Politik Dinasti Bukan Sekadar Anomali Demokrasi


Ramai pemberitaan tentang majunya putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dalam kandidat pemilihan wali kota Solo 2020. Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa, saat ini sudah mendapatkan dukungan resmi dari PDI-P, parpol tempat Jokowi bernaung.

Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020.(kompas.com 18/7/2020)

Dari sebuah realitas di atas memunculkan suatu opini di tengah masyarakat yakni sedang adanya sebuah gejala Dinasti Politik yang sedang dilakukan oleh presiden Joko Widodo yang dianggap sedang berupaya memanfaatkan kekuasaannya.

Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin yang menilai pencalonan Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Solo sebagai gejala langgengnya dinasti politik dan menguatnya oligarki.

"Munculnya nama Gibran ini merupakan gejala menguat dan terkonsolidasinya oligarki dan dinasti politik," ujar Ujang saat dihubungi Tempo pada Ahad, 19 Juli 2020.

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Sedangkan yang disebut politik oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. 

Sejatinya, politik oligarki yang dibangun parpol yang berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Demokrasi memungkinkan pemenang adalah ia yang mendapat suara terbanyak. Yang bisa diraih dengan dana besar, popularitas/ketenaran atau pun pengaruh jabatan yang sedang dimiliki. Selain dari itu, pemenangnya juga biasanya orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite penguasa. Jika tidak memiliki hubungan kekeluargaan, maka calon yang dimenangkan adalah mereka yang memberikan uang sebagai mahar jabatan.

Akibatnya dengan Politik Dinasti dan Oligarki seperti ini bisa membuat orang yang tidak berkompeten mampu duduk di kursi kekuasaan. Namun sebaliknya pun bisa terjadi, orang yang berkompeten justru bisa menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga atau bukan berasal dari partai atau kelompok yang sedang memegang kekuasaan.

Lebih dari itu, cita-cita atau tujuan sejati penyelenggaraan sebuah negara dapat menjadi tidak terealisasikan dan bermasalah karena dipimpin oleh pemimpin atau pejabat negara yang tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugasnya seperti banyak yang terjadi dan bisa kita saksikan dalam kehidupan perpolitikan hari ini.

Slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah sebuah slogan kosong semata. Suara rakyat hanya akan dimanfaatkan di pentas-pentas pemilu saja dan itupun dengan pilihan calon yang sudah disiapkan oleh kelompok atau partai tertentu, maka artinya yang terpilih dari hasil terbanyak dari suara rakyat bukanlah murni dari pilihan rakyat sendiri. 

Suara rakyat hanya dimanfaatkan untuk kepentingan para politisi dalam waktu dan hal tertentu saja. Bahkan suara rakyat bisa dibeli demi mewujudkan misi kapitalisasi. Ini bukan sekedar anomali dari praktik demokrasi akan tetapi politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi. Dengan demikian menjadi wajar, ketika para pemimpin yang terpilih dalam demokrasi yang digadang-gadang akan amanah menjadi pengurus rakyat ternyata hanya menjadi wakil dari kelompok elit yang mencalonkannya saja. 

Padahal Rasulullah Saw telah mengingatkan: “Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)”. Oleh karenanya menolak politik dinasti hanya bisa terjadi bila demokrasi disingkirkan dalam kehidupan bernegara di negeri ini.

Kepemimpinan Terbaik Hanya Akan Diraih Melalui Sistem dan Cara Islam

Berbeda dengan Islam, Islam menggariskan kepemimpinan seorang pemimpin diraih dengan syarat yg ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata dari umat karena dasar ketakwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara' dalam memimpin sebuah negara atau mengemban tugasnya. Seorang Pemimpin dalam timbangan Islam haruslah memiliki ilmu pengetahuan yang bukan saja piawai dalam mengatur urusan negara tapi juga berpengetahuan luas tentang agama. 

