Khilafah itu Ide Allah dan Warisan Nabi: Mungkinkah Memiliki Daya Rusak?


Permasalahan radikalisme kembali menjadi sorotan tajam berbagai pihak, termasuk para punggawa pemerintah yang memang sejak kabinet Jokowi Periode 2 ini memiliki core program tentang war on radikalisme. Di beberapa kesempatan, penulis telah menyampaikan bahwa radikalisme ini lebih condong pada isu politik dibandingkan isu hukum. Oleh karena cenderung pada isu politik maka unsur kepentingan politik sehingga nomenklatur itu tetap obscure dan lentur meskipun kita sudah punya PP 77 Tahun 2019 yang bicara tentang deradikalisasi dan kontra deradikalisasi.

Persoalannya makin tidak menentu ketika rincian tentang apa saja yang termasuk perbuatan atau sikap atau "faham" yang termasuk terpapar radikalisme tidak juga ditentukan secara pasti. Ide khilafah termasuk dikelompokkan oleh pemerintah sebagai "faham" radikalisme yang harus diperangi. Padahal kita ketahui bahwa khilafah sebagai siyasah Islam itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari materi fikih.

Ironi dan merupakan sebuah keprihatinan bagi umat muslim apalagi bagi para pejuangnya yang meyakini bahwa khilafah adalah idenya Alloh. Jika itu idenya Alloh, bagaimana mungkin berpotensi memiliki daya rusak dan merusak. Tampaknya, diskursus tentang khilafah dan "daya rusaknya" perlu dilakukan secara open mind di negara demokrasi yang disebut-sebut menjunjung tinggi kebebasan berpendapat ini.

Asumsi Khilafah yang Notabene ide Alloh itu bersifat merusak: Fakta atau Propaganda?

Di tengah opini panas dan tudingan-tudingan miring terhadap ide dan gagasan khilafah sebagai masalah yang harus ditangani melalui program pemerintah kabinet Jokowi, Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bu Siti Zuhro justru mengatakan radikalisme bukanlah akar permasalahan Indonesia akan tetapi gejolak yang terjadi belakangan ini adalah persoalan ketimpangan sosial akibat stagnasi perekonomian global yang serius. Sehingga anggapan bahwa Khilafah adalah sumber permasalahan dan dianggap sebagai faham radikal yang akan merusak tersebut tentulah sangat keliru dan terkesan mengada-ada.

Belum lagi ada peneliti Belanda yang secara khusus meneliti negara Asia Tenggara dan Karibia, Tuan Berenschot yang mengkritisi penggunaan istilah radikalisme yang sering disalahartikan oleh pemerintah Indonesia. Bahkan, Berenschot menyatakan pemerintah menggunakan diksi radikalisme untuk melabeli pihak atau orang yang berseberangan dengan pemerintah. Adalah ia tidak setuju bila pemerintah menggunakan narasi ideologis untuk melabeli orang atau kelompok orang dengan label radikalisme. Radikalisme itu sama dengan anti ideologi Pancasila.

Namun, pendapat para peneliti yang notabene adalah pihak-pihak yang secara kelembagaan mereka sudah teruji tersebut tidak sejalan dengan pendapat para politisi di negeri ini. Salah satunya pendapat datang dari pernyatan Menkopolhukam Mahfud MD yang sangat berbeda jauh dengan pernyataan para peneliti itu. Lalu pertanyaannya apakah pernyataan politisi ini adalah fakta ataukah hanyalah Asumsi sebagai upaya Propaganda?

Dalam agenda Menteri Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD ketika menerima kedatangan dari Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (3/12/2019). Usai pertemuan yang dilakukan secara tertutup, dengan jelas Mahfud mengatakan ada sejumlah isu yang dibahas dan juga penyelesaiannya.

