Menelusuri Jejak Khilafah di Nusantara (bagian ketujuh)

Kompleks Makam Keturunan Khalifah AlMustanshir bi-Llah di Samudra Pasai, Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara (Foto: CISAH)


Kekhilafahan Abbasiyah

Berawal dari runtuhnya Kekhilafahan Umayyah pada 750 M, berdirilah kekhilafahan Abbasiyah. 

Khilafah Abbasiyah bertahan selama 500 tahun. Khalifah memindahkan ibukotanya ke Baghdad, Irak. Baghdad pun dengan cepat tumbuh menjadi pusat perdagangan, budaya, dan pusat aktivitas intelektual. Baghdad di masa Khilafah Abbasiyah merupakan salah satu kota berpenduduk paling banyak dan paling makmur di dunia. 

Pada 836 M, Khilafah Abbasiyah memindahkan ibu kota mereka ke Samarra. Di sana pun, mereka mendirikan bangunan-bangunan megah yang menjadi simbol kejayaan dan kekuasaan. Ada masjid juga kompleks istana lengkap dengan taman, kolam buatan, barak, dan jalur balapan. 

Bekas istana Daulah Abbasiyah di Baghdad, Irak. Foto: flickr.com 

Kejayaan dan kemegahan Khilafah Abbasiyah

Makam Raja-raja Gampong Pande, berdekatan dengan Komplek Makan Tuan Di Kandang. Foto: Adi Warsidi

Istana Ukhaidir

Baghdad adalah kota yang dibangun dalam bentuk bundar. Karena itu, ia sering disebut sebagai kota bundar. Pada masa itu, pembangunan kota bundar merupakan gagasan baru yang terbilang berani. Saat ini, hanya sedikit saja peninggalan di Baghdad yang bisa menunjukkan bahwa kota ini dahulu merupakan kota bundar. Salah satu dari yang sedikit itu adalah sebuah istana berbenteng yang dikenal sebagai Istana Ukhaidir. 

Dibangun pada 775 di dekat Kufa, sebuah wilayah yang berjarak 200 km selatan Baghdad, istana ini sedikit banyak memberi gambaran mengenai bentuk kota melingkar. Kompleks luas ini dikelilingi tembok setinggi 19 meter dan berbentuk persegi agak memanjang, tepatnya berukuran 175 m x 169 m. Di dalamnya, terdapat sejumlah pekarangan, aula, sebuah masjid, dan permandian.   

Mengelilingi bangunan dengan tembok tinggi mirip benteng merupakan salah satu ciri khas Abbasiyah. Dengan tembok tinggi itu, mereka berharap bisa lebih aman tatkala melaksanakan berbagai aktivitas, termasuk upacara-upacara megah di dalam istana. 

Zumurrud Khatun


Makam Zumurrud Khatun

Di ibu kota Khilafah Abbasiyah ini pernah dibangun makam Zumurrud Khatun yang indah. Dibangun sekitar 1193, kompleks makam ini terkenal karena kubah muqarnas-nya yang tinggi dan berbentuk kerucut. 

Berlokasi di pusat kota Baghdad, bangunan ini sangat dekat dengan Madrasah Mustansiriya yang tersohor itu. Sesuai dengan namanya, bangunan ini didirikan oleh Zumurrud Khatun, ibunda Khalifah An-Nashir Lidinillah. Ia adalah khalifah Bani Abbasiyah ke-34 (1180-1225).  

Kompleks makam ini pernah beberapa kali dipugar, antara lain, pada 1590 oleh negarawan Turki Utsmani, Cigalazade Sinan Pasha, dan 1969 oleh Badan Wakaf Irak.

Masjid Agung Samarra


Masjid Agung Samarra

Pada abad ke-9, seiring kian memudarnya kekuasaan Khalifah Abbasiyah di Baghdad, Khalifah al-Mu'tashim memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Samarra, 125 km utara Baghdad. Di kota ini, mereka mendirikan kota besar  yang membentang 50 km di sepanjang Sungai Tigris dan meliputi daerah seluas 150 km persegi. Di kota baru ini, terdapat sejumlah istana megah, jalan raya, barak besar, taman rindang, juga masjid raya. 

Masjid itu adalah Masjid Agung Samarra yang kala itu merupakan masjid terbesar di dunia. Masjid yang terkenal dengan menara berbentuk spiral ini dibangun pada 848-852 oleh putra sekaligus pewaris al-Mu'tasim, al-Mutawakkil. Berukuran 239 m x 156 m, masjid ini dilindungi oleh tembok-tembok tinggi yang disokong oleh 44 menara semimelingkar. Keseluruhan bangunan berdiri di dalam daerah berpagar seluas  444 m x 376 m. 

