Menelusuri Jejak Khilafah di Nusantara (bagian keempat)

Pelajar Jawi di Konstantinopel, dua bersaudara Ahmad dan Sa’id bin Abdurrahman bin Abdullah Ba Junayd dari Buitenzorg (Bogor). (Sumber: Laman Facebook Ottoman Imperial Archive, 19 Februari 2017)



Pasang Surut Khilafah Utsmaniyah

Sepanjang abad ke-16 dan 17, Khilafah Utsmaniyah mencapai puncak kekuasaannya di bawah pemerintahan Suleiman Al-Qanuni. Khilafah Utsmaniyah adalah salah satu negara terkuat di dunia, negara adidaya multinasional dan multibahasa yang mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat atau Kaukasus, Afrika Utara, dan Tanduk Afrika.

Pada awal abad ke-17, Khilafah Utsmani terdiri dari 32 provinsi dan sejumlah daerah taklukan, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam wilayah Khilafah, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi dalam kurun beberapa abad.

Khilafah Utsmani juga menguasai daerah di seberang laut melalui deklarasi kesetiaan kepada Sultan dan Khalifah Utsmaniyah, seperti deklarasi oleh Sultan Aceh tahun 1565, atau pengambilalihan pulau-pulau seperti Lanzarote di Samudra Atlantik tahun 1585.

Dengan Konstantinopel sebagai ibu kotanya dan kekuasaannya atas wilayah yang luas di sekitar cekungan Mediterania, Khilafah Utsmaniyah menjadi pusat interaksi antara dunia Timur dan Barat selama lebih dari enam abad. 

Harus diakui, Khilafah Utsmaniyyah telah mengalami kemunduran setelah ia mengalami kegagalan dalam pengepungan kota Vienna tahun 1683. 

Kekalahan demi kekalahan terus menimpanya, sementara Eropa makin bangkit baik dari segi ekonomi, militer, dan tentunya teknologi. Para Sultan Utsmani sudah tidak lagi menghela kudanya untuk berjihad di negeri orang, melainkan hanya duduk di taman yang penuh bunga tulip untuk bersenang-senang. Bangsa Eropa yang melihat realita musuh abadinya pun akhirnya tertawa terbahak-bahak dan menyematkan gelar ejekan untuk Khilafah Utsmani, yakni “orang sakit Eropa” (the sick man of Europe/de zieke man van Europa). 

Para sultan Utsmani yang terusik dengan ejekan itu, mencoba mengejar ketertinggalan mereka. Namun bukan dengan jalan Islam mereka mencoba bangkit, melainkan dengan cara Eropa. Perlahan-lahan Khilafah Utsmaniyyah mulai mengganti gaya hidup mereka dengan gaya hidup Eropa, sampai mencapai puncaknya ketika Sultan Abdülmecid I mendeklarasikan era Tanzimat pada tahun 1839, era dimana Khilafah mulai memberlakukan sejumlah undang-undang Barat di sistem hukumnya. Utsmaniyyah telah mengambil “obat” yang akan meracuni tubuhnya sendiri.

Meski demikian, pengaruh Khilafah Islamiyyah tetap tidak bisa hilang begitu saja dari benak umat. Kaum Muslim di dunia Melayu yang dalam tekanan penjajahan Inggris dan Belanda, Khilafah Utsmaniyyah senantiasa menjadi “tempat perlindungan bagi para pencari kebaikan dan tempat kemurahan yang tidak akan kecewa orang yang mendatanginya.”

Walau kenyataannya, pada kasus Aceh, Jambi, dan beberapa penguasa Muslim lain di Melayu yang selalu mengirim surat permohonan bantuan kepada Khilafah, bantuan secara resmi yang diinginkan hampir tidak pernah tersampaikan. Karena Khilafah sendiri di pusatnya di Konstantinopel sudah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan Barat. Tapi tetap saja, sebagaimana perkataan orang-orang Aceh kepada seorang pedagang Prancis pada tahun 1875, bahwa banyak pemimpin mereka telah memutuskan untuk tidak pernah berhenti berperang sampai Khalifah turun tangan untuk menyelesaikannya.

Secercah harapan mulai bangkit kembali ketika Sultan Abdulaziz digantikan oleh keponakannya, Abdülhamid II (k. 1876-1908). Sultan Abdülhamid II berpaling dari pangkuan Barat dan mengakhiri era Tanzimat serta memegang kepercayaan kepada agama Islam sebagai jalan kebangkitan yang hakiki. Sultan Abdülhamid II berkomitmen untuk menjadi pelindung kaum Muslim dimanapun mereka berada. Kebijakan terbaru Khilafah ini berpengaruh kepada umat Islam di seluruh dunia untuk membangkitkan perlawanan terhadap penjajah dan menimbulkan kesewotan di kalangan Eropa. Kebijakan Sultan Abdülhamid II ini selanjutnya disebut sebagai Pan-Islamisme oleh orang Eropa.


Kantor Konsulat Khilafah di Singapura dan Batavia

Khilafah membuka kantor kedutaan di Singapura pada 1864 dan di Batavia pada 1883. Tentu saja hal ini membuat Inggris dan Belanda keberatan dengan pembukaan konsulat Khilafah di wilayah jajahan mereka, karena dikhawatirkan para konsul Utsmani (Syahbandarhane) akan membangkitkan “fanatisme yang penuh dendam dan mudah terbakar” di kalangan penduduk terjajah.

