Mengulik LGBT dari Perspektif Hukum, HAM dan Agama



Cukup lama tenggelam dalam opini pemberitaan, gerakan LGBT yang kian berkembang namanya sekarang menjadi LGBTQ+ Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer itu, kini naik kembali ke permukaan publik. Berawal dari pemberitaan atas dukungan suatu perusahaan besar PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), terhadap gerakan yang banyak dikecam oleh berbagai umat dan kalangan ini.

Perusahaan yang berbasis di Belanda itu melalui akun Instagramnya pada 19 Juni lalu resmi menyatakan diri berkomitmen mendukung gerakan Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer (LGBTQ+). 

Dalam upaya mendukung kampanye tersebut, mereka bahkan sudah menandatangani deklarasi Amsterdam, bergabung dengan Open for Business untuk menunjukkan bahwa Unilever dengan inklusi LGBTQI+ serta meminta Stonewall mengaudit kebijakan dan mengukur tindakan Unilever dalam bidang ini. Stonewall adalah lembaga amal untuk kaum LGBT.(CNB Indonesia).

Tak pelak, hal tersebut membuat netizen bagian dari masyarakat Indonesia resah dan marah serta beramai-ramai melakukan ancaman boikot atas produk dari perusahaan tersebut. Tak terkecuali ancaman serta kecaman tersebut utama juga datang Majelis Ulama Indonesia (MUI).


Sebab pertumbuhan LGBT di level dunia justru menunjukkan kenaikan, sementara dampak negatifnya sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia

Istilah LGBT sendiri adalah sebuah singkatan yang memiliki arti Lesbian, Gay, Bisexual dan juga Transgender dan arti dari semua istilah tersebut dapat anda lihat di bawah ini.

Lesbian : lesbian itu berarti seorang perempuan yang mencintai atau menyukai perempuan, baik dari segi fisik ataupun dari segi seksual dan juga spiritualnya, jadi memang hal ini sangatlah menyimpang.

Gay : Sedangkan gay sendiri adalah seorang laki-laki yang menyukai dan juga mencintai laki-laki, dan kata-kata gay ini sering disebutkan untuk memperjelas atau tetap merujuk pada perilaku Homoseksual.

Bisexual : Bisexual ini sedikit berbeda dengan kedua pengertian diatas karena orang bisexual itu adalah orang yang bisa memiliki hubungan emosional dan juga seksual dari dua jenis kelamin tersebut jadi orang ini bisa menjalin hubungan asmara dengan laki-laki ataupun perempuan.

Transgender : sedangkan untuk transgender itu adalah ketidaksamaan dari identitas gender yang diberikan kepada orang tersebut dengan jenis kelaminnya, dan seorang transgender bisa termasuk dalam orang yang homoseksual, biseksual, atau juga heteroseksual.

Secara global, organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) telah menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders). Menurut mereka, LGBT adalah perilaku normal bukan kelainan mental. Bahkan sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi kaum LGBT, kini telah ditetapkan hari Gay Sedunia dan ada 14 negara yang membolehkan pernikahan sejenis, dan hanya 3 negara yang menganggap LGBT sebagai kriminal. (Republika, 12/02/2016).

Tersebab dari pengakuan itu pula menjadikan LGBT saat ini bukan lagi dipandang sebuah perilaku individu melainkan sudah menjadi sebuah gerakan global yang terorganisir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penyebaran dan kampanye kegiatan komunitas LGBT di Indonesia sendiri banyak dipengaruhi oleh serangan budaya asing dan disokong pula oleh dana dari lembaga-lembaga asing. Ditemukan di halaman 64 laporan “Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia), yang merupakan hasil dialog dan dokumentasi Komunitas LGBT Nasional Indonesia pada tanggal 13-14 Juni 2013 di Bali sebagai bagian dari prakarsa “Being LGBT in Asia” oleh UNDP dan USAID. 

Dalam data tersebut diungkap bahwa sebagian besar organisasi LGBT mendapatkan pendanaan dari lembaga donor internasional seperti USAID. Pendanaan juga diperoleh dari AusAID, UNAIDS, dan UNFPA. Ada sejumlah negara Eropa yang pernah mendanai program jangka pendek, terutama dalam kaitan dengan HAM LGBT. Pendanaan paling luas dan sistematis disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda, kadang-kadang bersumber dari pemerintah negeri Belanda. Kemudian Ford Foundation bergabung dengan Hivos dalam menyediakan sumber pendanaan bagi organisasi-organisasi LGBT.

