Persekusi: Pertanda Penegakan Hukum Belum Merdeka



Dalam beberapa terakhir ini publik dibuat gaduh oleh satu kejadian yang tidak pantas dilakukan oleh oknum pengurus dan anggota ormas Gerakan Pemuda (GP) Ansor Bangil yang bisa dikatakan melakukan persekusi terhadap beberapa aktivis dakwah pengikut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan karena disebut melakukan penghinaan terhadap ormas dan ulama NU di media sosial.

Mereka mendatangi rumah AH terduga pelaku penghinaan, Kamis (20/8) siang. Begitu tiba di rumah AH, Ketua GP Ansor Bangil Saad Muafi langsung bertindak layaknya aparat penegak hukum, melakukan interogasi bahkan dengan nada intimidasi. Melakukan sejumlah ancaman dengan membawa anggotanya berseragam lengkap loreng, mendatangi rumah AH sebagai warga negara tanpa mengindahkan aturan dan tata krama yang seharusnya.

Yang mengherankan, dalam video interograsi dan tindakan yang terkategori 'persekusi' tersebut, terlihat ada aparat kepolisian yang hanya nampak diam saja seolah berada dibawah kendali Muafi ketua GP Ansor itu. Bahkan, Muafi dalam video yang beredar juga menyerahkan sejumlah barang yang dianggapnya sebagai 'Bukti Kejahatan' kepada aparat penegak hukum (Polisi) yang hadir.

Dalam video terpisah, Muafi dan rombongannya juga mendatangi Kiyai Zainulloh Muslim dengan cara yang serupa tanpa adab dan tata krama, ia memaksa agar Kiyai Zainulloh Muslim yang dianggap telah menyebarkan ajaran Khilafah juga diproses secara hukum.

Miris, di dalam video-video itu nampak terlihat jelas bagaimana Muafi bersama rombongan anggotanya dari suatu ormas itu tampak arogan dan bersikap berlebihan tanpa prosedur, dan sopan santun maupun argumentasi yang benar selain dengan membentak-bentak dan mengintimidasi anggota masyarakat yang belum terbukti salah dan mengancam akan membawa persoalan tersebut ke jalur hukum. 

Dari sana terlihat jelas bahwa Muafi dan anggotanya telah melakukan tindakan yang mengambil alih peran dan fungsi penegak hukum di luar wewenangnya sebagai Ketua Ormas, padahal hal itu dilarang oleh UU Ormas (UU Nomor 17 Tahun 2013).


Tindakan Persekusi oleh Ormas Marak Terjadi di Negara Hukum yang Demokratis

Apa itu persekusi(persecution)? Secara umum, arti persekusi adalah suatu perlakuan buruk dan sewenang-wenang yang dilakukan secara sistematis oleh individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau golongan lain dengan cara memburu, mempersusah, dan menganiaya, karena perbedaan suku, agama, atau pandangan politik. Ada juga yang mengatakan bahwa pengertian persekusi adalah suatu sikap/ tindakan permusuhan, pemburuan, dan penganiayaan terhadap seseorang atau golongan tertentu, terutama karena ras, agama, dan keyakinan politik.

Ironisnya, di Negara Demokrasi kita hari ini banyak sekali ditemukan tindakan persekusi baik dilakukan oleh seseorang, lembaga ataupun kelompok kepada individu maupun kelompok juga. Demokrasi yang dimaknai sebagai kebebasan berkumpul dan berpendapat semakin tidak terlaksana dengan benar seperti apa yang menjadi prinsipnya. 

Yang lebih memprihatinkan ketika tindakan persekusi ini kerap dan lebih tampak menyasar individu atau ormas-ormas Islam yang berseberangan dengan logika dan kemauan rezim yang berkuasa. Tindakan persekusi yang sewenang-wenang tanpa melalui prosedur hukum yang telah dibuat dan disepakati dalam negara demokrasi itu sendiri.

