Proyek Sertifikasi Dai: Islamofobia Berbalut Program Deradikalisasi




Dilansir dari gelora.co, Kamis (13/8/2020), Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa Kemenag pada tri wulan ketiga ini akan memiliki program dai bersertifikat dan telah dibahas bersama Wapres. Program tersebut bertujuan mencetak dai yang berdakwah di tengah masyarakat tentang Islam yang damai dan penuh toleran. Fachrul berharap, masjid tidak sekadar menjadi sarana menyebarkan iman dan takwa, tetapi juga menguatkan kerukunan bangsa.

Menengok kemunculannya, program sertifikasi dai dilontarkan oleh Fachrul pada akhir 2019 lalu. Program ini dibentuk guna menangkal gerakan radikalisme lewat mimbar masjid. Rencananya akan diterapkan mulai 2020 dan melibatkan ormas Islam yang ada di Indonesia. MUI telah memulai program tersebut pada November 2019. 

Wakil Menag Zainut Tauhid menjelaskan bahwa sertifikasi dai bersifat sukarela, tidak ada paksaan dalam proses pemberian sertifikat uji kompetensi penceramah tersebut. Tidak lantas diartikan yang tidak mengikuti sertifikasi ini tidak boleh ceramah. Menurut Zainut, apakah nanti di masjid atau di tempat majelis taklim mensyaratkan yang memberikan ceramah sudah bersertifikat atau tidak, itu lain hal.

Meskipun begitu, wacana sertifikasi dai telah memantik polemik publik. Salah satunya, mengundang reaksi keras dari tokoh agama Persaudaraan Alumni (PA) 212, seperti Novel Bamukmin. Kepada Suara.com, Jumat (14/8/2020), Novel kembali menegaskan bahwa sertifikasi dai hanya akan memicu kegaduhan dan keresahan di kalangan umat Islam, seperti yang berlangsung akhir 2019.

Novel menyebut, program sertifikasi penceramah ini sangat berbahaya karena berpotensi mengotak-kotakan para mubaligh. Bahkan bisa saling berhadap-hadapan dan mengadu-domba anak bangsa. Jika sudah teradu-domba, menurutnya, jelas ini adalah upaya adu domba neo PKI.

Bahkan Novel menilai kementerian ini perlu dirombak. Dia menyebut pimpinan kementerian ini telah gagal paham dengan ajaran agama Islam itu sendiri.  Pun diduga dibisiki oleh golongan orang yang berpaham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis) yang ingin merusak tatanan beragama demi kepentingan politik penguasa. Lantas, sertifikasi dai ini sejatinya hendak mewujudkan kerukunan bangsa atau justru bentuk adu domba?


Sertifikasi Dai, Program Anti Radikalisme Beraroma Islamofobia

Menengok kembali situasi perpolitikan yang memunculkan wacana sertifikasi dai, diduga kuat program ini sebagai bagian paket anti radikalisme yang merupakan prioritas kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama. Sejak awal menjabat, Menag Fachrul Razi mengemban tugas menangkal apa yang disebut dengan radikalisme dan intoleransi. Ia pun menyatakan siap melawan radikalisme dan mengaku paham betul dengan radikalisme sehingga yakin mampu menangkalnya. 

Kini, setelah berjalan sepuluh bulan sejak pengangkatan kabinet baru, program deradikalisasi masih terus digaungkan. Padahal  menurut Prof. Suteki, pakar hukum dan masyarakat, hingga kini jenis kelamin radikalisme tidak jelas. Suteki yang juga pemerhati isu-isu terkait radikalisme ini menilai bahwa nomenklatur radikalisme bersifat lentur dan obscure (kabur). Nomenklaturnya condong kepada istilah politik dibandingkan sebagai istilah hukum. 

