Membelot dari Inggris Demi Ukhuwah Islam

Hikmat Khan semasa muda. Foto: koleksi pribadi Zahir Khan


Anda pernah mendengar ada sekira 600 tentara Inggris British Indian Army (BIA) membelot untuk membela Indonesia? Meski dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah tidak diungkap, tetapi kisahnya ada dan benar-benar nyata. Itu terjadi pada saat Kerajaan Kristen Inggris mengerahkan tentaranya untuk membantu melanggengkan penjajahan Kerajaan Kristen Belanda di Indonesia pada 1942-1949. Salah satu dari 600 tentara tersebut bernama Hikmat Khan. 

“Bapak saya menekankan pada ukhuwah Islam, karena Indonesia adalah negeri Islam, tidak mungkin mereka memerangi sesama Muslim. Kalau tidak, kita akan menjadi kufur. Jadi dorongan utamanya adalah ukhuwah Islam,” kata Zahir Khan (73 tahun), mengungkap alasan mengapa Hikmat Khan dan ratusan tentara Muslim yang seluruhnya berasal dari wilayah Pakistan membelot ke Indonesia. 

Anak kelima dari dua belas bersaudara tersebut mengatakan sedangkan ribuan anggota BIA lainnya yang non Muslim tetap menuruti perintah Inggris. “Sedangkan tentara Inggris dari India yang beragama Hindu dan Gurkha yang beragama Sikh itu tetap bergabung dengan Inggris untuk melanggengkan penjajahan Belanda di Indonesia,” ungkap Ketua Forum Solidaritas Dunia Islam Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (DDII) tersebut kepada Media Umat, (11/9/2004) di Sekretariat DDII, Jalan Kramat Raya 45, Jakarta. 


Ilustrasi Pasukan Nica. Foto: pendidikan zone.blogspot.com


Dibohongi Inggris

Sebelum menjadi tentara Inggris, Hikmat Khan menjadi polisi yang ditugaskan Inggris di Hongkong sejak 1916. Kembali ke Pakistan, Inggris menempatkan lelaki kelahiran Peshawar itu untuk menjadi tentara. Meski sempat menolak ---karena kuatir bakal dihadapkan dengan musuh Inggris yang sesama Muslim--- Hikmat akhirnya pada 1930 menjadi tentara BIA. 

“Penerimaannya itu didasarkan niat untuk menyelamatkan Pakistan dan negeri Muslim lainnya, sebagaimana kemudian terbukti di Indonesia,” ungkap Zahir.

Tidak nyaman dengan kondisi Pakistan yang dalam cengkeraman Inggris, ia pun mengikuti jejak Aslam Khan, saudaranya, memboyong keluarga ke Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. “Keluarga tinggal di sana, sedangkan bapak di Pakistan, bila ada kesempatan datang ke Asembagus untuk menengok keluarga,” ujar mantan diplomat RI. 

Pada 1942, Inggris mengirim ribuan tentara BIA yang disebar ke berbagai kota untuk mengokohkan kembali penjajahan Belanda di Indonesia. “Agar mereka mau, kemudian Inggris mengatakan akan membawa ke Singapura. Eh ternyata, dikirimnya ke Indonesia,” keluhnya. 

Sesampainya di Indonesia baik di Jakarta, Medan, Surabaya dan kota lainnya tentara Pakistan terkejut melihat penduduk setempat. “Mereka terkejut, kok rumah-rumah itu ada kaligrafi Basmalah. Satu sama lain kalau bertemu 

Assalamualaikum-Waalaikumussalam. Itu membuat hati ayah dan tentara Pakistan lainnya tergetar,” ungkap dosen bahasa Inggris di beberapa universitas di Jakarta. 

Setelah menyadari dirinya ternyata berlabuh di Tanjung Priok, Hikmat diam-diam kontak dengan orang-orang Pakistan yang sudah lama di Jakarta, salah satunya kepada Zaristan Khan ---teman lama yang kemudian menjadi besannya---, untuk meminta kepastian apa yang sesungguhnya terjadi di negeri Muslim terbesar ini. Hal itu dilakukan, lantaran seluruh tentara BIA buta informasi kekinian lantaran mereka dilarang untuk mendengarkan radio atau pun membaca koran. 

Pasukan Pakistan yang dipimpin Ghulam Rasul, yang umumnya belum bisa berbahasa Indonesia, itu secara diam-diam sering bertemu Zaristan untuk mendengarkan pidato Soekarno di radio atau pun berita dari radio India dan Singapura. Khusus yang berbahasa Indonesia Zaristan pun menerjemahkannya ke bahasa Urdu. 