Seakan rezim lupa bahwa ada prasarana formal yang dapat dipakai untuk menyelesaikan semua perkara hukum yang dihadapi masyarakat yakni due process of law sebagai karakter adanya negara hukum Indonesia. Namun faktanya sering kita mendengar beberapa kasus lynch, yaitu main hakim sendiri sebagai short cut terhadap due process of law.

Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting dalam bahasa Belanda) atau dalam Bahasa Indonesia saat ini umumnya disamakan dengan persekusi, memiliki arti dalam KBBI sebagai “pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”. Hal yang paling penting dari definisi perbuatan ini adalah, perbuatan pemburuan tersebut dilakukan tanpa dilandasi kewenangan hukum yang ada, dan lebih mengutamakan emosi belaka. 

Hal tersebut relevan dengan apa yang yang dilakukan oleh satu ormas pada  ilustrasi pengantar, ormas yang tidak memiliki wewenang atau kapasitas sebagai penegak hukum bertindak secara arogan dan semena-mena terhadap hak azasi dan kebebasan berpendapat warga negara, dalam hal ini kebebasan berpendapat para aktivis dakwah yang mendapat tindakan persekusi oleh Ormas GP Ansor dan Banser.

Hal demikian menjelaskan kepada kita bahwa banyaknya tindakan persekusi kepada aktivis oleh ormas itu pertanda bahwa penegakan hukum kita belum merdeka karena proses penegakan hukum kita masih diinfiltrasi oleh pihak yang tidak berwenang. Seharusnya hanya pihak aparat penegak hukum yang boleh melakukan penahanan, pemaksaan, atau mengurangi kebebasan seseorang. Ormas dilarang untuk melakukan persekusi sesuai dengan Pasal 59 ayat 3 huruf d UU Ormas. 

Persoalan semakin pelik ketika hal demikian justru diapresiasi oleh pemerintah melalui kementerian agama yang menyatakan apresiasinya dan mengategorikan sebagai perbuatan yang layak dicontoh oleh publik. Secara nalar tentu hal tersebut menjungkirbalikkan logika berpikir sehat kita. Walau secara kasat mata hal tersebut terlihat jelas menyalahi prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana yang tertera dalam salah satu butir pancasila dan melanggar aturan UU Ormas, namun rupanya pemerintah dengan kekuatan dan kekuasaannya seakan tidak mampu objektif dan mempunyai standar tersendiri dalam menentukan baik-buruk suatu tindakan atau perbuatan warga negaranya.

Alhasil hingga kini keberadaan ormas-ormas yang sewenang-wenang bertindak di luar hak dan kapasitasnya kian menjadi-jadi dalam mempersekusi orang atau kelompok yang konsisten dalam menyampaikan aspirasi maupun kebenaran karena merasa mendapat dukungan dari pemerintah yang berkuasa. Keberadaan para penegak hukum seperti Kepolisian dan Pengadilan seakan hanyalah hiasan dan alat pemerintah untuk menumpas orang atau individu-individu yang berseberangan dengan penguasa saja.

Di sisi lain keberadaan ormas-ormas Islam konsisten dengan aktivitas membina dan mencerdaskan masyarakat dengan Islam sebagai bentuk kecintaan sejati pada negeri ini justru kerap dipersekusi dan mendapat perlakuan bak anak tiri. Difitnah anti pancasila, radikal dan anti kebenekaan. Nilai-nilai Islam yang justru menjadi inspirasi lahirnya pancasila justru menjadi sasaran persekusi oleh penguasa.


Dampak Persekusi oleh Ormas Terhadap Kemerdekaan Aparat dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Masyarakat Indonesia masa kini memang sedang dalam proses belajar, belajar memahami hukum yang berlaku. Hal ini sebenarnya adalah suatu keanehan, mengingat bahwa hukum itu diambil dari perilaku dan pemikiran masyarakat itu sendiri, dan seharusnya masyarakat tahu apa itu dan bagaimana berperilaku sesuai koridor hukum yang ada.