Berabad-abad berlalu, hanya sedikit yang tersisa dari bagian interior masjid ini kecuali menara spiral yang dikenal sebagai al-Malwiya. Menara melingkar ini berdiri di atas landasan persegi dan menjulang setinggi 55 m di atas permukaan tanah. Terdapat sebuah tangga spiral memutar berlawanan arah jarum jam di sekeliling bagian luar menara sampai ke paviliun di puncak. Bentuk menara yang sangat unik ini tampaknya terilhami oleh ziggurat, menara kuil kuno Mesopotamia. 

Kekhilafahan Abbasiyah berakhir pada 1258 ketika orang-orang Mongol menyerbu Baghdad dan mengeksekusi khalifah Abbasiyah terakhir, sebuah tindakan yang menyebabkan dunia Islam terguncang. 

Tuan Di Kandang, adalah seorang ulama besar berasal dari Irak yang masuk ke Banda Aceh abad 10 menyebarkan agama Islam dan kemudian menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Kerajaan Besar Aceh Darussalam. ANTARA FOTO/Ampelsa/ed/pd/15


Titik Nol Kesultanan Aceh

Tuan Di Kandang adalah ulama besar yang wafat pada 863 tahun lalu, menjadi penggagas berdirinya Kerajaan Aceh. Ulama ini merupakan ayah dari para sultan-sultan pemimpin Aceh masa silam. Beliau dikenal bernama Machdum Abi Abdullah Syekh Abdurrauf Al-Baghdadi atau digelari Tuan Di Kandang.

Makamnya hanya 50 meter dari masjid, berada di tengah-tengah kompleks makam dengan puluhan nisan kuno. Hanya makamnya yang diberi atap. Sementara yang lain dibiarkan terbuka, pertanda makamnya terjaga sejak dulu sebagai orang mulia.

Tuan Di Kandang berjasa dalam membangun peradaban Aceh. Dia merupakan keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain dari Turki yang merupakan putra Khalifah Mahmud Syah Seljuq, Baghdad, Irak, pada masa kekuasaan Khilafah Abbasiyah.

Beliau hijrah ke Aceh bersama ratusan pengikutnya pada tahun 1116 Masehi, saat Baghdad diserang Kerajaan Mongol. Sebelum ke Aceh, dia sempat beberapa tahun di India. Dia bersama beberapa ulama dalam rombongan membagi wilayah di Aceh untuk menyebarkan Islam.

Tuan Di Kandang membawa peradaban di Gampong Pande, menyebarkan Islam kepada penduduk yang sebagiannya masih beragama Hindu. Beliau dikenal menguasai ilmu pemerintahan. Beliau kemudian menggagas lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam.

Setelah Tuan Di Kandang wafat, anaknya Sultan Johansyah Alaidin kemudian meneruskan cita-citanya, mendirikan Kerajaan Aceh pertama yang dikenal sebagai Bandar Darussalam dan berpusat di Gampong Pande pada 1 Ramadhan 601 Hijriah, atau tepat pada 22 April 1205. Sampai kini, tanggal tersebutlah diperingati sebagai hari lahir Kota Banda Aceh.

Sekian lama pusat Kesultanan Aceh di Gampong Pande, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan sedikit ke selatan, oleh Sultan Ali Mughayatsyah pada 1514. Pemindahan pusat kerajaan ini diyakini para peneliti, ikut dipengaruhi dua tsunami besar yang melanda Aceh pada tahun 1393 dan 1450.

Nama Bandar Darussalam kemudian diganti menjadi Bandar Aceh Darussalam, belakangan menjadi Banda Aceh, sebagai pusat Kesultanan Aceh. Nama tersebut, oleh kolonial Belanda sempat diubah menjadi Koetaradja, yang berarti kotanya para raja.

Keturunan Dinasti Abbasiyyah di Samudra Pasai

Amir Muhammad adalah seorang keturunan Khilafah Abbasiyyah yang nama lengkapnya Amir Ghaiyyatsuddin Muhammad bin ‘Abdul Qahir bin Yusuf bin ‘Abdul ‘Aziz bin Al-Khalifah Al-Mustanshir bi-Llah Al-‘Abbasiy. Kakek Amir Muhammad, Abu Al-Qasim ‘Abdul Aziz, adalah saudara seayah Amirul Mu’minin Al-Musta’shim bi-Llah, khalifah Bani ‘Abbas yang terakhir di Baghdad, wafat pada 656 hijriah (1258 masehi).