UNDP dan USAID meluncurkan prakarsa “Being LGBT in Asia” pada tanggal 10 Desember 2012. Diantara negara yang menjadi fokus program ini adalah Cina, Indonesia, Philipina dan Thailand (https//www.usaid.gov/asia-regional/being-lgbt-asia).

Berdasarkan dokumen UNDP, program “Being LGBT in Asia” fase 2 dijalankan dari Desember 2014 hingga September 2017 dengan anggaran US$ 8 juta (http//www.asia-pacific.undp.org/content/rbap/en/home/operation/projects/overview/being-lgbt-in-asia.html)

Gerakan LGBT ini juga mendapat dukungan dari organisasi dunia PBB. Pada Oktober 2015, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon mengaku akan menggencarkan perjuangan persamaan hak-hak LGBT. LGBT juga menjadi salah satu agenda penting Amerika Serikat (lihat:Dokumen USAID: “Being LGBT in Asia’ Report Build Understanding)

Di Indonesia mereka memasarkan dan mengkampanyekan program-programnya melalui berbagai sarana dan prasana, diantaranya sebagai berikut:

1. Jalur Akademik (Intelektual)

Mereka memanfaatkan perguruan tinggi sebagai sarana untuk mempromosikan gerakannya. Misalnya dibuat  ”Prinsip-Prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles) yang mendukung keberadaan kaum LGBT. Muncul lembaga-lembaga pro LGBT di Universitas Indonesia (UI), yang bernama SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies) Januari 2016 lalu.

2. Jalur Sosial Budaya

Kampanye keberadaan LGBT dipropagandakan lewat berbagai media seperti: advokasi, konsultasi, film, aksi lapangan, seni, media massa, dan sebagainya, tujuannya agar terjadi pemahaman umum sehingga masyarakat menerima keberadaan LGBT.

3. Jalur Jaringan / Komunitas

Tahun 2016, di Indonesia ada 2 jaringan nasional pendukung LGBT, dan ada 119 kelompok LGBT di 28 propinsi (dari 34 propinsi) di Indonesia dengan jutaan pengikut. Atas sponsor UNDP dan USAID, pada 13-14 Juni 2013, mereka berhasil mengelar Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia di Nusa Dua Bali. Pesertanya 71 orang dari 49 lembaga pro LGBT di Indonesia. (Sumber: docplayer.info, diakses 15/2/2016)

4. Jalur Bisnis

Keberadaan kaum LGBT mendapatkan dukungan opini dan juga dana dari dunia bisnis. Beberapa merek dagang dunia telah terang-terangan berkampanye mendukung atau pro LGBT. Misalnya : Facebook, Whatsapp, LINE, dll  yang mempunyai simbol atau emoticon yang pro LGBT.

5. Jalur Politik

Di koran Republika (12/2/2016) halaman 9 pada judul “Dubes AS Dukung LGBT” terdapat berita: “Pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia menegaskan dukungannya terhadap pernikahan sejenis di kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). 

Dubes AS untuk Indonesia Robert O Blake, bahkan mendesak Pemerintah Indonesia mengambil sikap serupa.” “Saya tahu ini isu sensitif, tapi Indonesia sebagai negara demokrasi harus bisa memberikan contoh bagi negara-negara lain,” kata Blake saat mengunjungi kantor Harian Republika, Kamis (11/2). Ia mendorong Pemerintah Indonesia memberikan contoh soal pemberian kesetaraan terhadap kaum LGBT karena selama ini berhasil memimpin demokratisasi regional melalui Bali Democracy Forum.

Jelas sekali bahwa propaganda LGBT merupakan sebuah konspirasi global yang akan berdampak membawa bahaya besar bagi kehidupan negeri ini dan penduduknya. Penyebaran LGBT di Indonesia merupakan upaya sistematis yang banyak dipengaruhi oleh serangan budaya barat. Hal ini dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat Indonesia agar jauh hingga meninggalkan ajaran agamanya, yang disebut dengan istilah sekulerisme.

