Ulama yang Sufi Sekaligus Panglima Perang

Foto delapanenam.com

Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni (1626-1699 M)

Anda pernah mendengar di Cape Town, ibu kota Negara Afrika Selatan, ada kampung dan pantai indah yang bernama Macassar? Apakah hanya kebetulan sama atau ada kaitannya dengan Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan? 

Untuk mencari tahu jawabnya, tentu saja kita akan menemukan sosok ulama yang sufi sekaligus seorang panglima perang abad ke-17 yang dengan gagah berani melawan penjajahan Belanda yakni Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. 

foto: tribunnews.com


Yusuf Kecil

Yusuf kecil lahir di Istana Tallo pada 3 Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H, dari Puteri Gallarang Moncongloe di bawah pengawasan Sultan Gowa. Buah perkawinan Abdullah bin Abi Khayri al-Manjalawi dengan I Tubiani Sitti Aminah Daeng Kunjung. Orang tuanya termasuk kaum bangsawan. Ibunya memiliki hubungan darah dengan sultan-sultan Gowa, sedangkan ayahnya masih kerabat Sultan Alauddin. 

Gelar “Syekh” diperoleh menurut tradisi tasawwuf setelah ia mendapat izin dari gurunya di Damaskus yang bernama al-Syekh Abu al-Barokah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalawaty al-Quraisy, karena Syekh Yusuf memiliki kemampuan dan penguasaan dalam tarekat. 

Syekh Yusuf belajar bahasa Arab, ilmu fikih, dan ilmu-ilmu syariat lainnya pada padepokan Bontoala sebuah pondok pesantren yang didirikan ketika Gowa menerima Islam sebagai agama kerajaan yang kemudian merubahnya menjadi kesultanan Islam. Pondok ini diasuh oleh Syekh Sayyid Ba’ Alwi bin Abdullah al-Allamah Thahir sejak 1634, seorang Arab Qurais dari Mekah yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin.  

Di Makassar, Syekh Yusuf sejak kecil dibiasakan hidup menurut norma-norma agama. Kebiasaan yang dianut oleh masyarakat Islam ketika itu, termasuk Gowa dan Tallo misalnya kewajiban belajar Al-Qur’an sampai khatam. Setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran bahasa Arab, tauhid, fikih dan lain-lain. Tradisi itu juga dijalani oleh Syekh Yusuf.  

Saat sang guru menganggap pelajaran telah selesai, Syekh Yusuf yang kala itu berusia 18 tahun diberi pesan untuk melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke Mekah. Sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Syekh Yusuf mempersunting Sitti Daeng Nisanga.

Sebelum sampai ke Mekah, Syekh Yusuf, transit di berbagai Kesultanan dan menimba ilmu pada ulama-ulama terkemuka, seperti ke Banten, Aceh, Yaman dan Damaskus. Setelah itu barulah ke Mekah. Dalam perjalanan pulang ke Makassar menuntut ilmu dulu di Turki.  

foto: sulseltotravel.blogspot.com


Jadi Panglima Perang

Sebelum ke Makassar, Syekh Yusuf kembali ke Banten. Di Banten, Syekh Yusuf diterima dengan senang hati oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dinikahkan dengan putrinya sendiri yaitu Aminah. Sultan Ageng Tirtayasa mengangkatnya menjadi qadli (hakim) dan guru besar agama Islam serta guru besar tarekat sekaligus panglima perang. Sejak 1660, pasukan yang dipimpin oleh Syekh Yusuf berkali-kali memukul mundur pasukan Belanda.

Syekh Yusuf kembali ke tanah air tepat setelah terjadi perjanjian Bongaya antara VOC Belanda dan Makassar, dan perlawanan Sultan Gowa tidak lagi memiliki pengaruh yang berarti. Pada saat itu, Arung Palakka, Sultan Bone, memilih berpihak pada VOC Belanda di bawah Spelman, dari pada mendukung Sultan Hasanuddin dari Makassar.

Keadaan tersebut menyebabkan masyarakat kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi. Syekh Yusuf berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan menemui penguasa Gowa saat itu, yaitu Sultan Amir Hamzah (1669-1674), yang masih memiliki hubungan darah dengannya, untuk memberantas kemaksiatan. 

Namun Sultan tidak memenuhi keinginannya. Syekh Yusuf kembali ke Banten dengan perasaan kecewa. Sebelum meninggalkan Makassar, ia telah menyiapkan beberapa kader, termasuk Abdul Qadir Karaeng Majenneng dan Abdul Bashir Dharir, agar tetap melanjutkan dakwahnya.

