Wabah melanda hampir di seluruh pelosok negeri. Kerumunan atau keramaian saat ini harus benar-benar dihindari. Apalagi kasus covid-19 yang semakin tinggi. Pandemi belum jua hendak pergi.
Upaya memutus rantai penyebaran salah satunya hindari kerumunan. Namun sayang, beda kerumunan beda perlakuan yang diberikan.
Kerumunan sekelompok aksi unjuk rasa di Solo, Jawa Tengah, saat peringatan Hari Tani pada Kamis (25/09/2020) dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian. Pembubaran tersebut disertai penangkapan peserta aksi karena alasan tidak berizin. Aksi itu dianggap menimbulkan kerumunan massa (Kompas.com, 25/09/2020).
Sementara itu, kerumunan dalam konser dangdut yang digelar pada Rabu (23/09/2020) malam justru dibiarkan aparat keamanan. Meski acara konser yang digelar oleh wakil ketua DPRD setempat tak berizin, kerumunan tak dibubarkan. Alasannya polisi tidak punya cukup kekuatan (Kompas.com, 25/09/2020).
Seharusnya apa pun bentuk kerumunan yang terjadi, aparat dan petugas harus membubarkannya demi memutus mata rantai penyebaran virus corona. Menghindari kerumunan adalah salah satu protokol kesehatan yang ada. Namun, pada faktanya banyak warga yang mengabaikannya. Terlebih lagi, razia tak diikuti sosialisasi maupun edukasi. Maka, warga bertebaran tanpa kekahwatiran akan virus corona yang mengintai.
Aktivitas di luar rumah para warga sudah terlihat seperti kondisi sebelum pandemi. Sedikit sekali warga yang menggunakan masker, cuci tangan dan menjaga jarak atau menghindari kerumunan. Parahnya, aparat membubarkan kerumunan masih melihat status sosial dan jabatan.
Kerumunan yang dibiarkan bebas menunjukkan betapa kerdilnya empati yang dimiliki. Selain itu, hal tersebut semakin menampakkan abainya negara pada keselamatan nyawa rakyat. Di tengah tingginya kasusu positif, kehidupan umum masih beraktivitas dengan bebas. Sementara patroli Prokes berjalan tak imbang dan terkesan tebang pilih, beda kerumunan, beda perlakuan.
Tebang pilihnya patroli dan razia kerumunan menunjukkan betapa asas kepentingan dan manfaat mendarah daging. Asas tersebut dimiliki oleh sistem kapitalisme yang diterapkan oleh negeri ini. Dimana kepentingan pejabat atau penguasa itu lebih utama dibanding kepentingan rakyat. Tak ada yang menafikkan bahwa permainan politik dalam sistem ini bermuara pada kekuasaan dan modal. Maka tatkala pejabat yang melakukan kerumunan, nyali aparat ciut untuk membubarkan.
Berbeda jauh dalam sistem Islam, Islam saat ada wabah melanda akan memberlakukan karantina wilayah total. Warga terdampak wabah tak boleh keluar wilayah, sementara warga dari luar tak boleh masuk.
Tak ada kerumunan di tengah kehidupan umum ataupun di kalangan tertentu. Semua warga di wilayah terdampak wabah akan diminta tinggal di rumah saja. Sementara kebutuhan pokoknya akan dipenuhi oleh kholifah sebagai kepala negara khilafah.
Alkes, APD, tim medis dan tim ahli akan disediakan dan dibiayai oleh khilafah guna memberikan fasilitas kesehatan. Warga yang sakit akan segera ditangani dan diisolasi. Warha yang sehat diberi penyuluhan agar terhindar dari wabah.
Kholifah juga akan menjaga suasana keimanan warga khilafah. Warga dimotivasi untuk bersabar dan ridlo atas qodlo Allah atas wabah yang melanda. Salah satunya warga diminta untuk menahan diri untuk tidak berkerumun.
Edukasi dan sosialisasi terkait protokol kesehatan akan digalakkan secara rutin. Jika masih ada kerumunan dalam kehidupan umum atau tempat khusus, maka petugas seperti surthoh atau qodhi hisbah akan menasehatinya, bahkan akan diberi sanksi jika mengulangi kembali.
Wallahu a'lam bish showab.[]
Oleh: Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
0 Komentar