Salah satu isu yang dibahas ialah soal bagaimana ormas-ormas Islam resah akan adanya isu penyebaran paham Khilafah. Ia juga menyatakan bahwa LPOI agak gerah juga terhadap isu-isu sistem lain tegasnya sistem khilafah yang sekarang yang ditawarkan yang sebenarnya itu agendanya merusak. Jadi setali tiga uang pendapat Menkopolhukam dengan LPOI. Sekali lagi, itu hasil pengkajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik atau sekedar asumsi yang hanya dapat dibenarkan secara politis?

Adalah menjadi suatu keprihatinan dalam hati yang membuat kita ingin bergumam, dan mempertanyakan, mengapa jika "khilafah" yang selama ini mereka sebut utopis itu malah banyak membuat kalangan bahkan pemerintah menjadi risau, dan menganggap hal itu merupakan sebuah ancaman dan merusak? Mengapa tidak dibuktikan saja bahwa rakyat Indonesia menolak "khilafah"? Dengan cara apa membuktikannya? Referendumkah? Musyawarah Nasional (Munas) kah? Melalui penelitian independen yang melibatkan seluruh komponen bangsakah?

Namun pertanyaannya, masihkah kita bisa berbuat jujur terhadap hasil kajian, penelitian, referendum atau apapun namanya, mengingat kejujuran hidup (honeste vivere) di bangsa ini sudah menjadi barang yang langka. Kalau segala upaya itu tidak lagi dapat dipercaya, lalu kepada apa dan siapa lagi kita sebagai rakyat menyandarkan keyakinan dan harapan?

Baiklah, taruhlah Menkopolhukam tidak setuju dengan penerapan khilafah, haruskah beliau dengan wadya balanya membenci sebagian ajaran Islam ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab ulama berupa fikih, misalnya kitab Fikh karya Sulaiman Rasyid yang telah dicetak ulang sebanyak 79 kali sejak tahun 50-an, baik di Indonesia maupun di negeri Malaysia? Haruskah membenci "faham khilafah". Bukankah itu sebagian ajaran Islam, yang bahkan oleh EmHa Ainun Nadjib dikatakan bahwa khilafah itu adalah ide-Nya Allloh. Pertanyaan besarnya adalah: Sebagai hamba Alloh, mengapa kita tidak malu dan bahkan berani terang-terangan membenci ide Alloh tersebut?

Baiklah, "faham khilafah" mungkin oleh sebagian orang dan kelompok dianggap sebagai hantu bahkan monster seram yang akan menyerang dan melumatkan segala yang telah ada, tapi perlu ditegaskan di sini bahwa asumsi itu tidak dapat dibenarkan karena memang belum pernah terbuktikan.

Bagi kami, asal itu masih sebatas ide, pemikiran maka diskursus terhadapnya seharusnya tetap dibuka di alam demokrasi yang disebut-sebut mengagungkan kebebasan berpendapat ini. Tidak boleh ada persekusi terhadap orang atau kelompok orang yang membahasnya dan kelompok yang mengusung ide Alloh ini juga tidak boleh menggunakan pemaksaan kehendak, kekerasan dan tindakan ekstrim di dalam mengkaji dan mendakwahkan ide tersebut sehingga suasana kondusif tapi dinamis tetap menjadi warna perbincangan antar sesama anak bangsa.

Sistem kekhilafahan yang pernah berdiri selama seribu tiga ratus tahun lebih adalah sebagai bukti bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat dipisahkan dari benak, pemikiran maupun aktivitas dakwah kaum muslimin. Terlebih-lebih bukankah para punggawa negeri ini adalah mayoritasnya adalah pemeluk Islam, maka sangatlah aneh jika justru pemerintah memasukan khilafah sebagai faham radikal yang disebut merusak dan harus diperangi.

Jika mengajarkan bahkan mengaplikasikan sistem kapitalis demokrasi yang notabene bukan berasal dari ajaran Islam saja boleh, kenapa mengajarkan dan mendakwahkan Khilafah yang terbukti nyata sebagai bagian dari ajaran Islam tidak boleh? Sudah seharusnya hal tersebut menjadi bahan renungan dan evaluasi bagi pemerintah dan penguasa negeri ini.

