Radikalisme Pancasila: Makna Tauhid-isme (Monoteisme) dalam Pancasila 18 Agustus 1945.


Siapakah sang Pancasilais?

Setiap ideologi dan religi dapat dipastikan mempunyai karakter radikal, dan dengan demikian sebenarnya secara teoretik keduanya dapat dikelompokkan sebagai aliran, paham dan juga ajaran radikalisme. Jika kita mau jujur, sila pertama Pancasila 18 Agustus 1945, yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa" itu lebih radikal dibandingkan sila pertama Pancasila Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang berbunyi: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". 

Berdasarkan sila pertama Pancasila 18 Agustus 1945 maka untuk bisa disebut sebagai seorang Pancasilais warga negara dan atau penyelenggara negara harus ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Berketuhanan yang berarti meyakini adanya Tuhan dan yang dimaksud Tuhan itu bukan sembarang Tuhan, melainkan Yang Maha Esa. Maha Esa berarti tunggal, wahid tidak terbagi dan tidak tersusun seperti sifat mahluk ciptaannya. Tuhan memiliki sifat yang berbeda dengan mahluknya. Esa, itu tunggal dalam zat-Nya, esa dalam sifat-Nya dan Esa dalam perbuatan-Nya. 

Tuhan Yang Maha Esa, siapakah?

Siapakah yang disebut Tuhan Yang Maha Esa itu? Dalam Alinea ke-3 Pembukaan UUD NRI 1945 dengan tegas disebutkan bahwa:

"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

Konstitusi kita menjawab, bahwa yang dimaksud Tuhan Yang Maha Esa itu tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak lain adalah Allah. Jadi, kalau mau dimaknai secara mendalam, maka warga negara yang bertuhan selain Tuhan dengan sifat Maha Esa dan Maha Kuasa yang disebut Allah atau dibaca "Alloh", maka warga negara atau pejabat negara tersebut dapat disebut tidak Pancasilais

Bukankah ini lebih radikal dibandingkan sila pertama Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang berbunyi: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sila ini tidak radikal karena yang wajib menjalankan syariat Islam dengan segala konsekuensinya hanya umat Islam, sedangkan umat yang beragama lain (non muslim) bebas menjalankan ajaran agamanya masing-masing. 

Kemudian dari pada itu, jika kita cermat para founding fathers waktu menyepakati dan merumuskan Sila 1 Piagam Jakarta sudah berpikir sangat progresif dan futuristik. Perumusan Piagam Jakarta benar-benar bernas dan tepat, tidak perlu diragukan futuristiknya. Nah, persoalan ada beberapa pihak yang tidak setuju terkait dengan konten Sila 1 Piagam Jakarta itu soal lain, hal itu juga sangat disayangkan karena belum mencermati filsafat (hakikat) Sila 1 Pancasila Pembukaan UUD 1945 sekaligus membandingkannya dengan Sila 1 Pancasila pada Piagam Jakarta.

Intruksi Ketuhanan yang Maha Esa

Karakter radikalisme Pancasila khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa diteruskan dalam pembentukan hukum in abstracto maupun penerapan hukum in concreto yaitu pada setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dan juga dapat ditemukan dalam setiap Putusan Pengadilan, yakni dipakai secara baku dalam irah-irahan baik untuk produk DPR-Presiden maupun Putusan Pengadilan. 

Kembali ke irah-irahan peraturan perundang-undangan dan juga putusan hakim, apakah maksud disebutkan kalimat: "BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" atau "DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"? Saya berpendapat bahwa irah-irahan putusan hakim serta produk peraturan perundang-undangan dengan kalimat: "(DEMI KEADILAN) BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" atau DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA adalah sudah sangat tepat. Tidak perlu diragukan lagi kebenarannya dan keradikalnnya. Mengapa demikian? Karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila yang mendasari keempat sila Pancasila lainnya. Sila ini pula diyakini sebagai sila yang menjiwai seluruh sila Pancasila lainnya. Bahkan dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sendi pokok dari Pancasila, bukan keadilan sosial sebagaimana dirumuskan dalam RUU HIP. Bukankah ini juga langkah radikal?