Berpeluang penuh dalam merusak moral dan akhlak generasi dan masyarakat. Karenanya gerakan LGBT harus ditolak dan dilawan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perlawanan dari segi hukum juga harus disiapkan melalui sanksi bagi para pelakunya. Jika tidak ada sanksi, apa gunanya hukum? Bukankah hukum dibuat sebagai sarana mencegah dan membuat jera pelaku kriminal. Jika tidak ada sanksi, sama saja bohong menyebut bahwa negara ini adalah hukum.

LGBT ditinjau dalam perspektif hukum, HAM dan Agama. Dan persepsi yang seharusnya paling diikuti.

a. Dari perspektif Hukum dan HAM

Sebuah realitas saat ini menunjukkan kepada kita bahwa hingga kini belum ada aturan hukum yang secara jelas yang disahkan khusus terkait aturan terhadap gerakan atau perilaku LGBT apakah dapat dibenarkan ataukah tidak dalam kacamata hukum negara kita. Padahal taat pada norma hukum positif (norma hukum yang sedang berlaku) adalah suatu konsesi patriotisme yang paling utama sebagai sendi-sendi perilaku konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat disemai keadilan, tegaknya kebenaran, terbangunnya ketertiban umum, dan kepastian hukum.

Bertalian dengan hal tersebut, pada kenyataannya kajian hukum tidak hanya tentang norma hukum positif tapi juga sejarah hukum dan politik hukum yang berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum, dan pengawasan hukum. 

Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan hukum, interpretasi hukum, norma hukum yang kabur, saling tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan. Sehingga, selalu ada ruang bagi gagasan atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal sekalipun, untuk terus eksis di kancah kajian atau pendapat hukum.

Inilah suatu logical plot yang dikenal dengan istilah democratic and constitutional welfare state sebagai muatan glosarium ketatanegaraan Indonesia. Hal demikian mengambil pendapat dari Mira Fajri (Ketua Kajian Hukum dan HAM PP KAMMI) melalui Republika.co.id

Tidak sedikit orang yang mengagungkan Positivism Hukum. Menjadikan seolah semua serba technis outomate mechanistic. Kepastian didewakan, HAM diagung-agungkan seolah hidup itu hanya untuk memenuhi keserakahan individu memuaskan hasrat birahi diri meski menyimpang dari koderat illahi. 

Logika dituhankan seolah diri tak pernah tersusun rasa dan karsa yang penuh hasrat pada pencarian kebenaran ilahi. Namun jangankan untuk meyakini ilahi, justeru illahi dikatakan sebagai sebuah illusi. Adanya tak pernah dirasakan karena logikanya selalu terjebak segala empirika. 

Ini bukan Amerika atau pun Eropah, tapi Indonesia, setidaknya bumi yang berada di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion). Cara bertindak kita tidak sama cara ala Amerika dan Eropa, diakui atau pun tidak. 

Lalu, mengapa kita mati-matian mengidentifikasi diri untuk sejalan---- kalo tidak boleh dikatakan mengimitasi--- agar cara kita berhukum, berpolitik, berpolitik hukum sama dengan Amerika dan Eropah. 

Sejatinya, kita Indonesia tidak mengikuti aliran Hukum Murni (reinerechtslehre) secara letterlijk. Lihatlah sejak 1964 bersambung dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman mulai UU No. 14 Tahun 1970 smp skrng UU No. 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan:

1. Memutus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan YME bukan peraturan belaka.

2. Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengukuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.

3. Pancasila mulai Tap MPRS XX/MPRS 1966 hingga UU No. 12 Tahun 2011 dijadikan sbg sumber hukum nasional.

4. Pembangunan hukum nasional Indonesia juga bersumber dari Hukum Agama (Islam dan lainnya), Hukum Adat dan Hukum Modern.

Inilah yang mewajibkan kepada kita untuk tidak memisahkan antara hukum dan moral serta agama. Namun ketiganya haruslah terkait. Upaya untuk memisahkannya adalah berarti menggiring kepada jurang kehancuran, negara yang berprinsip sebagai religious nation state. Berdasarkan prinsip-prinsip ini adalah wajar bila para penegak hukum khususnya hakim apalagi hakim konstitusi wajib menbaca hukum, konstitusi secara moral (moral reading on constitution).

