Surat Tak Sampai (Sepenggal Kisah Hubungan Khilafah Utsmani dengan Muslim Hindia Belanda)

Foto: daylitelegraph.com.au


Setelah mengalami kegagalan dalam pengepungan Kota Vienna pada 1683, Khilafah Utsmani mengalami kemunduran. Kekalahan demi kekalahan terus menimpanya, sementara Eropa makin bangkit baik dari segi ekonomi, militer dan tentunya teknologi. 

Bangsa Eropa yang melihat realita musuh abadinya pun akhirnya tertawa terbahak-bahak dan menyematkan gelar ejekan untuk Khilafah Utsmani, yakni “orang sakit Eropa (de zieke man van Europa)”. 

Para sultan Utsmani yang terusik dengan ejekan itu, mencoba mengejar ketertinggalan. Namun bukan dengan jalan Islam mereka mencoba bangkit, melainkan dengan cara Eropa. Perlahan-lahan Khilafah Utsmani mulai mengganti gaya hidup mereka dengan gaya hidup Eropa, sampai mencapai puncaknya ketika Sultan Abdülmecid I mendeklarasikan era Tanzimat pada tahun 1839. 

Di era tersebut Khilafah Utsmani mulai memberlakukan sejumlah undang-undang Barat di sistem hukumnya. Utsmani telah mengambil “obat” yang akan meracuni tubuhnya sendiri.


Foto: permatafm.com


Secercah Harapan

Secercah harapan mulai bangkit kembali ketika Sultan Abdulaziz digantikan oleh keponakannya, Abdülhamid II (k. 1876-1908). Sultan Abdülhamid II berpaling dari pangkuan Barat dan mengakhiri era Tanzimat serta memegang kepercayaan kepada agama Islam sebagai jalan kebangkitan yang hakiki. 

Sultan Abdülhamid II berkomitmen untuk menjadi pelindung kaum Muslim di mana pun mereka berada. Kebijakan terbaru Khilafah ini berpengaruh kepada umat Islam di seluruh dunia untuk membangkitkan perlawanan terhadap penjajah dan menimbulkan kesewotan di kalangan Eropa, yang nantinya kebijakan Sultan Abdülhamid II ini disebut sebagai Pan-Islamisme oleh orang Eropa.

Khilafah membuka kantor kedutaan di Singapura pada 1864 dan di Batavia (sekarang Jakarta) pada 1883. Baik Inggris maupun Belanda sebenarnya amat keberatan dengan pembukaan konsulat Khilafah di wilayah jajahan mereka, karena dikhawatirkan para konsul Utsmani (Syahbandarhane) akan membangkitkan ---seperti yang dinyatakan Perdana Menteri Belanda Van de Putte kepada Menteri Luar Negeri Belanda Cremers--- “fanatisme yang penuh dendam dan mudah terbakar” di kalangan penduduk terjajah. 

Namun karena pihak Inggris dan Belanda sendiri juga ingin membuka kantor konsulat di Iskandariyah, Tunisia, Aleppo, dan Damaskus yang merupakah wilayah Khilafah, maka mau tak mau kedua negara penjajah ini juga mengizinkan Khilafah untuk membuka kantor konsulat di Singapura dan Batavia.

Benar saja, para konsul Utsmani di Singapura dan Batavia sangat membuat mendidih emosi para pejabat Belanda dan Inggris. Menurut Penasihat Urusan Pribumi dan Arab untuk Pemerintah Hindia Belanda Snouck Hurgronje, Pan-Islamisme yang disebar di negeri-negeri kaum Muslim yang berada di bawah kekuasaan Eropa sering merintangi hubungan bersahabat antara si penjajah dan yang dijajah. 

Jadilah, Pax-Neerlandica-nya Belanda (ketundukan serta ketaatan total dari penduduk tanah jajahan hanya untuk Raja Belanda) terintangi Pan-Islamisme-nya Sultan Abdülhamid II. 


Foto: turkiyenewspaper.com


Peduli

Galib Bey, konsul Utsmani pertama di Batavia, begitu peduli kepada para jamaah haji Jawa yang baru pulang dari Mekah dan menanyai mereka tentang perlakuan konsul Belanda di Jeddah, akomodasi di kapal, dan sebagainya. 

Galib Bey dan konsul-konsul setelahnya juga membagi-bagikan Al-Qur’an kepada penduduk setempat atas nama Khalifah dan mencetak buku-buku akidah berbahasa Melayu yang dicetak langsung di Konstantinopel. 

Salah satu kegiatan Galib Bey yang sering menimbulkan keresahan pejabat Batavia adalah agitasi Galib Bey kepada penduduk Pribumi dan Arab untuk melawan peraturan diskriminatif Belanda yang disebut Orang Timur Asing (vreemde oosterlingen); karena Belanda membagi ‘kasta’ penduduk Jawa menjadi tiga: kelas Eropa (Europeanen); kelas Timur Asing (vreemde oosterlingen) yakni orang-orang Arab, India, Cina; serta pribumi (inlander). Bahkan Galib Bey pernah mengunjungi Aceh dan melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Baiturrahman.