Relevansi Umat Kekinian dalam Mengatur Pemerintahan dengan Mengikuti Cara Nabi (Khilafah)

Mantan Ketua MK, Mahfud MD yang sekarang menjabat sebagai Menkopolhukam pernah juga menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti. Mengapa kok tidak boleh diikuti? Berikut alasannya:
Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk:

1. Nabi Muhammad itu lembaga legislatif,
2. Nabi Muhammad lembaga eksekutif,
3. Nabi Muhammad lembaga yudikatif,
4. Nabi Muhammad yang membuat hukum berdasarkan wahyu Allah.

“Anda membuat negara seperti Nabi Muhammad melalui wahyu siapa? Nah enggak bisa, jangan,” kata Mahfud.

Terkait hal tersebut, menurut kami pertanyaan seperti itu sangat tidak pantas dilontarkan yang dijadikan landasan untuk menolak Khilafah yang secara jelas merupakan ajaran Alloh dan Rasul-Nya. Kalau pertanyaannya wahyu siapa, Jawabnya mestinya: Wahyu Alloh dalam Al Quran. Lalu apalagi dasarnya? Tentu Hadist Rasululloh dan juga Ijtihad Para Ulama. Bukankah begitu seharusnya? dan bukankah idealnya seorang muslim memang harus mengikuti cara Rasulullah Saw yang menjadikan sumber Hukum Islam dalam setiap rujukan untuk segala permasalahan?

Pertanyaan kami selanjutnya tetap fokus pada: Apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah? Bukankah Rasululloh itu "uswatun hasanah", suri tauladan yang baik? Lalu, apa yang pantas kita teladani dari Rasululloh? Hanya sholatnya sajakah, zakatnya sajakah, hajinya sajakah, puasanya sajakah? Bukankah Rasululloh juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang dan lain-lain. Ingat, kapasitas Rasululloh adalah sebagai pemimpin negara dan seluruh umat Islam sedunia bukan hanya sekelas Ketua RT saja.

Sungguh tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Sekali lagi, itu Itu tidak fair! Mengapa,? Karena dalam sejarahnya selama 1300 tahun lebih lamanya umat Islam berada dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta, Aceh dan ada beberapa wilayah lainnya. Bukankah dari sejarah tersebut kita juga pernah dibantu khilafah ketika bangsa bini melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history!

Baiklah, misal anggap saja sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, Ala China, Ala Eropah, ala Asia, ala Afrika? Sebut, berapa jenis demokrasi yang ada? Dan apakah negara yang menganut demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya sekedar pseudo demokrasi? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah membunuh sendiri demokrasi yang mereka puja (harakiri) sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila kediktatoran rezim justru dipertontonkan (How Democracies Die).

Baiklah, seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dll, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasululloh dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga homogen? Masyarakatnya semua muslim? Tidak bukan? Ada yang muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu, benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya, karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Alloh atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam.

Selanjutnya, seandainya jika memang terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali oleh cipta, rasa dan karsa, tidak bisakah kita menyaring, memilah dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu sebagaimana kita pilih demokrasi Pancasila yang konon terbaik meskipun hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang sama dengan negara liberal bahkan lebih liberal lagi. Lalu, demokrasi Pancasila itu yang seperti apa? Atau gampangnya begini, dari 7 rezim yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan kepada kita rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara dengan ideologi liberal dan atau komunis?

Lebih lanjut lagi, bila dari 7 rezim yang telah berkuasa namun ternyata sudah tidak mampu memberikan warna demokrasi Pancasila, lalu apakah diharamkan apabila umat Islam menawarkan resep lain dalam untuk mengatasi segala permasalahan bangsa dan negara Indonesia dengan sistem hukum Islam. Atau setidak-tidaknya menawarkan agar hukum Indonesia itu dibentuk dengan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. Mengapa kita tidak mengambil strategi ini bahkan makin menjauhkan kehidupan bangsa dan negara dari hukum Alloh? Ataukah memang kini umat Islam masih meragukan bahwa hukum Alloh itu sumber hukum terbaik? Ya, kami kira ini persoalannya. Kita masih meragukan hukum Alloh sebagai hukum terbaik dan selalu benar karena difirmankan oleh Alloh Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya?