War on Radicalism justru akan memakan korban orang-orang baik dan kritis yang distempeli radikal. Merujuk pendapat peneliti Belanda Beren Schot, ia menyatakan bahwa nomenklatur radikalisme yang digunakan pemerintah tidak tepat, bila digunakan untuk melabeli orang-orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Meski begitu, pemerintah melalui kementerian yang ditunjuk dan instansi terkait, terus menjalankan program ini. Tak tanggung-tanggung, deradikalisasi menyasar berbagai kalangan. Dari murid PAUD hingga civitas akademika di perguruan tinggi, aparatur sipil negara (ASN), emak-emak majelis taklim, hingga kalangan dai/muballigh.

Meskipun tak laku keras di pasaran, narasi radikalisme terus dijajakan. Ibarat jajanan basi, yang terus direproduksi dengan berbagai zat buatan:pewarna, perasa dan pengawet, lalu digoreng ulang dan dijajakan lagi. Sebagian masyarakat mulai tercerahkan bahwa radikalisme hanyalah propaganda tanpa fakta. Dan sebagiannya masih percaya “jampi-jampi rezim” ini, gagal paham dan mau dikelabui.

Menelisik keberadaannya, “War on Radicalism” tidak bisa dilepaskan dari agenda “War on Terorism.” Proyek anti radikalisme digulirkan setelah kegagalan Barat menghadang kebangkitan Islam politik dengan isu terorisme. Barat mendefinisikan radikalisme ke dalam interpretasi politis. Oleh Barat, radikalisme dimaknai: pertama, sebuah paham atau aliran radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial politik dengan cara kekerasan. Ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.

Barat terus melakukan pendekatan politis untuk membangun narasi dan interpretasi sesuai tujuan ideologinya. Ia sangat paham bahwa umat Islam memiliki kekuatan politik berupa sistem pemerintahan khilafah yang telah menyatukan umat Islam sedunia dan berpotensi menjadi negara adidaya masa depan. Pun Barat paham jika khilafah tegak, maka peradaban Barat akan hancur-lebur.

Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat untuk melumpuhkan kebangkitan Islam yang kian kuat. Barat melihat kebangkitan umat untuk kembali menegakkan khilafah menjadi ancaman paling mengerikan bagi mereka. Dimulai dari sinetron hancurnya gedung kembar WTC maka dibuatlah narasi radikalisme. Untuk memperkuat narasi ini, Barat membuat ‘hantu’ yang diberi nama ISIS. 

Selanjutnya, Barat mencoba berkonspirasi kepada negara-negara yang mau membebek kepada mereka. Dengan mengucurkan dana besar, negeri-negeri muslim yang mau dibodohi, menerima protek deradikalisasi Islam. Deradikalisasi Islam oleh Barat dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. 

Sebagaimana Fir’aun, Barat menjual ketakutan kepada masyarakat dunia akan bahaya radikalisme Islam ini. Dari sinilah muncul istilah islamofobia, yakni kelainan psikologi masyarakat dunia terhadap Islam. Mereka mengalami halusinasi, ketakutan yang berlebihan kepada Islam yang justru agama paling damai di dunia. Psikoabnormal islamofobia adalah kebodohan akut masyarakat modern yang katanya rasional.

Berbagai strategi direkayasa Barat untuk menghadang laju kebangkitan umat Islam yang kian kencang. Barat dibantu oleh banyak pihak, terutama kaum munafik, menjalankan proyek deradikalisasi maupun kontra radikalisasi. Barat menjalankan strategi politik busuk dengan menyematkan kata radikal kepada Islam dan kaum muslimin yang berseberangan dengan ideologi sekularisme kapitalis liberal. 

Strategi Barat di balik narasi radikalisme adalah pertama, sebagai upaya pecah-belah umat Islam antara kaum yang disebut radikal dengan kaum moderat. Kedua, sebagai upaya pendangkalan ajaran Islam. Jika ada muslim yang yakin kebenaran Islam dan ingin mewujudkannya secara kafah disebut kaum radikal. Ketiga, upaya menghadang kebangkitan Islam. Maka muslim yang mengajak umat bangkit untuk menerapkan syariah dan khilafah akan disebut radikal. Keempat, strategi politik Barat agar tetap bercokol dan melakukan hegemoni terhadap negeri-negeri muslim.