Membaca HAM sebagaimana dituangkan dalam UUD NRI 1945 harus dilakukan dalam bingkai moral dan agama. Moral dan agama dapat dipakai untuk membatasi hingga melarang perbuatan tertentu yang dinilai bertentangan moral dan agama. Dengan prinsip agung ini, akankah kita biarkan LGBT sebagai penyimpangan seksualitas terus berkembang tanpa mengambil langkah seribu untuk mencegahnya. 

Hukum dapat dipakai sebagai sarana preventif dan represif untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran rasnya. Dengan catatan, cara kita berhukum tidak boleh hanya mengandalkan logika melainkan juga rasa mengagungkan aturan agama dan kuluhuran umat manusia yang sesuai fitrah, harkat dan martabatnya. 

b. Dari perspektif Agama 

Pada ajaran Agama, Islam khususnya, LGBT itu adalah perilaku yang sangat dilaknat dan menjijikkan. Dikenal didalam 2 buah istilah yaitu Liwath {gay} , Sihaaq {lesbian}. Karena keberadaan kaum gay ini memang sudah ada sejak zaman dahulu, dengan kata lain perbuatan hubungan seksual yang menyimpang ini sudah ada sejak zaman kaum nabi Luth ‘Alaihis salam, dan kata Liwath memang dibuat sebagai sebutan untuk kamu dari Nabi Luth ‘Alaihis Salam karena kaum Nabi Luth ‘Alaihis salam yang pertama kali melakukan perbuatan yang menyimpang ini, dan Allah SWT memberi nama perbuatan yang menyimpang ini dengan perbuatan keji {fahisy} dan juga melampaui batas {musrifun}. 

Allah SWT sudah menjelaskannya pada Al Qur’an:

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu.’ (QS. 7:80) Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. 7:81)” (al-A’raaf: 80-81)

Terkait sanksi untuk para pelakunya Islam tidak ada keraguan atau secara jelas dalam menghukuminya. Untuk prilaku lesbian atau Sihaaq sudah dijelaskan Hukumnya oleh Abdul Ahmad Muhammad Al0Khidir bin Nursalim Al-Limboriy Al-mulky {hukmu al liwath wa al sihaaq , hal 13} itu memiliki hukum haram dan hal ini juga didasari dari Dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang sudah pernah diriwayakan oleh Al-Imam Muslim {no,388} Abu Dawud {no,4018} dan juga At-Tirmidzi{no, 2793}. Maka hukuman untuk pelaku lesbian atau Sihaaq adalah berupa ta'zir yang akan ditetapkan oleh seorang Khalifah, sedangkan hukuman bagi Gay atau Liwath hukumannya adalah hukuman mati.

Negara kita yang mengaku sebagai negara Yang Berketuhanan Yang Maha Esa sesuai dalam bunyi dalam sila pertama Pancasila ini sudah seharusnya mengedepankan pandangan agama untuk diikuti dalam memecahkan setiap persoalan kehidupan bangsa dan negaranya yang sesuai dengan fitrah setiap warga negaranya.


Strategi umat Islam menangani (cegah, tangkal dan obati) fenomena dan  perkembangan LBGT baik di tingkat nasional maupun internasional.

Mau dilihat dari sisi manapun perilaku LGBT merupakan prilaku menyimpang yang sudah keluar dari kodrat dan fitrahnya manusia. Dan dari uraian di awal artikel telah dapat disimpulkan bahwa sejatinya LGBT merupakan propaganda dan strategi penjajahan pemikiran kafir barat untuk terus menancapkan kuku-kuku hegemoninya di kehidupan umat muslim terbesar di dunia ini sebagai satu kesatuan dari strategi lain dalam melemahkan akidah umat Islam dan melemahkan pertahanan negeri muslim untuk mereka kuasai dalam segala bidangnya. 

Dengan demikian maka sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam baik yang di Indonesia maupun di seluruh dunia juga harus memiliki strategi jitu untuk melawan prilaku dan gerakan LGBT yang kian eksis dan menggurita ini. Dalam rangka upaya cegah, tangkal dan obati fenomena dan perkembangannya.

Pertama, prilaku LGBT dan kian menggurita keberadaannya sebenarnya disebabkan karena adanya faktor rusaknya akidah dan kufurnya ideologi yang diemban umat. Maka langkah yang harus dilakukan oleh individu secara khusus dan umat Islam secara umum yaitu harus sesegera mungkin menyadari bahwa sebagai makhluk sekaligus hamba ciptaan Allah untuk kembali pada fitrahnya dengan memperbaiki akidahnya sebagai diri seorang muslim yang harus terikat dengan hukum syara' yang menjadikannya sebagai satu-satunya tuntunan dalam menjalankan segala aspek perbuatannya. 

