Indonesia Didesain sebagai Tong Sampah Peradaban Dunia

foto: seputaraceh.com

Indonesia memang didesain sebagai tong sampah peradaban dunia. Fakta tersebut diungkap Arief Muthofifin dalam skripsinya yang berjudul Christiaan Snouck Hurgronje Arsitek Urusan Perdata Kolonialistik Hindia Belanda untuk meraih gelar sarjana Ilmu Syariah Jurusan Ahwalul Syakhshiyah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang pada 2010.

Snouck Hurgronje (dalam lingkaran merah). Foto: salamonline.com

“Hindia Belanda bahkan tidak memiliki pusat ilmu pengetahuan Islam, hanya hidup dari sisa hidangan internasional,” tegas Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda Christiaan Snouck Hurgronje dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde yang diterbitkan Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII, di Batavia pada 1900, di halaman 393-427. 

“Pernyataan Christiaan Snouck Hurgronje tersebut sedang membuka cakrawala pikir kita bahwa sesungguhnya diakui oleh sang arsitek hukum kolonial bahwa Nusantara merupakan sampahnya peradaban dunia. Yang hidup dengan cara menyantap sisa-sisa dari jamuan internasional. Jamuan yang dimaksudkan di sini adalah keilmuan, pengetahuan, hukum, maupun keadaban,” tulis Arief. 


foto pengamatsejarah.blogspot.com


Sampai Sekarang

Kondisi seperti ini pun tercermin sampai saat ini setelah Hindia Belanda merdeka dan menjadi Republik Indonesia modern. Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak merubah status Indonesia sebagai tempat sampahnya dunia. “Bahkan pada orde reformasi ini pun status sebagai sampahnya dunia belum pindah tangan dari Indonesia,” tegasnya. 

Menurutnya, Snouck merupakan distributor ulung yang berhasil menyebarkan sampah-sampah Barat, khususnya Leiden, ke tertib kehidupan masyarakat Nusantara. Tidak hanya menyebarkan, lebih lagi, Snouck adalah aktor yang berhasil pada skala tertentu menjadikan bangsa Indonesia mau tetap menyantap sisa-sisa dari hidangan internasional yang dibawanya dari Leiden. Tidak terkecuali sampah-sampah hidangan internasional via Belanda itu menyentuh pada kenyataan hukum di Indonesia. 

Misalnya dalam proses pembentukan hukum perdata di Indonesia yang seolah tidak sanggup tanpa merujuk (tepatnya, menjiplak atau mimicry) ---dalam istilah Franz Fanon atau Homi K. Bhabh--- konsep-konsepnya dari Belanda. 


foto: kumparan.com


Dalam proses pembentukannya, hukum perdata (misalnya, pencatatan pernikahan) di Indonesia banyak terpengaruh warisan pemikiran dan hukum kolonial Belanda. Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon) merupakan asal mula Hukum Perdata Belanda. Code Napoleon disusun berdasarkan hukum Romawi atau Corpus Juris Civilis (waktu itu dianggap hukum paling sempurna). 

Saat Perancis menguasai Belanda (1806-1813), hukum perdata dan dagang diberlakukan di Belanda. Berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, baru pada 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda (selesai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Oktober 1838). 

Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, KUHPdt. Belanda ini diusahakan supaya berlaku di Hindia Belanda. Yakni, dengan membentuk B.W. Hindia Belanda  (isinya serupa dengan BW Belanda). 

Tokoh Belanda yang memperkokoh B.W. Hindia Belanda  adalah Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem dan Mr. C.C. Hagemann, ditambah Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer. Lalu dibentuk panitia baru; Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem dan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Panitia ini yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia yang banyak dijiwai KUHPdt. Belanda (diumumkan 30 April 1847 di Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948). 


foto: republika.co.id


Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku dipakai di Indonesia. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-Undang Hukun Perdata Indonesia (induknya hukum perdata Indonesia).

“Jadi pada kenyataan hukum ini, terutama perdata, Indonesia benar-benar penerima sampah-sampah hukum dari perdaban Barat. Indonesia modern mewarisi konsep-konsep hukum dari negara jajahan Hindia Belanda, Hindia Belanda mendapatkannya dari Belanda, dan Belanda sisa dari Perancis,” ungkapnya. 

Jadi tata hukum Indonesia modern bukan yang sesuai terori resepsi yang diperjuangkannya agar kehidupan diatur dengan hukum adat. Bukan pula lagi Indonesia yang diatur dengan hukum Islam. Karena memang Islam sedari awal merupakan sasaran utama yang harus dihancurkan melalui hukum adat, modernisme, rasionalisme, liberalisme, evolusi sosial dan hukum, sampai formasilasi (penerapan) hukum Eropa untuk wilayah jajahan di Hindia Belanda (sekarang, Indonesia modern). 

Caranya, sedapat mungkin menjauhkan dan membebaskan (liberalization) orang-orang Indonesia dari ajaran Islam untuk menganut ajaran Belanda-Kristen agar Indonesia berada pada orbit pembaratan. 


foto: Snouck Hurgronje

Pembaratan

Arief menyebutkan yang pertama ditarik ke orbit pembaratan adalah orang-orang yang tidak kental ajaran agamanya. Paling mudah misalnya melalui pengawasan atau pencatatan pernikahan oleh penghulu, naib, yang ditugaskan oleh pemerintah jajahan. Sehingga dengan sendirinya orang-orang Indonesia belajar dengan konsep modern yang kolonialistik dengan target panjangnya sebagai mitra kolonialisme. Malahan yang paling mudah untuk dikendalikan sebagai marsose penyelenggara aturan-aturan dari Belanda ialah kaum ningrat dan kepala adat yang jauh dari pengaruh dan sistem hukum Islam. 

Snouck mewujudkan rencana menjadikan Hindia Belanda (kemudian, Indonesia) sebagai tempat sampah hukum ini dengan mengusahakan anak dari keluarga terkemuka Hindia Belanda belajar dengan sistem pendidikan Barat. 

Nama-nama seperti Ahmad Djajadiningrat, putra ningrat Banten dan Wiranatakusumah, regent Cianjur terakhir, merupakan anak didik Snouck. 

Orang Eropa lainnya Abendanon, Engeleberg, van Lith dan Hardeman kemudian ikut menapaki langkah orientalis dari Leiden itu.

Beberapa organisasi seperti Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (1916), Christelijke Ethische Partij (1918) dan Politiek Economische Bond (1919) juga terlibat untuk mempereratkan hubungan Belanda dengan Hindia Belanda (asosiasi).

Pribumi sebagaimana Ahmad Djajadiningrat dan Sujono turut rela menjadi antek Belanda untuk kelancaran tujuan kolonial laiknya organisasi modern tadi.

Selanjutnya bagi Indonesia, akibat tidak diakuinya hukum Islam oleh Snouck yang lebih ‘mendukung’ hukum adat, adalah terhentinya mata rantai Islamisasi di Nusantara.

“Indonesia alias negara hukum yang tidak punya jati diri. Dan, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje patut dikatakan sebagai arsitek ulung, cerdas, cerdik, licik, dan penuh wibawa, yang berhasil menjadikan Republik Indonesia (modern) tetap berada di bawah bayang-bayang dan kendali hukum kolonialistik Belanda!” pungkasnya.[] 


Oleh: Joko Prasetyo

Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat Edisi 240 (Awal April 2019)  
 

Posting Komentar

0 Komentar