Selama ini pemerintah dengan kacamata subyektifnya beranggapan radikalisme secara dominan dipandang sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang. Tetapi di sisi lain, abai terhadap realitas gejala sosial dari meluasnya apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan dan beratnya tekanan kehidupan. 

Hal ini selaras dengan pendapat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Siti Zuhro yang menyebutkan bahwa permasalahan Indonesia bukanlah radikalisme. Menurutnya, pokok persoalan terjadinya gejolak yang terjadi belakangan ini adalah persoalan ketimpangan sosial akibat stagnasi perekonomian global yang serius. 

Situasi ini sejatinya berkorelasi dengan peran imperalisme global yang masih dikomandani Amerika Serikat. Jika berbagai faktor di atas berpadu dengan kezaliman global oleh dunia Barat terhadap dunia Islam dan diabaikan, maka berapapun anak negeri  yang ditembak mati karena alasan terorisme, berapapun yang ditangkap dan ditahan dengan tuduhan radikalisme, tak akan bisa memadamkan potensi lahirnya para ‘radikalis’ baru sang penuntut keadilan.

Demikianlah, program sertifikasi dai tak lepas dari proyek anti radikalisme yang digagas oleh Barat. Wujud islamofobia atas kebangkitan Islam politik yang kian hari kian nyata pergerakannya. 



Sertifikasi Dai, Mengebiri Fungsi Dai Sejati

Dilihat dari tujuannya, sekilas program sertifikat dai terlihat mulia. Dinyatakan bahwa program ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kompetensi penceramah dan agar dai benar-benar memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai serta memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.

Namun, bagi yang memperhatikan dan mendalami pola kebijakan rezim sejak diangkat setahun lalu, tujuan di atas tak lebih sebagai ‘abang-abang lambe’ (lip service). Beranjak dari berbagai wacana Kemenag yang sering menimbulkan polemik bahkan kegaduhan, berikut aneka kebijakan rezim melalui beberapa menterinya, bisa disimpulkan bahwa sertifikat dai tak lebih sebagai program deradikalisasi di kalangan ulama/dai/muballigh.

Terlebih lagi, pasca kasus Ahok, Aksi 212, hingga naiknya rezim kembali di tahun 2019, seolah terjadi polarisasi dai. Ada kalangan dai/ulama pendukung rezim yang dikenal sebagai dai moderat. Di sisi lainnya, terdapat kelompok dai yang berstempel radikal. Kelompok terakhir inilah tentu yang menjadi sasaran program ini. 

Kelompok dai ‘radikal’ cenderung kontra dengan berbagai kebijakan rezim dan berani memberi kritisi. Tak hanya itu, dai terkategori ini juga kerap mengajak umat Islam kembali pada penerapan Islam kafah melalui penegakan sistem politik Islam. Sebuah antitesa bagi sistem politik demokrasi sekuler saat ini. Inilah golongan dai yang keberadaannya sungguh ditakuti oleh rezim kaki tangan Barat. Rezim tentu beranggapan, sebelum efek dakwah dai ‘radikal’ meluas, maka eksistensinya harus segera dipadamkan melalui salah satunya program sertifikasi dai ini.

Wajar jika PA 212 menentang keras wacana sertifikasi dai. Secara tegas Novel Bamukmin mengkritisi hal ini sebagai wujud gagal pahamnya Kemenag terhadap ajaran agamanya sendiri akibat pengaruh golongan sepilis demi kepentingan politik penguasa. 

Bahkan Novel menduga, oknum penguasa ini berpihak kepada neo PKI dengan kasus masuknya RUU HIP yang ditolak berbagai kalangan umat Islam sehingga belum berhasil disahkan menjadi UU. Berikut ajuan RUU baru, RUU BPIP, yang harusnya BPIP dibubarkan karena ketua BPIP jelas menyerang Islam dengan pernyataan bahwa agama adalah musuh besar Pancasila. Menurutnya, BPIP ini satu paket bermasalah sama dengan Kemenag yang dengan ocehannya membuat gaduh dan meresahkan umat Islam.

