untuk tetap teguh dengan kebenaran. Senantiasa melakukan amar ma'ruf nahi mungkar seperti apa yang Rasulullah Saw ajarkan, walau dengan risiko besar.

Adapun produk hukum yang diterapkan hari ini dalam naungan demokrasi kapitalistik, secara nyata tidak mampu lagi diharapkan untuk memecahkan segala pemasalahan masyarakat dengan rasa nyaman dan berkeadilan. Hukum yang sejatinya memberikan jaminan keadilan dan perlindungan ke masyarakat, justru kerap menjadi wasilah dalam menindas rakyat. Sungguh terlihat bagaimana realitas bahwa, hukum kita sering tumpul ke atas namun begitu tajam ke rakyat lemah.

Sekalipun jika masih didapati para penegak hukum yang jujur namun tetap saja tidak mampu terhindar dari kejamnya birokrasi dan peraturan hukum yang sudah tersistematis. Supremasi hukum di dalam alam kapitalisme membuat masyarakat sangat rentan terhadap tindakan diskriminasi, baik sebagai korban maupun pelaku. Dan tidaklah heran ketika keberadaan aparat penegak hukum yang diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, menjadi kian langka keberadaannya.

Sungguh berbeda dengan hukum Islam, Islam yang sempurna dalam memancarkan nilai kebenaran dan keadilan di dalam penerapannya. Karena karakteristik dari penerapan hukum Islam, di dalam pelaksanaannya memberikan Efek Jera bagi orang yang berpotensi melakukan kejahatan melalui sistem sanksi yang dilaksanakan.

Pelaksanaan sistem Sanksi dalam Islam akan mampu menjadi solusi sekaligus penyelamat bagi kehidupan dunia dan akhirat yaitu pertama sebagai zawajir (pencegah kejahatan/maksiat) yaitu mencegah orang lain untuk berbuat kejahatan/maksiat yang serupa. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Dan dalam (hukum) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS. Al-Baqarah: 179).

Ibnu Abbas menafsirkan surat Albaqarah ayat 179 bahwa “Dan dalam (hukum) qishash/hukuman mati bagi pembunuh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, dan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal (orang-orang yang menggunakan akalnya), supaya kalian bertakwa (supaya kalian takut melakukan pembunuhan sebagian dari kalian atas sebagian yang lain).” (Ibn Abbas, Tanwir Miqbas I, hlm. 28)

Dan kedua sekaligus sebagai jawabir (penebus dosa) yang artinya karena pelaku kejahatan/maksiat sudah mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah akan menghapus dosanya dan meniadakan baginya sanksi di akhirat (siksa neraka), bahkan mendapat pahala, sebagaimana sabda Rasulullah saat mengomentari seorang wanita yang dirajam hingga mati karena mengaku berzina :“Sungguh dia telah bertaubat, seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencukupi mereka semuanya.” (HR. Muslim) (Abdurrahman al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 5)

Adapun terkait dengan kasus penyerangan kepada Syekh Ali Jaber sebagai ulama, dikategorikan pada kasus kriminal kejahatan, dengan sanksi Jinayat. Jinayat adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, akal, harta benda, pencideraan badan hingga dapat menghilangkan nyawa seseorang. Maka hukuman yang akan dijatuhkan pada pelakunya yaitu berupa hukum Qishash.

Namun, apabila korban dan keluarganya memaafkan maka hakim tidak bisa menjatuhkan sanksi namun pelakunya wajib dikenakan Diyat. Diyat adalah bentuk pembayaran harta sebagai kompensasi atas hilangnya nyawa atau pencideraan badan. Adapun untuk diyat hilangnya nyawa berupa 100 ekor Unta atau 1000 Dinar. Sedangkan untuk korban pencideraan badan disesuaikan dengan kerusakan fungsi organ atau jenis anggota badan yang ciderai.

Itulah bentuk atau potret jaminan keamanan yang dapat diberikan Islam. Namun tentunya hal tersebut akan tercipta pabila umat dan para pemimpin negeri ini bersedia menerapkan sistem Islam Khilafah Islamiyyah, yang menerapkan hukum-hukum terbaik yang bersumber dari Yang Maha Mulia. Yang senantiasa memberikan rasa aman dalam penjagaan hukum-hukum sang Maha Pencipta sebaik-baik penjaga semua makhluk dan umat manusia. Terlebih-lebih penjagaan terhadap para ulama yang kedudukannya sangat mulia.



Dari sejumlah uraian di atas, maka dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Banyaknya insiden penyerangan terhadap ulama ini, diduga kuat merupakan bentuk serangan dengan cara pengecut dari pihak-pihak pembenci Islam yang tidak menginginkan pabila Islam akan kembali bangkit, terutama jika Islam kembali berjaya dan mengambil alih kekuasaan dalam bidang politik atau ranah pemerintahan. Kegagalan intelektual dibalas dengan cara-cara keji melalui teror yang ditebarkan ke masyarakat. Terutama bagi ulama yang merupakan bagian terpenting dan menjadi garda terdepan dalam membangkitkan ghirah dan kesadaran umat Islam, adalah menjadi ancaman terbesar bagi pihak-pihak yang memusuhi Islam. Namun di sisi lain, bisa jadi merupakan "by designed" dalam merongrong kewibawaan pemerintah dengan menciptakan TEROR di tengah masyarakat yang sedang menghadapi pandemi covid-19. 

Kedua. Polisi harus tetap mengusut tuntas hingga meneruskannya pada pelimpahan perkara kepada pihak jaksa penuntut umum sembari meminta kepada pihak terkait, khususnya pihak kedokteran jiwa untuk memeriksa kondisi kejiwaan tersangka, apakah betul yang bersangkutan gila ataukah tidak. Polisi sebagai aparat penegak hukum harus berani mengusut tuntas dengan cara adil dan transparan untuk menghindari berbagai dugaan-dugaan yang akan semakin menguatkan persepsi masyarakat atas berbagai kejanggalan dalam peristiwa ini. Dampak penyematan "gila" pada pelaku kejahatan akan menyebabkan pengabaian bahkan pelecehan kasus serius dan akhirnya pengulangan kasus akan terus terjadi di masa yang akan datang.

Ketiga. Cengkraman sistem sekuler liberalis dan kapitalis memang telah sedemikian rupa menjadikan Islam dan umatnya tertindas. Baik secara akidah, pemikiran, ekonomi, politik, bahkan secara fisik. Dengan kondisi yang demikian maka wajib untuk umat segera bangkit dan tersadar, mau sampai kapan hidup dalam cengkeraman sistem yang pada hakikatnya dihadirkan memang untuk memerangi Islam. Produk hukum yang diterapkan hari ini dalam naungan demokrasi kapitalistik, secara nyata tidak mampu lagi diharapkan untuk memecahkan segala pemasalahan masyarakat dengan rasa nyaman dan berkeadilan. Maka sudah waktunya kita kembali kepada penerapan hukum Islam, yang sempurna dalam memancarkan nilai kebenaran dan keadilan di dalam penerapannya. Karena karakteristik dari penerapan hukum Islam, di dalam pelaksanaannya memberikan Efek Jera bagi orang yang berpotensi melakukan kejahatan melalui sistem sanksi yang dilaksanakan. Terlebih-lebih terhadap para ulama yang yang di dalam Islam kedudukannya sangat mulia dan wajib dijaga.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum.
(Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)


Posting Komentar

1 Komentar