Terlepas dari itu, hukum sekarang berubah dari substansi keadilan dan hidup berkeadilan menjadi teks, skema, kebahasaan, sehingga kita berhadapan dengan substansi pengganti, bukan lagi substansi keadilan yang asli. Kita dipaksa untuk berhukum dengan menggunakan akal sehat, pemahaman sebuah teks hukum yang ada, dan pemaknaan-pemaknaan suatu hal.

Secara konstitusional seharusnya pemerintahlah yang bertanggungjawab terhadap bagaimana kondisi penerapan hukum untuk mencapai tujuan negara, karena penegakan hukum menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan darinya. Untuk itu, sudah seharusnya pula negara tanggap terhadap tindakan-tindakan yang terkategori penyimpangan penegakkan hukum, seperti halnya pengambil alih tindakan hukum kepada warga negara oleh ormas yang di luar wewenang dan kapasitasnya.

Hal tersebut juga didukung oleh kondisi kinerja para penegak hukum hari ini yang terkesan tidak menjalankan tanggung jawab sebagaimana semestinya, nampak sejumlah status jabatan sebagai penegak hukum dimanfaatkan untuk merekayasa perbuatan sehingga mendapatkan pembenaran, oknum penegak hukum tidak sepenuhnya memperjuangkan kebenaran dan keadilan, dengan fakta tersebut sudak cukup dijadikan alasan untuk menyebut penegakan hukum belum berada pada titik kemerdekaan. Penegakan hukum masih berada di bawah kekuasaan kepuasan oknum yang tidak pernah merasa kenyang dengan hakikat eksistensi atau keberadaannya sebagai pelindung masyarakat dan negara.

Bila hal demikian terus dibiarkan maka akan menurunkan maruwah para penegak hukum yang sebenarnya dan juga  berpotensi semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum yang berwenang maupun ke negara sendiri sehingga akan semakin menyuburkan fenomena eigenrichting ataupun aksi persekusi baik oleh ormas, individu maupun kelompok masyarakat yang mengambil alih fungsi para penegak hukum.

Tindakan dari kelompok masyarakat yang menyelesaikan persoalan dengan caranya sendiri akan kian tak terkendali karena dari rasa tidak hadirnya negara maupun penegak hukum sebagai alasan utamanya, padahal bukankah membangun dan menjaga kepercayaan rakyat merupakan suatu pencapaian tersendiri bagi para penegak hukum dan pemerintah. Akan tetapi ketika rakyat menaruh kepercayaan kepada keduanya, kemerdekaan kewewenangan para aparat penegak hukum dapat berjalan dan dirasakan sehingga rakyatpun dapat dengan mudah mengikuti petunjuk dan peraturan yang berlandaskan pada rasionalitas antara metode pencapaian dengan perwujudan suatu tujuan.


Strategi Penegakkan Hukum yang Dapat Meminimalkan Tindakan Persekusi oleh Ormas

Menurut Fritjof Capra, sekarang ini kita hidup dalam suatu masa turning point. Ketidakmampuan kita untuk kembali melihat kehidupan manusia dengan pandangan yang utuh, menurut Capra, menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual manusia. Orang tidak bisa lagi memusatkan perhatian pada satu objek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan membiarkan objek tersebut bersatu dengan lingkungannya.

Adanya kegiatan yang dilakukan oleh ormas tertentu dalam video ("persekusi" terhadap para aktivis dan ustadz yang dituduh anggota HTI di Pasuruan Jawa Timur) termasuk ke dalam tindakan persekusi. Tidak ada hak Ormas apa pun melakukan kegiatan sweeping apalagi melakukan "persekusi", ancaman, pembatasan kemerdekaan terhadap kelompok orang atau orang lain. Jika ada ormas yang melakukan   kegiatan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh penegak hukum, maka ormas itu dapat dibubarkan.