Kenalan Hikmat lainnya adalah tabib spesialis ambeyen dan wasir asal Pakistan NM Sher. Di rumah Tabib Sher tersebut, mereka sering menyerahkan stegun, granat, peluru untuk diteruskan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia ke pedalaman.

Bahkan beberapa bulan setalah Proklamasi Kemerdekaan RI, tentara BIA asal Pakistan lebih memilih membela Presiden Soekarno ketimbang Belanda. Saat itu Bung Karno hendak berkunjung ke rumah dokter pribadinya yakni Dr. dr. R Soeharto di Jalan Kramat Raya 128. 

Di depan rumah dokter pribadinya tersebut, Bung Karno terjebak di dalam mobil yang dikepung para serdadu Nica. Begitu tahu, tentara Muslim asal Pakistan yang sedang kumpul di rumah Tabib Sher di Senen langsung mengajak teman-temannya yang lain untuk menolong Bung Karno. 

Maka terjadilah perdebatan seru antara serdadu Nica yang mengacungkan senjata kepada Bung Karno dengan pasukan Muslim dari Pakistan yang jumlahnya jauh lebih banyak sambil mengarahkan laras panjangnya ke tentara-tentara Belanda.

foto: www.donisetyawan.com

Meskipun tentara Nica itu mengatakan bahwa Bung Karno adalah musuh, tentara Muslim tetap memerintahkan agar tentara Nica meletakkan senjata dan mengangkat tangan, dan kalau tidak menurut akan ditembak habis. Akhirnya serdadu-serdadu Nica mundur sambil memaki-maki. 

Selain di Jakarta, Hikmat pun ditugaskan ke Surabaya. Tetapi kali ini bukan oleh Inggris. Melainkan oleh laskar-laskar pejuang kemerdekaan. Tujuannya tentu saja untuk melawan pasukan Inggris yang belabuh di Tanjung Perak untuk membalaskan dendam Inggris atas kematian Brigjen Mallaby di Surabaya. Sekira 300 tentara BIA asal Pakistan yang berlabuh di sana pun membelot memihak arek-arek Suroboyo ketika pekikan Allahu Akbar yang dipimpin Bung Tomo terdengar berulang-ulang. 


K. H. Hasyim Ashari. foto: Wikipedia


Hanya saja mereka kesulitan untuk menyatakan bergabung dengan ulama dan santri yang memenuhi resolusi jihad Hadratus Syeikh KH Hasyim Ashari tersebut, melalui kontak-kontak dengan Hikmat Khan-lah mereka pun dengan mudah dapat diterima warga Surabaya. Namun salah satu pimpinan mereka “Mayor” Ziaul Haq (kelak menjadi presiden Pakistan ke-6), lebih memilih kembali ke Pakistan dan selamanya dicap sebagai pengkhianat Inggris daripada harus memerangi sesama Muslim. 

Ilustrasi. Foto: samudranesia.id


Komentar Mantan KaBakin

Membelot (disersi) di medan pertempuran menurut hukum militer di mana pun ancamannya adalah hukuman mati oleh mahkamah militer. Belum lagi, bisa-bisa mati konyol di daerah sasaran oleh “pasukan kawan” yang hendak dituju karena salah paham atau cacat dalam koordinasi “penggabungan”. 

Karena itu, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, sekarang BIN) ZA Maulani mengatakan keputusan untuk meninggalkan satuan lama dan bergabung dengan “musuh” hanya mungkin terjadi bila ada pendorong yang sangat dahsyat di luar rationale

Yakni: “Semangat jihad fi sabilillah, membela agama dan saudara seiman, setelah terpana mendengar battle cry Allahu Akbar!... Allahu Akbar! ketika berkonfrontasi dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia digaris front pertempuran,” ungkapnya saat memberikan prolog pada buku yang ditulis Zahir Khan di 2004, Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Menurut Maulani, ke-600 Muslim yang membelot dari Inggris tersebut adalah generasi mujahidin Islam pertama dalam catatan sejarah militer modern, yang bertempur di suatu negeri asing tidak dalam kapasitas sebagai mercenary (serdadu bayaran, atau legium asing), tetapi sebagai sukarelawan. 

Berdasarkan data intelijennya, jumlah yang pasti tentang mujahid asal Pakistan tidak diketahui persis tetapi jelas tidak kurang dari 600 personil. Pasca berakhirnya perang kemerdekaan jumlah mereka tinggal 75 orang. Tiga puluh di antaranya kembali ke Pakistan pada 1950. Sisanya menetap di Indonesia hingga akhir hayat, termasuk Hikmat Khan yang tutup usia pada Sabtu 29 April 1989 di Asembagus.[]  


Oleh: Joko Prasetyo

Dimuat pada rubrik SOSOK Tabloid Media Umat edisi 136 (awal Oktober 2014)

Posting Komentar

0 Komentar