Jika demikian, maka keberadaan program sertifikasi dai layak untuk dipertanyakan, bahkan pantas untuk ditolak. Mengingat jika dilaksanakan akan berdampak buruk, tak hanya bagi dai, juga terhadap kehidupan beragama umat Islam di negeri ini. 

Dampak buruk yang mungkin terjadi dari program sertifikasi dai yaitu:

1. Mengebiri fungsi dai sejati.

Dai adalah orang yang berdakwah, yaitu menyeru manusia pada kebaikan (Islam) dan mengajaknya agar menolak keburukan. Puncak keburukan adalah saat penguasa tidak menerapkan aturan Allah dalam mengatur urusan umat dalam seluruh aspek kehidupan, bahkan memberikan loyalitasnya kepada kaum yang memusuhi Allah dan ajaran-Nya. 

Dai bersertifikat akan cenderung mengiyakan arahan penguasa berkarakter buruk ini. Hilanglah ruh amar ma’ruf nahi mungkar dari dirinya. Jadilah dai yang terkebiri. Jauh dari hadits yang menjadi prinsip karakter para dai, yakni "sampaikanlah yang benar walaupun pahit" dan juga "sampaikanlah walau satu ayat."

Padahal hakikatnya keberadaan dai adalah oposisi dari penguasa yang akan selalu mengkritisi dan mengontrol jalannya kekuasaan agar tidak sewenang-wenang kepada rakyatnya dan juga tidak menyimpang dari agama. Seharusnya dai berdakwah tidak sesuai pesanan penguasa yang saat ini justru berpihak kepada asing-aseng, penista agama dan melakukan kriminalisasi ulama. 

2. Memproduksi ulama (dai) suu’ sebagai tukang stempel rezim.

Saat ulama (dai) telah terkebiri fungsinya maka akan mengantar pada posisi suu’ (buruk). Ulama suu’ yaitu ulama jahat yang menyampaikan dakwah dengan menyembunyikan kebenaran dan menyesatkan umat demi mendukung kekuasaan yang saat ini tidak berpihak kepada Islam. 

Terlebih jika keulamaanya justru dipergunakan sebagai stempel untuk melegitimasi kebijakan rezim zalim, jadilah ia sebagai umala’ (antek, kaki tangan penguasa). Tak hanya terkebiri, bahkan telah beralih fungsi. Fakta menunjukkan, bahkan sekelas kyai besar, saat meleburkan diri dalam kekuasaan sekuler, posisinya tak lebih sebagai komoditas politik. Atas nama agama tapi demi kekuasaan justru menindas ulama dan syiar Islam.

3. Terjadi pengkotak-kotakan dai dengan kategori moderat-radikal yang berpotensi adu domba keduanya.

Reaksi kalangan dai terhadap sertifikasi ulama pun terbelah. Sesuai tajuk program anti radikalisme dan penyebarluasan ajaran Islam moderat/toleran, sangat memungkinkan terjadi pengkotak-kotakkan dai sebagaimana yang terjadi pada umat Islam saat ini. Bagi dai bersertifikat akan dipandang sebagai dai moderat, dai toleran, dai perdamaian. Adapun dai yang tidak bersertifikat cenderung distempeli dai radikal, dai intoleran, dai fundamentalis.

Pecah-belah dai berpotensi pada terjadinya adu domba dan yang berujung pada konflik di antara kedua ‘kubu’ dai. Sementara dai biasanya memiliki jamaah/pengikut. Jika sampai terjadi konflik, maka akan meluas penyebarannya pada komunitas dan masyakarat. Hal ini tentu sangat merusak persatuan dan ukhuwah umat Islam.

4. Terjadi kegaduhan dan potensi konflik di tengah umat Islam.

Jika wacana sertifikasi dai tetap dipaksakan, jangan menyalahkan umat Islam yang menolak lalu melakukan perlawanan dengan memboikot, bahkan mengusir dai-dai bersertifikat. Pengusiran ulama-ulama suu' mungkin terjadi karena masjid dan musala yang ada di Indonesia adalah sebagian besar dari swadaya umat Islam yang membangunnya sehingga hak setiap pengurus masjid memboikot para dai bersertifikat, bahkan bisa jadi mengusirnya.

5. Semakin mengeksiskan rezim zalim dan sistem hidup sekularisme kapitalis liberal. 

Jika sertifikasi dai langgeng terlaksana, penguasa akan lebih leluasa mengarahkan dai sesuai kehendak politiknya. Tak ada lagi kontrol dan kritik terhadap penguasa saat ia tak memenuhi hak rakyat atau ketika penguasa tak menjalankan aturan Allah dalam mengelola urusan rakyat. Selanjutnya, sistem sekuler nan zalim pun tetap eksis sebagai panduan rezim mengatur negara. Kezaliman terus berlangsung, Islam dan umatnya kian terpinggirkan.

Jika keberadaan sertifikasi dai tidak memiliki urgensi bahkan kontraproduktif bagi penyebaran dakwah Islam kafah dan perjuangan umat menegakkan kalimat Allah, mengapa programnya harus diteruskan? 


Dai Lurus dan Handal Penggerak Dakwah Islam

Dalam dinamika sejarah perjuangan Islam, munculah banyak dai/ulama pemberani. Demi kebenaran, mereka berani mengkritik penguasa. Merekalah dai lurus yang tidak silau dengan iming-iming penguasa dan kepentingan dunia. Benar dikatakan benar. Salah dikatakan salah. Hadits Nabi Saw tentang keutamaan jihad di hadapan penguasa yang zalim dipegang teguh. Meski berbalas ketidaknyamanan, hidup di tahanan, penyiksaan, hingga syahid di tiang gantungan.  

Sejak awal era kenabian, Rasulullah Saw. sempat memverifikasi kepada Waraqah Naufal tentang tantangan yang akan ia hadapi ketika membawa kebenaran Islam. Saat itu beliau bersabda, “Tidak ada seorangpun yang datang membawa kebenaran seperti yang kamu bawa, melainkan pasti dimusuhi.” (HR. Bukhari). 

Adapun menurut Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani, ulama (dai) yang baik sedikitnya memiliki ciri-ciri:

1. Iman yang kokoh, takwa utuh, jiwa istiqomah dan tulus ikhlas.

2. Mempunyai sifat kerasulan (shiddiq, amanah, fathonah, tabligh).

3. Faqih fiddin sampai rashikhuna fil ‘ilmi.

4. Mengenal situasi dan kondisi masyarakat.

5. Mengabdikan seluruh hidupnya untuk perjuangan menegakkan ajaran Allah.

Dai yang berhak menyandang keutamaan seperti di atas, adalah yang menerapkan ilmunya dan berani  mengatakan yang haq. Tidak takut dalam memperjuangkan agama Allah dan tidak peduli terhadap orang yang mencercanya. Mereka senantiasa melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar. Inilah kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh dai sejati.

Dai sejati tentu lahir dari proses panjang yang bisa jadi sangat melelahkan. Tak bisa hadir instan hanya dengan selembar sertifikasi. Terlebih lagi, sertifikasi yang dikeluarkan oleh penguasa berdasar syahwat politiknya. Bukan demi kemashlahatan umat yang dipimpinnya.  

