Media Kuno Belanda: Fanatisme Islam Akar Utama Perlawanan Nusantara

foto: qureta.com


Bertentangan dengan apa yang diklaim oleh buku-buku sejarah Belanda hari ini, Belanda menghadapi perlawanan secara terus-menerus selama periode 1859-1930. Mengenai kenyataan perlawanan ini, buku-buku sejarah ini mengklaim bahwa perlawanan di Indonesia disebabkan oleh nasionalisme. Dikatakan bahwa beberapa orang Indonesia menginginkan negara mereka sendiri dan karenanya memberontak melawan Belanda.
Namun setelah meneliti koran-koran Belanda yang terbit waktu itu, situs Seraa Media (www. seraamedia.org) menyimpulkan justru, klaim Belanda saat ini terbantahkan oleh berita-berita surat kabar Belanda pada periode 1850-1930.  “Selama masa itu, pendapat umum yang muncul adalah Islamlah yang menyebabkan Indonesia memberontak,” tulis Seraa Media, 23 Mei 2017.

Misalnya surat kabar Algemeen Handelsblad mengatakan pada tahun 1859 mengenai pemberontakan di Bandjarmasin: 

“Kami ingin mempertimbangkan kembali penyebab kejadian di Bandjarmasin, berkaitan dengan kejadian pemberontakan lainnya di wilayah lain. Kami telah melihat bahwa, menurut laporan yang diterima oleh Mister Van Twist dari sumber yang sangat andal, pemberontakan di bagian tenggara Kalimantan dapat ditandai sebagai Mohammedan, atau anti-Eropa”.

Dengan kata lain, menurut surat kabar Algemeen Handelsblad, kesamaan antara pemberontakan di Bandjarmasin, pemberontakan di Kalimantan, dan pemberontakan di bagian lain Indonesia, adalah bahwa semuanya disebabkan oleh keislaman orang Indonesia.

Ketika melihat kasus-kasus perlawanan Indonesia lainnya melawan penguasa kolonial Belanda, surat kabar-surat kabar Belanda juga menuduh Islam sebagai akar permasalahannya. Misalnya, pada tahun 1864 surat kabar Algemeen Handelsblad menulis tentang pemberontakan di Tegal: 

“Troeno (…) mencoba untuk membuat orang-orang Tegal memberontak melawan peraturan Eropa. (…) Ternyata dia menggunakan fanatisme sebagai alat untuk ini”. Kata fanatisme dalam surat kabar pada waktu itu berarti Islam.

Pada tahun 1885 surat kabar Het Nieuws van den Dag bahkan mengatakan bahwa orang Indonesia memandang perlawanan mereka sendiri sebagai jihad, sebuah motivasi yang murni Islam. Jihad diterjemahkan menjadi prang sabil dalam bahasa Indonesia: 

“Di Sukabumi, masyarakat sekarang memiliki lima tempat kelompok-kelompok agama bisa berkumpul. (…) Orang-orang yang menjadi anggota kelompok ini, para fanatik, tetap bersama setelah shalat Jumat untuk membahas prang sabil, Perang Suci. (…) Lihat apa yang sedang terjadi di Sukabumi. Apakah ini tidak cukup berbahaya?”.

Sulit dibayangkan sebuah bukti yang lebih jelas yang menunjukkan bahwa perlawanan Indonesia melawan penjajahan Belanda dimotivasi oleh Islam.


“Prang sabil” adalah headline di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 5 Juni 1906.

 
Pada tahun 1894 surat kabar Algemeen Handelsblad bahkan menyatakan bahwa tidak ada penjelasan lain selain Islam yang bisa menjelaskan perlawanan terhadap Belanda:

“Ras yang berkuasa sangat toleran terhadap orang lain, pemberontakan di Pulau Lombok kemungkinan besar, menurut mereka yang akrab dengan mereka seperti Mr. Willemsen, disebabkan oleh fanatisme Muhammad.”
 
Dan ketika surat kabar tersebut Het Nieuws van den Dag menulis adanya hubungan antara perlawanan orang Indonesia dan bulan Ramadhan, maka ini hanya bisa dipahami bahwa perlawanan umat Islam Indonesia dimotivasi oleh Islam mereka: “Kemarin (…) di dekat Anak-Guleng ( …) terjadi penembakan yang signifikan. (…) Puasa telah dimulai dan seorang jahat yang meninggal selama masa ini di prang sabil pasti akan masuk surga.”