Mungkin konsul Utsmani yang paling menjengkelkan bagi Belanda di Batavia adalah Mehmed Kamil Bey, yang bertugas menggantikan Galib Bey dan bertugas dari November 1897 sampai Desember 1898. Kegiatannya selama di Batavia menyiratkan kesungguhannya untuk menanam perasaan anti-Belanda kepada kaum Muslimin di Hindia Belanda.
 
Koran berbahasa Inggris yang terbit di Singapura tertanggal 29 Desember 1898 merangkum sepak terjang perlawanan Kamil Bey: 

“Dia dengan mencolok tidak hadir dalam upacara penobatan Ratu (Belanda), seolah ingin menunjukkan kepada penduduk pribumi bahwa dia bisa bertindak merendahkan pemerintah Belanda”. 

Dia juga, “Diketahui menggoyahkan kesetiaan dua raja pribumi di Jawa Tengah dan mengirim surat kepada seorang raja di bawah kekuasaan Belanda di Borneo atau Sumatera (Deli) untuk mencoba mempengaruhi raja agar mengurangi kesetiaannya (kepada Belanda)…”

Mehmed Kamil Bey yang masih berusia 24 tahun ketika menjadi konsul Utsmani di Batavia ini juga berhasil menyekolahkan beberapa murid Jawi (Turki: Cavalı) di Konstantinopel. Bagi Belanda ini adalah suatu hal yang sangat mengerikan. 

Orang-orang Muslim Jawa dan Melayu yang belajar di Mekah memang mengerikan, tapi jika mereka belajar di Konstantinopel yang merupakan pusat gravitasi politik Khalifah tentu jauh lebih menyeramkan lagi. 

Seorang wartawan berhasil mewawancarai beberapa murid Jawi ketika mereka sampai di Port Said pada tanggal 13 Juli 1898, “Mereka tahu… bahwa Sultan lebih berkuasa dan lebih kaya dari pada ratu kita. Jika mereka pandai membawa diri, mereka bisa diangkat menjadi penghulu di istana Sultan dan kelak bisa kembali ke tanah air dengan kedudukan itu” (Nieuwu Rotterdamsche Courant, terbitan 5 Agustus 1898). 

Dalam koran yang sama diberitakan bahwa orang tua mereka telah menyampaikan terima kasih kepada Khalifah untuk kemurahan hatinya dan bahwa lebih banyak orang Melayu dan Jawa mengajukan permohonan agar anak-anak mereka bisa belajar di Konstantinopel. 

Ketika murid-murid Jawi pulang dari Konstantinopel dan berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, kedatangan mereka disambut oleh para pejabat tinggi Utsmani yang ada di Batavia. Para pemuda tersebut memakai pakaian khas Utsmani seperti tarbus, fez, dan lainnya. 

Para polisi kolonial yang sudah mengawasi kegiatan penjemputan mereka segera menciduk dan memaksa para pemuda tersebut untuk menanggalkan pakaian mereka “yang tidak sah” ini, bahkan mereka diancam dengan hukuman penjara.  


Snouck Hurgronje. Foto: intisari.grid.id



Tak Sampai

Pada Maret 1898, Snouck Hurgronje melaporkan kepada Gubernur Jenderal bahwa ia berhasil menyabotase surat menyurat antara Mehmed Kamil Bey dan Sultan Aceh yang baru Alauddin Muhammad Daud Syah. 

Dalam suratnya, Sultan Aceh Daud Syah memohon kepada Sultan Abdülhamid II untuk mengirimkan bala bantuan militer guna menghadapi kejahatan kafir Belanda, bahkan dirinya sampai mengancam Khalifah apabila permintaan tersebut diabaikan. 

Beliau menulis: “Hamba adalah salah seorang penguasa Islam dan semua rakyat hamba adalah kaum Muslimin yang beriman. Bagaimana mereka lalu dapat menerima bahwa rohaniawan-rohaniawan datang ke negeri mereka untuk mengajarkan agama Nasrani? Karena semua sebab itulah hamba sekarang bebas dari tanggung jawab dan menyerahkannya kepada Sri Baginda, Amir al-Mu’minin dan Khalifah Kaum Muslimin.” 

“Jika Sri Baginda tidak menolong hamba dan agama Islam, semua hal itu akan menimpa Sri Baginda pada Hari Kiamat dalam perjumpaan dengan Perantara orang-orang yang berdosa (yaitu Muhammad) dan ketika itu ia akan (menghilangkan) kecemerlangan Amir al-Mu’minin dari nama Sri Baginda. Sebab, Sri Baginda telah melalaikan kepentingan kaum Muslimin yang telah meringkuk di bawah tangan kaum penindas dan juga melalaikan agama Allah serta syariat Rasul-Nya SAW.” 

(Snouck Hurgronje, Nasihat-Nasihat, hal. 257, dengan sedikit perubahan beberapa istilah).

Sayang sekali, surat Sultan Aceh tersebut tidak pernah sampai ke tangan Sultan Abdülhamid II, melainkan jatuh ke tangan Snouck. Karena harapan yang ditunggu dari Khilafah tak kunjung datang, Sultan Aceh Muhammad Daud Syah mencari bantuan dari penguasa lain seperti kepada Kaisar Jepang yang pada 1905 baru saja memenangkan perang melawan Rusia.[]


Penulis: Nicko Pandawa
Editor: Joko Prasetyo

Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat Edisi 225 (Pertengahan Agustus 2018)

Posting Komentar

0 Komentar