Kedua, melalui keluarga. Peranan keluarga terdekat dan orang tua sangat mempengaruhi dalam pembentukan kepribadian anak atau seseorang. Membentuk lingkungan keluarga yang kuat secara akidah dengan gaya hidup islami melalui pembiasaan erat dengan aturan agama merupakan perlindungan pertama dalam membentuk kepribadian masing-masing anggota keluarga sekaligus menjadi benteng pertahanan pertama dalam upaya mewujudkan ketaqwaan diri agar terhindar dari hal-hal yang dilarang dan diharamkan.

Ketiga, faktor lingkungan masyarakat yang sekuler, serba acuh dan liberal yang jauh dari islami juga menjadi salah satu penyebab kian tumbuh dan menjamurnya prilaku menyimpang seperti halnya LGBT ini di tengah kehidupan masyarakat. 

Maka yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah agar sama-sama meningkatkan kesadaran diri sebagai makhluk sosial yang beragama untuk saling mengingatkan melalui aktivitas amar makruf nahi mungkar antar satu dengan yang lainnya, tidak permisif terhadap budaya asing yang menjerumuskan serta enggan kompromi terhadap segala hal yang menyimpang dari aturan kehidupan masyarakat dan agama yang berpotensi merusak tatanan kehidupannya. 

Kondisi lingkugan masyarakat juga sangatlah berpengaruh terhadap sikap seseorang ataupun tumbuh kembang seorang anak saat ketika ia berada di luar dan tidak dalam penjagaan orang tua dan rumahnya.

Keempat, muhasabah lil hukam atau berdakwah secara sendiri atau berjamaah, secara langsung ataupun tidak langsung di hadapan para penguasa atau pemimpin negara, karena kian eksis dan massifnya penyebaran dan pertumbuhan prilaku dan gerakan LGBT ini disebabkan karena tidak adanya aturan tegas atau hukuman yang jelas dari negara terhadap para pelakunya, yang berakibat pada hari ini mereka masih bebas berkeliaran dalam menyebarkan ide-idenya. Sehingga gerakan ini akan terus tumbuh subur di negeri ini dan diseluruh dunia atas dasar dan prinsip kebebasan yang terlahir dari faham sekulerisme, liberalisme dan menjunjung tinggi HAM.

Permasalahan LGBT yang merupakan problem yang sudah tersistemis, sehingga dalam pencegahan dan pemberantasannya tidak bisa dilakukan secara parsial, akan tetapi haruslah secara sistematis pula. Oleh karenanya peran negara dalam hal ini sangatlah penting. Namun keberadaan penerapan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan hampir di seluruh dunia hari ini tidak akan mampu dapat diharapkan menjadi harapan bagi umat dalam memberantas gerakan LGBT. Dan justru karena penerapan sistem tersebutlah yang menjadi akar masalah sesungguhnya.

Dengan demikian penyeruan sistem Islam adalah satu-satunya solusi yang dapat diajukan umat baik secara nasional maupun internasional/global. Karena Islam  merupakan agama paripurna yang mempunyai aturan khas dan sempurna dalam mengatur kehidupan umat manusia. Maka hanya dengan Islamlah solusi segala problematika kehidupan umat manusia akan didapatkan termasuk solusi dalam memutus mata rantai prilaku dan pergerakan LGBT.

Penciptaan manusia laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam adalah untuk kelangsungan jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya, sebagaimana ditegaskan oleh Allah swt dalam (QS an-Nisa : 1), sehingga telah jelas semua hubungan yang berkaitan dengan seksualitas yang dibenarkan oleh Islam adalah melalui pintu pernikahan yang sah secara syar’i. Maka di luar itu adalah illegal atau diharamkan dan dianggap menyimpang. 

Adapun LGBT, perzinahan, anal seks, dan sejenisnya semuanya adalah perilaku seks yang menyimpang, tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang normal dan dibenarkan. Karena semua itu akan merusak garis nasab dan menjadi ancaman bagi keberlansungan hidup manusia. Oleh karena itu dalam Islam sangat jelas bahwa ide LGBT adalah haram dan tidak boleh dimaklumi dan dilindungi dengan alasan dan dalih apapun. 