Dan terakhir, baiklah bila kita masih saja ingin meragukan hukum Alloh sebagai hukum terbaik, tampaknya kita perlu memupuk lagi iman dan takwa kita. Tampaknya pula kita belum pantas disebut sebagai insan yang beriman dan bertakwa itu. Kita masih mengambil dan menggunakan hukum Islam secara prasmanan. Bagian hukum yang enak kita kita pilih dan ambil, sedang bagian hukum yang dirasa tidak enak dan bahkan mengancam eksistensi kita, ramai-ramai kita singkirkan, kita halau bahkan kita musuhi. Jika demikian, masihkah kita berharap pada nikmatnya syurga Adn yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman. Mereka tidak pernah takut kepada selain Alloh dan mereka tidak pula bersedih hati. Hal itu pula cara Nabi menyikapi riuh rendah hidup di dunia yang fana ini.

Jadi, dari sejumlah fakta dari sebuah realitas di atas tidak ditemukan adanya data dan akan menguatkan bahwa Khilafah akan merusak, yang ada justru banyak data yang menguatkan bahwa Khilafah adalah satu-satunya jalan yang sesuai dengan tuntunan tujuan penciptaan. Yang akan membuat negeri ini damai dengan segala keberagaman, dan sebagai jalan terbaik untuk tegaknya kebenaran dan keadilan.

Ide Khilafah Bukan Merusak, Yang merusak adalah ide Sekulerisme, Kapitalisme dan Komunisme

Allah SWT berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)

Itulah gambaran yang Allah gambarkan kepada Rasul-Nya bagaimana kaum Yahudi dan Nashrani akan selalu meracuni umat Islam dan tidak akan pernah ridha terhadap Islam sampai umatnya mengikuti ajaran mereka. Karenanya mereka akan terus mengajak untuk mengikuti ajaran mereka dan sehingga umat akan menganggap itulah sebagai al-huda (petunjuk) terbaik yang diikutinya pada akhirnya petunjuk sebenar-benarnya petunjuk yang datang dari Allah dan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit demi sedikit ditinggalkan bahkan benar-benar akan dicampakkan.

Itulah yang sekarang terjadi pada umat Islam hari ini, ketika Khilafah yang sebenarnya petunjuk yang benar yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dianggap hina dan merusak akan tetapi mereka lebih bangga memilih berada dalam jalan sistem demokrasi yang sebenarnya datang dari kaum Yahudi dan Nasrani yang pada hakikatnya adalah alat untuk menyingkirkan Islam.

Adapun yang terjadi di negeri ini kalau kita mau jujur, pada umumnya kita semua memahami bahwa sistem khilafah belum pernah diterapkan di negeri ini secara penuh bahkan pasca kemerdekaan RI, sistem khilafah baru sebatas wacana. Sebagian orang juga meyakini, bahwa negeri ini sebenarnya tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja melainkan dalam keadaan sakit parah. Korupsi, narkoba, ancaman kemiskinan, pengangguran, penyakit masyarakat, L68T, ancaman disintegrasi khususnya di Papua, invasi kedaulatan oleh China di selat Natuna, perampokan Jiwasraya, semua sedang dan terus terjadi di negeri.

Pertanyaan kritisnya, apa sebenarnya yang merusak kehidupan kita di hampir semua lini itu? Benarkah kesemuanya itu diakibatkan oleh khilafah yang disebut merusak bangsa sementara khilafah sendiri belum diterapkan di negeri ini ? Rentetan pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan akibat perampokan Jiwasraya, invasi kedaulatan oleh China di selat Natuna, merebaknya Narkoba, ancaman disintegrasi Papua? Apa semua itu itu harus dialamatkan kepada isu radikalisme khususnya dialamatkan pada khilafah ? Lantas, apakah radikalisme dan khilafah layak dikatakan sebagai akar masalah bangsa ini?