Dia datang di Mas’ud Abad, sebuah kota di pinggiran Delhi, India, dan disambut sangat baik. Sultan Delhi sendiri yang datang menyambutnya. Keduanya kemudian tampak saling menunjukkan sikap hormat yang mendalam. 

Bahkan di luar kelaziman, Sultan sendiri yang menyuguhkan sirih kepada tamunya itu. “Suatu penghormatan yang tidak pernah ia lakukan kepada siapapun,” kata Ibnu Baththuthah dalam Tuhfat An-Nazhzhar yang selesai ditulis pada 3 Dzulhijjah 756 hijriah (1355 masehi).

Kedatangan Amir Muhammad ke Delhi berawal dari kabar yang sampai ke telinganya bahwa Sultan Muhammad Tughlaq (wafat 752 hijriah/1351 masehi), penguasa Delhi, adalah seorang yang sangat mencintai Bani ‘Abbas. Sebab itulah muncul minatnya untuk bernaung di bawah kesultanan Delhi. 

Di lain pihak, Sultan Delhi sangat gembira dengan itikad tersebut maka ia segera mengundang Amir Muhammad untuk datang. Saking suka-citanya atas kedatangan tamu besar itu, Sultan sempat mengatakan kepadanya, “Andaikan saja saya belum membai’at Khalifah Abu Al-‘Abbas, sungguh saya akan membai’at Tuan.”

Namun Amir Muhammad menjawab bahwa ia juga terikat dalam bai’at yang sama. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda,” ujar Amir Muhammad kemudian, “barangsiapa yang menghidupkan lahan terlantar, maka lahan itu jadi miliknya. Dan Tuan telah menghidupkan kami.”

Ada getar renyuh dalam ucapan tersebut. Terkenang kembali Baghdad yang jatuh ke tangan orang-orang Mongol di tahun 656 hijriah/1258 masehi dan Khalifah Al-Mushta’shim billah yang syahid dalam peristiwa tersebut. Sebuah peristiwa yang mengakibatkan kerugian besar bagi Umat Islam, dan juga telah menyebabkan sebagian besar Bani ‘Abbas terpaksa bersuaka ke kawasan-kawasan Islam yang lain. Sultan Muhammad Tughlaq memaklumi perasaan itu, dan lantas membalas ucapan Amir dengan sangat halus dan penuh santun.

Kisah kedatangan Amir Muhammad ke Delhi dituturkan Ibnu Baththuthah yang berada di sana pada pertengahan abad ke-14. Pengembara asal Maghribi itu bahkan mengatakan, mengenal Amir Muhammad dari dekat, dan keduanya telah menjalin hubungan yang baik.

Lebih separoh abad kemudian, di pantai utara Sumatera tersiar kabar tentang kemangkatan seorang putera dari Amir Muhammad. Namanya Abdullah. Ia meninggal dunia di Syammuthrah atau Samudra Pasai pada malam Jum’at, 23 Rajab 816 hijriah (1414 masehi), dan telah dimakamkan di tempat yang hari ini bernama Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Aceh Utara.

Di Samudra Pasai, Amir ‘Abdullah disebut sebagai _Shadrul Akabir_ (pemuka para pembesar). Sebuah sebutan yang menyemburatkan rasa penghormatan yang tinggi. Betapa tidak, ia adalah salah seorang cucu keturunan ‘Abdullah bin Al-‘Abbas r.a., yang merupakan sepupu Rasulullah Saw., sahabat yang terkenal sebagai ahli tafsir; dan juga bapak dari Bani ‘Abbas. Tidak tertutup kemungkinan, istilah Shadrul Akabir ini juga digunakan untuk menyebut pemangku sebuah jabatan tingkat atas dalam ke pemerintahan Samudra Pasai.

Makam Amir ‘Abdullah di Gampong Kuta Krueng, Aceh Utara, yang terbuat dari batu marmer menampilkan simbol-simbol yang menyiratkan guratan tarikh hidupnya di Samudra Pasai. 

Ia telah terlibat langsung dalam pergerakan besar da’wah dan penyebaran Islam di Asia Tenggara yang dipimpin Sultan Zainal ‘Abidin, penguasa Samudra Pasai ketiga dari garis keturunan Sultan Al-Malik Ash-Shalih (wafat 696 hijriah/1297 masehi), pada paroh pertama abad ke-15. 

Beberapa relief kandil (lampu), yang secara khusus melambangkan penyiaran Islam, terlihat pada monumen makam yang sengaja dihadiahkan untuk mengenangnya.[]


Oleh: Achmad Mu'it
Referensi dari Berbagai Sumber

Posting Komentar

0 Komentar