Sebagaimana yang Rasulullah saw sampaikan untuk menegaskan bahwa perilaku LGBT merupakan perilaku menyimpang yang dilaknat oleh Allah yang disampaikan dalam sabdanya “Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth  (homoseksual,”(HR. at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).

Negara yang menerapkan sistem Islam akan senantiasa mewajibkan kepada diri rakyatnya untuk mempelajari akidah Islam dalam rangka membangun ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan keimanan dan ketakwaan tersebut akan menuntun rakyatnya menjadi pribadi yang mampu membentengi diri dari sikap hedonis dan budaya asing yang merusak mengutamakan hawa nafsu.

Di dalam Islam negara juga berkewajiban menanamkan norma-norma Islam, budaya, moral dan pemikiran Islami. Semua itu ditempuh dengan semua sitem, salah satunya melalui sistem pendidikan yang Islami. Selain dari itu negara juga akan memblokade situs-situs pornoaksi dan pornografi di tengah masyarakat, dan segala macam akses yang dapat membantu mengkampanyekan ide-ide kufur seperti halnya LGBT. Sehingga masyarakat terlebih generasi muda akan terhindar dan terlindungi dari media-media yang dapat merusak moral masyarakat.

Dan yang paling tak kalah penting negara dengan bersistemkan Islam akan memberlakukan sistem saksi yang tegas dan keras terhadap segala macam pelaku kriminal atau kejahatan. Khusus bagi para pelaku LGBT juga akan diberikan sanksi yang tegas sesuai syariat Islam yang disaksikan dihadapan masyarakat secara langsung, menurut syariat Islam hukuman bagi LGBT berupa ta'zir yang ditetapkan Khalifah sedangkan bagi pelaku liwath (Homoseksual) adalah dijatuhkan dari gedung yang tinggi hingga mati. Walhasil dengan penerapan sanksi tersebut akan memberikan efek jera bagi para pelaku LGBT, maka jelas sudah hanya dengan sistem Islam segala macam prilaku dan pergerakannya akan dapat dicegah dan dihentikan. 


Penutup

Dari sejumlah uraian dalam pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama. Sejatinya LGBT saat ini bukan lagi dipandang sebuah perilaku individu melainkan sudah menjadi sebuah gerakan global yang terorganisir dan tersistematis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penyebaran dan kampanye kegiatan komunitas LGBT di Indonesia sendiri banyak dipengaruhi oleh serangan budaya asing dan disokong pula oleh dana dari lembaga-lembaga asing. Sebagian besar organisasi LGBT mendapatkan pendanaan dari lembaga donor internasional seperti USAID. Hal ini dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat Indonesia agar jauh hingga meninggalkan ajaran agamanya.

Kedua. Antara hukum dan moral serta agama ketiganya haruslah terkait. Upaya untuk memisahkannya adalah berarti menggiring kepada jurang kehancuran. Membaca HAM sebagaimana dituangkan dalam UUD NRI 1945 harus dilakukan dalam bingkai moral dan agama. Dengan prinsip agung ini, akankah kita biarkan LGBT sebagai penyimpangan seksualitas terus berkembang tanpa mengambil langkah seribu untuk mencegahnya. Hukum dapat dipakai sebagai sarana preventif dan represif untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran rasnya. Dengan catatan, cara kita berhukum tidak boleh hanya mengandalkan logika melainkan juga rasa mengagungkan aturan agama dan keluhuran umat manusia yang sesuai fitrah, harkat dan martabatnya. 

Ketiga. Permasalahan LGBT merupakan problem yang sudah tersistemis, sehingga dalam pencegahan dan pemberantasannya tidak bisa dilakukan secara parsial, akan tetapi haruslah secara sistematis pula. Dengan demikian penyeruan sistem Islam adalah satu-satunya solusi yang dapat diajukan umat baik secara nasional maupun internasional/global. Karena Islam  merupakan agama paripurna yang mempunyai aturan khas dan sempurna dalam mengatur kehidupan umat manusia. Maka hanya dengan Islamlah solusi segala problematika kehidupan umat manusia akan didapatkan termasuk solusi dalam memutus mata rantai prilaku dan pergerakan LGBT.[]

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum* dan Liza Burhan**

*Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
**Analis Mutiara Umat


Posting Komentar

0 Komentar