Agar terlahir dai lurus sesuai arahan Allah Swt dan Rasul-Nya – bukan kehendak penguasa – juga handal dalam menyebarluaskan dakwah Islam, dibutuhkan sinergi berbagai elemen yaitu: 

1. Keluarga.

Keluarga merupakan madrasah pertama dan utama. Bagi muslim, keluarga juga berfungsi sebagai tempat kaderisasi pejuang dan dai. Maka, keluarga bertugas mewarnai putra-putri dengan pendidikan islami, menyiapkan, mendorong dan melatihnya menjadi dai untuk menyampaikan ilmu Islam yang dimiliki kepada lingkungan sekitar dan masyarakat.

2. Ormas Islam.

Merupakan salah satu elemen yang diharapkan turut mencetak dai sebagai pembina umat melalui aktivitas kajian dan sarana pembinaan lainnya. Ormas Islam idealnya menyatu dengan umat, hidup bersama umat dan menjadi mata hati umat. Dai yang muncul dari ormas Islam pun diharapkan menjiwai hal yang demikian. 

3. Pondok pesantren (ponpes).

Di antara elemen lainnya,  ponpes berperan paling aktif dalam melahirkan dai. Di sinilah kawah candradimuka para dai. Secara terstruktur dan terarah dengan intensitas belajar lebih lama, putra-putri kaum muslimin dididik dengan pengetahuan dan akhlak Islam, pun ditempa dengan berbagai cara dan sarana. Agar kelak  tumbuh dai-daiyah mumpuni yang siap terjun dan berinteraksi di tengah masyarakat.

4. Masjid.

Sebagai elemen pembinaan umat, masjid juga berkewajiban melahirkan para dai. Melalui komunitas remaja masjid atau dengan menggelar berbagai pelatihan dai, berharap sosok dai lahir dari rumah Allah tersebut. 

5. Kampus.

Kampus merupakan tempat menyemai benih intelektualitas agar daya pikir dan karakter kepribadian tumbuh optimal. Apalagi kampus yang menyebut diri sebagai kampus Islam, selayaknya memiliki misi mencetak dai yang berintelektual, sholih dan kritis terhadap setiap penyelewengan dan tindakan kesewenangan yang kerap dipertontonkan. 

6. Negara.

Negara memfasilitasi lahirnya dai-dai handal, baik dengan kebijakan maupun sarana prasarana.

Menjadi tugas negara untuk memberikan fasilitas ini karena keberadaan dai berkualitas akan berkontribusi bagi terwujudnya kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang baik.

Namun, di tengah keberadaan penguasa yang tunduk pada kepentingan asing, kaum yang justru memusuhi ajaran Islam dan kaum muslimin, idealitas seperti gambaran di atas sulit terjadi. Sinergitas berbagai elemen hanya akan terwujud sempurna manakala sistem kehidupan Islam telah nyata tegaknya. 

Berikut strategi yang musti dilakukan menuju pada kondisi ideal tersebut: 

Pertama. Dai yang hari ini masih memiliki komitmen kuat terhadap Islam, bersama kaum muslimin bahu-membahu mewujudkan kehidupan islami. Ia  harus mengingatkan umat akan kewajibannya sebagai muslim untuk mewujudkan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. 

Dengan dakwah, ulama (dai) membina umat dengan pembinaan terarah atau mengarah kepada tujuan yang dimaksud. Ini adalah semulia-mulia perjuangan. Demikian pula, keluarga dan elemen Islam lainnya berupaya seoptimal mungkin menjalankan fungsi di tengah keterbatasan situasi hari ini. 

Kedua. Jika kehidupan islami terbentuk, tugas dai berikutya ialah menasihati, mengingatkan, mengoreksi penguasa serta umat secara umum agar senantiasa berjalan dalam rel Islam dan melaksanakan hukum Islam.  

Demikian hal-hal yang musti dilakukan demi melahirkan dai lurus dan handal yang istiqomah melakukan amar maruf nahi mungkar. Semoga kian banyak dai sejati lahir di negeri ini.[]



Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponogoro

PUSTAKA

Strategi Politik Busuk di Balik Narasi Radikalisme, Ahmad Sastra, muslimahnews.com, 16 Oktober 2019

Posting Komentar

0 Komentar