Indonesia Radikal: Berketuhanan yang Maha Esa

Pencantuman Ketuhanan YME di belakang kata demi keadilan, juga sesuai dengan Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa: negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa bukan Negara Berdasar atas Pancasila. Untuk apa ini ditegaskan? Hal ini disebabkan kita ingin menonjolkan bahwa Indonesia ini adalah religious state. Selain Indonesia, mana lagi ada negara demokrasi yang menyatakan dirinya sebagai religious nation state? Bukankah ini desain yang sangat mendasar, mengakar atau radikal?

Ini sebagai penajaman dari pernyataan pada Pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke-4 yang telah menyebutkan bahwa: ".....pemerintahan negara berdasar kepada...Ketuhanan YME..." dan seterusnya. Semua sila disebutkan lengkap. Nah, kalau kita tarik ke tataran yang lebih praktis, bidang-bidang kekuasaan negara, baik bidang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif hendak pula bertekad untuk mengintrusikan aspek religiousitas ke dalamnya. 

Mestinya penyebutan religious legislative, religious judicative dan religous executive bukanlah sesuatu yang asing bahkan menjadi sesuatu keniscayaan atau sebagai konsekuensi bahwa Indonesia adalah religious nation state. Bukankah ini sebenarnya langkah radikal?

Kalau kita bersepakat bahwa Pancasila dasar negara itu harga mati, mestinya kita konsekuen bahwa religious state dan begitu juga religious judicative yang dapat kita turunkan menjadi religious court juga harga mati. Kalimat "Ketuhanan YME" di belakang "Demi Keadilan" tidak boleh diganti dengan kata Pancasila saja hanya lantaran kondisi perpolitikan dan kemasyarakatan sesaat terkini.

Apa sih salahnya irah-irahan Putusan hakim yang berbunyi: "demi keadilan berdasarkan KETUHANAN YANG MAHA ESA" hingga ada upaya untuk mengganti dengan: "demi keadilan berdasarkan PANCASILA"?

Dalam bahasa religious, hakim memeriksa hingga memutus perkara bukan hanya bertanggung jawab kepada negara dan rakyat, justru yang paling utama adalah bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, sebenarnya hakim pun dalam memeriksa hingga memutus perkara tidak boleh bertentangan dengan Kitab Suci (devine law) dan natural law (moral ethic and goodness). Ini juga karakter hakim yang sebenarnya radikal bukan?

Menolak Moderasi Ketuhanan yang Maha Esa

Berangkat dari argumentasi singkat inilah seharusnya dicegah upaya untuk melakukan deradikalisasi sila Ketuhanan yang Maha Esa dengan cara mengubah, apalagi menghilangkan irah-irahan putusan hakim dan semua produk hukum yang berlaku sekarang yang mengaitkan dengan Tuhan yang Maha Esa. 

Upaya pengubahan hanya akan berujung pada pengaburan status kita sebagai religious state yang di dalamnya ada kekuasaan kehakiman yang dijiwai oleh religious court. Bukankah ini juga karakter radikal bukan?

Di sisi lain, bangsa ini juga pernah memiliki visi yang radikal yang ditetapkan dalam Tap MPR No. VII/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan. Visi Indonesia 2020 adalah arah pandangan negara Indonesia yang tertuang dalam Ketetapan MPR  Nomor VII/MPR/2001. Di sana tertulis visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. 

Indonesia "seharusnya" makin relijius, bukan? Lalu mana dan apa buktinya? Sekarang sudah tahun 2020, dan akan menuju tahun 2021, namun mengapa yang terlihat justru agama dijadikan musuh terbesar Pancasila seperti yang dinyatakan oleh Ketua BPIP dan atau agama dihadap-hadapkan dengan Pancasila oleh Sekjen PDIP---khilafahisme disejajarkan dengan komunisme? Bukankah ini tindakan yang kontraproduktif untuk mewujudkan visi radikal terwujudnya masyarakat religius itu? Atau memang telah terjadi moderasi dalam rangka deradikalisasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Atau rezim pemerintahan negara Indonesia (legislatif, eksekutif dan yudikatif) mau kembali ke Piagam Jakartakah? 

Baik kembali ke Piagam Jakarta atau pun tetap pada modus vivendi Pancasila 18 Agustus 1945, umat Islam adalah umat yang toleran karena Alloh dan Rasul-Nya telah mengajarkan agar ajaran Islam menjadi rahmatan lil 'alamiin. Saling menghormati sesama pemeluk agama dengan satu prinsip: "lakum dienukum waliyadien" yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku.[]


Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat



Posting Komentar

0 Komentar