Namun karena Inggris dan Belanda sendiri juga ingin membuka kantor konsulat di Iskandariyah, Tunisia, Aleppo, dan Damaskus yang merupakah wilayah Khilafah, maka mau tak mau kedua negara penjajah ini juga mengizinkan Khilafah untuk membuka kantor konsulat di Singapura dan Batavia.

Terbukti, para konsul Utsmani di Singapura dan Batavia sangat membuat mendidih emosi para pejabat Belanda dan Inggris. Belanda khususnya, memandang Pan-Islamisme yang diusung oleh Sultan Abdülhamid II dan para konsulnya di Batavia sebagai sesuatu yang “hanya dapat menimbulkan kekacauan dan kerusuhan.” 

Menurut Snouck Hurgronje, Pan-Islamisme yang disebar di negeri-negeri kaum Muslim yang berada di bawah kekuasaan Eropa sering merintangi hubungan "persahabatan" antara si penjajah dan yang dijajah. Jadilah, Pax-Neerlandica-nya Belanda terintangi Pan-Islamisme-nya Sultan Abdülhamid II.

Galib Bey, konsul Utsmani pertama di Batavia, begitu peduli kepada para jamaah haji Jawa yang baru pulang dari Makkah dan menanyai mereka tentang perlakuan konsul Belanda di Jeddah, akomodasi di kapal, dan sebagainya. 

Galib Bey dan konsul-konsul setelahnya juga membagi-bagikan al-Qur’an kepada penduduk setempat atas nama Khalifah dan mencetak buku-buku akidah berbahasa Melayu yang dicetak langsung di Konstantinopel. 

Salah satu kegiatan Galib Bey yang sering menimbulkan keresahan pejabat Batavia adalah agitasi Galib Bey kepada penduduk Pribumi dan Arab untuk melawan peraturan diskriminatif Belanda yang disebut Orang Timur Asing (vreemde oosterlingen); dimana mereka membagi ‘kasta’ penduduk Jawa menjadi tiga: kelas Eropa (Europeanen); kelas Timur Asing (vreemde oosterlingen) dan mereka adalah orang-orang Arab, India, Cina; serta pribumi (inlander).

Bahkan Galib Bey pernah mengunjungi Aceh dan melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Baiturrahman.

Murid Jawi dan Melayu Menimba Ilmu di Konstantinopel

Konsul Utsmani yang paling menjengkelkan bagi Belanda di Batavia adalah Mehmed Kamil Bey, yang bertugas menggantikan Galib Bey dan bertugas dari November 1897 sampai Desember 1898. Kegiatannya selama di Batavia menyiratkan kesungguhannya untuk menanam perasaan anti-Belanda kepada kaum Muslimin di Hindia Belanda. 

Koran berbahasa Inggris yang terbit di Singapura tertanggal 29 Desember 1898 merangkum sepak terjang perlawanan Kamil Bey: “dia dengan mencolok tidak hadir dalam upacara penobatan Ratu (Belanda), seolah ingin menunjukkan kepada penduduk pribumi bahwa dia bisa bertindak merendahkan pemerintah Belanda”. Dia juga “diketahui menggoyahkan kesetiaan dua Raja pribumi di Jawa Tengah dan mengirim surat kepada seorang raja di bawah kekuasaan Belanda di Borneo atau Sumatera (Deli) untuk mencoba mempengaruhi raja agar mengurangi kesetiaannya (kepada Belanda).

Mehmed Kamil Bey yang masih berusia 24 tahun ketika menjadi konsul Utsmani di Batavia ini juga berhasil menyekolahkan beberapa murid Jawi (Turki: Cavalı) di Konstantinopel. Bagi Belanda ini adalah suatu hal yang sangat mengerikan. 

Orang-orang Muslim Jawa dan Melayu yang belajar di Makkah memang mengerikan, tapi jika mereka belajar di Konstantinopel yang merupakan pusat gravitasi politik Khalifah tentu jauh lebih menyeramkan lagi. 

Seorang wartawan berhasil mewawancarai beberapa murid Jawi ketika mereka sampai di Port Said pada tanggal 13 Juli 1898, “mereka tahu… bahwa Sultan lebih berkuasa dan lebih kaya daripada ratu kita. Jika mereka pandai membawa diri, mereka bisa diangkat menjadi penghulu di istana Sultan dan kelak bisa kembali ke tanah air dengan kedudukan itu.”

Dalam koran yang sama diberitakan bahwa orang tua mereka telah menyampaikan terimakasih kepada Khalifah untuk kemurahan hatinya dan bahwa lebih banyak orang Melayu dan Jawa mengajukan permohonan agar anak-anak mereka bisa belajar di Konstantinopel. 

Ketika murid-murid Jawi pulang dari Konstantinopel dan berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, kedatangan mereka disambut oleh para pejabat tinggi Utsmani yang ada di Batavia. 

Para pemuda tersebut memakai pakaian khas Utsmani seperti tarbus, fez, dan lainnya. Para polisi kolonial yang sudah mengawasi kegiatan penjemputan mereka segera menciduk dan memaksa para pemuda tersebut untuk menanggalkan pakaian mereka “yang tidak sah” ini, bahkan mereka diancam dengan hukuman penjara. Ayah mereka berniat melaporkan perbuatan represif ini kepada Khalifah.[]

Oleh: Achmad Mu'it
Referensi dari Berbagai Sumber

Posting Komentar

0 Komentar