Di Banten, Syekh Yusuf menjabat sebagai mufti selama 13 tahun. Berakhir setelah Belanda berhasil melakukan politik adu domba dan menghasut putra Sultan Ageng yakni Sultan Haji si Pendurhaka untuk berontak. Sultan Ageng ditawan Belanda hingga wafat  pada 1692 M.

Sejak hari pertama, Sultan Ageng ditawan, Syekh Yusuf melanjutkan peperangan dengan taktik perang gerilya bersama putra Sulten Ageng lainnya yakni Purbaya dan Kidul. Mereka membawa bala tentara menelusuri lembah dan ngarai yang terhampar antara Banten dan Cirebon guna mengacaukan pasukan musuh sambil membangun serangan.

Pertengahan tahun 1683, Belanda mengadakan pengejaran secara teratur dan berlangsung secara terus menerus, hingga Syekh Yusuf pun tertangkap. Syekh Yusuf bersama 49 pengikutnya termasuk kedua istri dan beberapa anaknya diasingkan ke Ceylon (sekarang Sri Lanka). 

Karena telah berada dalam pengasingan Belanda, maka sejak di Sri Lanka inilah secara praktis, Syeikh Yusuf tidak lagi dapat menjalani dan memimpin perjuangan fisik. Maka ia  pun mulai mencurahkan seluruh hidupnya untuk diabdikan dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam. Syeikh Yusuf  kemudian menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu dan Bugis. 

Dari pengasingannya, Syeikh Yusuf  aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Ceylon, di kalangan para penguasa, dan sultan-sultan di Nusantara. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syeikh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Di samping memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan.

Melihat Syekh Yusuf masih berpengaruh terhadap perjuangan perlawanan terhadap penjajahan, Belanda pun berang. Syekh Yusuf lalu dipindahkan ke tempat yang lebih jauh lagi yakni ke Tanjung Harapan atau Kaapstad (Cape Town sekarang) --- pulau yang menjorok ke laut di Selatan Afrika, tempat penjajah Belanda transit dalam membawa rempah-rempah hasil rampokannya dari Nusantara.

Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf beserta rombongan pengikutnya terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan menumpang kapal Voetboog. Syeikh Yusuf di tempatkan di Zandvliet, desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa berhubungan dengan orang-orang Nusantara yang telah datang lebih dahulu. 

Meski diasingkan, aktivitas dakwah tidak berhenti begitu saja. Ia bahkan semakin memantapkan pengajaran Islam kepada pengikut-pengikutnya. Ia juga mempengaruhi orang-orang buangan lainnya, yang kebanyakan berasal dari budak untuk melakukan perlawanan karena dalam Islam, mulia tidaknya seseorang bukan ditentukan oleh hitam atau putihnya warna kulit ---melainkan oleh keimanan dan ketakwaannya. 

Berselang lima tahun, atau pada 23 Mei 1699, sudah ratusan orang jadi mualaf, Syekh Yusuf meninggal dalam usia 73 tahun. Ia dimakamkan di tempat itu juga. Untuk mengenang jasanya, kampung yang berlokasi 35 kilometer dari pusat kota Cape Town, diubah oleh masyarakat setempat menjadi Macassar Downs dan pantainya diberi nama Macassar Beach. Dari Macassar Downs, Islam tersebar ke berbagai daerah di Afsel.

Atas permintaan Sultan Gowa, tahun 1705, jenazah Syekh Yusuf dipulangkan ke Makassar, dan dimakamkan di Lakiung, atau saat ini lebih dikenal dengan Ko'bang, yang berada di Jalan Syekh Yusuf, perbatasan Gowa dan Makassar. 

Bukan hanya dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional RI pada 1995, lelaki yang diakui Presiden Afrika Selatan pertama berkulit hitam Nelson Mandela  sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik' tersebut pun mendapatkan penghargaan bintang kelas satu _The Order of Supreme Companions of OR Tambo (Gold)_ dari pemerintah Afsel pada 2005.

Jadi, adakah kaitannya antara Macassar di Cape Town dengan Makassar di Sulsel? Anda sudah tahu jawabannya.[] 


Penerjemah: Riza Aulia
Penulis: Joko Prasetyo 
dari berbagai sumber

Dimuat pada rubrik SOSOK Tabloid Media Umat Edisi 184 (Pertengahan Januari 2017)

Posting Komentar

0 Komentar