Bila dianalisis lebih dalam, semua anggapan yang mengatakan Khilafah akan merusak itu sungguh adalah salah dan terasa aneh mengingat data dan fakta tentang "faham" khilafah yang merusak itu belum terbukti adanya. Sebagai makhluk yang berakal, maka sangat sulit diterima sebuah pernyataan yang tidak didukung dengan bukti berupa data, bukan asumsi apalagi Islamophobia.

Bukankah yang ada sebenarnya adalah negeri ini sudah dirusak oleh sistem sekulerisme, yang pada prinsipnya memisahkan aturan agama dengan urusan kehidupan sehingga membuat negeri ini penuh dengan permasalahan dan jauh dari ridha dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa, lalu wajarkah jika kemudian menyalahkan khilafah sebagai akar permasalahan berbagai kegagalan di negeri ini. Dan bahkan di muka sudah disinggung oleh peneliti di LiPi Siti Zuhro bahwa akar permasalahan negeri ini bukan radikalisme (termasuk "faham" khilafah?) melainkan ketimpangan sosial. Ketimpangan yang berasal aturan manusia yang hanya berdasarkan hawa nafsunya dan menyingkirkan hukum-hukum buatan Allah SWT, serta penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berlindung dibalik sistem pemerintahan demokrasi.

Sebagai seorang muslim yang terikat dengan Iman kepada kebenaran ajaran yang dibawa Rasululah SAW, seharusnya sadar akan kebenaran itu dan tidak mungkin berani menuding ide khilafah sebagai perusak bangsa dan negara ini di berbagai lininya. Kata Ebiet GAD, kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, mau menyingkirkan debu yang masih melekat sehingga kita bisa jernih melihat sebenarnya apa yang tengah terjadi di negeri ini. Kita tidak asal tuding tanpa pengkajian dan penelaahan analitik terhadap akar masalah negara bangsa ini. Akhirnya perlu kita tanyakan pada diri kita, sebenarnya kita dan para punggawa negeri ini sedang bekerja untuk kedaulatan dan kemakmuran negeri ini atau sedang menjalankan agenda penjajahan asing dan aseng, yakni sekulerisme, kapitalisme dan komunisme?

Dari sejumlah uraian pada artikel singkat ini, dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, umat Islam meyakini bahwa khilafah itu adalah idenya Alloh yang tersurat jelas dalam Al Quran. Sistem khilafah juga dapat dikatakan sebagai warisan nabi. Secara nalar sungguh mustahil bila ide Alloh dan warisan Nabi ini justru dikatakan sebagai ide yang merusak kehidupan manusia yang nota benenya semua berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Sehingga adanya anggapan bahwa Khilafah akan merusak, hanyalah bentuk propaganda yang ingin semakin menjauhkan umat Islam dari agama dan ajarannya.

Kedua, dalam sejarahnya selama 1300 tahun lebih lamanya umat Islam berada dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta, Aceh dan ada beberapa wilayah lainnya. dari sejumlah fakta dari sebuah realitas di atas tidak ditemukan adanya data dan akan menguatkan bahwa Khilafah akan merusak, yang ada justru banyak data yang menguatkan bahwa Khilafah adalah satu-satunya jalan yang sesuai dengan tuntunan tujuan penciptaan. Yang akan membuat negeri ini damai dengan segala keberagaman, dan sebagai jalan terbaik untuk tegaknya kebenaran dan keadilan.

Ketiga, bila dianalisis lebih dalam, semua anggapan yang mengatakan Khilafah akan merusak itu sungguh adalah salah dan terasa aneh mengingat data dan fakta tentang "faham" khilafah yang merusak itu belum terbukti adanya. Sebagai makhluk yang berakal, maka sangat sulit diterima sebuah pernyataan yang tidak didukung dengan bukti berupa data, bukan asumsi apalagi Islamophobia. Bukankah sebenarnya negeri ini sudah dirusak oleh sistem sekulerisme serta penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berlindung dibalik sistem pemerintahan demokrasi.

Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum (Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat)

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar