Program Radikalisme dan Moderasi Merupakan Agenda Sekulerisasi Negara



Sejatinya, munculnya paham-paham liberalisme, pluralisme, atau istilah “Khilafahisme” di negeri-negeri muslim adalah bentuk perang pemikiran dan budaya yang dilakukan oleh musuh-musuh islam untuk menghancurkan eksistensi islam dan umat islam. Paham-paham tersebut berakar dari paham sekulerisme terhadap negara yang dilakukan dengan berbagai macam cara melalui pemikiran, gaya hidup, serta aturan-aturan yang tidak islami. Tujuannya Cuma satu agar umat islam tidak berpaling kepada ajaran islam yang mulia.

Berbagai cara dilakukan berkedok ilmu pengetahuan, modernisasi islam, moderasi agama, pembebasan dari dogma atau doktrin, pencerahan, nilai-nilai universal, lemah lembut dan kedamaian, termasuk menggunakan alat-alat hukum dan politik seperti Undang-undang. Padahal, yang terjadi bukan untuk memajukan islam atau pencerahan islam, akan tetapi pendangkalan, penggerusan bahkan penghinaan terhadap islam.

Apa yang melatarbelakangi hal tersebut sehingga islam dijadikan musuh? Tidak lain karena ideologi Sekulerisme yang dianut oleh musuh-musuh islam. Sekulerisme sendiri menurut Groethyusen (1934) adalah usaha untuk memantapkan bidang pengetahuan otonom yang dibersihkan dari preposisi-preposisi, fideistik, supranatural. Pandangan ini sama dengan konsep laicasi Prancis yang mengandung doktrin filosofis berdasarkan pada pandangan masyarakat dan kemanusiaan yang menolak eksistensi yang bersifat religius (Bosworth, 1962). 

Sedangkan sekulerisasi adalah perubahan kendali dari eklesiastik menuju administrasi publik dalam segala aspek social (Glasner, 1992). W.Stark menyebut sekulerisasi dengan istilah “pemindahan corpus mysticum dari gereja menuju negara”. (W.Stark, 1967). Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sekulerisme adalah suatu paham untuk memisahkan agama khususnya gereja, sedangkan sekulerisasi adalah penanaman konsep sekuler tersebut ke seluruh bidang, baik itu politik maupun sosial.

Kelahiran sekulerisme berdasarkan sejarah terjadi dalam sejarah feodalisme dan dominasi gereja pada abad pertengahan di Eropa. Pada saat itu, struktur masyarakat didominasi oleh kelas aristokrat, kaum gereja dan rakyat rendahan. Kaum bangsawan memgang peranan penting sebagai penguasa dan pemilik tanah. Kaum gereja memainkan fungsi dan pemegang otoritas religius bagi para penganutnya. Rakyat jelata memerankan diri sebagai penggarap tanah, serta “obyek yang terdominasi”. (Thomas F.O’dea, 1994).

Seiring berjalan waktu, kesadaran baru di tengah-tengah masyarakat pun terjadi. Berbagai protes dan perlawanan sosial menentang dominasi dan eksploitasi kaum gereja bermunculan. Mereka menggugat kaum gereja yang melibatkan diri dalam hubungan feodalistik dengan kaum bangsawan, yang mengeksploitasi atas nama kekuasaan dan agama. Selain itu, penolakan juga terjadi terhadap dogma-dogma gereja yang cenderung memusuhi rasionalitas dan pengetahuan. Gerakan rasionalis pada waktu itu dihancurkan yang dianggap sebagai gerakan heretik (bid’ah).

Peristiwa-peristiwa selanjutnya semakin mengkristal pada abad ke 15-16 untuk melakukan proses sekulerisasi. Disebut juga dengan babak kelahiran baru (Renaissance), atau babak pencerahan eropa (European Enlightment). Dominasi kekuasaan dan dogma gereja berhasil diruntuhkan. Rasionalitas dan dogma gereja berakhir dengan dipisahkannya otoritas agama (gereja) dari kawasan negara. Perkembangan sekuler semakin terlihat pada abad ke-17 dan abad ke-18. Semangat sekulerisme, rasionalisme dan industrialisasi telah membangun peradaban modern Eropa.

Walhasil, wacana sekulerisasi di negeri-negeri islam, bukanlah bagian dari ajaran islam. Tetapi merupakan upaya politik kaum sekulerisme untuk menghancurkan rival ideologisnya. Islam tidak mengenal konsep pemisahan agama dari kehidupan atau negara. Agama dan negara adalah dua sisi kembar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sedangkan bagi gereja (kristen) sekulerisme memang suatu keharusan. Sebagaimana juga diungkap oleh Gabriel Vahanian, seorang telogis calvinis, “sekular adalah keharusan seorang Kristiani.”

Sekulerisasi pada negeri-negeri islam telah terjadi yang paling baik adalah pada Turki tahun 1924 setelah Khilafah Turki Utsmaniyah dihancurkan. Kementrian syariah dan wakaf dihilangkan dan semua sekolah keagamaan ditutup, termasuk jabatan Syaikhul Islam juga dihapus. Pelarangan pakaian agama serta wajibnya pegawai sipil menggunakan setelan pakaian Barat dan penyerangan pemakaian cadar pada wanita adalah bentuk-bentuk sekulerisasi negara Turki.

Untuk menjalankan program sekulerisasi di Turki ini serta menjaganya menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Barat, pada tahun 1927 Undang-undang Darurat dibuat dan diberlakukan sejak tahun 1929. Selain itu juga mengadopsi Undang-undang Swiss untuk keperluan pergantian terhadap undang-undang syariah. Tepatnya 4 Oktober 1926 Undang-undang sipil diterapkan di Turki, poligami dilarang, perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir diperbolehkan bahkan setiap orang diberi hak untuk megubah agama mereka. (Feroze, 1976).

Tidak jauh beda dengan Turki, proses sekulerisasi di negeri-negeri Islam lainnya terus berlanjut. Hukum-hukum terkait pidana, perdata, pendidikan, interaksi sosial mulai mengadopsi undang-undang yang berasal dari Barat. Keagamaan hanya direfleksikan dalam wilayah privat. Dari sisi politik, umat islam dikuasai dan tidak berdaya menghadapi kekuatan kaum sekuler. Singkatnya, sekulerisme merupakan sumber kehancuran dan kelemahan umat islam.

Hari ini di Indonesia upaya sekulerisasi juga berjalan. Diantaranya adalah penerapan moderasi agama dengan program review terhadap 155 buku hingga upaya menghilangkan pelajaran Khilafah dari aspek fikih menjadi ranah sejarah. Usulan pembahasan RUU HIP atau diubah menjadi RUU BPIP juga dimunculkan untuk semakin mensekulerkan Indonesia, termasuk menepikan peran politik islam. Selain Undang-undang lainnya yang digunakan untuk mengambil sumber daya alam negeri, yaitu UU penanaman modal Asing, UU Minerba dan sebagainya.

Agama Islam selalu bertentangan dengan sekulerisme. Agama islam sebagai agama universal berfungsi untuk mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk politik, hukum sanksi maupun sosial. Memisahkan islam dengan negara merupakan bagian dari mengecilkan aturan dan ajaran islam itu sendiri atau memberangus eksistensi ajaran islam. 

Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al-Baqarah 208 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Imam Ibnu katsir menyatakan “Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya yang Mukmin dan mempercayai Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syariat Islam, mengerjakan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan seluruh larangan-Nya, selagi mereka mampu.” [Tafsir Ibnu Katsir; I/247]. Sejalan dengan Imam Qurthuby menjelaskan lafadz kaffah adalah sebagai haal dari lafadz al-silmi atau dari dlomir mu’minin. Sedangkan pengertian kaffah adalah jamii’an (menyeluruh) atau ‘aamatan (umum) [Imam Qurthuby, Tafsir Qurthubiy Juz III hal : 18]

Melihat kenyataan ini, umat islam harus sadar dan memiliki upaya untuk bangkit secara pemikiran untuk menyerang ide-ide dan gagasan-gagasan yang menyimpang dari islam. Karena ide-ide tersebut akan menghancurkan eksistensi islam dan umat islam.  Di sisi yang lain, umat islam juga harus memiliki keyakinan yang kuat, bahwa kebenaran tetaplah kebenaran dan kebathilan tetaplah kebathilan jangan sampai ada keraguan.

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Artinya “ Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” [TQS Al-Isra’ : 81]. Wallahu’alam.[]

Oleh Wandra Irvandi, S. Pd. M. Sc.
Direktur Lembaga Kajian ANSPI Kalimantan Barat

Posting Komentar

0 Komentar