Berikut isi pasal 59 di Perppu No. 2/2017 yang telah disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Pasal 59 ayat 3 disebutkan bahwa:

(3) Ormas dilarang:

a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau

d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah juga hendaklah menjelaskan larangan soal 'melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan' di pasal 59 ayat 3 huruf d. Adapun berikut penjelasannya:

Yang dimaksud dengan "kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum" adalah tindakan penangkapan, penahanan dan membatasi kebebasan bergerak seseorang karena latar belakang etnis, agama dan kebangsaan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 60 ayat 2 disebutkan bahwa:

Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan atau sanksi pidana.

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (2) berupa:

a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh menteri; atau

b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.

Negara kita ini negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945) bukan negara kekuasaan apalagi negara ormas. Seharusnya kita semua melek hukum, bukan makin buta hukum sehingga tidak mau menghormati hukum yang telah ditetapkan. Jangan berlaku dan bermain hakim sendiri. Para aparat penegak hukum juga harus memahami UU Ormas dan yang lainnya sehingga tidak terkesan melakukan pembiaran adanya tindakan melanggar hukum oleh orang atau kelompok orang. Tampaknya, di hari kemerdekaan RI ke 75 ini kita tidak makin dewasa tetapi makin kekanak-kanakan lantaran tidak mau menghormati hukum yang berlaku. Sebenarnya kita ini sedang berada di negara apa?

Terlepas demikian, juga sudah seharusnya negara maupun penegak hukum di negeri ini kembali mengingat suatu hal bahwa pemahaman terhadap penegakan hukum yang mengutamakan kebenaran dan keadilan haruslah menjadi pondasi utama. Perlu kiranya membangun kepercayaan kembali dalam diri keduanya bahwa perjuangan penegakan hukum merupakan perjuangan yang mulia, tidak hanya berorientasi pada kepentingan dan materi yang sementara, melainkan membangun kokohnya sebuah bangsa agar tercapainya tujuan menjadi negara yang makmur, dan tegaknya kebenaran dan keadilan di dalamnya. 

Status jabatan yang ada pada diri haruslah disadari adalah sebagai sebuah amanah mulia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, begitupun dengan segala konsekuensi-kosekuensinya sebagai penegak hukum seharusnya sudah disadari sejak awal, sehingga tidak lagi memanfaatkan status jabatan sebagai legitimasi perbuatan yang melanggar aturan yang justru menyimpang dari tujuan perwujudan tegaknya kebenaran dan keadilan. Sehingga kemerdekaan penegakan hukum dapat diraih. Tidak lagi menjadi harapan yang utopis bagi kehidupan bangsa ini.

Dari sejumlah uraian di atas maka kami ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Banyaknya tindakan persekusi kepada aktivis oleh ormas itu pertanda bahwa penegakan hukum kita belum merdeka karena proses penegakan hukum kita masih diinfiltrasi oleh pihak yang tidak berwenang yang bertentangan dengan pasal 59 ayat 3 huruf d UU Ormas. Seharusnya hanya pihak aparat penegak hukum yang boleh melakukan penahanan, pemaksaan, atau mengurangi kebebasan seseorang.

Kedua. Adapun dampak pabila tindakan Persekusi oleh Ormas ini terus dibiarkan, maka akan menurunkan maruwah para penegak hukum yang sebenarnya dan juga  berpotensi semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada para penegak hukum yang berwenang maupun ke negara sendiri sehingga akan semakin menyuburkan fenomena eigenrichting ataupun aksi persekusi baik oleh ormas, individu maupun kelompok masyarakat yang mengambil alih fungsi para penegak hukum.

Ketiga. Strategi penegakan hukum yang bisa dilakukan agar dapat meminimalkan tindakan persekusi oleh ormas adalah dengan memberi sanksi terhadap Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan atau sanksi pidana.

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 60 ayat (2) berupa:

a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh menteri; atau

b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.



Oleh: Prof. Dr. Suteki SH. M. Hum
(Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)

Posting Komentar

0 Komentar