Tujuan sebuah kepemimpinan dalam Islam yaitu ditujukan untuk menegakkan agama dengan melaksanakan syariat Islam secara keseluruhan dan menjadi pengurus bagi umat/rakyat yang dipimpinnya. Maka di dalam Islam adalah penting bagi umat untuk memilih pemimpin dengan cara yang sesuai dengan syarat yang disyariatkan serta mendapat dukung murni umat. Bukan dengan penunjukkan yang sifatnya turun menurun dari keluarga ataupun partai politik yang sudah menyiapkannya untuk dipilih oleh rakyat. 

Hal penting untuk difahami bahwa pilar utama dalam sistem pemerintahan Islam adalah kedaulatan ada di tangan Syara' yang menjadi pondasinya, oleh karenanya di dalam Islam tidak ada kekuasaan di tangan legislatif. Penguasa yang ditunjuk haruslah menerapkan Islam secara keseluruhan untuk segala aspek kehidupan. Yang disebut penguasa di sini ialah ada Khalifah sebagai kepala negara, Wali dan Amil yaitu orang yang ditunjuk oleh Khalifah untuk memerintah suatu wilayah tertentu dan Muawin Tanfidz sebagai pembantu Khalifah. Merekalah pihak yang diberi wewenang untuk mengadopsi hukum syara dan undang-undang yang bersifat administratif yang menjadi tuntutan dalam mengurusi urusan rakyat.

Metode dalam pengangkatan Khalifah atau pemimpin yang ditetapkan syariat adalah dengan baiat dari umat. Syariat telah menetapkan bahwa kekuasaan ada di tangan umat artinya umat adalah pemilik penuh dalam memilih Khalifah atau seorang pemimpin yang akan mengurusi urusan mereka, namun untuk wali, amil dan muawin tanfidz adalah penunjukannya dilakukan oleh Khalifah yang terpilih.

Sementara prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan seorang Khalifah sebelum dibaiat yakni dengan boleh menggunakan tekhis atau cara yang berbeda-beda, pencalonan Khalifah akan diseleksi oleh mahkamah madzhalim dan dinyatakan layak ketika memenuhi syarat berikut: (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa (balig); (4) berakal; (5) adil (tidak fasik); (6) merdeka; (7) mampu yaitu melaksanakan amanah menjalankan urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. 

Selain itu, terdapat pula syarat tambahan—sebagai keutamaan, bukan keharusan—bagi seorang pemimpin di antaranya: (1) mujtahid; (2) pemberani; (3) politikus ulung. (Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fiî al-Islam)

Syarat-syarat tersebut juga menyangkut pemahaman sang pemimpin terhadap Kitabullah dan As-Sunnah Rasulullah Saw serta kesiapannya untuk menerapkannya secara kaaffah dan konsisten. Setelah diverifikasi oleh mahkamah madzhalim, mereka yang dinyatakan lolos akan diserahkan kepada majelis umat selanjutnya majelis umat akan melakukan musyarawah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi.

Pertama: hasil keputusan majelis umat akan menetapkan nama-nama yang dicalonkan; Kedua; dari beberapa calon akan digodok lagi hingga tinggal dua nama saja. Keputusan majelis umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat sehingga tidak boleh ada lagi penambahan calon lain selain calon yang ditetapkan oleh majelis umat. Dua calon itulah yang akan diserahkan oleh umat untuk diambil suara mayoritas. 

Demikianlah Islam telah menggariskan  kedudukan seorang pemimpin diraih dengan cara yang sesuai dengan yang syariatkan serta mendapat dukungan nyata dari umat dikenal dan dipilih karena ketaqwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara. Sungguh sangat berbeda sekali bukan dengan kepemimpinan yang diraih dalam sistem demokrasi yang dipenuhi dengan cara-cara yang kotor dalam meraih kekuasaan. Wallahu a'lam bishshawwab

Oleh: Liza Burhan
Analis Mutiara Umat

Posting Komentar

0 Komentar