Belanda menggunakan istilah “jahat” (evil person) untuk Muslim yang mati syahid.

Selama bertahun-tahun, surat kabar Belanda terus menyalahkan Islam sebagai motivator perlawanan di Indonesia. Misalnya pada tahun 1904, surat kabar Het Nieuws van den Dag menulis:

“(…) Pada saat itu, seseorang memberi tahu dia bahwa benturan kekerasan telah terjadi di Sukabumi, yang menunjukkan kemiripan dengan pemberontakan di Sumedang dan Sidoarjo. Dia menganggap bahwa sumber dari pemberontakan ini adalah fanatisme.”

Dan di tahun yang sama surat kabar ini menulis tentang pemberontakan di tempat lain:

“Kekuatan disertai dengan fanatisme adalah sesuatu yang harus benar-benar kita pertimbangkan. (…) Akhir-akhir ini, kekuatan ini begitu besar, seperti yang bisa dilihat di Jambi, Korintji, Kepulauan Gaju. Tragedi di Tjilegon, seruan fanatisme di tempat lain, dan sekarang pemberontakan di Gedanggan, semuanya menjadi bukti. Keributan di Sidoarjo, yang pada dasarnya berada di bawah hidung dua pasukan kita, menunjukkan akan [berbahayanya] kekuatan ini.”


“Fanatisme di daerah Bantam (Banten)” adalah berita utama di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1907.
 
Pada tahun 1907, surat kabar Het Nieuws van den Dag menegaskan penyebab perlawanan tidak berbeda:

“Di Serang, bahkan sebenarnya di seluruh wilayah Bantam (Banten), banyak orang yang bicara tentang pemberontakan yang terjadi baru-baru ini di Barong (…). Hal ini dapat dengan mudah dijelaskan, karena bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang ini mempraktikkan fanatisme dan bahwa tidak banyak yang dibutuhkan untuk memulai terjadinya gerakan perlawanan yang lain.”

Pada tahun 1908 juga sama:

“Sekarang kita tahu bahwa (…) lagi-lagi Sekte Mohammedan, Satria, yang berada di balik semua ini, yang sekali lagi memberikan bukti bahwa pemerintah Indonesia bertindak kurang begitu tegas terhadap fanatisme ini yang mendapat motivasi dari barat, yang merongrong kekuasaan kita, dan menyebabkan bahaya yang terus menerus terhadapnya. (…) Perang Suci melawan ‘kuffar’ terus didakwahkan, dan hampir sama sekali tak terduga sebelumnya, pada pertengahan bulan ini lagi, sebuah perlawanan yang sangat serius meletus.”  Kuffar adalah terminologi Islam untuk menunjukkan orang-orang yang tidak beragama Islam. 

Pada tahun 1910 surat kabar Sumatra Post menyalahkan Islam atas pemberontakan di Padang:

“Sejak hari-hari [Pemberontakan] itu, tanda-tanda fanatisme mulai banyak muncul, dan betapa banyak di daerah Priaman, di Negara Bagian Bawah Tanah Padang, yang menjadi tempat berkembang biaknya orang-orang fanatik Mohammed dari sekte Satria—yang menurut laporan resmi, juga bertanggung jawab atas perlawanan bersenjata pada tahun 1908.”

Berdasarkan temuan tersebut Seraa Media menyimpulkan, komentar-komentar di surat kabar Belanda mengenai kasus perlawanan di Indonesia memperjelas tentang adanya konsensus di Belanda bahwa keislaman orang Indonesia adalah penyebab semua ini. Islam dipandang Belanda sebagai akar permasalahan. Mereka bahkan tidak menyebutkan tentang nasionalisme.

“Ini berarti bahwa buku sejarah hari ini di Belanda tidak hanya meremehkan perlawanan—ketika mereka mengatakan bahwa perlawanan hanya terjadi secara sporadis— tapi mereka juga menggambarkannya dengan tidak tepat saat mereka mengatakan bahwa sumber utama perlawanan adalah karena aspirasi nasionalistik. Dan hal yang sama dapat dikatakan mengenai buku sejarah Indonesia saat ini: mereka menggambarkan perlawanan Indonesia melawan kolonialisme Belanda secara tidak benar ketika mereka mengatakan ini berasal dari aspirasi nasionalistik,” pungkasnya.[] 


Oleh: Joko Prasetyo
Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat Edisi 232 (Awal Desember 2018)

Posting Komentar

0 Komentar