Waspada! Diduga Ada Rencana Jahat di Balik Kengototan PDIP Melanjutkan Pembahasan RUU HIP



Seluruh fraksi DPR RI, kecuali PDIP, secara umum dapat memahami suasana kebatinan publik khususnya umat Islam yang menolak RUU HIP. Bahkan, secara implisit juga sependapat dan menyetujui agar RUU HIP dibatalkan.

Namun, PDIP terlihat masih bersikukuh untuk melanjutkan pembahasan. Beberapa negosiasi telah ditawarkan PDIP, diantaranya:

Pertama, secara nomenklatur RUU HIP diubah menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila). Selain mengubah nama, PDIP juga menjanjikan RUU ini hanya fokus untuk dijadikan dasar hukum bagi keberadaan BPIP yang sebelumnya hanya dibentuk berdasarkan Perpres.

Didalam RUU PIP, keberadaan lembaga BPIP akan ditegaskan sebagai lembaga resmi negara yang dibentuk berdasarkan UU. Sehingga, legal standingnya lebih kuat dan dapat diawasi DPR serta tidak dapat dibubarkan sepihak oleh Presiden.

Kedua, persetujuan PDIP mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, sebagai dasar konsideran mengingat dalam RUU PIP. Persetujuan ini, seolah ingin mengkonfirmasi bahwa PDIP juga anti PKI.

Padahal, sebelumnya PDIP melalui Basarah begitu mempertahankan RUU HIP tanpa TAP MPRS ini. Menurut Basarah, tidak perlu ada kekhawatiran atas kebangkitan PKI meskipun tanpa dicantumkan TAP MPRS tersebut dalam konsideran mengingat.

Ketiga, PDIP setuju menghapus norma pasal 7 RUU HIP yang mengubah Pancasila menjadi Trisila bahkan menjadi Ekasila. Kompromi ini dijadikan dasar bagi PDIP, untuk menawar agar RUU HIP bisa dilanjutkan pembahasannya.

Meskipun telah mengalami sejumlah perubahan, umat Islam tetap wajib menolak RUU HIP baik diubah menjadi RUU PIP atau dengan sebutan lainnya, disebabkan:

Pertama, perubahan nama dan sejumlah substansi bukanlah alasan utama penolakan RUU HIP. Alasan utamanya, adanya nafas Komunisme Liberalisme dalam norma pasal secara keseluruhan.

Kritik norma pasal secara keseluruhan ini telah terwakili dari hasil kajian Muhammadiyah dan PBNU. Didalam kajian, norma yang dipersoalkan bukan hanya pasal 7, tidak dicantumkannya TAP MPRS, atau nomenklatur. Tetapi norma pasal secara keseluruhan sebagai suatu produk Rancangan Undang-undang yang bernafaskan Komunisme dan liberalisme.

Kedua, Umat Islam tak memiliki kepercayaan pada partai khususnya PDIP, akan konsisten dengan apa yang dijanjikannya. Boleh saja, di publik nomenklatur diubah, tetapi secara diam-diam norma pasalnya secara substansi tetap mempertahankan nafas Komunisme Liberalisme, namun didesain dalam bentuk oleh kata dan bahasa yang berbeda. Siapa yang bisa jamin?

Ketidakjujuran PDIP sudah terbukti saat PDIP akhirnya mengaku sebagai partai pengusung RUU HIP. Padahal, sebelumnya PDIP menyebut bukan partainya yang menginisiasi RUU HIP, khususnya terkait konsepsi Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila.

Lantas, apakah umat Islam akan percaya pada komitmen PDIP ? Apa garansinya PDIP bisa dipercaya, jika RUU ini hanya diganti nomenklatur menjadi RUU PIP? Apakah umat Islam mau dikelabui untuk kesekian kalinya?

Ketiga, jika RUU HIP dilanjutkan meskipun dengan mengubah Nomenklatur menjadi RUU PIP, hal ini membuktikan DPR khususnya PDIP melakukan pembangkangan publik kepada rakyat. Padahal, katanya DPR wakil rakyat ? Kenapa DPR atau PDIP berani melawan kehendak rakyat yang menginginkan RUU HIP dihentikan ?

Jadi, ini bukan sekedar pembahasan RUU HIP yang diubah nomenklaturnya. Tetapi ini terkait marwah dan wibawa aspirasi rakyat, Aspirasi Umat Islam yang menolak Kebangkitan Komunisme PKI.

Al hasil, tidak ada pilihan lain selain pembahasan RUU HIP wajib dihentikan. Jika pemerintah ingin mengakhiri gaduh akibat RUU HIP, Presiden segera kirim Supres dan DPR segera menindaklanjuti dengan menghapus RUU HIP ini dari Prolegnas. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Aktivis, Advokat Pejuang Khilafah

Posting Komentar

0 Komentar